Anda di halaman 1dari 17

Apr 20, '09 11:06 PM untuk semuanya Dalam bahsa Indonesia kita mengenal kata Wanita dan Perempuan

dalam pengertian yang sama. Namun kedua kata itu memiliki nilai yang berbeda. Wanita memiliki konotasi positif, merupakan bentuk ameliorasi, sedang perempuan berkonotasi negatif dan merupakan bentuk peyorasi yang bernilai lebih rendah dari wanita. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Wanita di definisikan sebagai perempuan dewasa. Namnama lembaga resmi negara juga menggunakan kata Wanita, bukan perempuan : Dharma Wanita , Menteri Peranan Wanita, Polisi Wanita,dll. Sampai saat ini saya lebih memilih kata perempuan dari pada wanita. Alasannya? karena saya melihat sejarahnya. Kata wanita saat ini telah mengalami peninggian nilai dari nilai asalnya. Kata wanita, menurut Zoetmulder, seorang ahli sastra Jawa Kuno, memiliki makna "yang diingini". di sini wanita memiliki posisi sebagai objek, mengandung kesan sebagai second sex, makhluk inferior.Makna hampir sama disampaikan Prof Slamet Muljana yg menyatakan bahwa wanita berasal dari kata vanita (yang diinginkan pria), dan kata ini dalam bahasa aslinya tidak digunakan sebagai penunjuk suatu jenis kelamin. Pendapat lain wanita berasal dari kata betina yang telah mengalami gejala bahasa: batina,banita,wanita Dalam bahasa jawa, ada yg disebut dengan Kreta basa,merupakan bentuk pemaknaan kata dengan mengotak-atik kata pembetuknya. kata Wanita sendiri menurut kreta basa berasal dari dua bentukan : wani ditata(berani ditata), wani ing Tapa (berani menderita) kedua bentuk kata tadi tidak bisa dilepaskan dari karakter budaya Jawa yang cenderung feodalistik, menempatkan wanita dalam posisi lebih rendah. maka dalam bahasa jawa ada ungkapan "pejah gesang kulo nderek, swarga nunut neraka katut". ungkapan ini menunjukkan betapa wanita sangat tergantung pada kaum pria. Sedang Perempuan berasal dari bahasa Melayu Empu, yang memiliki arti orang yang berkuasa (mahir), tuan, hulu, juga berhubungan dengan kata ampu (sokong) kata ini lebih memiliki makna kemandirian, sesuai dengan karakter budaya Melayu yang cenderung lebih egaliter dari pada budaya Jawa. that's why, saya lebih memilih kata perempuan dari pada wanita. Wanita atau Perempuan ? Kata kunci: perempuan Sebelumnya: Kata Wali Sanga tentang Akulturasi Islam-Hindu (Part-2) Selanjutnya : Perjalanan Senja

Hidup Ini Hanya Satu Kali. Bisakah Kita Hidup Berbuat Indah Untuk Semua ? 0inShare Share

Wanita Indonesia Antara Kegelapan Dan Masa Depannya

OPINI | 17 April 2011 | 02:53 aktual

Dibaca: 2174

Komentar: 8

2 dari 3 Kompasianer menilai

Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia pada masa era kolonial penjajahan bangsa asing, sejarah perjuangan kaum wanita Indonesia masih belum tercatat sepenuhnya didalam catatan sejarah bangsa ini. Banyak kaum wanita Indonesia di era kolonial penjajahan bangsa asing yang tidak sedikit pengorbanannya dalam perjuangan dimasa itu. Jiwa dan raga kaum wanita Indonesia dimasa perjuangan bangsa dengan rela dikorbankan demi sebuah tujuan murni, Indonesia terbebas dari cengkraman kekuasaan penjajahan Spanyol, Portugis, Belanda, Ingris dan juga Jepang. Dalam sejarah bangsa ini, Indonesia cukup lama mengalami penderitaan dari berbagai kekejaman, pemaksaan, perampasan, dan bahkan pemerkosaan yang dilakukan oleh penjajahan selama lebih dari 350 tahun. Selama masa lebih dari 350 tahun tersebut kaum wanita Indonesia juga banyak mengalamai berbagai tekanan dan pemaksaan yang begitu keras oleh penjajah. Mereka banyak mengorbakan jiwa dan raganya demi bangsa ini bisa bebas dari cengkraman kejam penjajahan. Kaum wanita Indonesia dimasa penjajahan sungguh tidak dihargai jati dirinya, mereka lebih dilecehkan begitu saja kehormatannya oleh penjajah. Kaum wanita Indonesia dalam sejarah bangsa Indonesia sungguh menyedihkan. Harga diri dan kehormatan baginya tidak ada nilai di mata para penjajah negeri ini dimasa itu. Dimasa terjadinya Perang Dunia ke Dua (PD.II), terjadi perubahan iklim penjajahan di negaranegara di dunia yang begitu mengerikan. Terutama bagi kaum wanita sungguh tidak ada nilainya. Kaum wanita di masa PD.II lebih berat tantangannya dan ujiannya saat itu. Pelecehan kaum wanita banyak dilakukan oleh penjajahan, terutama pada penjajahan kolonial Jepang. Jepang sendiri pada PD.II hampir mengusai seperempat dunia yang dijajahnya. Asia, Eropa dan bahkan Amerika. Didalam tulisan saya kali ini, saya akan mencoba kembali mengangkat tema tentang sejarah Wanita Indonesia yang mengalami berbagai penyiksaan dan pelecehan harga diri dimasa penjajahan kolonial Jepang. Walau sebelumnya banyak penulis sering mengangkat tema yang sama, akan tetapi saya akan mencoba kembali mengingatkan kita semua tentang arti pentingnya kaum wanita didalam kehidupan kita sehari-hari, bahwa kaum wanita adalah juga mahkluk Tuhan yang harus di hargai, di hormati dan juga di kagumi atas keistimewaannya yang sesungguhnya mulia di mata kita semua, khususnya di mata kaum pria yang mengaguminya. Walau sebenarnya kaum wanita itu bukanlah dewa melainkan Dewi pencerahan bagi kaum pria, dan mereka kaum wanita memiliki nilai tersendiri yang punya arti penting bagi kita semua maupun bangsa ini. Dimasa kolonial penjajahan Jepang kaum wanita Indonesia sungguh tersiksa jiwa dan raganya. Banyak sebagian kaum wanita Indonesia diberlakukan senonoh oleh para serdadu kekaisaran kerajaan Jepang pada masa penjajahannya di Indonesia yaitu di tahun 1942 hingga 1945. Pasukan kolonial Jepang di saat nelakukan invansi ke negara lain yang mengakibatkan peperangan sehingga membuat kelelahan mental serdadu Jepang. Kondisi ini mengakibatkan serdadu Jepang melakukan pelampiasan seksual secara brutal dengan cara melakukan perkosaan

masal yang mengakibatkan mewabahnya penyakit kelamin yang menjangkiti diantara serdadu Jepang itu sendiri. Hal ini tentunya melemahkan kekuatan angkatan perang kekaisaran Jepang. Situasi ini memunculkan gagasan untuk merekrut perempuan-perempuan lokal , menyeleksi kesehatan dan memasukan mereka ke dalam Ianjo-Ianjo sebagai rumah bordil militer Jepang. Mereka direkrut dengan cara halus seperti dijanjikan sekolah gratis, pekerjaan sebagai pemain sandiwara, pekerja rumah tangga, pelayan rumah makan dan juga dengan cara kasar dengan menteror disertai tindak kekerasan, menculik bahkan memperkosa di depan keluarga. Dan akhirnyapun perlakuan serdadu Jepang berlaku pula di tanah Indonesia pada masa penjajahannya. Di Indonesia sendiri kaum wanita tidak memiliki nilai harga diri yang berarti bagi penjajahan kolonial Jepang. Sebagian banyak kaum wanita Indonesia dibelakukan sama seperti wanita-wanita negara lainnya yang menjadi jajahan Jepang.

Jugun Ianfu, Berdasarkan sedikit catatan sejarah bangsa ini, di Indonesia tahun 1942 sampai dengan tahun 1945, sebagian besar kaum wanitanya yang berasal dari pulau Jawa yang dijadikan Jugun Ianfu seperti Mardiyem, Sumirah, Emah Kastimah, Sri Sukanti, hanyalah sebagian kecil Jugun Ianfu Indonesia yang bisa diidentifikasi. Masih banyak Jugun Ianfu Indonesia yang hidup maupun sudah meninggal dunia yang belum terlacak keberadaannya.

Mereka diperkosa dan disiksa secara kejam. Dipaksa melayani kebutuhan seksual tentara Jepang sebanyak 10 hingga 20 orang siang dan malam serta dibiarkan kelaparan. Kemudian di aborsi secara paksa apabila hamil. Banyak perempuan mati dalam Ianjo karena sakit, bunuh diri atau disiksa sampai mati. Sementara itu di Indonesia sendiri terdapat sekitar 1500 perempuan eks Jugun Ianfu yang sebagian besar dari mereka sudah berusia lanjut bahkan telah meninggal dunia. Perjuangan yang mereka lakukan untuk menuntut keadilan serta pengakuan tidak saja melelahkan dan lama, tapi mereka juga nyaris berjuang sendirian karena sampai saat ini tidak nampak adanya dukungan dari pemerintah terlebih pengakuan terhadap mereka. Mungkin hal ini disebabkan isu tersebut sangat politis karena berkaitan dengan pemerintah Jepang yang tidak dipungkiri lagi sering memberi bantuan dan hibah terbesar untuk Indonesia. Jadi dengan mungkin pemerintahan Indonesia merasa sungkan untuk menyikapi isu Jugun Ianfu, maka dikhawatirkan bisa berdampak pada sisi policy Jepang sebagai negara pendonor terbesar bagi Indonesia hingga saat ini. Kita semua semoga masih mengingat tentang perjuangan seorang wanita Indonesia yang salah satu korban dan sekaligus saksi sejarah Jugun Ianfu dimasa penjajahan kolonial Jepang di Indonesia. Dia adalah Ibu Mardiyem. Dirinya hingga sekarang masih terus berjuang untuk memperjuangkan nama baik kaum wanita Indonesia yang menjadi korban pelecehan seksual serdadu Jepang pada masa Jugun Ianfu diberlakukan. Namun hingga saat ini perjuangannya belum saja mendapatkan respon baik dari pemerintahan Jepang dan juga kurangnya mendapat dukungan dari pemerintahan Indonesia sendiri. Pemerintah Jepang tidak pernah mengakui keterlibatannya dalam praktek perbudakan seksual di masa perang Asia Pasifik yaitu di masa Perang Dunia ke Dua. Pemerintah Jepang berdalih Jugun Ianfu dikelola dan dioperasikan oleh pihak swasta. Pemerintah Jepang menolak meminta maaf secara resmi kepada para Jugun Ianfu. Kendatipun demikian pada bulan Juli 1995 pada masa Perdana Menteri Tomiichi Murayama pernah menyiratkan permintaan maaf secara pribadi, tetapi tidak mewakili negara Jepang. Kemudian di tahun 1993 Yohei Kono mewakili sekretaris kabinet Jepang memberikan pernyataan empatinya kepada korban Jugun Ianfu. Namun pada bulan Maret 2007 disaat kekuasaan Perdana Menteri Shinzo Abe mengeluarkan pernyataan yang kontroversial dengan menyanggah keterlibatan militer Jepang dalam praktek sistem perbudakan seksual. Pemerintah Indonesia menganggap masalah Jugun Ianfu sudah selesai, bahkan mempererat hubungan bilateral dan ekonomi dengan Jepang paska perang Asia Pasifik. Namun hingga kini banyak organisasi non pemerintah terus memperjuangkan nasib Jugun Ianfu dan terus melakukan melobi ke tingkat internasional untuk menekan pemerintah Jepang agar menyelesaikan kasus perbudakan seksual ini. Kemudian upaya penelitian masih terus dilakukan untuk memperjelas sejarah buram Jugun Ianfu di Indonesia, namun seiringnya waktu terus berjalan para korban banyak yang sudah lanjut usia. Kisah Momoye : Salah satu eks Jugun Ianfu di Indonesia yang masih gigih berjuang untuk mendapatkan pengakuan dan keadilan adalah Ibu Mardiyem. Tahun 1943, Mardiyem ketika itu

masih seorang remaja berusia 13 tahun. Ia telah yatim piatu pada waktu itu. Ibunya meninggal ketika ia masih bayi dan ayahnya menyusul sepuluh tahun kemudian. Mardiyem kecil yang hobi menyanyi ini menyangka akan diajak masuk dalam kelompok sandiwara ketika tentara Jepang melakukan pendaftaran untuk anak-anak perempuan. Mardiyem kecil tidak merasa curiga ketika ia harus menjalani pemeriksaan kesehatan. Mardiyem bersama 48 anak perempuan lainnya dibawa ke Kalimantan atau Borneo pada waktu itu. Seminggu sesampainya di Banjarmasin Mardiyem tidak dipekerjakan di kelompok sandiwara tapi dimasukkan ke hotel Tlawang yang sebenarnya adalah rumah bordil. Mardiyem ditempatkan di kamar nomor 11 dan iapun diberi nama baru, nama Jepang Momoye. Baru Mardiyem menyadari bahwa ia dan teman-temannya dijadikan apa yang disebutnya orang nakal. Oleh karena itu Mardiyem sangat marah apabila dikatakan bahwa dirinya adalah pelacur sebelum dijadikan Jugun Ianfu itu. Mardiyem selanjutnya bertutur bahwa teman-temannya yang dimasukkan di hotel tersebut semuanya menangis. Hati saya remuk. Saya ini dari keluarga baik-baik, lingkungan saya priyayi, kok bisa saya jadi orang nakal, begitu kata Mardiyem sambil menghela napas. Dari kamar nomor 11 itulah, penderitaan demi penderitaan dialami oleh Mardiyem. Tendangan dan pukulan seringkali diterima dari para tamunya apabila ia berani menolak permintaan tamu Jepangnya. Perlakuan seperti binatang, tapi kami tidak bisa berbuat apa-apa, demikian Mardiyem. Bahkan perlakuan seperti ini masih saja berlangsung ketika ia telah hamil lima bulan dan ia sendiri tidak mengetahuinya. Ia harus menggugurkan kandungannya itu. Perut saya ditekan, sakitnya bukan main dan ketika keluar ia masih menggeliat-geliat, demikian tutur Mardiyem sambil matanya menerawang ke langit-langit rumahnya di Yogyakarta. Akibatnya, kandungan Mardiyem rusak sehingga ia tidak bisa lagi menghasilkan keturunan. Video Dokumenter Sejarah Jugun Ianfu di Indonesia (Indonesia Raya) Catatan Media Terkait Kompas - MI : Ada puluhan, bahkan ratusan perempuan korban penjajahan Jepang yang disebut Jugun Ianfu di Indonesia yang sampai sekarang nasib mereka tidak jelas. Mereka tidak mendapatkan perhatian dari pemerintah. Padahal, mereka mendapatkan hak uang kesejahteraan dari Jepang. Uang kesejahateraan yang tadinya mau diberikan kepada Jugun Ianfu, diambil alih pemerintah melalui departeman sosial, dengan alasan untuk melakukan pengelolaan agar nantinya bisa untuk membela dan membantu korban Jugun Ianfu. Tapi, bantuan itu tidak pernah sampai ke tangan para korban Jugun Ianfu.

Setidaknya itulah hasil penelitian yang dilakukan Hilde Janssen, seorang warga Belanda. Sebenarnya Jepang sudah menawarkan bantuan dengan memberikan uang kesejahteraan bagi para perorangan korban Jugun Ianfu, tapi Indonesia tidak ingin itu kepada peroragan, dan di minta dikasihkan pemerintah, ujar Hilde yang juga menjadi Jurnalis sebuah surat kabar di belanda. Di lapangan, Hilda menemukan banyak korban Jugun Ianfu yang hidupnya merana dalam kebisuan. Mereka meolak untuk bicara kepada siapa saja, sehingga Hilde harus menyakinkan mereka bahwa dirinya serius memperjuangkan nasib Jugun Ianfu melalui medianya di Belanda. Mereka frustasi besar, disamping stigmatisasi yang diberikan masyarakat tidak pernah hilang. Mereka juga kehilangan uangnya yang diambil pemerintah Indonesia, ucap Hilde kepada mediaindonesia, seusai diskusi tentang Jugun Ianfu Selasa (29 Maret 2011) malam di Langgeng Art, Yogyakarta. Sedikitnya ada 50 orang yang diwawancarai Hilda, dan itu tersebar di Indonesia, seperti di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatra, NTT, Kalimantan, dan di Maluku. Untuk di Yogyakarta, saya menemukan sekitar 10 orang, katanya. Bagi Hilde, Jugun Ianfu adalah orang-orang yang tangguh dan kuat. Karena mereka dapat hidup di tengah siksasan batin yang masih terasa, seperti stigmatisasi masyarakat yagn mengatakan bahwa mereka adalah gundik Jepang. Saya mengagumi mereka, meskipun mengalami sesuatu yang luar baisa pahitnya, namun mereka tetap dapat survive dengan cara mereka sendiri, kata Hilde, yang menemukan sampai sekarang masih ada stigma negatif bagi mereka di tengah-tengah masyarakat. Tidak hanya itu, Hilde juga menganggap Jugun Ianfu adalah pejuang yang harus dihormati. Mereka menderita demi kemerdekaan Indonesia, dan tidak sedikit dari mereka yang benar-benar berjuang ikut bergabung dengan pejuang-pejuang gerilya waktu itu. Kisah-kisah Jugun Ianfu yang selama ini dianggap tabu dan dibungkam, telah menegaskan sebuah sejarah yang harusnya diketahui mayarakat Indonesia, sehingga dapat mengambil hikmah serta belajar dari masa lalu. Oleh karena itu, Hilde berharap, seluruh mayarakat Indonesia, harusnya melihat dan mendengar sejarah yang telah dibungkam tersebut. Untuk menghormati korban dan tidak ada lagi stigmatisasi sebagai bekas Jepang, karena itu akan menghina dan membuat mereka dan keluarga merasa malu. Bagi Hilde, sebutan yang tepat bagi mereka adalah korban yagn tidak bersalah, karena mereka tidak mempunyai pilihan. Mereka tidak bersalah, mereka hanya korban yang tidak bisa memilih, harusnya pemerintah Indonesia mengerti itu, kata Hilde.

*.* Setelah kita mengikuti sekilas sejarah yang terungkap diatas tentang kaum wanita Indonesia pada peristiwa Jugun Ianfu dimasa itu sungguh menyedihkan. Apa yang tersurat di atas benar menjadikan kita merasa miris dibenak hati dan perasaan kita atas pemberlakuan kaum wanita benar tidak dihormati dan tidak dihargai harkat dan martabatnya, kaum wanita Indonesia sungguh terinjak-injak harga dirinya saat itu. Nah kalau sudah demikian bagaimana keadaan sekarang tentang keberadaan kaum wanita Indonesia saat ini ?. Kita sudah banyak mengetahui bahwa kaum wanita Indonesia saat ini boleh dibilang sudah banyak kemajuan dalam berbagai hal. Tidak sedikit kaum wanita Indonesia saat ini banyak terlibat langsung pada pembangunan bangsa Indonesia dari berbagai bidang. Di dunia politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, hukum, militer dan lain sebagainya. Kemajuan pesat yang dialami kaum wanita Indonesia saat ini adalah bagian dari rintisan para pejuang sebelumnya dan juga sebagai anugerah Tuhan yang begitu besar nilainya. Maka diharapkan bagi kaum wanita Indonesia, janganlah melupakan sejarah bangsa ini yang telah banyak dibangun oleh kaumnya sendiri. Selainnya itu teruslah berjuang untuk bisa lebih baik lagi mengangkat harkat martabatnya, karena di eraglobalisasi saat ini masih banyak kaum wanita Indonesia yang tertinggal dan tertindas dengan keadaan bangsa Indonesia yang kian tak menentu pada sistem yang berjalan

*.* (*. tulisan disari dari berbagai sumber media yang mengungkapkan tentang sejarah perjuangan Kaum Wanita Indonisia, dan juga disari dari berbagai sumber - dilansir ulang oleh : Syaifud Adidharta )

Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia Sebelum Kemerdekaan


Posted on Desember 14, 2007 by acehmarxist

Politik etis adalah pedang bermata dua. Pada awalnya ia dimaksudkan untuk meninggikan daya beli rakyat Hindia Belanda, serta menghasilkan buruh-buruh murah dan birokrat rendahan yang cukup terdidik dari rakyat tanah jajahan. Biaya produksi kapitalisme tanah jajahan harus ditekan; terlalu mahal menggunakan tenaga impor dari Belanda. Ternyata, pembukaan sekolah-sekolah Belanda untuk elite pribumi dan para ningrat kelas dua seperti Sukarno, menghasilkan sekumpulan orang-orang muda berpendidikan Barat yang nantinya akan menjadi tulang punggung gerakan pembebasan nasional. Perkebunan dan sawah-sawah lalu disirami dengan air dari bendungan irigasi yang dibangun oleh penjajah Belanda. Para pemuda kita pun kemudian berbondong-bondong memasuki Sekolah Rakyat, HIS, MULO dan HBS, hingga sekolah dokter (STOVIA), dan sekolah guru (Kweekschool). Pencerahan datang. Buku-buku berbahasa Belanda dan Inggris membuka mata dan hati tentang perjuangan pembebasan nasional di seluruh negeri di bumi ini. Pencerahan menggugat orang-orang muda untuk berkumpul, bicara, berdiskusi dan menentukan. Lahirlah organisasi. Berdiri Budi Utomo, 1908. Namun, jauh sebelum sejumlah priyayi terdidik Jawa mengumumkan Budi Utomo, perjuangan melawan Belanda telah dimulai di mana-mana. Bukan untuk pembebasan Indonesia, karena ia belum lahir sebagai sebuah realitas, tetapi untuk membebaskan tanah leluhur, gunung-gunung, bukit, sungai, pulau dan rakyatnya. Di akhir abad ke-19, perempuan-perempuan muda terlibat dalam perjuangan bersenjata melawan penjajah. Sebatas membantu suami pada awalnya, tetapi kemudian sungguh-sungguh menjadi pemimpin pasukannya. Cut Nyak Dhien dan Cut Meutia, Christina Martha Tiahahu bersama Kapitan Pattimura, Emmy Saelan mendampingi Monginsidi, serta Roro Gusik bersama Surapati. Lalu ada Wolanda Maramis dan Nyi Ageng Serang. Gagasan kesetaraan gender belum ada, dan sama sekali belum menjadi kesadaran. Namun yang menarik adalah kebanyakan dari para perempuan ini adalah juga kaum bangsawan, para ningrat dengan status sosial lebih tinggi dibanding para kawula yang bertelanjang dada itu dan coklat hitam itu. Ini bisa dipahami, karena beberapa memilih angkat senjata sebab tanah-tanah keluarganya diserobot oleh Kumpeni. Terusik, karena pemilikan pibadinya terganggu. Tak perlu masuk sekolah Belanda untuk membangun gerakan nasional, para perempuan ini angkat senjata dengan gigih, dan membayar nyawanya di tiang gantungan seperti Tiahahu. Kartini Lalu, beberapa belas tahun sebelum Budi Utomo hadir, Kartini yang manis itu telah menulis surat-suratnya. Menyala-nyala dengan cita-cita dan keinginan untuk belajar dan bebas, Kartini harus menerima kenyataan hanya disekolahkan hingga usia 12 tahun. Bahasa Belanda telah dikuasai, maka energi, gairah, kekecewaan dan angan-angannya disalurkan lewat surat-

suratnyayang mengejutkan begitu indah dan puitis. Berbagai literatur yang memuat tulisan tentang Kartini menyatakan bahwa, gagasan-gagasan utama Kartini adalah meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik dari kalangan miskin maupun atas, serta reformasi sistem perkawinan, dalam hal ini menolak poligami yang ia anggap merendahkan perempuan. Namun dalam Panggil Aku Kartini Saja yang ditulis oleh Pramoedya tergambar bahwa gagasan dan cita-cita Kartini lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas daripada sekedar mencerdaskan kaum perempuan dan memperjuangkan monogami (meskipun hal ini menjadi sentral dari praktek perjuangannya). Kartini, bagi Pram adalah feminis yang anti kolonialisme dan anti feodalisme, hingga ke tulang sum-sumnya. Surat-suratnya kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis sosialis dari Belanda, banyak yang telah dihancurkan. Justru percakapan tertulis dengan Stella-lah yang banyak membuka mata dan hati Kartini terhadap masalah perempuan dan pembebasannya. Juga memahat secara perlahanlahan penolakannya akan dominasi golongan feodal terhadap rakyat kecil. Surat Kartini yang secara khusus membahas buku Auguste Bebel De Vrouw en Sosialisme dihapus oleh Abendanon karena kepentingan kolonialnya. Kartini banyak menerima buku-buku progresif semacam ini dari sahabatnya H.H van Kol, seorang sosialis demokrat anggota Tweede Kamer. Mungkin dari surat-surat itu, gambaran yang lebih utuh tentang pikiran-pikiran politik Putri Jepara yang tak ingin dipanggil dengan gelarnya itu, bisa lebih utuh. Pram mampu memberikan perimbangan kepada distorsi yang telah merajalela selama ini terhadap sosok Kartinimulai dari mitosisasi Kartini, hingga reduksi terhadap gagasan-gagasannya. Satu hal yang juga perlu dicatat adalah saat Kartini menulis suratnya, sentimen nasionalisme yang terorganisir belum muncul. Organisasi pertama kaum buruh SS Bond, baru hadir tahun 1905, setahun setelah kematian Kartini. Tradisi menggunakan media surat kabar dan terbitan untuk menyebarluaskan propaganda, belum timbul. Karya jurnalisme awal dari Sang Pemula (Tirto Adhi Suryo), Medan Prijaji, baru terbit tahun 1906. Referensi dari gagasan-gagasan orisinil Kartini berasal dari berbagai literatur berbahasa Belanda yang dibaca Kartini dalam masa pingitannya, serta korespondesinya dengan khususnya Stella.. Adalah satu hal luar biasa bahwa Kartini yang sendirian, terisolasi dan merasa sunyi itu mampu membangun satu gagasan politik yang progresif untuk zamannya, baik menyangkut kaum perempuan maupun para kawula miskin tanah jajahan. Gagasan-gagasan ini lalu diikuti oleh beberapa tokoh perempuan lainnya, seperti Dewi Sartika dan Rohina Kudus. Namun Kartini tetaplah Sang Pemula, yang mengawali seluruh tradisi intelektual gerakan perempuan Indonesia, berikut gagasan paling awal dalam melihat ketertindasan rakyat di bawah feodalisme dan kapitalisme. Nasib tragis Kartini menjadi salah satu petunjuk bahwa tak ada jalan baginya untuk membangun perjuangan dengan cara lain yang lebih kuat dan efektif. Zaman beorganisasi belum terbit. Pembebasan Nasional Alangkah besarnya sumbangan yang diberikan oleh Gerakan Pembebasan Nasional kepada perkembangan gerakan perempuan. Di satu sisi, berbagai oganisasi nasional ataupun partai politik saat itu berupaya membangun sayap perempuannya sendiri, ataupun mendukung dan didukung oleh perjuangan perempuan di satu sektor atau kelas tertentu. Di sisi lain, perkembangan gerakan berbasiskan agama seperti Muhammadiyah, turut pula membentuk polarisasi dalam gerakan perempuan. Berbagai karya jurnalismepun bertebaran, bukan hanya dalam Belanda, tetapi terutama dalam bahasa melayu. Gairah nasionalisme tengah mencari jalan memodernisasi dirinya. Saat Sarekat Dagang Islam mengubah namanya menjadi Sarekat Islam, bulan September 1912, maka watak organisasi pun berubah. Dari yang semula didominasi oleh kaum borjuis kecil

pedagang batik kelontong Solo dan sekitarnya yang mengorganisir diri untuk menghadapi pedagang Cina, kini keanggotaannya menjadi lebih massif, lebih terbuka, dan konsekuensinya, lebih politis. Alasan-alasan komersial yang melandasi pendiriannya dulu telah memudar, karena muncul kebutuhan rakyat jajahan, khususnya di pedesaan, akan wadah untuk melakukan perlawanan. Meski arus perlawanan ini coba terus ditahan-tahan oleh para pimpinan SI yang kebanyakan berhaluan Islam modernis, agak mistik meski berpaham liberal. Hingga Sneevliet mendarat tahun 1913, belum ada gerakan kiri di indonesia. Indonesia seperti sebuah titik di tengah jutaan mil samudera, di mana puluhan negeri-negeri lain pun tengah memperjuangkan harga diri dan kemerdekaan. Cikal bakal Partai Komunis Indonesia, ISDV (Perhimpunan Sosial Demokrat Hindia Belanda) didirikannya di tahun 1914. Semaoen yang masih sangat muda pada waktu itu, merupakan salah satu kadernya yang bersemangat dalam mengorganisir SI Semarang, meski tak cukup punya uang untuk masuk sekolah Belanda. Desakan-desakan dan pengaruh kelompok kiri di tubuh SI terus membesar, dan para pimpinan moderatnya mulai kehilangan kontrol atas SI. Tahun 1921, banyak cabang SI yang membelot ke SI Merah pimpinan Semaoen. SI Merah lalu menjadi SI Rakyat. Salah satu persoalan yang membuat pertikaian tajam dalam tubuh SI adalah desakan kelompok kiri untuk mengorganisir dan membela kaum buruh dan tani. Jajaran pimpinan SI menolak memberi dukungan bagi militansi perlawanan kaum buruh dan tani, yang sebagiannya adalah perempuan. Namun, aksi-aksi buruh, khususnya buruh transportasi dan perkebunan, serta aksi kaum tani terus bergolak. Sarekat Rakyat pun mengorganisir berbagai demonstrasi politik buruh perempuan menuntut kenaikan upah, penghapusan buruh anak, perpanjangan kontrak maksimum, uang pensiun dan perlindungan kerja. Salah satu aksi buruh perempuan pada tahun 1926 yang diorganisir SR di Semarang adalah aksi caping kropak, dimana para buruh perkebunan perempuan unjuk rasa menuntut kesejahteraan dengan menggunakan topi bambu. Gerakan perempuan kelas bawah yang diorganisir SI Merah (kemudian SR) berada dalam posisi yang bertentangan dengan Aisyah, sayap perempuan Muhammadiyah. Muhammdiyah dan Aisyah yang kebanyakan anggotanya adalah tani kaya, istri tuan tanah dan borjuis kecil Jogja dan Solo itu berada dalam kepentingan yang berseberangan dengan SR, yang kebanyakan anggotanya adalah buruh perempuan miskin dan tani papa. Ini merupakan awal dari pertentangan laten yang tak terdamaikan antara gerakan perempuan sayap kiri dengan kaum perempuan Islam di masa mendatang. Perbedaan tajamnya bukan hanya berdasarkan pada kepentingan kelas yang direpresentasikan oleh masing-masing kelompok, namun juga untuk isu-isu seperti poligami dan keterlibatan aktif perempuan sebagai pimpinan politik. Pemberontakan 1926 membawa banyak korban dari para aktivis perempuan. Kali ini bukan karena sekedar membantu suami, namun disebabkan kegiatan mereka sendiri. Sukaesih dan Munasiah dari Jawa Barat, bersama dengan kawan-kawan mereka yang lain, dikirim ke kamp konsentrasi Belanda di Digul Atas. Kebanyakan aktivis perempuan ini adalah anggota dari Sarekat Rakyat ataupun PKI yang berdiri tahun 1922. Penjajah Belanda yang sudah lama menanti-nanti saat yang tepat untuk menghancurkan kaum radikal, melakukan pembersihan terhadap tokoh SR dan PKI saat itu, termasuk para perempuannya. Tokoh-tokoh ini tidaklah populer seperti Kartini. Publikasi Kartini diperkenankan dan difasilitasi oleh pemerintah Belanda karena saat itu mereka membutuhkan bukti untuk menunjukkan sukses pelaksanaan politik etisnya di tanah jajahan, dengan mengusung pameran intelektualitas dan kehalusan tulisan si Putri Jepara. Meski demikian, perjuangan Sukaesih dkk., sangat konkrit dan revolusioner, karena bukan hanya berbicara tentang pembebasan kaum perempuan, tetapi juga perjuangan untuk sosialisme, dengan kemerdekaan sebagai jembatannya. Munasiah, mislanya, dalam sebuah

kongres perempuan di Semarang menyatakan bahwa : Wanita itu mataharinya rumah tangga, itu dulu! Tapi sekarang wanita jadi alatnya kapitalis. Padahal sejak zaman Mojopahit, wanita sudah berjuang. Sekarang adanya pelacur, itu bukan salahnya wanita. Tapi salahnya kapitalisme dan imperialisme!. Terlepas dari perbedaan latar belakang ideologi yang dianutnya, beberapa hal penting patut jadi kesimpulan. Gagasan-gagasan feminis, berikut praktek hingga pembentukan organisasi-oganisasi perempuan selama masa periode pertama gerakan perempuan Indonesia ini, ternyata pada umumnya muncul sebagai inisiatif dari kalangan perempuan menengah ke atas. Mulai dari Kartini, Dewi Sartika, Putri Mardhika (yang dekat dengan Budi Utomo), hingga Aisyah. Hanya sayap perempuan dari Sarekat Rakyat-lah yang sungguh-sungguh mengabdikan dirinya dalam pengorganisasian dan membangun radikalisasi perempuan miskin. Persoalan-persoalan yang diangkatpun, oleh karenanya lebih banyak menyangkut hal yang menguntungkan ataupun dapat diakses oleh perempuan menengah ke atas, seperti permaduan, perdagangan anak dan kesetaraan pendidikan. Perempuan buruh dan tani telah jauh sebelumnya terlibat dalam carut marut proses produksi keji kaum kolonial semacam tanam paksa, mengalami ketertindasan dan terhina dirinya sebagai kelas proletar. Ini mirip dengan gerakan perempuan Amerika dan Eropa di abad ke-18, yang memfokuskan tuntutannya pada hak untuk memilih dan dipilih (universal suffrage). Meski demikian, seminimal apapun pengaruhnya baik mayoritas kaum perempuan di kelas bawah, gerakan perempuan menengah ini telah mampu membuka jalan dan peluang bagi perjuangan kaum perempuan selanjutnya. Periode Kedua Gerakan Perempuan Saskia Wireringa, seorang feminis indonesia yang berdiam di Belanda, menyebutnya sebagai periode kedua. Tidak dijelaskan apa yang melandasi timbulnya pembagian waktu demikian. Namun kelihatannya, paska kehancuran PKI dan gerakan kiri 1926, ada upaya untuk mengorganisasi gerakan secara berbeda dari sebelumnya. Harus juga dilihat bahwa situasi gerakan pembebasan nasional saat itu, secara fisik dan terutama intelektual, mulai tumbuh dewasa. Perbedaan-perbedaan ideologis terumuskan dan terbaca jelas melalui strategi dan taktik yang dimunculkan, baik oleh PKI, PNI, PI, dan berbagai wadah lainnya. Tokoh-tokoh yang menjadi magnet dari gerakan ini mulai muncul dan mendapatkan tempatnya sendiri-sendiri di hati dan telinga rakyat. Namun kemajuan yang paling terang benderang adalah, dipergunakannya partai politik sebagai alat perjuangan untuk merebut kekuasaan dan membebaskan Indonesia. Zaman berpolitik ala Sarekat Islam, saat Tjokroaminoto meninabobokkan orang miskin tentang Ratu Adil dan menjebloskan agama semakin dalam ke jurang mistik, telah lunglai cahayanya. Ini zaman baru. Zaman dimana teori-teori kiri, pemikiran sosial demokrat, nasionalisme dan gagasan-gagasan liberal, bahkan fasisme, menjadi bahan debat sengit di kalangan para inlander terdidik, berjas dan berdasi. Otomatis, gerakan perempuan pun menyesuaikan dinamikanya dengan perkembangan ini. Nasionalisme menjadi gagasan yang diterima seluruh kekuatan politik yang ada, sehingga konsepsi persatuan menjadi lebih mudah untuk diwujudkan. Maka, Kongres Perempuan Indonesia nasional pertama diadakan di Yogyakarta pada bulan Desember 1928, setelah Sumpah Pemuda. Dihadiri oleh hampir 30 organisasi perempuan, kongres ini merupakan fondasi pertama gerakan perempuan, dan upaya konsolidasi dari berbagai organisasi perempuan yang ada Kongres Pertama ini menghasilkan federasi oganisasi perempuan bernama Persatoean Perempoean Indonesia (PPI), yang setahun kemudian diubah menjadi PPII (Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia). PPII sangat giat di bidang pendidikan dan membentuk panitia

penghapusan perdagangan perempuan. Perbedaan tajam dengan kelompok Islam soal poligami tetap timbul dan tak terdamaikan. Mayoritas peserta Kongres datang dari perempuan kalangan atas, meskipun organisasi perempuan kiri mulai mewarnai. Kongres Perempuan II di Jakarta (1935) dan Kongres III di Bandung (1938) menunjukkan kecenderungan yang semakin populis dari gerakan perempuan. Orientasi kepada perempuan kelas bawah mulai menguat, meski dalam hal program tidak selalu konsisten. Yang memilukan adalah tidak ada satupun organisasi yang tergabung dalam Kongres Perempuan Indonesia (KPI) mengeluarkan pernyataan terbuka menolak dan melawan penjajahan kolonial, kecuali Sarekat rakyat dan Istri Sedar. Kedua kelompok ini secara konsisten mendorong agar kaum perempuan terlibat dalam perjuangan kemerdekaan. Seperti yang diucapkan Sukarno pada tahun 1932 : Saat ini perjuangan kaum perempuan yang terpenting bukanlah demi kesetaraan, karena di bawah kolonialisme laki-laki juga terttindas. Maka, bersama-sama dengan laki-laki, memerdekakan Indonesia. Karena hanya di bawah Indonesia yang merdekalah, kaum perempuan akan mendapatkan kesetaraannya. Di tengah-tengah ombak besar nasionalisme yang siang malam menyerbu mimpi-mimpi para pemuda, mayoritas kelompok perempuan lainnya memfokuskan diri semata pada pendidikan, pemberantasan buta huruf dan soal-soal keperempuanan. Meskipun hal ini juga amat penting, namun tanpa keterlibatan dalam perjuangan kemerdekaan, semua persoalan kesetaraan akan gagal menghasilkan pembebasan dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.. Nasionalisme vs Feminisme? Menurut sejumlah sejarawan feminis sepert Saskia Wieringa, sejak Kongres 1928, telah terjadi tarik menarik antara kepentingan nasionalisme dan feminisme. Persatuan Nasional diatur di atas landasan berpikir patriarki yang masih kental, sehingga pandangan tentang konsepsi kesetaraan menjadi pragmatis, sama sekali tak mendalam. Patriarki disembunyikan, menjadi sekunder dan samar dalam keteguhan praktek politik membebaskan darat dan laut Indonesia, karena ada prioritas-prioritas perjuangan yang lebih penting. Di satu sisi, pandangan ini tidak sepenuhnya tepat. Kongres Pemuda bulan Mei pada tahun yang sama (yang menelurkan Sumpah Pemuda), sesungguhnya telah memasukkan butir mengenai pentingnya kesetaraan hak antara laki-laki dan perempuan untuk mewujudkan persatuan nasional, dari keseluruhan enam butir topik yang dibahas. Meski demikian, seluruh konsepsi tentang kesetaraan saat itu memang tersubordinasi di bawah kepentingan nasionalisme dan persatuan. Kemudian dalam Kongres Pemuda 1928, juga ada alokasi satu sessi khusus untuk membicarakan persoalan perempuan. Beberapa pembicara seperti M. Tabrani, Bahder Johan, Djaksodipoero dan Nona Adam pun memiliki pandangan yang cukup maju dalam mengkaitkan persoalan perempuan dan kemerdekaan. Meskipun dalam praktek, kesetaraan belum tentu dapat dilaksanakan. Namun di sisi lain kesenjangan memang terjadi karena masih lemahnya kemampuan gerakan perempuan saat itu untuk membangun satu konsep perjuangan perempuan yang menyeluruh. Juga disebabkan basis massa yang masih kecil dan belum terpolitisasi dari kalangan perempuan, di tengah gerakan anti penjajahan yang menggelembung. Hanya Serikat Rakyat dan Istri Sedarlah kelompok perempuan yang pada waktu itu secara terbuka menolak kolonialisme. dan kapitalisme. Mungkin tarik menarik bukanlah istilah yang tepat, mengingat posisi gerakan perempuan memang belum semassif, sepolitis dan seefektif gerakan anti kolonial. Konsekuensinya, kesetaaan lebih dilihat sebagai tahap yang harus dibenahi demi konsolidasi persatuan nasional, ketimbang sebagai satu hak politik dan ekonomi kaum perempuan seutuhnya. Jika melihat pengalaman gerakan perempuan Amerika Serikat dan Perancis, kedua-duanya pun

timbul dan termotivasi dalam situasi revolusioner yang diciptakan oleh gerakan pembebasan nasional melawan Inggris dan Revolusi Borjuis Perancis 1789. Harus dilihat bahwa gerakan perempuan tidak timbul dan berkembang sendirian, ia adalah reaksi tehadap perkembangan masyarakat dan relasi produksinya. Maka, dalam perjalanannya feminisme tidak mungkin dikontradiksikan dengan arus besar nasionalisme anti kolonial, gerakan anti imperialisme di jaman Sukarno, ataupun gerakan demokrasi dan anti neoliberalisme di masa sekarang. Setelah Kongres Perempuan tahun 1928 itu, muncul organisasi-organisasi perempuan yang radikal dalam menentang poligini (perceraian sepihak oleh laki-laki), poligami, perkawinan anak perempuan, dan berpendirian nonkooperatif terhadap Pemerintah Kolonial, seperti Isteri Sedar. Muncul pula sekolah-sekolah liar, yang menolak subsidi pemerintah kolonial. Di sekolahsekolah ini ditanamkan semangat cinta Tanah Air dan cita-cita kemerdekaan. Belakangan Istri Sedar menjelma menjadi Gerwis, yang merupakan cikal bakal Gerwani nantinya. Tidak banyak tersedia data tentang para tokoh perempuan yang terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang. Berbagai organisasi pemuda seperti Gerindo, AMI, Angkatan Muda Minyak, PRI dan terakhir Pesindo (1945). Namun data tentang keterlibatan kaum perempuan dalam wadah dan laskar-laskar itu sering disebut hanya selintas saja dalam banyak literatur. Yang cukup menonjol adalah keberadaan GWS (Gerakan Wanita Sosialis), organisasi para perempuan dari simpang kiri gerakan. Banyak anggota GWS saat itu yang ditangkap dan dibunuh Nippon karena berani terlibat dalam gerakan bawah tanah melawan fasisme Jepang.

Memaknai refleksi kelahiran RA Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April sebagai tokoh nasional yang dikenal sangat getol memperjuangkan gerakan emansipasi wanita di Indonesia, sepintas lalu merupakan dogma yang nyaris tanpa kritik sejak memoar beliau tertuang dengan tinta emas dalam lembaran sejarah kemerdekaan Indonesia. Bukan hanya wanita, pria bahkan waria pun sampai detik ini meyakini derap kemajuan emansipasi wanita Indonesia dicapai berkat gerakan emansipasi yang dipelopori RA Kartini. Untuk mengabadikan makna kepeloporan Kartini yang hampir menjadi figur sentral wanita Indonesia, maka tidak heran jika penampilan wanita kita di setiap tanggal 21 April, sarat dengan fenomena Kartini di kantor-kantor pemerintah, swasta. Bahkan sejumlah unit kerja seperti TV,Radio dll sengaja mensetting program siaran-siarannya sepanjang hari itu dengan nuansa keKartinian. Tidak heran jika mulai dari kalangan ibu, remaja putri hingga anak perempuan sibuk mendandani diri dengan pakaian kebaya khas Kartini untuk ditampilkan dalam berbagai atraksi. Tak pelak lagi salon kecantikan yang selama ini sepi pengunjung, tiba-tiba kebanjiran orderan,walau hanya sekedar pemasangan sanggul. Semua itu merupakan ekspresi kecintaan dan kekaguman masyarakat Indonesia terhadap sosok Kartini yang dicitrakan dalam suasana keprihatinan sebagaimana yang dilukiskan Ismail Marzuki melalui salah satu karya legendarisnya yang berjudul Sabda Alam.

Kita memang tidak dapat menerima dengan argumentasi apapun segala bentuk ketidakadilan dan diskriminasi. Apalagi praktik pelecehan, peremehan dan penganiayaan hak kelompok masyarakat rentan seperti kaum perempuan. Bahkan kita harus menghilangkan, jika perlu melakukan upaya pro justicia kepada siapa pun yang mencoba melanggar hak serta merendahkan harkat dan martabat kaum perempuan sebagaimana konon dialami Kartini dimasa perjuangannya. Terlebih disaat kita di kekinian telah memiliki konstitusi baru dan sejumlah paket peraturan perundang-undangan yang telah menjamin pemenuhan HAM dalam segala aspek kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Sebaliknya kita pun tentu setuju jika eksistensi HAM ditempatkan dalam khasanah Indonesia di kekinian sebagaimana pula perlunya image Kartini sebagai tokoh pejuang emansipasi wanita Indonesia untuk diposisikan secara proporsional, objektif dan multi dimensional. Ini penting karena opini public yang terbangun dalam memahami aspek perjuangan kemajuan kaum wanita di Indonesia, tampaknya cenderung didominasi kalau bukan identik dengan sosok perjuangan Kartini. Betapa tidak karena hampir semua referensi tentang gerakan emansipasi wanita di nusantara, tidak pernah luput pengkajiannya dengan sosok Kartini. Tragisnya karena paradigma gerakan emansipasi wanita di Indonesia terbangun dalam proses dialektika dan rivalitas yang menempatkan pria dan wanita sebagai kekuatan yang saling berhadap-hadapan. Tak ayal lagi gendereng perlawanan kaum wanita atas dominasi pria pun ditabuh dengan konstalasi issue patriarkhi dan konstruksi sosial yang bias gender. Dengan tidak mengurangi penghargaan dan penghormatan penulis terhadap sosok Kartini maupun setiap perjuangan menentang ketidakadilan dan diskriminasi, namun penulis menyesalkan sekaligus menggugat tiga hal dibalik kepeloporan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia. Tiga hal dimaksud meliputi : 1. Seberapa jauh kebenaran deskripsi tentang R.A Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di Indxt-align: justify;">Apakah profile Kartini dalam sejarah perjuangan Indonesia, benar-benar merupakan deskripsi keberadaaonesia, menurut kronologis fakta sejarah.? 2. Seberapa tinggi tingkat urgensi kepeloporan Kartini dalam memperjuangkan emansipasi wanita di Indonesia? 3. Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa Kartini lahir di Jepara tanggal 21 April 1879 dan wafat pada tanggal 17 September 1904. Dalam berbagai manuskrip tentang Kartini antara lain dikisahkan tentang idenya untuk membebaskan kaumnya dari belenggu tradisi dan konstruksi sosial yang sangat melecehkan serta merendahkan martabat perempuan pada masanya. Sejak itulah konon merebak pemahaman yang memicu gerakan emansipasi wanita di Nusantara, yang kemudian menjelma menjadi Negara Republik Indonesia seperti sekarang ini.

Jika emansipasi dikonstruksikan sebagai konsep penyetaraan hak dan kedudukan antara pria dan wanita untuk berperan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan, maka

sesungguhnya hal seperti itu sudah terjadi dan melembaga jauh sebelum era Kartini. Kita tentu masih ingat kalau Majapahit sebagai kerajaan yang pernah menguasai hampir seluruh kawasan Asia Tenggara hingga ke Formosa dibagian utara dan Madagaskar di barat, ternyata dalam silsilah kerajaan Majapahit pernah diperintah 2 dua perempuan masing-masing Tribhuwanatunggadewi (1328-1350) M. dan Kusuma Wardhani (13891429) M. Catatan sejarah yang lebih tua dari Majapahit dikenal pula sosok perempuan sebagai panutan yang sangat dihormati yaitu Fatimah Binti Maimun. Nama tokoh ini ditemukan dalam prasasti makam yang terletak di Leran (dekat Gresik) dalam prasasti tersebut selain nama, juga keterangan wafat yaitu tahun 1028 M Bukan hanya itu dalam catatan sejarah yang lebih tua lagi dari semua yang dikemukakan di atas, dikenal juga wanita kesohor dari kerajaan Kalingga (Holing/Keling), masa keemasan kerajaan ini justru berpuncak ketika Ratu Sima berkuasa yang diperkirakan berlangsung pada abad VII M. Dalam masa itu menurut sejarah, rakyat sungguh-sungguh sangat merasakan nuansa kemakmuran dan keadilan. Hal tersebut ditandai dengan pembangunan gapura penerang disetiap persimpangan jalan yang bertatahkan emas tanpa ada yang berniat apalagi nekat melakukan pencurian sebagaimana dikekinian yang meski tersembunyi, dijaga ketat dan disertai ancaman hukuman berat, toh juga dapat diterobos dengan modus korupsi dan sejenisnya. Begitu tegas dan kerasnya Sang Ratu menegakkan hukum, menimbulkan rasa penasaran Raja Ta- Che dengan mengirim mata-mata untuk membuktikan kebenaran berita tentang ketegasan Ratu Sima. Mata-mata tersebut meletakkan kantong emas di pinggir jalan dekat dengan pasar. Ternyata kurang lebih tiga tahun tidak ada yang berani menyentuh atau mengambilnya. Pada suatu hari, Ratu Sima bersama putra mahkota diiringi para pejabat kerajaan mengadakan perjalanan untuk melihat dari dekat keadaan dan kehidupan masyarakatnya . Namun tanpa sengaja putra mahkota tersandung kantong emas sampai terjatuh . Melihat kenyataan ini, Ratu Sima sangat marah dan memerintahkan untuk menjatuhkan hukuman mati kepada putra mahkota. Tetapi berkat nasihat para pejabat istana yang menyatakan putra mahkota tidak bersalah, maka hukuman mati diurungkan. Meski tetap dijatuhi hukuman dengan memotong jari kaki yang menyentuh emas tersebut.. Melihat kenyataan itu, Raja Ta-Che mengurungkan niat untuk menyerang Kalingga Dari deskripsi yang dikemukakan di atas membuktikan bahwa ketokohan wanita untuk tampil mengambil peran sentral dalam masyarakat, ternyata selalu hadir disetiap zaman. Hampir setiap wilayah di nusantara sebenarnya memiliki tokoh perempuan atau setidaknya nilai tradisi yang mendudukkan perempuan dalam posisi sentral. Ambil contoh pada masyarakat Minangkabau di Sumatera Barat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal. Perempuan dalam sistem kekerabatan ini, mempunyai kedudukan determinan dari pada laki-laki. Mulai dari soal pewarisan hingga berbagai macam permasalahan dalam

pernikahan dan perceraian, semuanya hanya terfokus pada perempuan sebagai pemegang hak. Kaum lelaki dalam sistem kekerabatan ini hanya berkedudukan sebagai sub ordinat atas dominasi perempuan. Fenomena tersebut tentu sangat jauh dari alam kehidupan Kartini dengan emansipasinya. Tokoh perempuan lain di nusantara yang sempat mengukir prestasi spektakuler sebagai the change of social agent antara lain Martha Christina Tiahahu yang gigih berjuang bersama Pattimura di Maluku, Cut Nyak Dien dan Cut Muthia dua srikandi dari Nanggroe Aceh Darussalam yang tak kenal menyerah untuk mengusir pendudukan pasukan Kape (Belanda) di bumi persada, tak ketinggalan nama Herlina Efendi yang dianugerahi pending Cendrawasih Emas dari pemerintah RI atas jasanya untuk membebaskan Irian Barat dari pendudukan kolonial Belanda. Kepeloporan emansipasi wanita di Sulawesi Selatan sendiri, sudah lama terjadi jauh sebelum Kartini menyanyikan lagu klasik itu. Kita tentu pernah mendengar nama Putri Tadampali dari istana kerajaan Luwu yang dibuang ke daerah Wajo karena mengidap penyakit lepra. Ditempat pembuangannya bukan saja dapat sembuh konon dengan jilatan seekor kerbau, Putri Tadampali juga ternyata sukses menyulap daerah Wajo menjadi kerajaan besar laksana baldatun tayyibatun warabbun ghafuur. Kitab lontara karangan legendaris Lagaligo yang sangat mashur dalam dunia kesusastraan kuno ternyata tidak punya nilai seagung itu, seandainya tanpa sentuhan tangan Colli Pujie, lagi-lagi seorang perempuan yang penulis kira sulit dicari tandingannya di masa kini. Dialah yang tekun mengumpulkan serpihan lontara Lagaligo lalu ditulisnya kembali hingga menjadi kitab utuh yang sangat monumental di seantero dunia. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia di Sulsel tentu tidak dapat dipisahkan dengan nama Emmy Saelan. Meski ia adalah seorang perempuan, namun semangat dan kegigihannya dalam membela tanah air, jauh melebihi kemampuan dan kegigihan kaum lelaki pada masanya. Bersama-sama R.W. Monginsidi , Emmy Saelan dapat melumpuhkan kekuatan kolonial Belanda yang mempunyai persenjataan lebih baik dengan taktik berpura-pura menyerah. Setelah itu 8 atau 9 serdadu Belanda mencoba menghampiri untuk menangkapnya dan seketika itu pula, Emmy Saelan meledakkan granat tangan yang menewaskan para penangkap dan dirinya sendiri. Dengan fakta sejarah sebagaimana yang dikemukakan di atas, terkuaklah bukti bahwa jauh sebelum era Kartini, kaum wanita sesungguhnya telah mendulang kesetaraan dengan kaum pria bahkan nyata-nyata telah menunjukkan kepiawaiannya dalam mengambil peran sosialnya jauh melebihi peran Kartini. Tapi mengapa nama mereka ini dengan prestasi spektakulernya tak pernah disebut-sebut dalam setiap episode gerakan emansipasi wanita di Indonesia? Dan mengapa pula mereka dapat menjadi faktor determinan dalam tatanan kehidupan pada masanya?. Padahal kalau kita runut dari logika pencerahan, maka kurang apa ortodoks dan konservatifnya tatanan kehidupan yang melembaga dalam akar tradisi yang berlaku ketika itu.

Kepopuleran Kartini sebagai penggerak emansipasi wanita Indonesia mungkin terjadi akibat propaganda kolonial Belanda. Kesimpulan ini dapat ditarik dari korespondensi Kartini dengan sejumlah tokoh perempuan di negeri penjajah itu yang kemudian diekspos melalui media dan buku-buku. Semua ini mungkin sengaja dilakukan Belanda untuk menebar pertentangan dan perpecahan (Devide at Impera) sebagai taktik untuk menghancurkan dan melemahkan semangat pemberontakan nasional. Ditengarai juga sebagai ajang akulturasi budaya dan nilai Belanda untuk menjamah struktur nilai dan budaya Indonesia agar dapat tunduk dan simpati kepada kolonial Belanda. Sampai disini popularitas Kartini sebagai pencetus gerakan emansipasi wanita di nusantara ternyata sarat dengan kepentingan politik dan menapikkan silsilah perjuangan perempuan yang jauh lebih prestius sebelum masanya. Bahkan sangat boleh jadi popularitas Kartini lebih menonjol akibat promosi Belanda sebagaimana anekdot yang mengisahkan kepopuleran telur ayam dari pada telur bebek, puyuh dll adalah karena karateristik ayam yang selalu berkotek setiap akan dan sudah bertelur, hal mana tidak terjadi pada hewan petelur lain. Karena itu penulis sangat sesalkan flatform perjuangan perempuan Indonesia dengan starting point pada sosok Kartini yang lemah dan teraniaya. Akan lebih baik jika gerakan emansipasi wanita Indonesia memunculkan figur yang menjadi symbol perempuan Indonesia yang kuat. Piawai, elegan, dan berbagai elemen superioritas. Mungkin dengan pola seperti ini setidaknya dapat mengubah image buruk publik terhadap perempuan baik sebagai kelompok rentan maupun polarisasi yang bertendensi rivalitasnya dengan kaum pria. (Mukhaelani)**** Sumber : Majalah Gema Bersemi edisi 03/2010

Anda mungkin juga menyukai