Anda di halaman 1dari 6

1

Mengajar di Fakultas Kedokteran


Oleh: Anies DALAM era globalisasi dan menghadapi pasar bebas, apa yang patut dibanggakan oleh para dokter lulusan fakultas kedokteran di Indonesia? Kemampuan ilmu kedokteran yang diperoleh atau mengandalkan teknologi canggih untuk sarana diagnosis dan terapi. Kita perlu mawas diri, tidak akan melampaui kemampuan yang dimiliki oleh para dokter dari manca negara, tanpa melakukan inovasi pendidikan secara total. Acungan jempol perlu diberikan kepada Fakultas Kedokteran UGM apabila pada 2003 mampu menyelenggarakan program PBL (Problem Based Learning) secara penuh bagi mahasiswa S1 reguler, sebagai upaya melakukan inovasi pendidikan. Dalam kenyataannya, kebanyakan fakultas kedokteran belum berani menerapkan PBL sebagai metode mengajar, meskipun secara parsial. Bahkan ada yang telah mencoba menerapkan, tetapi kemudian kembali ke metode konvensional, karena ketidakmampuan. Sebagian lagi baru mulai dengan tertatih-tatih, menggunakan sarana seadanya dengan tenaga dosen yang kualitas dan kuantitasnya kurang memadai. Proses pembelajaran pada tingkat perguruan tinggi di Indonesia, termasuk di fakultas kedokteran, masih berpusat pada dosen dengan metode mengajar berupa ceramah. Dalam kenyataannya, sistem administrasi pendidikan memang dirancang untuk mendukung pola lama tersebut. Metode mengajar yang baik disesuaikan dengan tujuan pembelajaran, untuk menumbuhkan kegiatan belajar serta peran aktif pebelajar, dalam hal ini para mahasiswa. Banyak sekali jenis metode mengajar yang dikembangkan untuk mencapai tujuan pembelajaran. Di samping metode ceramah, diskusi, kerja kelompok maupun demonstrasi dan eksperimen, metode pemecahan masalah sangat sesuai sebagai metode pembelajaran di fakultas kedokteran. Pemecahan masalah yang dimaksudkan di sini, pemecahan yang direncanakan terhadap suatu kesukaran atau kerancuan, dengan tujuan menemukan solusi. Menurut Gagne, pemecahan masalah merupakan strategi kognitif dengan aktivitas yang perluasan alami dalam mempelajari peraturan, merupakan bagian terpenting dari proses yang terjadi dalam diri pembelajar. Dalam proses pembelajaran di perguruan tinggi, pada hakikatnya yang berperan aktif mahasiswa, sedangkan dosen berperan sebagai fasilitator. Dengan demikian, metode mengajar seharusnya beralih dari lecture- based format menjadi student-active approach. Proses pembelajaran juga seharusnya berorientasi pada kebutuhan dan tuntutan zaman, meskipun perlu memperhatikan kemampuan dan karakteristik mahasiswa. Bukan seperti banyak kita saksikan saat ini, mengajar hanya sekadar menyuapi mahasiswa dengan materi. Sebenarnya PBL bukan barang baru bagi fakultas kedokteran di berbagai perguruan tinggi mancanegara. Barrow yang pertama kali mengembangkan PBL pada 1985, memang untuk melatih mahasiswa kedokteran menjadi efektif dalam menggunakan informasi memecahkan masalah dari pada menjadi ensiklopedi berjalan. Bahkan kurikulum PBL saat ini telah banyak diterapkan di fakultas kedokteran dan program studi terkenal di dunia. Kurikulum PBL di fakultas kedokteran mencakup isi yang sama dengan kurikulum tradisional, dengan penekanan pada sasaran tambahan, yaitu keterampilan pemecahan masalah, ilmu kedokteran dasar yang diintegrasikan dengan ilmu kedokteran klinik serta pengembangan keterampilan belajar sepanjang hayat. Dalam mempelajari ilmu kedokteran, kasus digunakan dalam model PBL, karena masalah yang harus dipecahkan berupa kasus. Karena itu, case based learning (CBL) merupakan istilah lain dari PBL. Dalam menggunakan kasus, fakultas kedokteran berbeda dari fakultas-fakultas lain, karena di sini PBL lebih memfokuskan

pada pokok persoalan medis dari pada sekadar pemecahan masalah. Dalam CBL ini digunakan problem-based approach untuk pengajaran, menekankan pada pengembangan komunikasi mahasiswa dan keterampilan berpikir tingkat tinggi yang ditunjukkan dengan mendorong para mahasiswa menggunakan analisa kritis. Kehidupan Nyata Bagi mahasiswa fakultas kedokteran, tujuan penerapan metode CBL atau PBL, agar dapat belajar dari kehidupan nyata, dalam hal ini dunia kedokteran. Mereka dilatih mempraktikkan pemecahan masalah dengan metode, teknologi serta kelompok yang dapat dipercaya sebagai mekanisme pendukung. Dengan kata lain, metode CBL atau PBL pada tingkat yang paling dasar adalah suatu metode instruksional yang mempunyai ciri penggunaan masalah nyata sebagai konteks mahasiswa yang mempelajari cara berpikir kritis serta keterampilan dalam pemecahan masalah. Penerapan metode CBL tentu memerlukan perencanaan yang benar-benar rapi, baik tujuan pengajaran, struktur pengajaran, besar kelas serta mempersiapkan mahasiswa untuk menggunakan pendekatan studi kasus. Karena itu, tidak mengherankan bila fakultas kedokteran di universitas sekaliber UGM pun memerlukan waktu lebih dari sepuluh tahun untuk sampai pada penerapan secara penuh. Namun, hal ini jangan sampai mengecilkan tekad berbagai fakultas kedokteran yang telah merintis ke arah penerapan CBL atau PBL tersebut, jika tidak ingin produknya tergilas arus globalisasi. Penerapan metode PBL atau CBL di fakultas kedokteran tentu saja secara kombinasi dengan metode lain, terutama metode ceramah. Metode ceramah masih merupakan cara yang efisien dan ekonomis dalam penyampaian informasi, mengintroduksi topik baru untuk orientasi, memotivasi dan menarik perhatian mahasiswa serta memberikan ilustrasi dan inspirasi berdasarkan perkembangan ilmiah. Perlu dipertimbangkan pula metode lain sesuai kepentingan dan kondisi, misalnya diskusi kelompok, curah pendapat, kelompok-kelompok kecil, maupun permainan simulasi. Semua ini dikaitkan dengan kehidupan nyata, dalam hal ini kasus dalam dunia kedokteran. Pemecahan Masalah Secara jujur, siap atau belum siap, banyak fakultas kedokteran telah lama mengidamkan metode pemecahan masalah ini. Betapa pun, dokter produk fakultas kedokteran bukan sekadar texbook minded, melainkan benar-benar belajar melakukan pemecahan masalah dari kehidupan nyata. Karena tujuan PBL memang untuk menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah yang dihadapi dalam hidup dan karirnya dengan inisiatif dan antusiasme, berdasarkan pengetahuan yang terintegrasi. Idaman bisa tinggal idaman, tanpa perencanaan yang matang. Sebaiknya dimulai dengan peningkatan kualitas tenaga pengajar melalui pelatihan atau pemagangan di fakultas kedokteran lain yang telah lebih dulu maju. Tanggung jawab moral mutlak dalam menyiapkan dan mendirikan sebuah fakultas kedokteran. Sangat memprihatinkan kondisi fakultas kedokteran yang saat ini banyak bermunculan di negara kita, hanya bermodalkan gedung, sarana secukupnya dan tenaga pengajar sebagian besar masih mengandalkan perguruan tinggi negeri. (33) - DR H Anies MKK PKK, dosen Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro

2
http://zulharman79.wordpress.com/2007/07/15/problem-based-learning-pbl/ PROBLEM BASED LEARNING (PBL)
Ditulis oleh zulharman di/pada Juli 15, 2007 Perubahan paradigma pendidikan kedokteran dari pembelajaran yang berpusat pada teacher (Teacher centre learning) ke arah pembelajaran yang berpusat pada pelajar ( student centre learning) dapat dilihat dari banyaknya Fakultas kedokteran di dunia maupun di Indonesia yang menerapkan PBL. Penerapan PBL ini ada yang mengaplikasikannya dalam kontek kurikulum sehingga disebut kurikulum PBL. PBL juga ada yang menerapkan sebagai sebuah metode pendidikan. Problem Based Learning adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata dan lalu dari masalah ini mahasiswa dirangsang untuk mempelajari masalah ini berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah mereka punyai sebelumnya (prior knowledge) sehingga dari prior knowledge ini akan terbentuk pengetahuan dan pengalaman baru. Diskusi dengan menggunakan kelompok kecil merupakan poin utama dalam penerapan PBL. Penerapan PBL di pendidikan kedokteran pertama kali di Mc Master University Canada pada dekade 1960 akhir. PBL berkembang dengan pesat hingga sampai juga di Indonesia. Diskusi kelompok kecil dalam PBL dapat menggunakan metode seven jumps yang terdiri : 1. Identifikasi dan klarifikasi kata-kata sulit yang ada di dalam skenario. (sekretaris mencatat kata-kata yang masih belum dimengerti setelah didiskusikan) 2. Penentuan masalah. Setiap anggota memiliki bermacam perspektif masalah, akan tetapi harus dicari masalah yang disepakati bersama. (sekretaris mencatat daftar masalah yang telah disetujui). 3. Brainstorming. Anggota kelompok mendiskusikan dan menjelaskan masalah tersebut berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki (prior knowledge). Identifikasi area pengetahuan yang kurang. (sekretaris menulis yang didiskusikan). 4. Berdasarkan langkah 2 dan 3 maka disusun penjelasan masalah dalam bentuk penjelasan sementara ( tentative solution). (sekretaris mencatat penjelasan masalah sementara yang telah didiskusikan). 5. Penentuan Tujuan pembelajaran yang akan diraih. (Tutor mengarahkan agar tujuan pembelajaran fokus, dapat dicapai, komprehensip dan sesuai dengan yang diharapkan.) 6. Belajar mandiri. Mahasiswa belajar mandiri untuk mencari informasi yang berhubungan dengan tujuan pembelajaran. 7. Setiap anggota kelompok menjelaskan hasil belajar mandiri mereka dan saling berdiskusi. (Tutor menilai jalannya proses ini sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan).

3 http://zulharman79.wordpress.com/category/problem-based-learning/

Model tentang kemandirian belajar siswa dan peran Guru


Ditulis oleh zulharman di/pada Desember 27, 2009 Grow (1991) menampilkan model SSDL merupakan urutan yang berkelanjutan dari peningkatan kontrol pelajar dan pengurangan kontrol guru sehingga peran pelajar dari tergantung menjadi mandiri. Stage 1. Pelajar dengan kemandirian rendah (Learner of Low Self Direction) Pelajar dengan kemandirian rendah atau tergantung memerlukan bimbingan dan arahan dari gurunya. Peran guru disini sebagai Authority/coach yang bertujuan untuk meningkatkan kontrol pelajar tehadap pelajarannya. Strategi belajar yang cocok untuk pelajar pada stage ini adalah kuliah yang menekankan pada isi kuliah, terstruktur, tugas yang spesifik dan jelas. Stage 2. Pelajar dengan kemandirian sedang (Learners of Moderate Self Direction) Pelajar pada stage ini merupakan pelajar yang memiliki motivasi. Mereka lebih memiliki kepercayaan diri dan lebih tertarik untuk belajar daripada pelajar stage 1. Mereka kadangkala menolak materi pelajaran yang diberikan guru karena mereka tidak ditunjukkan kegunaan dari yang dipelajari untuk kelanjutan kariinya. Peran guru disini adalah sebagai motivator/guide. Mereka seharusnya memberikan penjelasan yang jelas mengenai pentingnya hal-hal yang dipelajari ini untuk hidup pelajarnya. Peran guru disini pemnting dalam mendukung agar pelajar mampu menyusun tujuan belajar yang realistik dan dapat dicapai serta mengawasi mereka dalam mencapai tujuan belajar dalam rangka mengurangi ketergantungan dan meningkatkan kemandirian pelajar. Stage 3. Pelajar dengan Kemandirian Intermediate (Learners of Intermediate Self Direction) Pelajar pada stage ke tiga ini telah memiliki pengetahuan dan ketrampilan awal untuk mempelajari suatu hal. Mereka telah siap untuk belajar dibawah petunjuk guru, tetapi juga siap untuk belajar atas kemauannnya sendiri. Mereka telah memiliki konsep diri yang baik, kepercayaan diri dan kemampuan untuk bekerjasama dengan orang lain, tetapi masih membutuhkan pengembangan lebih jauh untuk mengurangi ketergantungan mereka kepada guru. Peran guru disini adalah sebagai fasilitator yang berbagi membuat keputusan bersama pelajar, dan memberi kesempatan pelajar untuk meningkatkan kontrol belajarnya. Stage 4. Pelajar dengan kemandirian tinggi (Learners of High Self Direction) Pelajar pada stage ini mampu menyusun tujuan dan standat belajar dengan atau tanpa bantuan ahli, institusi atau sumberdaya lain untuk meraih tujuannya. Mereka telah sadar dan mampu bertanggung jawab terhadap proses belajar. Mereka telah memiliki kemampuan dalam manajemen waktu, menyusun tujuan belajar, evaluasi diri, peer kritik, pencarian informasi dan menggunakan sumber belajar. Peran guru disini sebagai konsultan/delegasi.

4
Best Evidence Medical Education (BEME),Pendidikan Kedokteran berbasis bukti
Ditulis oleh zulharman di/pada Desember 24, 2008 Apakah Best Evidence Medical Education (BEME) ? Best Evidence Medical Education (BEME) is the implementation, by teachers in their practice, of methods and approaches to education based on the best evidence available. (Harden, 1999) Pendidikan Kedokteran berbasis bukti adalah penerapan pendekatan dan metode pembelajaran oleh pengajar dalam proses pendidikan kedokteran berdasarkan bukti-bukti ilmiah terbaik yang ada. Mengapa harus BEME? Perlunya perubahan paradigma pengembangan pendidikan kedokteran dari berbasis opini ke arah berbasis bukti-bukti penelitian di bidang pendidikan kedokteran. Hal ini didasari karena selama ini pengembangan pendidikan kedokteran lebih banyak berdasarkan opini atau retorika.Dengan BEME maka dalam penerapan suatu metode pembelajaran dapat dipertanggungjawabkan baik secara ilmiah maupun empiris. Konsep BEME? Dalam BEME, Institusi atau pengajar akan menerapkan pendekatan dan metode pembelajaran berdasarkan bukti-bukti penelitian ilmiah terbaik yang ada. Ada 6 hal untuk menilai Evidence yang disingkat dengan QUESTS : 1. Quality : Bagaimana kualitas dari evidence tersebut? 2. Utility : Apakah sebuah metode yang akan diterapkan tersebut dapat diambil tanpa modifikasi? 3. Extent: Bagaimanakah ketersediaan dari evidencetersebut? 4. Strength:Bagaimana kekuatan evidence tersebut? 5. Target: Apakah tujuan? Apakah dapat diukur? Valid? 6. Setting: Bagaimanakah situasi atau kontek ? Relevansi? Oleh karena banyaknya hambatan dalam melakukan penelitian-penelitian pendidikan yang ada seperti kompleknya masalah, faktor-faktor lain yang mempengaruhi hasil penelitian, sulitnya memberi perlakuan kontrol dan blind maka dalam menilai buktibukti penelitian ini diperlukan profesional judgment dari Pengajar sehingga pengabungan profesional jugment ini dengan buktibukti penelitian yang ada akan menghasilkan sebuah keputusan yang sesuai dengan situasi ditempat masing-masing. Kesimpulan BEME akan membantu para Pengajar di pendidikan kedokteran untuk membuat keputusan yang profesional,bertanggungjawab dan ilmiah dalam penerapan suatu metode atau intervensi pembelajaran berdasarkan bukti-bukti penelitian ilmiah terbaik yang ada.

Anda mungkin juga menyukai