Syaflini Anggidin
Jakarta, 24/6 GIZINET. Pengalaman kami dalam upaya peningkatan status gizi masyarakat di desa, sejak saat kami sebagai kader di desa sampai menjadi pengelola kegiatan program gizi di provinsi yang melibatkan kader posyandu, keterlibatan kader tetap sebagai sosok yang bekerja dengan tujuan agar Posyandu dilaksanakan sesuai dengan definisinya yakni kegiatan Pelayanan kesehatan, yang dilaksanakan dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Pada kenyataannya di desa menghadapi banyak kendala. Demikain Syaflini Anggidin, seorang Ahli Gizi yang pernah bertugas di Dinkes Sumsel dan saat ini turut mengelola Program NICE, menyatakan di Palembang baru-baru ini. Uraian berikut adalah tulisan beliau, yang kami edit seperlunya. Kader Posyandu menurut definisinya adalah warga masyarakat yang ditunjuk oleh masyarakat bekerja untuk masyarakat dengan sukarela, unutuk melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pelayanan kesehatan sederhana di posyandu. Menurutnya, dibandingkan dengan masa lalu saat ia menjadi kader, partisipasi kader saat ini cukup rendah. Rendahnya partisipasi kader berdampak pada rendahnya kegiatan pemantauan tingkat status gizi anak, ibu hamil dan menyusui, yang pada akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan dataperkembangan status gizi anak balita di Posyandu. Masalah lain yang ditemukan adalah : 1) rendahnya cakupan hasil penimbangan balita di Posyandu, 2) belum tersosialisasinya program-program upaya perbaikan gizi ke masyarakat, serta 3) masih rendahnya pengetahuan gizi yang dimiliki oleh masyarakat di desa. Pada umumnya, hal-hal tersebut diatas menjadi beban kader, yang sampai saat ini belum dapat diselesaikan dan diatasi. Kesulitan tersebut berdampak terhadap perencanaan. Karena data yang tersedia tidak layak pakai untuk perencanaan, maka tidak jarang dilakukan survai misalnya Pemantauan Status Gizi (PSG) yang tentunya memerlukan pendanaan khusus dan tidak sedikit. Seandainya data yang dibutuhkan untuk kepentingan perencanaan gizi di masyarakat dapat diperoleh melalui Kader Posyandu, setidak-tidaknya kita akan memiliki data yang akurat dan up to date serta berkesinambungan. Mungkin tidak perlu lagi dilaksanakan kegiatan-kegiatan survai atau kegiatan pemantauan status gizi .
Masalah gizi pada anak balita adalah indikator adanya masalah gizi di masyarakat setempat. Untuk itu, data status gizi anak balita amat diperlukan untuk melihat gambaran masalah di tingkat masyarakat. Melalui penimbangnan balita di posyandu, data akan diperoleh bukan hanya hasil penimbanngan balita melainkan juga cakupan ditribusi vitamin A, distribusi tablet tambah darah untuk ibu hamil, dan lain-lain. Angka-angka yang diperoleh dari penimbanngan sebenarnya dapat memberikan gambaran pula kepada kita tentang : 1) tingkat partisipasi masyarakat, 2) liputan dan jangkauan program, 3) tingkat kinerja petugas, 4) kondisi resiko gizi buruk anak balita (BGM dan 2T), dan lain-lain. Angka-angka tersebut bisa dianalisis sehingga sehingga akan dapat diketahui kemungkinan penyebab masalahnya, dan juga dapat disusun rencana solusi pemecahan masalahnya. Dengan kata lain, angka-angka hasil penimbangan akan memberikan gambaran keberhasilan posyandu, yang berarti keberhasilan kader melakukan perannya di posyandu. Perlu kita cermati bahwa seorang kader adalah volunteer alias sukarela. Sukarela ini memiliki konotasi arti bekerja TANPA PAMRIH. Salah-satunya mereka tidak boleh menerima upah/imbalan dari semua aktivitas yang mereka laksanakan di posyandu maupun di desa
Refreshing Kader
Hal lain yang patut pula kita pertimbangkan yaitu waktu, tenaga, yang mereka berikan untuk kegiatan posyandu (walaupun hanya sekali dalam sebulan), emosi yang tertahan bila suatu saat mereka dikatakan malas atau tidak terampil, waktu untuk keluarga yang mereka sisihkan, (masak, membuatkan kopi suami, memandikan anak, menyiangi rumah). Kaderpun sering menjadi tempat bertanya yang sebenarnya bukan wewenang mereka untuk menjawabnya, misalnya : Mengapa KMS kurang, mengapa Tablet Fe tidak ada, mengapa Vitamin A tidak tersedia, mengapa PMT penyuluhan tidak diberikan, atau masih banyak lagi. Menurut pengalaman saya, hal diatas jarang diperhitungkan. Dan tidak termasuk dalam variabel yang dinilai setiap bulan dalam menentukan keberhasilan Posyandu. Kalau saja seluruh kader posyandu secara berjamaah menolak menjadi kaderlagi, apakah kita bisa melarangnya? Mudah-mudahan ini tidak akan terjadi, karena dengan sukarela murni tanpa imbalan, masuk akal bila keengganan masyarakat menjadi kader semakin nampak,
Predikat KADER merupakan suatu insentif NON MATERIAL, yang sebenarnya bila seseorang menjadi KADER akan bangga karena diantara masyarakat desanya MEREKA yang TERPILIH. Namun berrdasarkan pengalaman kami, kebanggaan itu kemudian berangsur-angsur hilang disebabkan kejenuhan, tidak adanya sesuatu yang mereka peroleh secara material selama melaksanakan tugas sebagai kader. Untuk itu, dalam kegiatan proyek NICE yang memberikan dana kepada masyarakat dalam bentuk Paket Gizi Masyarakat (PGM) cukup besar, sudah selayaknya ada kegiatan INOVATIF dalam bentuk Teknologi Tepat Guna, untuk melestarikan Posyandu yang benar-benar berbasis pemberdayaan masyarakat. Bentuk kegiatan inovatif haruslahyang memiliki daya saing dan memberikan konstribusi tinggi terhadap kelangsungan Posyandu, sehingga tidak tergantung kepada dana proyek serta tidak berbentuk usaha peningkatan pendapatan masyarakat. Sebaiknya pengalokasian dana kegiatan inovatif ini dipercayakan kepada Kelompok Gizi Masyarakat ( KGM) yang sudah terbentuk (di Sumatera Selatan sebanyak 524 desa, di seluruh provinsi NICE sebanyak 1800 desa). Ini akan digunakan mereka sesuai dengan kondisi desa dengan motto dapat dilakukan oleh masyarakat, memiliki manfaat bagi KGM dan dapat menyumbang kegiatan di Posyandu pada saat kegiatan proyek NICE sudah berakhir. Beberapa bentuk kegiatan yang bisa diwujudkan adalah : pembudidayaan ikan dikolam, kebun sayuran, keterampilan (anyam-anayaman misalnya), pembuatan makanan kecil. Jangan sekali-sekali kegiatan yang akan dilaksanakan oleh KGM merupakan jiplakan konsep yang dibuat oleh Petugas (khususnya petugas kesehatan). Keuntungan usaha bisa dibagi menurut proporsi : 10% ke Posyandu, 10% untuk transport Kader ke Posyandu, 20% tabungan wajib dan sisanya dapat dibagi rata sebagai imbalan jasa sebagai KGM dan Kader posyandu. Hasil bersih yang mereka terima merupakan wujud nyata adanya imbalan bagi mereka namun tidak merupakan honor atau insentif yang memerlukan pertanggungjawaban secara tertulis dengan membubuhkan tanda tangan. Keberhasilan desa Ketuan Jaya di Kabupaten Musi Rawas dalam membuat inovasi pemeliharaan ikan lele, dapat menghasilkan keuntungan yang cukup besar sehingga dapat menyumbang 300 ribu rupiah per bulan, merupakan cerminan bahwa konsep pemberian kesempatan dalam mendanai kegiatan inovatif KGM di desa, dapat dilakukan. Semoga saja hal ini benar adanya. Syaflini Anggidin NICE Sumsel Awal Juni 2011. (emanz/Tim Teknis GIZINET)
http://gizi.depkes.go.id/artikel/peran-kader-posyandu-di-wilayah-binaan-nice/