Anda di halaman 1dari 17

Evaluasi Proyek-Proyek Pemerintah bagi Organisasi-Organisasi

Pemerintah Lokal Skala Kecil


Walter Castelnovo and Massimo Simonetta Università dell’Insubria, Como, Italy
walter.castelnovo@uninsubria.itsimonetta@ancitel.lombardia.it

Abstrak
Kompeknya konsep dan bidang dalam pemerintahan yang menyebabkan ada perbedaan
cara pandang dalam menetapkan sebuah model evaluasi dampak proyek-proyek
pemerintah. Dalam makalah ini, dijelaskan mulai dari definisi secara umum mengenai
pemerintahan berbasis online / e-government. Kami akan membahas sebuah model yang
tepat bagi evaluasi sistem- e-government berdasarkan pada konsep nilai publik. Pada
bagian akhir makalah ini kami akan menyarankan suatu pendekatan konsep nilai publik
yang bersifat sentralistik terutama pada warga dan berbasis peran, sehingga kami dapat
membedakan aspek-aspek yang berbeda dari nilai publik pada masing-masing peran
yang dimiliki warga dalam interaksi mereka dengan Administrasi Publik. Pendekatan
yang kami sarankan akan digambarkan sebagai pertimbangan evaluasi proyek-proyek
yang ditujukan bagi Pusat Pelayanan Lokal, seperti yang diminta oleh Italian Action
Government Plan atau Rencana Tindakan Pemerintah Italia untuk inklusi kotamadya-
kecamatan dan penyebaran e-government. Kata kunci: e-government, nilai publik,
organisasi-organisasi pemerintah lokal skala kecil ( Kecamatan ), kerja sama antar
komunal.
1. Pendahuluan
Dalam beberapa tahun terakhir, ada begitu banyak sumber daya yang telah
ditemukan untuk menunjang inovasi dalam Administrasi Publik. Tetapi, meskipun telah
terdapat bermacam usaha yang dilakukan oleh banyak institusi (untuk contoh lihat
eGEP (2006), belum ada suatu konsensus tentang cara menilai hasil-hasil investasi
dalam proyek-proyek e-government. Di satu sisi, merupakan kenyataan bahwa tidak
semua hasil proses inovasi e-government yang telah dilaksanakan telah terlihat hasilnya.
Sebaliknya, kompleksitas konsep e-government itu sendiri menyulitkan dalam
menetapkan suatu sistem evaluasi yang dapat diterapkan pada semua bidang yang
tercakup dalam konsep tersebut (e-Demokrasi, e-Administrasi, e-Servis).
Dalam makalah ini, kami mengadopsi suatu definisi luas dari e-government,
seperti yang disarankan oleh Organisasi Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan
(OECD(2003)). Menurut definisi ini, e-government dapat dianggap sebagai proses
inovasi Administrasi Publik untuk mencapai bentuk-bentuk inovatif dari pemerintahan
dan penguasaan melalui penggunaan ICT. Dalam hakekat ini, evaluasi dari suatu sistem
e-government harus diarahkan pada kapasitasnya dalam meningkatkan seluruh performa
organisasi yang mengadopsinya. Konsep nilai publik memberikan suatu sudut pandang
menarik untuk evaluasi performa Administrasi Publik (Kelly, Mulgan, Muers (2002)).
Tujuan makalah ini adalah untuk menjelaskan suatu pendekatan terhadap
evaluasi sistem-sistem e-government berdasarkan pada suatu sudut pandang nilai publik
yang berpusat pada warga negara dan berdasar peran. Suatu pendekatan semacam ini,
yang dijelaskan dalam bab 2, dimana pola penerapan akan di deskripsikan dalam suatu
model yang dapat digunakan bagi evalusi proyek-proyek untuk inklusi kotamadya-
Kecamatan dalam penyebaran e-government, seperti yang diminta oleh Italian Action
Plan atau Rencana Tindakan Pemerintah Italia bagi penerapan e-government pada
tingkat lokal dan regional (CNIPA (2005)).
Italian Action Plan mewajibkan Organisasi-organisasi Pemerintah Lokal Skala
Kecil (kotamadya-kecamatan dengan penduduk kurang dari 5000 orang yang mewakili
72% dari kotamadya-kotamadya di Italia) untuk menetapkan perjanjian-perjanjian
kerjasama untuk aktivasi Pusat-Pusat Pelayanan Lokal atau Local Service Centres
(LSC), berdasarkan pada model kerja sama antar komunal. Dalam Bab 3, kami akan
membahas model kerjasama antar komunal. Salah satu unsur yang paling penting bagi
suatu kerjasama antar komunal adalah manajemen proses yang mengarah pada
aktivasinya. Untuk mengurangi resiko kegagalan akibat rancangan kerja sama yang
tidak akurat, kami akan menyajikan suatu model standar untuk definisi kerjasama antar
komunal yang dihasilkan dari suatu analisis kasus Pemerintah Lokal di Italia (IreR
(2002); Castelnovo, Simonetta (2006b)). Terakhir, dalam Bab 4, kami akan membahas
suatu pendekatan yang berdasar pada nilai publik terhadap evaluasi proses definisi suatu
kerja sama antar komunal untuk manajemen inovasi yang melibatkan SLGOs. Secara
lebih spesifik, kami akan mempertimbangkan bagaimana evaluasi kerjasama dapat
bergantung pada nilai publik seperti yang dirasakan oleh warga-warga yang memainkan
peran secara langsung yang dilibatkan dalam definisi dan manajemen kerjasama.
2. e-Government dan Nilai Publik
Dalam pengertian luas, nilai publik mengarah pada nilai yang diciptakan oleh
pemerintah lewat pelayanan-pelayanan, undang-undang, peraturan, dan tindakan-
tindakan lain. Nilai publik memberikan suatu ukuran yang lebih luas daripada yang
digunakan secara konvensional dalam literature manajemen publik baru, mencakup
outcome atau hasil, alat-alat yang digunakan untuk menyampaikannya sebagaimana
kepercayaan dan legitimasi. Nilai publik mencakup masalah-masalah seperti keadilan,
etos atau jiwa suatu bangsa dan pertanggungjawaban (Kelly, Mulgan, Muers (2002)).
Hubungan erat antara konsep nilai publik dan e-government telah ditunjukkan oleh
Kearns (2004). Dalam suatu diskusi kritis tentang penekanan berlebihan yang diberikan
terhadap pelayanan-pelayanan online sebagai unsur pusat unsur pusat dari sistem e-
government, Kearns menerapkan karya Kelly, Mulgan, dan Muers secara langsung
pada evaluasi e-government. Administrasi Publik ditujukan untuk menghasilkan nilai
bagi para warga; dari perspektif ini, penggunaan ICTs untuk meningkatkan
pemerintahan merupakan suatu alat untuk meningkatkan produksi nilai publik. Dengan
demikian, suatu sistem e-government yang dihasilkan dari suatu proses inovasi
teknologi dan organisasi secara tidak langsung dapat dievaluasi dengan peningkatan
yang mungkin dari nilai publik yang diperoleh dari adopsi sistem tersebut. Karena e-
government ditujukan untuk visi pemerintahan yang berpusat pada warga, demikian
pula evaluasi suatu sistem e-government seperti yang dihasilkan nilai publik harus
berdasarkan pada suatu pendekatan yang terpusat pada warga (Bannister (2002), Alford
(2002)). Dengan membahas nilai ICTs untuk Administrasi Publik, Bannister
menggarisbawahi bahwa definisi nilai mencerminkan fakta bahwa para warga
berinteraksi dengan Adminsitrasi Publik, oleh karena itu, dengan nilai publik, mereka
memainkan peran-peran yang berbeda. Suatu klasifikasi yang mungkin dari peran-peran
yang dilibatkan dalam produksi dan penggunaan nilai publik adalah sebagai berikut:
• Warga layaknya sebagai warga: siapapun yang memiliki hak warga.
• Warga sebagai pembayar pajak: orang yang lewat pembayaran pajak, mereka
membayar atau membiayai Administrasi Publik.
• Warga sebagai pengguna/konsumen: orang yang “membeli” suatu pelayanan dari
Administrasi Publik, yang dengan demikian memperoleh nilai pribadi (bagi
dirinya sendiri).
• Warga sebagai ahli waris: orang yang menerima suatu pelayanan dari Administrasi
Publik tanpa harus membelinya.
• Warga sebagai pengusaha: orang yang memperoleh keuntungan dari pelayanan
Administrasi Publik sebagai subjek ekonomis.
• Warga sebagai partisipan: orang yang berpartisipasi dalam pembuatan keputusan
demokratis atau rumusan kebijakan.
• Warga sebagai pembuat kebijakan: orang yang memainkan peranan pembuat
kebijakan dalam Administrasi Publik.
• Warga sebagai penyelenggara: orang yang bekerja untuk Administrasi Publik.
• Warga sebagai agen delegasi: orang yang bekerja untuk atau atas nama
Administrasi Publik tanpa menjadi seorang penyelenggara Administrasi Publik.
• Warga sebagai supplier atau penyedia: orang yang sebagai subjek ekonomi,
menyediakan barang dan jasa bagi Administrasi Publik.
Peran-peran ini berkaitan dengan beberapa cara interaksi antara warga dan
Administrasi Publik. Beberapa dari cara ini menyangkut hubungan antara Administrasi
Publik dan subjek-subjek yang bersifat eksternal: mereka berkaitan dengan peran-peran
di mana para warga menerima suatu nilai dari Administrasi publik sebagai pengguna
pelayanan atau partisipan dalam proses-proses demokratis (pengguna/konsumen, ahli
waris, pengusaha, partisipan). Sebaliknya, cara-cara interaksi lain menyangkut
hubungan-hubungan internal: mereka menyangkut hubungan antara Administrasi Publik
dan warga yang memainkan peran langsung atau tidak langsung dalam proses produksi
nilai (pembuat kebijakan, penyelenggara dengan tanggung jawab manajerial,
penyelenggara tanpa tanggung jawab manajerial). Dalam peran-peran ini, warga
menerima suatu nilai publik dari Administrasi Publik (dalam hal penghargaan politis
atau ekonomis). Meskipun demikian, karena peran-peran ini bertanggung jawab pada
tingkat-tingkat yang berbeda untuk menjalankan fungsi organisasi, maka mereka juga
dapat menerima suatu nilai publik, sebagai contoh dalam hal menjalankan fungsi yang
baik dari Administrasi Publik. Pada dua jenis peran ini kita dapat menambahkan peran
ketiga, yang mencakup peran-peran eksternal pada Adminsitrasi Publik namun
dilibatkan pada tingkat-tingkat yang berbeda dalam produksi nilai publik, seperti kasus
Pemerintahan berbasis Network. Contoh dari peran-peran “gabungan” semacam ini
adalah peran agen delegasi dan peran penyedia, dalam penyedia pelayanan tertentu.
Dengan melakukan pengamatan-pengamatan ini sebagai suatu dasar, kami dapat
menyarankan klasifikasi peran-peran berikut ini, yang harus diingat dalam visi nilai
publik yang terpusat pada warga.

Tabel 1 Sebuah model berbasis peran dari interaksi antara warga dan administrasi
publik
Peran-peran Eksternal Warga layaknya sebagai warga (peran umum)
Warga sebagai pembayar pajak
Warga sebagai pengguna/konsumen
Warga sebagai ahli waris
Warga sebagai pengusaha
Warga sebagai partisipan
Peran-peran Internal Warga sebagai pembuat kebijakan
Warga sebagai penyelenggara dengan tanggung jawab
manajerial
Warga sebagai penyelenggara tanpa tanggung jawab
manajerial
Peran-peran Gabungan Warga sebagai agen delegasi
Warga sebagai supplier atau penyedia

3. Kerja Sama Antar Komunal


Dengan mengadaptasi definisi dari OECD (2003), e-government sama dengan
suatu proses reorganisasi Administrasi Publik untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitasnya lewat penggunaan ICTs. SLGOs seringkali kekurangan sumber daya yang
diperlukan bagi inovasi manajemen. Pembagian sumber daya dan kompetensi
merupakan salah satu kemungkinan bagi SLGOs untuk mengolah proses-proses inovasi
teknologi dan organisasi yang dibutuhkan bagi penerapan sistem-sistem e-government.
Untuk alasan ini Action Plan untuk difusi e-government di Italia menyediakan dana
khusus untuk SLGOs yang menetapkan perjanjian kerja sama untuk aktivasi Local
Service Centres (LSCs) atau Pusat-Pusat Pelayanan Lokal berdasarkan pada model
kerja sama antar komunal untuk syarat pelayanan. (CNIPA(2005)). Seperti yang biasa
terjadi dengan kerja sama antar komunal, aktivasi dari LSC dengan suatu kesatuan
SLGOs merupakan suatu operasi yang kompleks, yang harus direncanakan secara teliti,
jika tidak akan beresiko gagal. Mengingat hasil dari suatu proses kerja sama, aktivasi
dari suatu LSC mensyaratkan (Castelnovo, Simonetta (2006b)):
• Definisi tujuan-tujuan kerja sama
• Definisi fungsi-fungsi yang ditugaskan pada LSC;
• Definisi tingkat-tingkat tanggung jawab;
• Definisi hubungan antara LSC dan SLGO s yang melekat padanya.
• Definisi kondisi-kondisi untuk perlengkapan dan manajemen sumber daya yang
dibutuhkan bagi berjalannya fungsi LSC.
Dari sudut pandang yang berorientasi pada proses, semua pengoperasian ini dapat
dianggap sebagai unsur pokok dari dua jenis proses, definisi khas dari suatu kerja sama
antar komunal:
• Proses-proses penyusunan struktur yang menetapkan bentuk institusi dan
organisasi kerja sama, dengan menetapkan struktur-struktur kontrolnya dan
tingkat tanggung jawab.
• Proses-proses seleksi bidang-bidang kegiatan: proses-proses yang menentukan
kegiatan-kegiatan yang merupakan objek-objek kerja sama, dan sebagai
konsekuensinya, hubungan antara kerja sama antar komunal dan lingkungannya.
Gambar 1 merangkum proses-proses definisi dari suatu kerja sama antar komunal

DEFINISI KERJA SAMA ANTAR KOMUNAL

Proses-proses penyusunan struktur Proses-proses seleksi bidang-bidang


kegiatan

Definisi bentuk institusional kerja Seleksi bidang-bidang intervensi


sama
(proses primer vs. proses sekunder)

Definisi metode-metode di mana para Definisi tingkat keadaan umum dari


partner dapat mengendalikan kerja tingkat kegiatan yang dipindahkan pada
sama kerja sama

Definisi-definisi tugas-tugas Definisi tipologi atau bentuk kegiatan


kewajiban dan tanggung jawab
proses-proses yang merupakan objek Definisi hubungan-hubungan dengan
kerja sama lingkungan

Gambar 1: Proses-proses definisi suatu kerja sama antar komunal untuk syarat atau
ketentuan pelayanan
Definisi suatu kerja sama antar komunal antara SLGOs bertujuan untuk
mencapai hasil-hasil yang lebih baik dari hasil-hasil yang dapat dicapai para anggota
secara perseorangan. Dari sudut pandang nilai publik, ini berarti bahwa suatu jaringan
kerja sama diharapkan akan menghasilkan lebih banyak nilai bagi para warga daripada
yang dapat dihasilkan setiap anggota secara perseorangan. Dalam suatu pendekatan
berbasis peran kita dapat memandang nilai ini dari perspektif-perspektif yang berbeda,
setidaknya sebanyak peran yang dijelaskan dalam tabel 1. Dalam memainkan peran-
peran gabungan atau ganda, sebagai akibatnya, warga merupakan pihak berkepentingan
ganda. Prosesnya yang menurut gambar 1 menentukan suatu kerja sama antar komunal
yang menentukan kondisi-kondisi untuk suatu manajemen kerja sama yang efektif dan
efisien. Proses-proses semacam ini tidak memiliki pengaruh langsung pada nilai yang
dirasakan oleh warga, karena mereka memiliki peran-peran eksternal. Bagi para pihak
berkepentingan eksternal, proses-proses itu bersifat signifikan karena suatu definisi
yang bagus dari kerjasama dapat menjamin kondisi operasional yang lebih baik bagi
pengiriman pelayanan, dan mungkin saja, suatu jajaran penyediaan pelayanan yang
lebih luas. Sebenarnya, dari sudut pandang para pihak berkepentingan eksternal, objek
evaluasi harus merupakan hasil-hasil proses definisi, dan bukannya proses-proses itu
sendiri. Namun demikian, jika kerja sama mencapai tujuan menghasilkan nilai yang
dirasakan oleh para pihak berkepentingan eksternal semacam ini, stabilitas dan
kesinambungannya dalam waktu dapat dipertanyakan karena tidak adanya suatu
kesamaan persepsi nilai oleh orang-orang yang memiliki peran-peran yang bersifat
mengatur (pembuat kebijakan) atau peran-peran manajerial (manajemen) dalam
jaringan kerja sama. Kemungkinan evaluasi-evaluasi yang bertentangan oleh pihak
berkepentingan internal dan eksternal mengakibatkan perlunya menunjuk elemen-
elemen yang dapat menentukan persepsi nilai juga bagi para pihak berkepentingan
internal. Jika stabilitas kerja sama dianggap sebagai suatu elemen yang dapat
menghasilkan nilai, maka evaluasi kerja sama dari sudut pandang nilai yang dirasakan
oleh para pihak berkepentingan eksternal harus terkait pada evaluasinya dari sudut
pandang yang dirasakan oleh para pihak berkepentingan internal.
Bagi para pemegang saham eksternal, evaluasi dari suatu kerja sama antar
komunal tergantung secara eksklusif pada hasil-hasil yang dapat dicapainya, sedangkan
untuk pihak berkepentingan internal merupakan hal yang penting pula melihat caranya
disusun dan dikelola. Dari sudut pandang ini, bagi para pihak berkepentingan internal,
nilai yang dihasilkan oleh suatu kerja sama antar komunal juga tergantung pada kualitas
proses-proses definisinya. Tabel 2 menghubungkan proses-proses definisi dari suatu
kerja sama antar komunal terhadap pihak berkepentingan internal yang terlibat di
dalamnya. Keterlibatan pihak berkepentingan ditentukan dengan mempertimbangkan
dua elemen:
• Partisipasi langsung dalam proses-proses penetapan kerja sama (sebagai contoh,
pilihan bentuk institusional dari kerjasama secara eksklusif terserah pada pembuat
kebijakan)
• Konsekuensi beberapa pilihan yang dibuat selama proses-proses definisi jatuh di
atas suatu pihak berkepentingan tertentu (sebagai contoh, menentukan suatu
bentuk kegiatan tertentu untuk kerja sama memiliki beberapa konsekuensi pada
kegiatan para penyelenggara)
Tabel 2: Peran-peran yang dilibatkan dalam definisi kerja sama antar komunal
PROSES-PROSES
Proses penyusunan struktur Definisi bentuk Pembuat kebijakan
institusional
Definisi cara-cara Pembuat kebijakan
pengendalian atau kontrol Penyelenggara dengan
oleh para anggota jaringan tanggung jawab manajerial
Definisi tugas-tugas
kewajiban dan tanggung Pembuat kebijakan
jawab yang merupakan Penyelenggara dengan
objek kerja sama tanggung jawab manajerial

Proses seleksi bidang- Definisi bidang-bidang Pembuat kebijakan


bidang kegiatan intervensi Penyelenggara dengan
tanggung jawab manajerial
Definisi tingkat keadaan Pembuat kebijakan
umum Penyelenggara dengan
tanggung jawab manajerial
Definisi bentuk kegiatan Pembuat kebijakan
Penyelenggara dengan
tanggung jawab manajerial
Penyelenggara tanpa
tanggung jawab manajerial
Definisi hubungan dengan Pembuat kebijakan
lingkungan

4. Nilai bagi para pihak berkepentingan internal


Kelly, Mulgan, Muers (2002) mengidentifikasi tiga sumber nilai publik bagi warga:
pelayanan, hasil, dan kepercayaan. Pelayanan, hasil, dan kepercayaan dapat dianggap
sebagai elemen-elemen yang menghasilkan nilai juga sebagai pertimbangan pihak
berkepentingan internal yang terlibat dalam definisi dan manajemen suatu kerja sama
antar komunal. Berdasarkan pada konsep-konsep ini, dalam seksi ini kami akan
menggambarkan beberapa elemen yang dapat menghasilkan suatu nilai publik bagi para
anggota kerja sama. Elemen-elemen semacam ini dapat digunakan untuk mengevaluasi
kerja sama dari sudut pandang nilai yang dirasakan oleh para anggotanya. Hubungan
antara nilai publik dan pihak berkepentingan internal dapat dipertimbangkan dari dua
sudut pandang:
• Evaluasi suatu kerjasama antar komunal yang eksis yang ditentukan melalui
proses-proses seperti yang digambarkan dalam bab 3,
• Definisi suatu kerjasama antar komunal yang baru melalui proses-proses seperti
yang digambarkan dalam bab 3.
Dua sudut pandang ini secara jelas berkaitan: menetapkan dari tahap definisi elemen-
elemen mana bagi evaluasi kegiatan jaringan merupakan suatu cara mengurangi resiko
konflik di masa mendatang yang mungkin terjadi antar partner. Menghasilkan nilai
publik bagi warga lewat pelayanan-pelayanan tergantung pada tingkat kualitas yang
disampaikan oleh Administrasi Publik. Kelly, Mulgan, Muers (2002) menetapkan
kualitas pelayanan dalam hal:
• Ketersediaan pelayanan
• Tingkat kepuasan terhadap pelayanan
• Manfaat pelayanan yang ditawarkan
• Kejujuran syarat pelayanan
• Biaya
Pelayanan-pelayanan yang disampaikan pada warga oleh kerja sama atas nama
para anggotanya dapat menyerupai banyak hal (semua pelayanan yang ditentukan
selama tahap penentuan atau definisi melalui proses-proses seleksi bidang kegiatan).
Sebaliknya, hanya ada satu pelayanan yang disampaikan secara langsung oleh kerja
sama terhadap para anggotanya: produksi dan persediaan, untuk kepentingan pelayanan
terhadap warga. Perlengkapan ketersediaan, kepuasan, manfaat, kejujuran dan biaya
selanjutnya dapat diarahkan pada persepsi nilai oleh pihak berkepentingan internal yang
berinteraksi dengan kerja sama. Tabel 3 menggambrakan perlengkapan-perlengkapan ini
dan menunjukkan beberapa elemen bagi evaluasi mereka.
Tabel 3: Evaluasi elemen-elemen dan indikator-indikator umum yang terkait
Perlengkapan-perlengkapan Elemen-elemen evaluasi
Ketersediaan pelayanan Tidak adanya batas waktu untuk menjawab penyelidikan
tentang fungsi kerja sama antar komunal
Fleksibilitas dan tidak adanya batas waktu dalam
mengubah tingkat performa
Kemampuan untuk mengantisipasi masalah dan solusi
Kemampuan untuk menawarkan trend-trend orisinil
Tingkat-tingkat transparansi, dimakduskan sebagai
kemungkinan untuk mengendalikan tindakan-tindakan
secara eksternal
Tingkat kepuasan terhadap Keseluruhan tingkat kepuasan tentang jalannya fungsi
pelayanan kerja sama antar komunal
Manfaat pelayanan yang Hubungan antar pelayanan, yang dapat disampaikan
ditawarkan hanya melalui suatu kerja sama antar komunal, dan
pelayanan, yang dapat disampaikan dengan administrasi
tunggal
Kejujuran syarat pelayanan Kesesuaian antara kebutuhan yang dikenali secara formal
dan pelayanan-pelayanan yang disampaikan dalam
wilayah administrasi
Kesesuaian antara biaya yang dicakup untuk layanan-
layanan yang disampaikan oleh administrasi dan tingkat
pengiriman atau penyampaian layanan
Biaya Kesesuaian antara biaya untuk manajemen kerja sama
antar komunal dan keuntungan yang diperoleh
Tingkat ekonomi yang memadai, seperti kemampuan
untuk memelihara keseimbangan ekonomi dalam jangka
panjang

Dalam tingkatan definisi kerja sama antar komunal, perlengkapan ketersediaan,


kepuasan, dan kejujuran dapat ditentukan dalam hubungannya dengan proses-proses
seleksi bidang-bidang kegiatan dan definisi cara-cara di mana para anggota
perseorangan dapat mengontrol kegiatan jaringan kerja sama. Dalam keadaan tertentu,
perlengkapan-perlengkapan ketersediaan dan kepuasan dapat ditetapkan melalui adopsi
perjanjian-perjanjian tingkat pelayanan yang sesuai, sedangkan perlengkapan kejujuran
dapat dijamin melalui kontrol langsung atau tidak langsung yang digunakan para
anggota perseorangan pada kerja sama. Perlengkapan yang terkait dengan biaya dapat
dievaluasi, malahan, atas pertimbangan penentuan jumlah, para partner tunggal harus
membayar untuk berfungsinya kerja sama. Dalam hal umum, hasil evaluasi kegiatan
suatu institusi menyangkut evaluasi dampak tindakannya dengan referensi pada
kebutuhan dan harapan warga. Dari sudut pandang ini, suatu pendekatan berbasis peran
dan juga hasil dapat ditetapkan dengan referensi peran-peran berbeda yang dapat
dimiliki seorang warga. Evaluasi pemerintah sebagai pertimbangan mencapai hasil-hail
yang diinginkan tampaknya hanya membutuhkan adopsi suatu visi yang difokuskan
pada para pihak berkepentingan eksternal, karena ini menyangkut semua dampak
kebijakan terhadap lingkungan. Namun demikian, dalam suatu makna konsep
lingkungan yang lebih luas, lingkungan bagi suatu kerja sama antar komunal juga
mencakup konsep lingkungan menurut konstitusi, yang dimaksudkan sebagai sistem
Administrasi Publik lokal dan global. Dari sudut pandang ini, evaluasi hasil-hasil yang
dicapai oleh suatu kerja sama antar komunal juga dapat dilaksanakan dengan referensi
pada dampak-dampak yang dapat dimiliki kegiatannya pada lingkungan menurut
konstitusinya. Evaluasi ini mensyaratkan adopsi suatu susut pandang berbasis pihak
berkepentingan internal. Dalam hal-hal ini, evaluasi kerja sama antar komunal
mengenai hasil-hasil yang secara umum dapat menghasilkan nilai bagi pihak
berkepentingan internal dapat dilaksanakan dengan pertimbangan kondisi-kondisi yang
mencirikan kualitas suatu sistem lokal dari Administrasi Publik. Dalam keadaan
tertentu, suatu jaringan kerja sama dari SLGOs dapat dievaluasi dengan referensi
kemampuan kerja sama untuk meningkatkan:
• Tingkat integrasi kebijakan dalam area-area teritorial yang homogen;
• Kemampuan untuk berinvestasi dalam bentuk barang yang tidak diperoleh dapat
secara perseorangan dengan administrasi-administrasi perseorangan.
• Penyederhanaan organisasi dan operasional dari institusi tunggal yang membentuk
jaringan;
• Kekuatan yang berkaitan dengan kontrak dengan referensi pada para supplier dan
administrasi-administrasi lain.
• Kemampuan untuk memelihara hubungan-hubungan kerja sama dengan
administrasi-administrasi, para supplier dan asosiasi-asosiasi lain;
• Kemampuan untuk memainkan suatu peranan regulasi dalam sistem Pemerintahan
yang berbasis Online, di mana organisasi-organisasi yang tidak masuk dalam
sektor publik dalam dilibatkan dalam proses generasi nilai publik (Castelnovo,
Simonetta (2006a)).
Kepercayaan merupakan sumber nilai ketiga yang dijelaskan dalam Kelly,
Mulgan, Muers (2002) dan mewakili suatu elemen penting bagi evaluasi kegiatan
pemerintah; sebenarnya bahkan jika pelayanan-pelayanan dan target-target hasil
dipenuhi, suatu kegagalan kepercayaan akan secara efektif merusak nilai publik. Dari
sudut pandang ini, antara kepercayaan dan nilai publik tidak hanya memiliki suatu
hubungan positif (tingkat kepercayaan yang tinggi dalam pemerintahan meningkatkan
persepsi nilai publik yang dihasilkan). Dampak kepercayaan juga bisa berbentuk
negatif: tidak adanya kepercayaan cenderung mengalihkan aspek-aspek positif yang
terkait dengan kualitas pelayanan dan pencapaian hasil. Dampak negatif yang potensial
dari kepercayaan pada persepsi nilai bahkan lebih jelas jika nilai ditinjau dari perspektif
pihak berkepentingan internal. Dalam suatu kerja sama antar komunal, tidak adanya
kepercayaan antar anggota jaringan dapat mengarah pada gangguan kerja sama. Juga
dalam kasus hasil-hasil yang terkait dengan kualitas pelayanan yang disediakan bagi
warga dievaluasi dalam suatu cara positif. Kepercayaan antar anggota dapat
dimaksudkan baik sebagai kondisi yang memenuhi syarat bagi kemungkinan itu sendiri
untuk mengaktifkan suatu kerja sama antar komunal, dan sebagai elemen yang
diperkuat oleh pengalaman positif, dapat menjamin stabilitas terhadap jaringan dengan
meningkatkan rasa keanggotaan partner-partnernya.
Terdapat literature yang luas tentang subjek kepercayaan antar partner dalam
suatu jaringan kerja sama. Dalam makalah ini kami tidak bertujuan untuk
membicarakan definisi khusus dari kepercayaan, tetapi kami akan membahas bahwa
tingkat kepercayaan partner terhadap kerja sama dapat diukur secara tidak langsung
dengan memperhatikan tingkat integrasi mereka dalam jaringan. Pada kenyataannya,
semakin tinggi tingkat kepercayaan terhadap kerja sama, semakin besar kemauan
partner untuk menyatu dengan jaringan. Serupa dengan ini, meraih tingkat integrasi
yang erat dapat menentukan peningkatan kepercayaan partner terhadap jaringan melalui
bentuk-bentuk kolaborasi yang semakin aktif. Dalam suatu jaringan partner di mana
terdapat keinginan untuk mempertahankan otonomi, integrasi dapat dicapai dengan
menentukan tingkat kemampuan beroperasi antar partner, terutama kemampuan
beroperasi secara organisasi, atau kemampuan bekerja sama (Gompert, Nerlich (2002),
Castelnovo, Simonetta (2006b)). Clark, Jones (1999) menggambarkan empat
perlengkapan yang merangkum aspek-aspek yang mencirikan kolaborasi antar
organisasi:
• Keadaan siap siaga: perlengkapan ini menggambarkan kesiapan organisasi untuk
beroperasi antar partner.
• Pemahaman: perlengkapan pemahaman mengukur banyaknya komunikasi dan
berbagi pengetahuan dan informasi dalam organisasi dan bagaimana informasi
digunakan.
• Gaya memberi perintah: ini merupakan perlengkapan yang menggambarkan
manajemen gaya memerintah suatu organisasi – bagaimana keputusan dibuat dan
bagaimana peran-peran dan tangung jawab dialokasikan atau diserahkan.
• Etos: perlengkapan etos menyangkut tentang sistem nilai dan budaya organisasi
serta tujuan dan aspirasinya.
Perlengkapan-perlengkapan yang disebutkan oleh Clark dan Jones menggambarkan
tingkat-tingkat yang berbeda dari kemampuan bekerja sama, yang dicirikan oleh suatu
pertumbuhan tingkat integrasi antar partner.
Selama tahap definisi dari suatu kerja sama antar komunal, tingkat integrasi
jaringan dapat ditentukan melalui proses-proses penyusunan struktur. Hal ini dapat
dibuat dengan dua tujuan berbeda. Di satu sisi, tingkat integrasi antar anggota jaringan
dapat ditentukan secara sederhana dengan membuktikan kondisi-kondisi terbaru dari
keadaan siap siaga, Pemahaman, Gaya Memerintah, dan Etos yang mencirikan partner-
partner potensial, agar tidak menghadapi kondisi integrasi yang tidak memungkinkan
untuk bertahan. Di sisi lain, terpisah dari kondisi-kondisi yang mencirikan partner-
partner tunggal sebelum definisi kerja sama, proses-proses penyusunan struktur dapat
menentukan suatu tingkat integrasi tertentu sebagai suatu tujuan yang dapat dicapai.
Dalam kasus ini, definisi tingkat integrasi akan digabungkan dengan
individuasi proses-proses organisasi, yang mana sekali dilaksanakan, akan membawa
pada tingkat integrasi yang diinginkan. Dalam evaluasi kerja sama antar komunal,
menguji kondisi-kondisi keadaan siap siaga, pemahaman, gaya Memerintah, dan Etos
dapat bermanfaat untuk memperkenalkan tingkat integrasi yang mencirikan jaringan
pada saat itu. Karena integrasi antar partner sangat terkait dengan tingkat kepercayaan
terhadap jaringan oleh subjek0subjek yang terlibat dalam evaluasinya (pembuat
kebijakan dan para manajer sebagai pihak berkepentingan), menguji subsistensi kondisi
integrasi; atau menguji kekuatan mereka, merupakan suatu indikasi tentang nilai yang
ditentukan oleh kegiatan jaringan.
Tabel 4: Rangkuman model referensi kemampuan beroperasi antar partner secara
organisasi (Clark, Jones (1999))
Tingkat Perlengkapan
kemampuan
Keadaan siap Pemahaman Gaya Etos
bekerja sama
siaga Memerintah
Bersatu Lengkap, Berbagi Homogen Seragam
normal, bekerja bersama
dari hari ke hari
Terkombinasi Doktrin Berbagi Komando satu Berbagi etos
terperinci dan pengetahuan rantai dan tetapi dengan
pengalaman dan interaksi pengaruh dari
dalam komunikasi dengan organisasi
menggunakannya organisasi induk
induk
Kolaboratif Doktrin umum Berbagi Jalur pelaporan Berbagi tujuan,
pada tempatnya pengetahuan tanggung sasaran, dan
dan beberapa dan jawab yang sistem nilai
pengalaman komunikasi terpisah yang yang secara
tentang topik- dibebani signifikan
topik khusus dengan satu dipengaruhi
rantai oleh organisasi
komando induk
tunggal
Ad hoc / Garis pedoman Komunikasi Jalur pelaporan Berbagi tujuan
panitia khusus umum elektronik dan tanggung
berbagi jawab yang
komunikasi terpisah
Mandiri Tanpa kesiapan Komunikasi Tanpa interaksi Berbagi tujuan
lewat telepon, terbatas
dsb.

5. Kesimpulan
Dalam makalah ini kita telah menggarisbawahi aspek-aspek umum dari suatu
pendekatan terhadap evaluasi kerja sama antar komunal yang berbasis pada visi konsep
nilai publik yang terpusat pada warga dan berbasis peran. Adopsi perspektif
memungkinkan untuk menyaring deskripsi nilai publik dan untuk menyatukan proses
evaluasi dan juga sudut pandang yang pada umumnya tidak dianggap penting. Dalam
seksi 2 kami telah memperkenalkan beberapa peran yang dapat dipertimbangkan dalam
definisi suatu pendekatan berbasis peran terhadap konsep nilai publik dan yang
berkaitan dengan beberapa cara interaksi antara warga dengan Administrasi Publik.
Beberapa dari cara ini menyangkut tentang warga yang memainkan suatu peran
langsung atau tidak langsung dalam proses produksi nilai (pembuat kebijakan,
penyelenggara dengan tanggung jawab manajerial, penyelenggara tanpa tanggung jawab
manajerial). Bahkan memelihara suatu pendekatan yang terpusat pada warga, dengan
memperhatikan peran-peran ini, merupakan hal yang mungkin untuk menentukan secara
relevan dalam perspektif nilai publik dan juga sudut pandang, para warga dapat
mengadopsinya karena mereka memainkan peran yang internal terhadap Administrasi
Publik. Dalam Bab 3, peran internal telah terkait dengan beberapa kegiatan yang
relevan bagi definisi dan manajemen bentuk-bentuk yang berbeda dari kerja sama antar
komunal bagi syarat pelayanan (berdasarkan pada analisis konteks Pemerintah Lokal di
Italia).
Akhirnya dalam bab 4, kami membahas beberapa elemen evaluasi yang terkait
dengan tiga area kualitas pelayanan, evaluasi hasil, dan peningkatan kepercayaan, yang
pada umumnya dianggap menjadi tiga sumber Nilai Publik. Dalam seksi ini, kualitas
pelayanan, hasil-hasil atau outcome, dan kepercayaan telah diperhatikan dari sudut
pandang peran-peran internal yang terlibat dalam definisi dan manajemen suatu kerja
sama antar komunal. Ini membentuk dasar suatu model untuk evaluasi kerja sama
berbasis nilai yang dirasakan oleh para anggotanya. Pendekatan yang dijelaskan dalam
makalah ini merupakan pendekatan yang umum dan dapat digunakan untuk
mengevaluasi bentuk kerja sama antar komunal apa saja bagi syarat pelayanan. Italian
Action Plan atau Rencana Tindakan Pemerintah Italia bagi inklusi kotamadya-
kotamadya kecil dalam penyebaran pemerintahan berbasis online mengasumsikan
model kerja sama antar komunal karena model SLGOs dapat mengambil jalan untuk
mengelola proses-proses inovasi teknologi dan organisasi yang disyaratkan oleh E-
government. Dari sudut pandang ini, pendekatan evaluasi yang digambarkan dalam
masalah ini juga dapat diterapkan pada evaluasi proyek-proyek E-government yang
melibatkan SLGOs.

Anda mungkin juga menyukai