Anda di halaman 1dari 17

Menelusuri Jeprut

I. Penelusuran Diakronik Ada jeprut di Bandung, sejenis performance of art yang selalu dilakukan (terutama) oleh orang-orang teater dan seni rupa. Dulu, pada tahun 90-an, ketika berkunjung ke ibu kota Jawa Barat ini, mungkin pernah ada beberapa pengunjung yang dikagetkan oleh suatu peristiwa yang menginterupsi keseharian dengan hal-hal yang tidak wajar: di tengah-tengah panas terik dan lengang, tiba-tiba seseorang yang bertelanjang dada, dengan tubuh dan muka yang digambar sedemikian rupa, berlari sambil menggusur seng, sehingga menimbulkan polusi suara, kemudian lenyap, hanya sesaat saja; atau seseorang menggoreng ikan asin di sebuah diskotek; atau serombongan orang berkostum hitam-hitam, memakai cetok (topi bambu), berjalan beriringan (babaduyan), menawarkan benih pepohonan kepada orang-orang yang ditemuinya dengan cara mempersuasi. Itulah jeprut. Orang-orang itu sedang ngajeprut (kata kerja). Jenis pertunjukan itu kini sedang ngetrend di Bandung. Ada yang pro dan ada yang kontra. Tapi meskipun demikian, jeprut terus menggumpal, dan menjadi sejenis tontonan yang kadang-kadang membuat orang terhenyak, kaget, atau juga keki. Orangorang memperbincangkannya. Sudah ada tiga pertemuan yang menyedot perhatian. Pertama, di Gelanggang Remaja yang dilaksanakan Teater Bel, yakni sekitar tahun 1997, kemudian di Rumah Nusantara bulan Oktober 2000, dan akhirnya di kampus STSI Bandung pada tanggal 2 Mei 2001. Selain berbincang, dalam pertemuan itu dibicarakan juga tentang ide atau gagasan yang berada di balik jeprut; mengapa jeprut lahir, kapan, apakah ia sebagai seni atau bukan, dan sebagainya. Jeprut mulai populer saat para seniman Bandung melakukan protes terhadap Pemda Bandung yang menyerahkan Gedung YPK, salah satu gedung untuk melaksanakan peristiwa kesenian di jalan Naripan, kepada perusahaan milik pemerintah. Ketika peristiwa itu terjadi, para seniman muda Bandung melakukan hal-hal yang tampak aneh, tidak lumrah, dan agak sedikit gila. Ada yang mandi dan gosok gigi tak hentihenti hingga gerahamnya luka sambil duduk di atas kursi yang tinggi; ada yang berguling-guling sambil mengerang dan mengucapkan kata-kata yang tidak jelas; ada yang bolak-balik bergumam sambil mengukur jalan; dan sebagainya. Hal itu setiap hari

dilakukan, hampir satu bulan. Ketika Pemda memutuskan kembali bahwa Gedung YPK akan dikembalikan pada seniman dan budayawan, kegiatan itu baru dihentikan. Tapi meskipun momentum jeprut sebagai fenomena berawal dari peristiwa perebutan kembali Gedung YPK oleh para seniman, ia sebetulnya bukan barang baru. Saini KM, seorang budayawan, mengatakan bahwa pada tahun 60-an di Bandung peristiwa semodel jeprut pernah pula berlangsung: dalam sebuah gedung yang dipadati pengunjung, tiba-tiba ada dua orang yang sedang bertengkar; beberapa pengunjung berusaha untuk melerainya; tapi orang-orang itu tidak perduli, keduanya berusaha berontak dari cengkraman tangan-tangan para pemisah; saat salah seorang bisa lepas, para pengunjung lainnya cemas, takut terjadi peristiwa pemukulan; namun peristiwa itu tidak terjadi, sebab orang yang terlepas dari cengkraman itu lari menuju mikrofon, lalu berkata: Demikianlah drama satu babak yang telah kami sajikan. Semoga Anda semua puas menyaksikannya! Pada saat diskusi dalam acara menengok Jeprut di STSI Bandung, beberapa penanggap ada pula yang menginformasikan bahwa pada tahun 70-an di kampus senirupa ITB pernah pula terjadi perilaku-perilaku aneh yang dilakukan oleh beberapa mahasiswa bersangkutan. Ketika waktu senggang, setelah terjadi kejenuhan bergaul dengan koas, kanvas dan cat, mereka kadang-kadang mempersembahkan pertunjukan yang mampu mengejutkan kawan-kawan mahasiswa lainnya dan dosen-dosen mereka. Namun tampaknya, kondisi yang mematangkan jeprut lahir seperti wujudnya kini, terjadi pada akhir tahun 70-an dan awal tahun 80-an, saat dibukanya jurusan teater STSI Bandung (1978) dan diaktifkannya kembali Acting Course, sebuah agenda kursus akting yang menjadi salah satu program Studiklub Teater Bandung (STB), sebuah kelompok teater tertua yang masih ada di Indonesia, di tahun 1983. Sebelum dibuka jurusan teater, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung (dulu ASTI= Akademi Seni Tari Indonesia) hanya memiliki dua jurusan, yaitu karawitan dan tari. Atas usulan beberapa orang penggerak teater di Bandung, seperti Suyatna Anirun, Saini KM, Enoch Atmadibrata, dan Sutardjo Wirahadihardja yang nota bene merupakan aktivis STB, maka pada tahun 1978 dibukalah jurusan teater1. Mereka pun sekalian menjadi sebagian dari pengajar di jurusan baru tersebut. Tentu saja pembukaan
1

Kini STSI memiliki empat jurusan, yakni dengan menambah jurusan seni rupa pertunjukan yang dibuka pada tahun 1997.

jurusan teater tersebut, tidak semata-mata hanya untuk sekedar memasyarakatkan dan mengembangkan seni teater, tapi di dalamnya memiliki keinginan ideologis tertentu, baik disadari maupun tidak, untuk menyebarkan semacam mazhab berkesenian yang senantiasa dijadikan sebagai titik-tolak dalam berkreativitas yang diyakini kebenarannya oleh para pendirinya. STB dengan salah satu pendiri dan penggeraknya yang paling kukuh, Suyatna Anirun (Yatna), begitu yakin berasumsi bahwa media utama teater adalah manusia (aktor). Bisa jadi gagasan sutradara sebagai landasan untuk pertunjukan teater, berawal dari naskah drama, atau juga langsung dari dirinya. Dari mana pun asalnya, pertunjukan teater harus hidup, berdenyut, berdarah dan berdaging. Teater adalah memanusiakan idea-idea, demikian kredo Yatna yang selalu diucapkannya berulang-ulang dalam banyak pertemuan. Hidup atau tidaknya sebuah pertunjukan teater, sangat bergantung pada kehadiran aktor saat sandiwara berlangsung. Betul bahwa pertunjukan teater mungkin diisi pula oleh bunyi, cahaya, atau benda-benda, tapi hal-hal itu bukanlah yang hakiki, posisinya hanyalah sebagai pembantu bagi pangeran di atas panggung, yaitu aktor. Kalau kita percaya kepada bentuk sebagai acuan dalam tiap karya seni, maka karya teater itu harus hadir (jirim) dari kekuatan insani, ungkap Yatna dalam Forum Teater Naskah Jerman (1988). Maka, misalnya, saat bunyi (musik) sedang keras untuk menggambarkan suatu suasana, kemudian aktor datang untuk melontarkan dialog, intensitas bunyi itu harus diturunkan sehingga kata-kata aktor tidak terlibas dan dapat didengar oleh para penonton. Untuk menghidupkan teater serta menyatukan unsur-unsurnya hingga menjadi kesatuan yang utuh, maka aktor harus menampilkan laku pentas yang meruang, yakni karya pemeranan yang telah mencapai standar kelayakan karya seni. Supaya bisa sampai ke arah sana, aktor semestinya melatih seluruh piranti ekspresinya, seperti: tubuh, suara, dan sukma. Ketika piranti ekspresinya telah terlatih, pada saat itu di mata Yatna pangeran panggung tersebut menjadi seperti tanah lempung yang mampu dibentuk untuk menjadi apa saja. Kredo yang dijadikan sebagai titik pijak STB dalam berteater tersebut, dengan sungguh-sungguh diterapkan oleh Yatna kepada para mahasiswanya di STSI Bandung melalui berbagai metode seperti: latihan improvisasi, konsentrasi, serta pelatihan vokal

dan tubuh. Latihan-latihan tersebut kadang-kadang dilakukan para mahasiswa tidak hanya di ruang-ruang formal pada saat kuliah berlangsung, tapi juga di ruang-ruang publik seperti pasar, alun-alun dan dalam pergaulan sehari-hari. Di ruang kuliah, selain ada matakuliah pelajaran konsentrasi, ada matakuliah yang diberi judul Olah Vokal, Olah Tubuh, Olah Sukma dan Gerak Kreatif. Pada dasarnya matakuliah-matakuliah tersebut merupakan kesatuan, sehingga dalam latihan-latihan, baik di tingkat dasar maupun lanjutan, hal-hal tersebut dipraktekkan secara utuh atau tidak dipisah-pisahkan. Dalam tingkatan lanjutan biasanya dosen yang diserahi tugas mengajar matakuliah-matakuliah bersangkutan membebaskan para mahasiswanya dalam melakukan latihan-latihan. Kebebasan ini kiranya mampu merangsang kreativitas mahasiswa untuk mencari format latihan yang sedap dipandang mata. Beberapa mahasiswa ada yang merespon musik dari kaset yang dibawanya dari rumah dengan kelenturan tubuhnya; ada pula yang menyajikan pertunjukan lenturan tubuhnya sambil mengumandangkan sebuah puisi; yang lainnya mencoba mengikuti lekuk-lekuk sebuah kursi dengan tubuhnya; yang lain lagi berlaku seolah-olah menjadi binatang seperti kera, harimau, dan burung; dan sebagainya. Tak jarang para mahasiswa tersebut melakukan itu semua dengan terlebih dulu menggunakan rias dan kostum yang imajinatif, seronok, dan tampaknya hanya ada dalam fantasinya (tidak mimetik). Melihat kreativitas para mahasiswa yang demikian menggelegak, Deddy S. Adimihardja, seorang mahasiswa angkatan tahun 1981 (yang kemudian pada tahun 1983 menjadi ketua senat) mengajukan inisiatif untuk melaksanakan suatu acara yang menampung gejolak kreativitas para mahasiswa kepada ketua senat mahasiswa pada waktu itu, Rachman Sabur. Ketua Senat menyutujui usulan itu. Maka pada akhir tahun 1981 diselenggarakanlah acara yang diberi nama Panggung Kreativitas. Selain itu, acara ini pun memiliki tujuan sebagai ajang latihan para mahasiswa yang memiliki ideide kreativitas sebelum hal itu disajikan pada masyarakat umum. Meskipun Panggung Kreativitas merupakan salah satu agenda senat mahasiswa yang diselenggarakan satu kali dalam sebulan serta diperuntukkan bagi seluruh jurusan yang ada di perguruan tinggi tersebut, pengisi acaranya didominasi oleh para mahasiswa jurusan teater. Acara ini diselenggarakan di panggung proskenium Gedung Sunan Ambu, sebuah gedung yang dimiliki STSI yang berfungsi rangkap: siang atau pagi hari dipergunakan untuk kuliah

umum dan latihan-latihan praktek, tapi bila malam hari sering dipergunakan untuk pentas-pentas seni baik bagi mahasiswa maupun umum (publik). Dengan adanya program senat seperti itu, para mahasiswa (teater) seolah-olah diberi wadah untuk melakukan apa saja sekehendak hatinya dengan tanpa perduli pada tuntutan-tuntutan formal yang sesuai dengan konvensi atau batasan-batasan kurikulum. Maka, pada setiap acara itu dilaksanakan banyak muncul karya-karya yang nampak aneh, sensasional, dan spontan. Ada yang membacakan puisi dengan hanya melontarkan kata dor dan selesai; yang lainnya melakukan semacam tarian yang majumundur dengan diringi hanya bunyi bedug secara berulang-ulang; ada pula yang hanya melontarkan kata-kata tak jelas dengan hampir menelan mikrofon sehingga menimbulkan efek bunyi yang terdengar asing; yang lainnya lagi membacakan puisi dengan memakai kostum seperti seorang narapidana dan topeng dengan membalikkan bagian belakang menjadi bagian depan dan bagian depan menjadi bagian belakang, padahal yang keluar dari mulutnya hanya lolongan bunyi sambil kedua tangannya memukul-mukul bedug secara tidak beraturan; ada lagi yang membikin komposisi gerak dengan merespon beberapa es batu yang berdiri tegak yang sengaja ditampilkan di atas panggung; dan sebagainya. Para penampil pada umumnya para mahasiswa baru yang tampaknya haus untuk tampil di depan orang banyak. Karena banyaknya peserta yang ingin tampil pada cara itu, setiap penampil dibatasi durasi waktunya, hanya sekitar seperempat jam. Sekali waktu ada seorang mahasiswa yang membacakan sebuah cerpen yang hampir memakan waktu hampir satu jam. Meskipun oleh panitia diberi isyarat untuk berhenti, tapi mahasiswa tersebut pura-pura tidak tahu. Kemudian panitia melakukan semacam sabotase dengan memutuskan hubungan listrik ke seluruh gedung. Barulah mahasiswa tersebut mau menghentikan pembacaan cerpennya. Tampaknya persiapan waktu yang hanya sebulan, tidaklah cukup untuk menyajikan karya seni yang serius, padahal orang-orang yang tampil dalam acara Panggung Kreativitas tersebut boleh kitakan hampir orang-orang itu juga (para mahasiswa jurusan teater). Memang ada pula para mahasiswa dari jurusan tari atau karawitan, tapi hanya satu dua orang saja, dan pada umumnya mereka menyajikan karya-karya yang sudah jadi, seperti hasil dari karya-karya ujian. Sempitnya waktu tampaknya berpengaruh terhadap karya yang ditampilkan. Pada saat itu ada semacam kesepakatan yang muncul di

lingkungan para mahasiswa (baru) bahwa melepaskan kesempatan untuk tampil setiap bulan, berarti melepaskan kesempatan untuk menjadi pusat perhatian orang lain. Jika terlebih dulu melakukan latihan-latihan yang serius selama berbulan-bulan, tampaknya itupun dianggap sebagai suatu pekerjaan yang terlampau serius dan berlebihan untuk sebuah acara yang hanya jadi ajang latihan dan ditonton oleh kawan-kawan mahasiswa satu kampus. Akhirnya, karya-karya yang tampil umumnya adalah karya-karya spontan, lebih mengarah pada unsur-unsur yang bisa membikin kejutan, sensasional serta improvisatoris, dengan tanpa memperdulikan makna yang ada di balik karya-karya tersebut. Karena hal itu acara tersebut pun sering disebut oleh para mahasiswa lama (senior) dengan nada ejekan sebagai Panggung Spontanitas, perengkel jahe, atau ajang kompensasi. Tapi meskipun ejekan-ejekan itu sering muncul jadi bahan candaan dalam percakapan sehari-hari, para mahasiswa yang ingin tampil dalam acara tersebut tidak pernah surut. Mereka senantiasa tampil dengan cirinya yang paling utama: pembuatan sensasi. Hingga acara ini dihentikan, entah disebabkan apa, pada sekitar tahun 1983-an. Ajang latihan para mahasiswa jurusan teater STSI Bandung itu kiranya bukan hanya pada panggung kreativitas saja. Banyak dari mereka mencari ruang-ruang alternatif untuk melatih dirinya sebagai aktor. Yang dijadikan sebagai tempat latihan mereka biasanya ruang-ruang publik yang banyak dikunjungi orang, seperti pasar, alun-alun atau restoran. Ketika penulis masih menjadi mahasiswa baru (tahun 1981), berjalan-jalan di sebuah pasar dengan seorang mahasiswa senior yang dikenal pada saat itu sebagai seorang (calon) aktor yang berbakat besar. Di tengah keramaian orang-orang yang sedang sibuk bertransaksi, tiba-tiba ia berteriak: Ada ular! Ada ular di sebelah sana! Orangorang yang ada di situ, termasuk penulis, kaget dan mengarahkan pandangan ke arah telunjuk mahasiswa itu menunjuk. Tapi ular itu tidak ada. Sebelum orang-orang bertanya sempat, ia lalu berkata: Tadi ke sebelah sana. Agak besar ularnya, setengah dari ini, katanya sambil memperlihatkan sebelah lengan kirinya. Kemudian ia bercerita pada orang-orang yang mengelilinginya tentang ciri-ciri ular tersebut. Wah, ular berbisa itu. Komentar salah seorang yang hadir. Awas hati-hati saja kalau lewat sana. Mungkin ular itu masih di situ. Yang lain-lainnya mengiyakan. Kemudian bubar, kembali lagi pada kesibukannya yang telah terinterupsi. Setelah agak jauh berjalan, dan lepas dari perhatian

orang-orang, kemudian ia berkata pada penulis: Sebetulnya saya tadi improp2. Tidak ada ular itu. Ya, latihan meyakinkan orang di mana saja bisa. Penulis kaget. Sebab penulis pun pada saat itu begitu yakin bahwa dia tidak sedang melakukan latihan atau improp. Latihan-latihan yang dinamakan improp itu begitu kerap terjadi, dilakukan terutama oleh para mahasiswa senior kepada para mahasiswa baru. Misalnya seorang mahasiswa baru yang berasal dari suatu daerah kost satu kamar dengan seorang mahasiswa senior di dekat kampus. Pada suatu hari seorang mahasiswa senior yang lain mengatakan pada mahasiswa baru itu bahwa teman kostnya tersebut adalah seorang gay. Coba kamu perhatikan gaya bicara dan berjalannya, kata mahasiswa senior itu meyakinkan. Ia tampak kewanita-wanitaan. Atau kalau ia sedang bercanda, ia selalu noel (menyentuh) anu orang yang dicandainya. Karena omongan tersebut cukup meyakinkan, mahasiswa baru itu menjadi cemas dan gelisah, sampai akhirnya ia memutuskan untuk pindah kost. Tapi sebelum ia meninggalkan tempat kostnya, kebohongan kata-kata dari mahasiswa senior itu terbongkar. Ucapan kakak angkatannya itu ternyata hanya improp. Saat pertama kali terbongkar pada waktu sedang mengobrol di warung tempat makan bersama mahasiswa-mahasiswa lainnya, tidak ada yang marah atau tersinggung, baik mahasiswa senior yang digosipkan maupun mahasiswa baru yang kena improp, mereka hanya tertawa-tawa menanggapi peristiwa tersebut. Bila tiba malam Minggu, jika tidak ada kegiatan berpentas atau menonton pertunjukan orang lain, beberapa mahasiswa secara berkelompok sering melakukan semacam pertunjukan di alun-alun atau restoran di jalan Braga. Pertunjukan yang disajikan bukan sebuah pertunjukan yang biasa dilakukan dengan terlebih dulu menghapalkan naskah atau melalui serangkaan latihan, tapi seperti yang disajikan dalam acara Panggung Kreativitas, lebih bersifat spontan dan improvisatoris. Biasanya dibawa juga beberapa alat musik karawitan seperti gong kecil, beri, atau bedug, yang mudah dipinjam dari kampus. Kadang-kadang pula ada mahasiswa-mahasiswa dari jurusan karawitan atau tari yang turut serta. Ada juga satu-dua mahasiswa, dengan kemauan sendiri, mempergunakan kostum ala kadarnya seperti balutan kain hitam atau putih di
2

Pada saat itu istilah improp dipakai untuk menyebut perilaku membohongi orang. Tapi membohongi orang dalam rangka melakukan latihan dalam meyakinkan orang lain terhadap sesuatu yang sebetulnya tidak terjadi. Istilah itu mungkin kependekan dari istilah improvisasi. Dalam teater, improvisasi berarti bermain teater dengan tanpa menggunakan teks yang tertulis.

sekujur tubuh. Yang paling dominan dalam sajian itu adalah pembacaan puisi dan cerita pendek baik karya sendiri maupun karya orang lain. Sementara satu atau beberapa orang membacakannya yang diiringi oleh bunyi-bunyian dari peralatan yang dibawa, mahasiswa-mahasiswa yang lainnya merespon dengan gerakan-gerakan tubuh yang tampak tidak berbentuk. Artinya, gerakan-gerakan tubuh yang disajikan tersebut tidak berusaha untuk mengimitasi bentuk apapun, tapi tak lebih hanya dorongan-dorongan naluri yang spontan yang muncul pada saat itu. Karena unsur gerak yang terlihat aneh dan tidak beraturan itu begitu dominan dan menjadi semacam fokus pertunjukan, rekanrekan lainnya yang turut menyaksikan pertunjukan tersebut lebih suka menyebutnya sebagai perengkel jahe3. Meskipun pertunjukan tersebut disajikan pada masyarakat umum di ruang yang dihuni oleh orang-orang yang memiliki latar yang plural, para mahasiswa yang tampil di sana, biasanya tidak menganggap bahwa apa-apa yang disajikannya sebagai pertunjukan yang sesungguhnya, tapi hanya dianggap sebagai ajang untuk menguji mental dan latihan imajinasi serta pelenturan tubuh. Anggapan umum yang muncul pada saat itu adalah bahwa pertunjukan teater yang sesungguhnya adalah bila yang disajikannya itu telah melalui serangkaian latihan, membawakan naskah karya sendiri atau orang lain, dipandu oleh seorang sutradara, dan yang dominan di atas pentas adalah kata-kata yang dilontarkan oleh para aktor. Momen yang juga signifikan yang turut meletakkan dasar bagi terbentuknya seni pertunjukan jeprut adalah dibukanya kembali Acting Course III (kursus akting) oleh STB pada sekitar bulan Pebruari hingga April 19834 yang dilaksanakan di Gedung Kesenian Rumentang Siang, sebuah tempat yang kerap dijadikan sebagai tempat pertunjukan teater di Bandung pada saat itu. Kegiatan itu diikuti oleh sekitar 25 orang siswa dengan latar belakang pendidikan yang beragam, seperti hukum, politik, sastra,
3

Kata perengkel dan jahe (bahasa Sunda) masing-masing berarti mengkerut dan jahe. Jika kata-kata itu diterapkan pada pertunjukan artinya kurang lebih tubuhnya mengkerut seperti jahe. Istilah itu mungkin awalnya merupakan ejekan bagi para mahasiswa yang menggunakan tubuh sebagai medium dalam pertunjukan yang terlihat spontan, tidak jelas, dan tanpa melalui serangkaian latihan. Dalam bahasa Sunda umumnya bila seseorang disebut merengkel (mengkerut) seperti jahe, berarti orang tersebut pelit, tidak pernah mau menyumbangkan uang atau hartanya untuk orang yang membutuhkan. Dalam suatu kelakar orang-orang semacam itu dikatakan sebagaii cap jahe. 4 Acting Course yang telah tiga kali diselenggarakan STB, yakni tahun 1973, 1977, dan 1983, dimaksudkan sebagai upaya kaderisasi anggota melalui pembinaan khusus. Bila pada kursus-kursus akting sebelumnya bersifat diskusi dan tukar pengalaman, ditambah sedikit latihan bersama, maka pada tahun 1983 kursus akting dilaksanakan secara lebih runtut dengan kurikulum yang cukup sistematis untuk menggiring para siswa menjadi tenaga siap pakai dalam pemeranan. Selanjutnya lihat Memoir II Catatan Perjalanan STB . (Sugiyati, Editor). Manuskrip. Bandung: 1994. Hal. 97-99.

teater dan seni rupa. Dari para peserta itu terdapat beberapa orang yang kini dikenal sebagai penggerak maraknya jeprut di Bandung. Rata-rata para peserta masih berstatus mahasiswa yang kuliah di perguruan-perguruan tinggi yang ada di Bandung. Meskipun dalam kursus itu diberikan juga pelajaran-pelajaran teori, namun yang nampak menonjol dan hampir sekitar 80 persen menggunakan waktu kursus adalah pelajaran-pelajaran praktek latihan fisik dasar bagi seorang pemeran, yaitu: Olah Tubuh, Olah Vokal, Olah Sukma dan Gerak Kreatif. Pelajaran-pelajaran tersebut kiranya memiliki kemiripan dalam waktu yang relatif singkat. Bila dalam seperti mata-mata kuliah di STSI Bandung, perbedaannya dalam kursus akting dilaksanakan dengan lebih intensif perkuliahan di STSI Bandung pelajaran-pelajaran tersebut selama empat semester dibagi dalam beberapa tahap, maka dalam kursus akting di STB dipadatkan selama tiga bulan. Tentu saja, seperti yang dikatakan Yatna, waktu yang relatif singkat itu tidak cukup untuk membuat calon aktor memiliki tubuh yang sedap dipandang mata, tapi meskipun begitu sebagai tahap awal ia dapat memberikan bekal dasar yang lumayan untuk pengembangan lebih lanjut sebelum para peserta kursus tersebut tampil di atas pentas sebagai aktor yang membawakan tokoh-tokoh imajinatif. Untuk menguji keberhasilan proses belajar mengajar dari kursus akting itu, pada akhir pelajaran diadakan evaluasi baik secara perorangan maupun kelompok. Sesuai dengan pelajaran yang diberikan, ada dua jenis evaluasi: praktek dan teori. Yang tampaknya menjadi surprise dari ujian tersebut adalah ujian praktek yang dilakukan secara kelompok. Pada umumnya para penguji begitu tercengang dengan kreativitas para peserta ujian yang tampil dengan karya-karya kelompoknya yang kaya dengan imajinasi dan daya saran. Bila dalam ujian praktek perorangan peserta ujian telah disediakan bahan berupa penggalan dari suatu naskah drama yang harus dihapalkan, maka dalam ujian praktek yang dilakukan secara kelompok, para peserta dibebaskan untuk membuat karya yang tidak mesti bertitik-tolak dari naskah drama yang sudah jadi. Kebebasan itu kiranya dimanfaatkan oleh para peserta ujian untuk menampilkan karya-karya yang tidak verbal, artinya tidak tergantung pada kata-kata, tapi lebih mengandalkan bahasa tubuh dan komposisi dalam mengolah ruang. Karena karya-karya kelompok itu dianggap cukup bermutu dan bagus, maka pada saat STB dipercaya untuk menjadi penangungjawab Gelanggang Film Anak Muda (GFAM) dalam acara Festival Film Indonesia (FFI) di

Yogyakarta pada tanggal 4 8 Agustus 1984 ditampilkan lagi dengan kemasan yang lebih rapi dari sebelumnya. Tentu saja, karya-karya hasil ujian itu tidak dihasilkan secara spontan atau berdasarkan suatu naluri yang mengalir pada saat itu, tapi merupakan hasil dari proses suatu latihan, meskipun pada waktu Yogyakarta ditampilkan di Panggung Kreatif dan Spontan. Seorang sutradara terkenal, Teguh Karya, menyebutnya sebagai paket gedongan. Mengapa momen kursus akting itu begitu penting bagi lahirnya jeprut di Bandung? Dalam suatu diskusi jeprut di Gelangang Generasi Anak Muda yang diselenggarakan Teater Bel, Yatna berkomentar bahwa jeprut tidak bisa dikatakan sebagai teater (seni), tapi ia hanya merupakan salah satu tahap proses dalam melahirkan karya teater yang sesungguhnya. Bila demikian, lalu timbul pertanyaan: Apakah mungkin dalam suatu pendidikan teater seperti yang diselenggarakan STB yang dimotori Yatna itu bisa timbul suatu gerakan yang tampak membelakangi asumsi-asumsi dasar yang dipegangnya secara kokoh? Betul, bahwa bagi Yatna teater itu adalah sebuah karya seni yang memanusaikan ide-ide di atas pentas. Oleh sebab itu, teater harus selalu menampilkan aktor sebagai medium utamanya yang bernafas dan memiliki keunikan-unikan. Teater adalah penampilan watak-watak atau karakter-karakter. Tapi untuk mencapai hal itu seorang calon aktor sebelum tampil di atas pentas harus mengalami dulu proses-proses latihan yang mampu menempa tubuh, sukma, vokal dan imajinasinya. Dan dalam proses latihan tersebut Yatna senantiasa memberi kebebasan kepada para muridnya untuk menampilkan hal-hal yang mampu merangsang kreativitas meskipun ia terlihat aneh dan tampak tak beraturan. Bagi sebagian muridnya hal itu ditangkapnya sebagai peluang untuk melahirkan suatu karya yang bisa berbeda dan sama bagusnya dengan karya-karya yang konvensional. Sebab ternyata, karya yang hanya dianggap sebagai salah satu tahap dari proses berteater itu ternyata mampu ditonton dan diapresiasi oleh khalayak umum. Selain itu, bagi orang-orang yang bukan berlatarbelakang teater tersebut, seperti para peserta kursus dari seni rupa, tampaknya perkenalannya dengan teater memberikan perspektif yang lebih kaya dan luas dalam memandang sebuah karya rupa. Begitulah, beberapa orang yang pernah mengikuti kursus akting dari Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB seperti Tisna Sanjaya, Arahmaiani dan Marintan Sirait, yang kini dikenal sebagai para penggerak jeprut dan atau performance art, meskipun mereka masih melahirkan karya-

karya rupa yang konvensional, tapi pada saat-saat tertentu kerap mereka melahirkan karya-karya seni pertunjukan. Bagi mereka karya rupa tidak hanya sekedar coretan warna di atas kanvas atau sepenggal kayu atau batu yang diukir dengan tangan, tapi ruang riel yang bergerak dan berubah pun merupakan kanvas yang bisa dilukis oleh seluruh tubuh yang bernyawa dan berdaging. II. Menuju Jeprut Seperti sudah disebutkan bahwa jeprut mulai populer saat terjadi perebutan kembali gedung YPK oleh para seniman Bandung dari PEMDA kota Bandung. Artinya populer secara istilah pada suatu fenomena yang sebetulnya telah ada. "Jeprut" (Bahasa Sunda) berarti putus secara tiba-tiba. Jika seseorang memasang bor listrik yang berkekuatan 850 watt padahal listrik di rumahnya hanya memiliki daya 450 watt, lalu aliran listrik mati secara tiba-tiba, maka listrik itu disebut ngajeprut (kata kerja) atau mati secara tiba-tiba. Atau jika ada orang yang sedang main layang-layang, ketika layang-layang telah berada di angkasa, tiba-tiba saja benang atau nilon putus di tangan, berarti benang atau nilon itu ngajeprut, putus secara tiba-tiba. Selain itu, ungkapan jeprut pun sering diterapkan pada orang yang hilang ingatan (gila). Bila ada orang yang terlihat aneh, menyanyi sendiri, tiba-tiba tertawa dengan tidak jelas penyebabnya, atau berkelakuan tidak seperti biasanya, maka orang bersangkutan disebut jeprut atau sedang ngajeprut. Lalu, mengapa ungkapan itu menjadi label sebuah fenomena kesenian di Bandung? Awalnya mungkin labelisasi tersebut dimaksudkan untuk mengejek perilaku seniman yang nampak aneh, tak lazim dan cenderung gila. Kemudian karena hal itu dianggap tepat untuk menyebut suatu kecenderungan penciptaan suatu karya seni pertunjukan yang relatif baru dan keluar dari jalur utama yang biasa dilakukan, maka ungkapan itu diterima sebagai istilah yang paling mewakili dari hasil kreativitas seniman tersebut. Yang jelas istilah jeprut untuk menyebut fenomena seni pertunjukan itu tidak diciptakan atau dipopulerkan oleh seeorang atau kelompok tertentu seperti halnya istilah dada bagi suatu gerakan kesenian di Eropa misalnya5. Ia menggelinding ibarat bola salju yang semakin

Sebelum gerakan dada muncul di Eropa sebagai perlawanan terhadap kesenian yang mapan, terlebih dulu istilah itu dirundingkan oleh para seniman yang menjadi pelopornya. Selanjutnya Lihat: Concepts Modern of Art . Stagon (Ed).

lama semakin membesar dan tampak menjadi hal yang menggelisahkan bagi sebagian orang. Pada umumnya para pendukung jeprut adalah anak-anak muda yang masih berstatus mahasiswa. Hal itu terlihat pada setiap acara jeprut yang diselenggarakan, para penonton yang hadir jarang atau nyaris tak pernah dihadiri oleh orang-orang yang berusia lebih dari lima puluh tahunan. Begitu pula dengan para senimannya, berusia sekitar 30 tahunan. Memang ada seorang seniman jeprut yang berusia sekitar 50 tahunan, beberapa telah menginjak usia 40 tahunan, tapi yang terbanyak di bawah angka itu semua. Mengapa hal itu bisa demikian? Tampaknya ini berhubungan dengan semangat yang terdapat di dalam jeprut itu sendiri, yakni semangat untuk melawan dan memberontak dari kekangan norma atau konvensi, yang kiranya memiliki kesejajaran dengan gejolak jiwa muda yang senantiasa ingin menjelajah pengalaman-pengalaman yang relatif baru. Selain itu, karena sifatnya yang cenderung konfrotatif dengan mainstream, melakukan jeprut harus memiliki keberanian untuk menghadapi cemoohan dari berbagai kalangan, dan keberanian semacam itu rupanya jarang dimiliki orang yang telah beranjak tua, mereka lebih cenderung untuk berkompromi dengan hal-hal yang telah mapan. Hal lain yang perlu diungkapkan, para pendukung jeprut memiliki latar belakang pendidikan (dan kesenimanan) yang beragam. Namun ada tiga yang paling dominan, yaitu sastra, teater dan seni rupa. Jeprut sebagai fenomena yang relatif baru diusung oleh orang-orang yang sebelumnya telah berkecimpung dalam dunia kesenian. Sampai saat ini tidak ada seorang seniman yang langsung dikenal sebagai jepruter6 (penjeprut) dengan tak memiliki latar belakang berkesenian tertentu. Yang menarik, meskipun mereka dikenal sebagai salah satu seniman jeprut, tapi tidak pernah melepaskan dunia kesenimanan yang sebelumnya. Artinya, sambil melakukan aktivitas jeprut, dia tetap berkarya seni sesuai dengan latar belakangnya: bila ia berasal dari teater, ia tetap aktif melakukan serangkaian pertunjukan, begitu pula dengan orang-orang yang berlatar belakang sastra dan seni rupa. Bila ditanyakan: kapan atau dalam kesempatan seperti apa saja jeprut ditampilkan?, maka jawabannya adalah: kapan saja. Artinya tidak ada waktu-waktu khusus untuk
6

Istilah jepruter biasa digunakan oleh kalangan seniman jeprut untuk menyebut sesama rekannya. Ada juga yang menggunakan kata jeprutis, tapi tampaknya kata yang pertama itulah yang lebih sering digunakan.

menampilkan jeprut. Seorang jepruter bisa tampil kapan saja sesuai dengan mood yang sedang melingkupinya. Bila ia sedang berbincang-bincang dengan teman-temannya di suatu tempat, misalnya, tiba-tiba ada dorongan dalam dirinya untuk ngajeprut, maka pada saat itu juga ia melakukannya. Tapi meskipun begitu, ada dua dasar yang sering dimanfaatkan oleh seniman jeprut untuk tampil:
(1)

Pada saat-saat tertentu yang didasarkan atas undangan dari penanggap baik berupa individu atau kelompok. Pertunjukan berdasarkan undangan pun memiliki variasinya: untuk pembukaan sebuah event, biasanya peristiwa budaya, seperti pasar seni, bazaar seni, festival teater, pembukaan atau penutupan pameran seni rupa, dan sebagainya; penampilan yang sengaja menyuguhkan jeprut secara khusus sebagai awal pijakan untuk didiskusikan lebih lanjut dalam rangka memperluas wacana; dan sebuah kasus khusus, pembukaan pesta perkawinan seorang sahabat, sebelum ijab kabul dilaksanakan.

(2) Pertunjukan yang digagas oleh keinginan sendiri. Tak ada waktu khusus untuk melakukannya, ia bisa kapan dan di mana saja: jeprut bisa hadir sebagai tamu yang tak diundang yang sedang mencuri adegan dalam sebuah peristiwa budaya; ia pun bisa tiba-tiba hadir di tengah-tengah kerumunan orang, kemacetan lalu lintas, atau kegiatan rutin tertentu; dan akhirnya, meskipun hanya baru seorang seniman yang melakukannya, ia bisa pula sebagai sebuah pertunjukan khusus yang sengaja dilakukan oleh senimannya di sebuah gedung atau tempat tertentu dengan mengundang penonton untuk menyaksikannya, baik melalui undangan yang dibagikan pada orang-orang tertentu. Sedangkan pakaian atau kostum yang sering digunakan oleh para jepruter pun banyak ragamnya. Hanya dalam penggunaan warna, banyak didominasi oleh warna hitam dan putih. Dalam beberapa kasus pakaian atau kostum yang digunakan saat pertunjukan sering dilepaskan semuanya, sehingga seniman yang melakukannya telanjang bulat. Penggolongan secara umum dalam penggunaan kostum ini kurang lebih seperti berikut: (1) Bila bertelanjang dada kadang-kadang hanya menggunakan celana dalam, pangsi (celana longgar yang panjangnya hanya sampai betis), melilitan kain dari bagian pinggang hingga paha atau sampai kaki bawah, atau hanya melepaskan baju seharihari yang dikenakannya, dan sebagainya. poster maupun

(2)

Ada juga yang berkostum penuh, artinya menggunakan kostum

lengkap yang

menutupi bagian atas dan bawah tubuhnya, tapi umumnya kostum itu dibuat aneh, lucu, dan tak lazim, sehingga, jika ia disajikan di ruang publik, ia menjadi titik berat (emphasis) perhatian. Misalnya seseorang menyusuri pinggiran jalan raya dengan menggunakan jas, dasi dan celana panjang, tapi ditutupi topi rombeng dari anyaman pandan; atau jika tidak melakukan peniruan terhadap pakaian keseharian, kostum yang digunakan terlihat asing, seolah-olah menjadi makhluk yang datang dari luar planet bumi. Misalnya, seorang wanita yang menggunakan pakaian dari plastik transparan dengan membiarkan pakaian dalamnya terlihat secara jelas, tergeletak di sebuah meja mirip pasien yang sedang berada di ruang gawat-darurat. (3) Menggunakan kostum dengan pakaian keseharian yang sedang digunakan pada saat itu. Mungkin penggunaan pakaian keseharian ini lebih sering ditampilkan, terutama bila pertunjukan diselenggarakan di dalam ruangan, atau dilakukan secara spontan di ruang-ruang publik. Untuk mencirikan bahwa dia sedang melakukan pertunjukan, biasanya disertakan pula beberapa properti seperti kopiah, lilitan kawat di sekitar kepalanya, ikatan kepala, atau melilitkan seutas tambang di sekujur tubuhnya. Begitu pula dengan ruang atau tempat yang dipergunakan untuk pertunjukan, tidak ada ruang khusus untuk menampilkannya. Jeprut bisa tampil di mana saja. Namun jeprut sangat jarang ditampilkan di panggung-panggung proskenium yang begitu tegas memisahkan antara penonton dengan yang ditonton. Jeprut malah sering menyamar hadir di ruang publik, seperti pasar, jalan raya atau alun-alun sebagai bukan sesuatu yang sengaja sedang dipertunjukan, tapi tak lebih sebagai keanehan (jika hal itu dianggap aneh) yang sedang melewat di tengah-tengah kegiatan rutin yang sedang dilakukan oleh orang-orang yang ada di sekitarnya. permintaan atau undangan, Jeprut semacam ini biasanya ditampilkan berdasarkan keinginan senimannya sendiri. Tapi bila jeprut itu ditampilkan berdasarkan biasanya pertunjukan dilaksanakan di ruang-ruang yang relatif kecil yang memuat sekitar 30-50 penonton. Di Bandung ada beberapa tempat yang dikelola sebagai studio atau galeri yang sering digunakan untuk menampilkan jeprut, yaitu: Galeri Barak di jalan Setiabudi, Gedung YPK di jalan Naripan, Rumah Nusantara di Jalan Gegerkalong Hilir, Galeri Seni Popo Iskandar di Jalan Setiabudi, Studio Sunaryo di Jalan Dago Atas, CCF (Pusat Kebudayaan Perancis), Black Box dan Studio Teater di

STSI Bandung. Kecuali yang terakhir, semua tempat-tempat itu terletak di Bandung Utara. Sesuai dengan letak tempat-tempat tersebut, kegiatan jeprut cenderung terkonsentrasi di utara kota Bandung. Ada beberapa sebab yang mengakibatkan hal itu demikian. Pertama, di bagian Bandung yang paling sejuk tersebut banyak tersebar perguruan-perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, seperti: ITB, UNPAD, UPI (dulu IKIP), UNISBA, UNPAS, STKS, dan sebagainya, sedangkan para pendukung jeprut, seperti sudah dikatakan, pada umumnya mahasiswa. Kemudian, domisili para seniman jeprut, sebagian besar juga terletak di sana. Ada beberapa seniman yang tinggal di Bandung selatan yang berkeinginan untuk mendirikan studio di daerah itu, agar kegiatan-kegiatan seni tidak terlalu terkonsentrasi di bagian utara. Tapi tampaknya keinginan tersebut belum terrealisir hingga saat kini (tahun 2001). Pertunjukan jeprut dilaksanakan bisa siang (sekitar pukul 16.00 WIB) dan bisa juga malam hari (sekitar pukul 20.00 WIB). Durasi pertunjukan biasanya tak lebih dari 20 menit (pertunjukan teater di Bandung umumnya berdurasi sekitar 2 jam)7. Ciri umum yang lain, dalam jeprut yang tampil untuk pertunjukan biasanya hanya seorang, yaitu senimannya sendiri. Tentu saja itu tidak mutlak. Beberapa pertunjukan ada juga yang tampil lebih dari seorang, namun meskipun begitu seniman yang merancang pertunjukan itu (dalam teater biasa disebut sutradara) senantiasa turut serta sebagai salah satu penampil. Jepruter yang memiliki latar belakang teater biasanya lebih suka tampil lebih dari seorang, sedangkan kecenderungan jepruter yang memiliki latar belakang seni rupa lebih suka sendirian. Tampaknya ini berhubungan dengan kebiasaan. Pertunjukan teater umumnya dilaksanakan secara kolektif (ensambel), sedangkan para senirupawan lebih mengarah pada kerja individual. Namun meskipun lebih umum untuk tampil sendiri, dalam pertunjukan jeprut para penonton sering diajak masuk ke dalam pertunjukan untuk tampil bersama-sama. Sedikitnya ada dua jenis dalam melibatkan satu atau beberapa penonton ke dalam pertunjukan:
7

Ada kasus khusus yang boleh dikatakan sangat ekstrem saat Tisna Sanjaya, salah seorang jepruter, menyajikan karyanya yang berjudul Instalasi Tumbuh. Ia bersama beberapa seniman pendukungnya menjajakan pepohonan masing-masing selama satu minggu dari pukul 8.00-18.00 di tiga kota, yakni Bandung, Solo dan Surabaya.

(1)

Pelibatan secara penuh. Dalam pelibatan jenis ini penonton menjadi bagian integral yang sangat sulit sekali bila ditiadakan di dalam pertunjukan. Misalnya Isa Perkasa, alumnus jurusan Seni Murni FRSD ITB, saat menampilkan karyanya yang diberi judul Pseudo-Demokrasi, setelah menyusun properti pertunjukan, seperti sepiring nasi, pete, ikan asin peda, kompor, katel dan sebagainya, kemudian dia meminta bantuan 3 orang penonton untuk ikut berpartisipasi. Setelah ada yang bersedia, mereka diberi masing-masing satu piring yang diisi satu biji pete, lalu matanya semua ditutup dengan kain hitam. Selanjutnya Isa menggoreng ikan asin peda, dan setelah matang, ia makan dengan lahap nasi, pete dan ikan peda yang baru selesai digorengnya itu8. Selesai makan, ia mendekati 3 orang penonton yang dikutsertakan salam pertunjukan itu, lalu menghembuskan nafas dari mulutnya ke arah hidung orang-orang tersebut. Setelah itu, ia keluar arena pertunjukan dan selesai. Dari gambaran di atas menjadi bahwa jika keterlibatan penonton dihilang dari pertunjukan, maka ia akan menjadi pertunjukan yang akan melenceng dari tujuan semula seperti yang disarankan oleh judul.

(2) Pelibatan yang tidak penuh. Pelibatan penonton jenis ini lebih longgar daripada jenis yang pertama, artinya meskipun penonton diikutsertakan dalam pertunjukan, tetapi ia tidak terlalu ketat terkait pada keseluruhan pertunjukan. Yoyo Yogasma, contoh yang lain, seorang jepruter yang sering melibatkan anaknya yang pada tahun 2001 baru berumur enam tahun, dengan berkostum kain di bagian pinggul hingga lutut serta lilitan tambang di tubuhnya yang bertelanjang dada, sebelum memulai pertunjukan (atau sudah justru dimulai?) ia meminta para penonton untuk menyelipkan kembangkembang yang dibawanya ke tubuh anaknya yang telah dililit oleh benang sutra. Setelah dianggap cukup, sementara anaknya berada di tengah-tengah sambil memegang seutas tambang yang terkait di tubuh, Yoyo berlari searah jam hingga anaknya pun terlilit tambang yang dibawanya. Kemudian ia jatuh, dan selesailah pertunjukan. Di sini terlihat bahwa penonton hanya dilibatkan pada awal pertunjukan saja. Sekiranya anaknya itu telah diberi kembang di sekujur tubuhnya semenjak awal,
8

Bagi orang Sunda makan dengan lauk-pauk serupa itu memiliki makna primordial yang begitu mendalam. Saat seseorang telah jenuh dan bosan dengan menu makan yang rutin, maka untuk membangkitkan kembali selera, biasanya beralih pada menu makanan yang tradisional, artinya salah satu menu makan yang telah lama mengakar dan jadi kebiasaan orang-orang dulu, sepertu lalap, sambel terasi, dan ikan asin.

tentu partisipasi penonton tidak diperlukan, dan tampaknya hal itu tidak akan mengubah maksud atau tema yang akan disampaikan.

Anda mungkin juga menyukai