Anda di halaman 1dari 5

ANEMIA APLASTIK

Anemia aplastik merupakan gangguan hematopoiesis yang ditandai oleh penurunan produksi eritroid, mieloid dan megakariosit dalam sum-sum tulang dengan akibat adanya panstitopenia pada darah tepi, serta tidak dijumpai adanya keganasan sistem hematopoietik ataupun kanker metastatik yang menekan sum-sum tulang. Aplasia yang hanya mengenai sistem mengenai granulopoietikdisebut megakariosit agranulositosis Purpura

sedangkan

yang

hanya

sistem

disebut

Trombositopoenik Amegakariosit (PTA). Bila mengenai ketiga sistem disebut panmieloptisis atau lazimnya disbut anemia aplastik. Menurut The International Agranulocytosis and Aplastic Anemia (IAAS) disbut anemia aplastik bila: kadar hemoglobin 10 gr/dl atau hematokrit 30; hitung trombosit 50.000/mm3;hitung leukosit 3.500/mm3 atau granulosit 1,5x 109/l

EPIDEMIOLOGI Dtemukan lebih dari 70% anak-anak menderita anemia aplastik derajat berat pada saat didiagnosis. Tidak ada perbedaan secara bermakna antara laki-laki dan perempuan, namun dalam beberapa penelitian nampak insidens pada laki-laki lebih banyak dibanding wanita. Penyakit ini termasuk penyakit yang jarang dijumpai di negara barat dengan insiden 1-3 /1 juta/ tahun. Namun, di Negara Timur seperti Thailand, negara Asia lainnya termasuk Indonesia, Taiwan dan Cina, insidenna jauh lebih tinggi. Penelitian pada tahun 1991 di Bangkok didapatkan insiden 3,7 /1 juta/tahun. Perbedaan insiden ini diperkirakan oleh karena adanya faktor lingkungan seperti pemakaian obat-obata yang tidak pada tempatnya, pemakaian pestisida serta insiden virus hepatitis yang lebih tinggi.

ETIOLOGI Secara etiologik penyakit ini dapat dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu: 1. Faktor kongenital/ anemia aplastik yang diturunkan: sindroma Fanconi yang biasanya disertai kelainan bawaan lain seperti mikrosefali, strabismus, anomali jari, kelainan ginjal dan sebagainya.

2. Faktor didapat Sebagian anemia aplastik didapat bersifat idiopatik, sebagian lainnya dihubungkan dengan bahan kimia benzene dan insektisida, obat

(kloramfenikol, anitiroid, mesantoin( antikonvulsan, sitostatika)), infeksi hepatitis, tuberkulosis milier, radiasi radioaktif, dan sinar rontgen, transfusion associated graft versus host disease

PATOFISIOLOGI Walaupun banyak penelitian yang telah dilakukan hingga saat ini, patofisiologi anemia aplastik belum diketahui secara tuntas. Ada 3 teori yang dapat menerangkan patofisiologii penyakit ini yaitu: 1. Kerusakan sel induk hematopoietik 2. Kerusakan lingkungan mikro sum-sum tulang 3. Proses imunologik yang menekan hematopoiesis Keberadaan sel induk hematopoietik dapat diketahui lewat pertanda sel yaitu CD34 atau dengan biakan sel. Dalam biakan sel padanan sel induk hematopoietik dikenal sebagai longterm culture initiating cell (LTC-IC), long-term marrow culture (LMTC), jumlah sel induk/CD 34sangat menurun higga 1-10 % dari normal. Demikian juga pengamatanpada cobble stone area forming cells jumlah sel induk sangat menurun. Bukti klinis yang menyokong teori gangguan sel induk ini adalah keberhasilan transplantasi sumsum tulang pada pasien anemia aplastik. Beberapa sarjana menganggap gangguan ini dapat disebabkan oleh proses imunologik. Kemampuan hidup dan daya proliferasi serta diferensiasi sel induk hematopoietik tergantung pada lingkungan mikro sum-sum tulang yang terdiri dari sel stroma yang menghasilkan berbagai sitokin. Pada berbagai penelitian dijumpai bahwa sel stroma sumsum tulang pasien anemia aplastik tidak menunjukkan kelainan dan

menghasilkan sitokin perangsang seperti GMCSF,G-CSF, dan IL-6 dalam jumlah normal sedangkan sitokin penghambat seperti interferon (IFN ), Tumor necrosis factor (TNF ), protein macrophage inflammatory 1 (MIP 1 ) dan transforming growth factor 2 (TGF 2) akan meningkat. Sel stroma pasien anemia aplastik dapat menunjang pertumbuhan sel induk, tapi sel stroma normal tidak dapat

menumbuhkan sel induk yang berasal dari pasien. Berdasar temuan tersebut, teori kerusakan lingkungan mikro sumsum tulang sebagai penyebab mendasar anemia aplastik makin banyak ditinggalkan.

Kenyataan bahwa terapi imunosupresif memberikan kesembuhan pada sebagian besar pasien anemia aplastik merupakan bukti meyakinkan tentang peran mekanisme imunologik dalam patofisiologi penyakit ini. pemakaian gangguan sel induk dengan siklosporin atau metilprednisolon memberi kesembuhan sekitar 75%, dengan ketahanan hidup jangka panjang menyamai hasil transplantasi sumsum tulang. Keberhasilan imunosupresi ini sangat mendukung teori proses imunologik. Transplantasi sumsum tulang singeneik oleh karena tidak adanya masalah histokompatibilitas seharusnya tidak menimbulkan masalah rejeksi tanpa pemberian terapi conditioning. Namun Champlin dkk menemukan 4 kasus transplantasi sumsum tulang singeneik dengan didahului terapi conditioning menghasilkan remisi jangka panjang pada semua kasus. Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada anemia aplastik bukan saja terjadi kerusakan sel induk tetapi juga terjadi imunosupresi terhadap sel induk yang dapat dihilangkan dengan terapi conditioning.

Gejala klinis dan hematologis Gejala yang muncul berdasarkan gambaran sumsum tulang yang berupa aplasia sistem eritropoietik, granulopoietik, dan trombopoietik, serta aktivitas relatif sistem limfopoietik dan sistem retikulo endothelial (SRE). Aplasia sistem eritropoietik dalam darah tepi akan terlihat sebagai retikulositopenia yang disertai merendahya kadar Hb, hematokrit dan hitung eritrosit serta MCV (mean corpuscular volume). Secara klinis anak tampak pucat dengan berbagai gejala anemia lainnya seperti anoreksia, lemah, palpitasi, sesak karena gagal jantung dan sebagainya. Oleh karena sifatnya aplasia sistem hematopoietik, maka umumnya tidak ditemukan ikterus, pembesaran limpa, hepar, maupun kelejar getah bening.

Diagnosis Dibuat berdasarkan gejala klinis berupa panas, pucat, perdarahan, tanpa adanya organomegali (hepatosplenomegali). Gambaran darah tepi menunjukkan

pansitopenia dan limfositosis relatif. Diagnosis pasti ditentukan dengan pemeriksaan biopsi susmsum tulang yaitu gambaran sel sangat kurang banyak, banyak jaringan penyokong dan jaringan lemak;aplasia sistem eritropoietik, granulopoietik, dan trombopoietik. Di antara sel sumsum tulang yang sedikit ini banyak ditemukan limfosit, sel SRE (sel plasma, fibrosit, osteoklas, dan sel endotel). Hendaknya dibedakan antara sediaaan sumsum tulang yang aplastik dan yang tercampur darah.

Diagnosis banding 1. Purpura Trombositopenik Imun (PTI) dan PTA. Pemeriksaan darah tepi dari kedua kelainan ini hanya menunjukkan tromositopenia tanpa retikulositopenia atau granulositopenia/lekopenia. Pemeriksaan sumsum tulang dari PTI menunjukkan gambaran yang normal atau ada peningkatan megakariosit sedangkan pada PTA tidak atau kurang ditemukan megakariosit. 2. Leukemia akut jenis aleukemik, terutama Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) dengan jumlah leukosit yang kurang dari 6000/mm3. Kecuali pada stadium dini, biasanya pada LLA ditemukan splenomegali. Pemeriksaan darah tepi sukar dibedakan, karena kedua pansitopenia dan relatif limfositosis) kecuali bila terdapat sel blas dan limfositosis yang dari 90%, diagnosis lebih cenderung pada LLA. 3. Stadium praleukemik dari leukemia akut Keadaan ini sukar dibedakan baik gambaran klinis, darah tepi, maupun sumsum tulang, karena masih menunjukkan gambaran sitopenia dari ketiga sistem hematopoietik. Biasanya setelah beberapa tahun kemudian baru terlihat gambaran khas LLA.

Pengobatan Pengobatan suportif diberikan untuk mencegah dan mengobati terjadinya infeksi dan perdarahan: Pengobatan terhadap infeksi Untuk menghindarkan anak dari infeksi, sebaiknya anak diisolasi dalam ruangan khusus yang suci hama. Pemberian obat antibiotika handaknya dipilih yang tidak menyebabkan depresi sumsum tulang Transfusi darah Gunakan komponen darah bila harus melakukan transfusi darah. Hendaknya harus diketahui bahwa tidak ada manfaatnya mempertahankan kadar hemoglobin yang tinggi, karena dengan transfusi darah yang terlampau sering, akan timbul depresi terhadap sumsum tulang atau dapat

menyebabkan timbulnya reaksi hemolitik (reaksi transfusi), akibat dibentuknya antibodi terhadap sel darah merah, leukosit dan trombosit. Dengan demikian transfusi darah diberikan bila diperlukan. Pada keadaan yang sangat gawat

(perdarahan masif, perdarahan otak dan sebagainya) dapat diberikan suspensi trombosit. Transplantasi sumsum tulang ditetapkan sebagai terapi terbaik pada pasien anemia aplastik sejak tahun 70-an. Donor yang terbaik berasal dari saudara sekandung dengan Humal Leukocyte Antigen (HLA)nya cocok

Prognosis Prognosis bergantung pada: 1. Gambaran sumsum tulang hiposeluler atau aseluler 2. Kadar HbF yang lebih dari 200 mg% memperlihatkab prognosis yang lebih baik 3. Jumlah granulosit lebih dari 2000/mm3 menunjukkan prognosis yang lebih baik 4. Pencegahan infeksi sekunder, terutama di Indonesia karena kejadian infeksi masih tinggi. Gambaran sumsum tulang merupakan parameter yang terbaik untuk menentukan prognosis Remisi biasanya terjadi beberapa bulan setelah pengobatan (dengan oksimetolon setelah 2-3 bulan), mula-mula terlihat perbaikan pada sistem eriropietik, kemudian sistem granulopoietikk dan terakhir sistem trombopoietik. Kadang-kadang remisi terlihat pada sistem granulopoietik lebih dahulu, disusul oleh sistem eritropoietik dan trombopoietik. Untuk melihat adanya remisi hendaknya diperhatikan jumlah retikulosit, granulosit/lekosit dengan hitung indikator terbaik untuk menilai keadaan remisi ini. bila remisi parsial telah tercapai, yaitu timbulnya aktivitas eritropoietik dan granulopoietik, bahaya perdarahan yang fatal masih tetap ada, karena perbaikan sistem trombopoietik terjadi paling akhir. Sebaiknya pasien dibolehkan pulang dari rumah sakit setelah hitung trombosit mencapai 50.000-100.000/mm3.

Sebab kematian 1. Infeksi, biasanya bronkopneumonia atau sepsis. Harus waspada terhadap tuberkulosis akibat pemberian prednison jangka panjang 2. Perdarahan otak atau abdomen

Anda mungkin juga menyukai