Anda di halaman 1dari 5

Tatalaksana Pemeliharaan Masa Kehamilan (Asuhan Antenatal) Diagnosis hernia diafragmatika kongenital sudah bias ditegakkan pada masa

kehamilan seiring dengan meluasnya penggunaan ultrasonografi sebagai alat pemeriksaan untuk janin dalam kandungan. Pemeriksaan ultrasonografi yang komprehensif seharusnya dapat dibuat untuk penegakkan diagnosis terkait anomali pada kardiovaskular dan neurologi sebagaimana yang terdapat pada fetal compromise seperti adanya hydrops fetal. Penegakkan diagnosis hernia diafrgmatika pada masa prenatal memungkinkan ibu dan keluarga lebih mempersiapkan diri terhadap pilihan-pilihan terapi untuk hasil yang lebih baik. Secara historis, penatalaksanaan hernia diafragma dengan cara open fetal repair pernah dicoba namun memberikan hasil yang suram. Berdasarkan pengamatan klinis pada bayi dengan atresia trakea kongenital, penatalaksanaan dengan cara intervensi janin telah pergeseran dari penjahitan secara langsung (direct repair) pada diafragma menjadi teknik ekspansi paru. Sebuah balon endotrakeal (temporary tracheal occlusions) ditempatkan dengan menggunakan fetoskop telah diperkenalkan untuk mengatasi oklusi trakea secara temporer sebagai terapi pada kasus-kasus berat dengan lung to head ratio (LHR) < 1.0, dan herniasi hepar. Namun saat ini tidak ada bukti klinis yang mendukung bahwa penggunaan temporary tracheal occlusion sebagai terapi prenatal untuk hernia diafragmatika.

Resusitasi dan Stabilisasi Setelah diagnosis hernia diafragmatika ditegakkan, terapi inisial pada masa postnatal ditargetkan pada resusitasi dan stabilisasi distress kardiopulmoner. Tatalaksana ditargetkan pada sekuel fisiologi yang ditimbulkan dari hipoplasia dan hipertensi pulmoner. Segera setelah lahir, pemeriksaan secara menyeluruh dilakukan dengan cepat untuk menilai stabilitas dinamik dan keparahan penyakit. Pada kasus yang berat, penggunaan intubasi endotrakeal harus dijamin tanpa menggunakan ventilasi tekanan tinggi untuk menghindari distensi gaster dan intestinal. Pemasangan pipa nasogastrik dan

jalur intravena harus dilakukan untuk resusitasi. Keseimbangan elektrolit dan oksigenasiventilasi harus dimonitor dengan ketat. Monitoring dengan kateter vena dan arteri sentral sangat penting untuk menilai perfusi jaringan dan estimasi hipertensi dan hipoplasia pulmoner. Selain itu saturasi oksigen dengan alat saturasi transkutaneus atau dengan menggunakan kateter arteri radial harus tersedia untuk sebagai gambaran perfusi serebral. Stabilisasi dilakukan dengan menggunakan ventilasi mekanik. Komplikasi dari penggunaan alat ini adalah adanya iatrogenic barotrauma, terjadi akibat pemberian udara bertekanan tinggi peak inspiratory pressure (PIP) di atas 25 cm H2O sehingga hal tersebut harus dihindari. Ventilasi bertekanan positif harus menjaga saturasi dari arteri preduktal di atas 85% dengan angka PIP yang minimal. Agar harga dari PIP tetap rendah, kadar PaCO2 tinggi masih dapat ditoleransi (45 mmHg-60 mmHg) tanpa disertai asidosis (pH < 7.2). Hipertensi pulmonal dan anomaly cardial yang terkait harus dievaluasi dengan menggunakan ekokardiografi. Ekokardiografi dapat dengan lebih baik menggambarkan keparahan dan derajat hipertensi pulmonal. Adanya hipertensi pulmonal ditandai dengan buruknya kontraktilitas dari ventrikel kanan, pendataran dari interventrikular septum, pembesaran ventrikel kanan, dan regurgitasi katub trikuspid. Dapat pula ditemukan adnaya pirau dari kanan ke kiri (right to left) atau pirau dua arah melalui duktus arteriosus. Oksigenasi preduktal < 85% dapat mengganggu perfusi jaringan. Secara umum, oksigenasi preduktal harus dijaga di atas 60 mmHg dan PaO2 post ductal harus dipertahankan di atas 40 mmHg. Kegagalan dalam menyediakan oksigenasi yang adekuat ke jaringan dapat menimbulkan asidosis, dimana hal tersebut dapat memicu timbulnya hipertensi pulmonar. Hipertensi pulmoner ditimbulkan akibat meningkatnya resistensi vaskular pulmoner yang diakibatkan dari hipoksia dan asidosis, sehingga hal demikian harus dihindari dan jika terjadi harus segera dikoreksi. Jika pirau berkembang semakin berat, inhalasi dengan Nitrit oksida dapat dilakukan. Meskipun terapi pemberian nitrit oksida sering dilakukan, strategi ini gagal menunjukkan adanya keuntungan sebagai terapi neonatus dengan hernia diafragmatika kongenital.

Penggunaan agen vasopressor seperti dopamin, dobutamin, dan milrinone dapat diberikan pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil. Dimana hamper sebagian besar neonatus dengan hernia diafragmatika kongenital disertai hipertensi pulmoner menunjukkan adanya disfungsi dari ventrikel kiri.

Ventilasi Mekanik Ventilasi mekanik merupakan komponen utama dalam perawatan neonatus dengan kegagalan pernapasan sebagai akibat sekunder dari hernia diafragmatika. Keterbatasan fisiologi dari paru yang mengalami hipoplasi ditandai dengan berkurangnya jumlah aliran udara dan resevoar udara (air space) yang lebih kecil. Hal ini juga

menyebabkan menurunnya percabangan vaskularisasi, selain itu hipoplasi paru juga menunjukkan adanya penebalan dari dinding media dan adventisia paru. Kombinasi semua keadaan tersebut menentukan derajat kegagalan system respirasi dan hipertensi pulmoner. Namun untungnya perkembangan pulmo dan vaskularisasinya berlanjut setelah masa kelahiran. Karena proses maturasi yang terus berlanjut inilah, strategi pengobatan dengan ventilasi mekanik tidak boleh terlalu agresif. Ventilator mekanik berfungsi sebagai stabilisasi ventilasi dan mempertahankan oksigenasi, namun risiko adanya cidera yang diakibatkan dari penggunaan ventilator ini juga merupakan kontributor penting dalam menimbulkan kematian. Pemberian ventilasi mekanik harus mempertimbangkan faktor-faktor yang diketahui meningkatkan resistensi vaskuler pulmonal (hipoksia, asidosis, hipotensi dan hiperkarbia). Ventilasi dengan inspirasi bertekanan rendah dipilih karena menurunkan kemungkinan terjadinya pneumothorax kontralateral yang dapat meningkatkan ketidakstabilan sistem

kardiorespirasi dan dekompensasi. Jika dengan ventilasi mekanik konvensional ini gagal maka dipakai strategi ventilasi yang lain yaitu high-frequency oscillatory ventilation (HFOV), gentle

ventilation dan intratracheal pulmonary ventilation (ITPV). Selain strategi ventilasi juga dibutuhkan terapi pendukung untuk menunjang keberhasilan pembedahan dan

memperbaiki prognosis.

Surfaktan Beberapa studi yang dilakukan pada hewan menunjukkan bahwa hernia diafragma kongenital menunjukkan adanya gangguan baik pada kadar maupun komposisi dari surfaktan. Surfaktan bekerja dengan cara menurunkan resistensi vaskular dari pulmoner, meningkatkan aliran darah paru, dan mengurangi shunting pada duktus. Pemberian surfaktan memberikan efek peningkatan pertukaran gas. Adanya efek kerja surfaktan tersebut membuat para klinikus menggunakan terapi surfaktan eksogen secara empiris. Disamping efikasi dari penggunaan surfaktan eksogen yang belum terbukti, pemberian secara terus menerus belum diketahui efek samping dan keuntungannya. Beberapa literatur menyatakan bahwa pemberian surfaktan segera setelah lahir tidak mempengaruhi outcome sehingga dibatasi hanya pada neonatus prematur dengan usia gestasi kurang dari 35 minggu.

Nitrit Oksida Nitrit oksida merupakan vasodilator kuat dan memberikan manfaat yang signifikan sebagai terapi dari hipertensi pulmoner persisten pada neonatus (Persistent Pulmonary Hypertension of Neonatus) atau PPHN. Pada studi klinis, nitrit oksida meningkatkan oksigenasi dan menurunkan angka kebutuhan akan ECMO pada neonatus dengan gagal napas sekunder akibat PPHN. Namun demikian, efikasi dari pemberian NO pada hipertensi pulmoner sekunder dari hernia diafragmatika kongenital belum begitu mendukung. Agen vasodilator yang lainnya yang dapat digunakan sebagai terapi untuk hipertensi pulmonal pada neonatus dengan hernia diafragmatika kongenital adalah sildenafil. Sildenafil adalah 5-phosphodiesterase (5-PDE) inhibitor. Penggunaannya secara luas dapat digunakan secara intramuskular ataupun intravena.

Extracorporeal Membrane Oxygenation ECMO pertama kali diperkenalkan sebagai terapi untuk pasien dengan hernia diafragmatika kongenital dengan cedera paru berat akibat ventilator (severe ventilatorassociated lung injury). Alat ini dipergunakan sebagai alat perlengkapan paru buatan

selama masa pembedahan yang digunakan untuk mengembangkan sisa jaringan paru sehingga oksigenasi tetap adekuat. Waktu yang tepat untuk memberikan ECMO masih kotroversial. Awalnya ECMO digunakan hanya untuk terapi postoperatif. Namun saat ini penggunaan ECMO secara rutin dipakai untuk stabilisasi preoperatif. Strategi stabilisasi dengan menggunakan ECMO dan penundaan waktu pembedahan menunjukkan manfaat yang lebih besar. Kriteria untuk memulai ECMO: preductal SaO2 <85% atau postductal PaO2 < 30 mmHg; oxygenation index ([FiO2MAP]/PaO2) > 40; PIP (peak inspiratory pressure) > 28, volum tidal > 7 mL/kg, atau MAP > 15; asidosis metabolic persisten atau peningkatan level asam laktat serum; hipotensi yang refrakter terhadap vasopresor, deteriorasi akut setelah repair bedah; dan tidak adanya respons dengan pengobatan medis maksimal.

Anda mungkin juga menyukai