Anda di halaman 1dari 9

1. Pendahuluan Pada dekade terakhir, telah terjadi peningkatan perhatian terhadap HI sebagai bidang studi di Indonesia.

Jumlah peminat jurusan HI seluruh Indonesia telah menunjukkan peningkatan drastis. Jika pada akhir tahun 1980an hanya ada 12 jurusan HI di Indonesia, pada 2007 tercatat ada 41 jurusan HI di seluruh Indonesia. Kejadian- kejadian pasca perang dingin berkonribusi terhadap peningkatan minat HI sebagai bidang studi di Indonesia. Terlepas dari meningkatnya popularitas HI sebagai bidang studi di universitas-universitas di Indonesia, para sarjana HI di Indonesia tidak benar-benar aktif dalam bidang akademik baik domestik maupun internasional, mereka jarang membuat makalah akademik, berpartisipasi dalam konferensi Internasional, dan membuat jurnal, artikel, atau buku yang membangun disiplin ilmu tersebut. Para mahasiswa tertarik dengan dinamika politik global yang berubah setelah keruntuhan rezim komunis di Eropa Timur disusul dengan keruntuhan Uni Soviet. Pasca-perang dingin pengembangan bidang studi mencakup resolusi konflik, keamanan non-tradisional, global, masyarakat sipil, dan organisasi non-pemerintah sebagai aktor global yang cenderung menarik perhatian mereka yang sebelumnya menganggap subjek fokus HI hanya pada masalah keamanan dan kebijakan luar negeri. Terlepas dari perkembangan yang menggembirakan, bagaimanapun, penelitian dan bidang akademik di HI mesih kekurangan penelitian yang berkualitas dan publikasi yang memenuhi standar internasional. Dengan ikatan yang kuat kepada para pemegang kekuasaan, ilmuwan sosial di Indonesia (terutama pada masa Orde Baru) tidak menunjukkan minat dengan memulai penelitian atau aktivitas lain yang akan berkontribusi terhadap kemajuan disiplin ilmu. Kredibilitas dan reputasi untuk akademisi sayangnya hanya berdasarkan hubungan pribadi mereka dengan elit yang memimpin. Hal ini kontradiktif dengan kategori intelektual menurut Ariel Heryanto. Menurutnya, kaum intelektual harus menjaga jarak dari kelompok sosial yang paling berkuasa dan kaya raya di masyarakat. 2. Warisan sejarah: kaum intelektual dan pengaruh Amerika Hubungan Internasional di Indonesia termasuk baru. Mulai terbentuk pada pertengahan 1960an ketika beberapa universitas menawarkan jurusan HI untuk memenuhi kebutuhan Departemen Luar Negeri terhadap diplomat terlatih untuk berdiplomasi di luar negeri. Dalam banyak hal, konsep-konsep Realis seperti kekuatan nasional, kepentingan nasional, keseimbangan kekuasaan, pencegahan, dan sebagainya dalam waktu yang lama adalah topik utama dalam inti pembelajaran HI seperti kebijakan internasional, politik internasional, teori HI, dan organisasi internasional.

Pengaruh Amerika, pada masa perang dingin, Amerika Serikat menunjukkan minat geopolitik yang besar terhadap Indonesia sebagai salah satu kekuatan yang muncul di regional Asia Tenggara. Sejak 1950, kebanyakan Ilmuwan sosial Indonesia (kebanyakan adalah dosen universitas ternama) dikirim ke program beasiswa Amerika untuk melanjutkan studi pascasarjana di berbagai universitas di Amerika serikat, seperti University of Carolina di Berkeley, Universitas Cornell, Ohio State University, dan banyak lagi. Sarjana HI termasuk di antara generasi kedua dari akademisi yang dibesarkan di Amerika yang belajar di berbagai universitas di Amerika selama tahun 1960 dan 1970-an. Seorang pakar terkemuka dalam bidang ini adalah Suwardi Wiriaatmadja. Pada tahun 1981, ia menulis buku teks pertama dalam bahasa Indonesia untuk dijadikan sebagai materi Pengantar Hubungan Internasional. Buku ini mencerminkan pengaruh kuat dari pendekatan Realis Amerika, di banyak bab yang didedikasikan untuk mengeksplorasi konsep Realis seperti kekuasaan nasional, kepentingan nasional, instrumen nasional, dan sejenisnya. Buku ini sangat didasarkan pada karya-karya yang dipublikasikan sarjana HI Amerika, terutama HJ Morgenthau, dan George F. Kennan. Buku teks yang meretas jalur ini kemudian menjadi kunci referensi di semua departemen HI di Indonesia hingga saat ini. Sejak saat itu, Realisme ditanggapi secara serius oleh sebagian besar ahli HI Indonesia. 3. Kebijakan luar negeri, pengaruh politik, dan posisi Asia Tenggara di HI Sebagai Negara yang termasuk dalam wilayah Asia Tenggara, pemerintah Indonesia di bawah rezim Presiden Soeharto (1966-1998) dengan serius mendukung pembentukan Asosiasi Bangsa Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) dengan suatu inisiatif baru kebijakan eksplisit yang berdasarkan dari pengalaman Indonesia yang sebelumnya pernah berkonfrontasi dengan Malaysia di bawah pemerintahan Presiden Soekarno.Untuk mengubah ASEAN menjadi sekutu regional untuk memerangi penyebaran komunisme di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berusaha untuk memaksakan doktrin nasionalis ke dalam ASEAN. Salah satu contohnya yaitu masuknya konsep 'ketahanan nasional', musyawarah-mufakat, dan non-interferensi/anti intervensi asing sebagai prinsip utama ASEAN. Ide Ketahanan nasional, musyawarah untuk mencapai konsensus, dan campur tangan diterima dengan baik oleh para pemimpin dan anggota-anggota ASEAN, yang kemudian diadopsi dan dipromosikan konsep-konsep tersebut sebagai bagian dari nilai-nilai ASEAN (Acharya, 2001, hlm 58-62). Reservasi sarjana dan mahasiswa Indonesia tersebut di atas terhadap doktrin nasionalis ini terutama disebabkan oleh pemerintah Indonesia. Contohnya, di universitasuniversitas, mahasiswa diwajibkan untuk mengambil mata kuliah 'Military leadership (Kewiraan) dan juga doktrin militer seperti archipelagic outlook'

(Wawasan nusantara) dan sistem pertahanan nasional (Sistem pertahanan rakyat semesta / SISHANKAMRATA) masuknya para pensiunan perwira militer sebagai dosen yang mengajar di kampus-kampus dan juga karena takut dengan adanya indoktrinisasi militer di kehidupan kampus, maka para mahasiswa melakukan pergerakan untuk meninggalkan hal tersebut. Setelah runtuhnya pemerintahan Orde Baru di 1998, menandai berakhirnya 'militerisasi' di kehidupan kampus. Selama perang dingin, Amerika sangat berpengaruh pada pengajaran Ilmu Hubungan internasional di Indonesia. Pada awal kemerdekaan, negara ini memilih untuk membangun hubungan yang kuat dengan dunia Barat terutama Amerika Serikat, untuk mempertahankan kedaulatannya terhadap kemungkinan kembalinya Belanda. Sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri Sutan Sjahrir menyatakan pada bulan November 1945: Indonesia secara geografis terletak di dalam lingkaran pengaruh kapitalisme dan imperialisme Anglo Saxon. Dengan demikian, nasib Indonesia akhirnya bergantung pada nasib kapitalisme dan imperialisme Anglo Saxon. Pernyataan ini menggarisbawahi niat yang kuat pada bagian dari Pemerintah Indonesia untuk membangun hubungan yang bersahabat dengan Amerika Serikat. Meskipun dalam tahun-tahun berikutnya Indonesia memilih posisi 'netral' dengan memperkenalkan konsep Politik Luar Negeri Bebas Aktif (kebijakan luar negeri bebas aktif), Indonesia terus membangun hubungan dekat dengan Amerika Serikat setidaknya sampai awal 1960-an, ketika Presiden Soekarno mulai mengembangkan hubungan permusuhan terhadap negara-negara memelopori NEKOLIM (Neo-kolonialisme dan imperialisme) dengan membentuk apa yang disebut NEFOS (New emerging forces) yang menyebabkan renggangnya hubungan dengan Barat. Ketika Jenderal Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1966, hubungan dengan Barat kembali menjadi normal. Pemerintah Orde Baru mengembangkan kebijakan yang lebih pragmatis dengan mendirikan kembali hubungan dengan dunia Barat. Selama periode ini sejumlah ilmuwan politik Indonesia dan sarjana Hubungan Internasional mengejar studi mereka di Amerika Serikat. Realisme menjadi kuat dalam tradisi Hubungan Internasional Indonesia dimana akademisi muda banyak yang tetap mewarisi tradisi yang dibangun oleh para pendahulu, yang sebagian besar memperoleh gelar sarjana dari universitas Amerika. Buku teks yang banyak digunakan di kalangan mahasiswa Hubungan Internasional di seluruh negeri untuk kebijakan luar negeri Indonesia, yaitu buku Michael Leifers Indonesias Foreign Policy,diterbitkan pada tahun 1983, yang memberikan informasi lengkap atas perubahan kebijakan luar negeri Indonesia sejak pembentukannya selama revolusi tahun 1940-an dari pemerintahan SoekarnoSoeharto. Buku ini dianggap serius oleh departemen IR (Hubungan Internasional) di Indonesia dan diperlakukan sebagai bacaan wajib bagi kursus kebijakan luar negeri. Pada 1980-an dan 1990-an, sarjana muda IR (Hubungan Internasional) mulai diversifikasi pilihan tujuan studi mereka ke Australia, Inggris, Jerman, dan bahkan Jepang. Melakukan studi masing-masing dalam era pasca-perang dingin, Sarjana

lain dalam generasi ini juga terlibat dalam berbagai aspek IR (Hubungan Internasional). Misalnya, Universitas Gadjah Mada, memperkenalkan studi resolusi konflik dan perdamaian yang menjadi semakin populer dalam lingkup nasional. Universitas lain mengikuti dengan jalan yang berbeda. Misalnya, Universitas Parahyangan Bandung, dengan menambahkan isu keamanan nontradisional dalam kursus tersebut dan mempublikasikannya dengan membawa isuisu keamanan non-tradisional seperti feminisme, terorisme, keamanan lingkungan, peran aktor non-negara,dan media (Pareira, 1999; Hadiwinata, 2002; Hermawan, 2007). Melalui keterlibatan cendekiawan muda Hubungan Internasional yang lulus dari berbagai perguruan tinggi di seluruh dunia, ajaran IR (Hubungan Internasional) di universitas-universitas di Indonesia telah bergerak jauh dari Realisme. Terbatasnya akses sebagian dosen untuk buku teks baru yang berisi pendekatan dan isu-isu di luar Realisme, para sarjana Indonesia, departemen Hubungan Internasional di beberapa universitas seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Parahyangan, Universitas Padjadjaran, dan Universitas Airlangga kemudian membuat tulisan atau buku mengenai studi Hubungan Internasional sendiri, tulisan para sarjana Indonesia seperti Dewi Fortuna Anwar (LIPI), Rizal Sukma (CSIS Jakarta), Makmur Keliat (Universitas Indonesia), dan Banyu Perwita (Universitas Parahyangan) yang kemudian semakin banyak digunakan. Tulisan-tulisan tersebut membahas berbagai isu, terutama hubungan luar negeri Indonesia, pembuatan kebijakan luar negeri Indonesia, dan konflik antar negara; semua yang kurang lebih mewakili tradisi Realis. Terlihat kurangnya minat di kalangan mahasiswa Indonesia terhadap wilayah Asia Tenggara, sedangkan mahasiswa lainnya lebih suka mengambil studi kursus lain seperti Amerika Latin atau Timur Tengah karena dinilai dua kawasan tersebut memiliki keadaan yang lebih dinamis dan lebih menarik sebagai studi kursus, seperti perdebatan antara modernisasi dan teori ketergantungan di Amerika Latin, dan Israel-Arab konflik di East. Hingga saat ini, ketertarikan mahasiswa dengan kawasan Asia Tenggara di universitas masih rendah, masih sangat sedikit mahasiswa yang memilih program studi pilihan di Asia Tenggara. Ariel Heryanto berpendapat bahwa kurangnya minat mahasiswa dalam memilih program studi kawasan Asia Tenggara dapat dikaitkan dengan empat faktor: (i) Orientasi nasionalis pendidikan di negara-negara Asia Tenggara, (ii) Kecenderungan dari mahasiswa di Asia Tenggara yang melanjutkan studi di luar negeri lebih memfokuskan intelektual mereka pada negara-negaranya sendiri, (iii) hambatan bahasa, dan (iv) mekanisme dalam mendirikan pusat-pusat studi Asia Tenggara yang telah menyimpan Asia Tenggara di teluk (Heryanto, 2007, hal. 81). Kurangnya minat mahasiswa pada Asia Tenggara salah satunya adalah karena ketiadaan lembaga yang berfokus pada Asia Tenggara. Ketertarikan di kawasan Asia Tenggara, bagaimanapun, hanya tumbuh di luar universitas. Misalnya, yang berbasis di Jakarta CSIS, mulai terlibat aktif dalam penelitian tentang kawasan Asia Tenggara. Para CSIS terutama melalui ketuanya, Jusuf

Wanandi - memainkan peran aktif dalam membentuk forum 'track two pada tahun 1988. Namun pertemuan dalam forum tersebut dilakukan secara eksklusif dan terbatas pada staf CSIS dan tidak pernah melibatkan perwakilan dari institusi akademik. ASEAN-ISIS juga dikritik karena eksklusif dengan hanya melibatkan masyarakat elit seperti pejabat pemerintah, sejumlah akademisi, pengusaha, dan media, dan jarang melakukan perwakilan dari sektor 'rakyat' seperti organisasi masyarakat, LSM, dan organisasi rakyat berpartisipasi dalam rapat ASEAN-ISIS (Morada, 2007, hal. 3). Ketertarikan di antara para sarjana dan mahasiswa Indonesia untuk ASEAN sudah rendah dan juga diperburuk oleh eksklusivitas forum ini yang membatasi informasi tentang ASEAN urusan dan anggotanya masing-masing. 4. Hubungan kekuasaan dan intervensi pemerintah Sejarah ilmu sosial di indonesia masih erat terasosiasi dengan kekuatan dari golongan elit. Ilmuan sosial diharapkan dapat melakukan penelitian atau aktivitas lain (publikasi, seminar, workshop, dan seterusnya) guna memenuhi kebutuhan pengetahuan atau kemampuan tertentu. . Dalam masalah hubungan antara ilmu sosial dan kekuasaan di indonesia, Hafiz dan Dhakidae berpendapat bahwa ilmu sosial di Indonesia secara budaya maupun karakternya tidak akan dapat terlepaskan hubungannya dengan berbagai kebutuhan dari penguasa sampai kapanpun. Sejak awal 1970-an, Orde Baru telah membuka lebar birokrasi sehingga para akademisi dapat secara langsung terlibat ke ranah politik sebagai pejabat-pejabat penting. Jendral soeharto melibat kedalam kekuasaan pada 1966, menangani huru-hara politik, saat ribuan anggota PKI dibunuh atau ditawan sebagai tahanan politik. Sepanjang orde baru, presiden soeharto menolak partai komunis dan bersikeras melarang ideologi Marxist yang menakuti pelajar indonesia karena memungkinkan ancaman asosiasi terselubung dibawah ideologi komunis, sebuah asosiasi yang menghasilkan kematian, siksaan, dan penolakan akses ke jabatan publik serta isolasi dari komunitas. Dijalankan pulalah kebijakan anti-komunis bersemboyan normalisasi kampus melalui para akademisi serta larangan mempelajari teori analisis kelas. Beberapa mahasiswa menantang pemerintah menjelaskan kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan analisis kelas. Meskipun menerima sambutan baik secara minoritas dari UI dan UGM, secara mayoritas kalangan menolak insiden itu karena teror aparatur pemerintah. Layaknya pemenjaraan tiga mahasiswa UGM yang menyebarkan marxisme melalui novel tulisan pramudya ananta toer. Asosiasi besar seperti ISEI dan CSIS yang mulai mendorong politik, budaya, pendidikan, dan moral mulai digunakan mengatasi berbagai aspek masalah dalam ranah pemerintahan. Namun otoriternya pemerintahan memaksa ilmuan sosial harus berkata manis didepan pemerintah. Dan sukses, pemerintah telah menanamkan pragmatisme dan kompromi sampai kehidupan akademik yang berjalan harus seizin penguasa.

Para minoritas penentang yang masih bertahan sampai Orde baru runtuh, masih berjuang hingga akademisi pada saat demokrasi tumbuh para sarjana hubungan internasional benar-benar berkecimpung dalam politik pada posisi-posisi penting. Seperti akademisi Amien Rais dari hubungan internasional UGM yang membentuk partai PAN hingga menjadi ketua MPR dan yang lain menjadi pejabat pembantu partai atau di parlemen. Sekarang, sarjana HI mulai dipandang kredibilitasnya dalam mengatasi masalah diplomatik, pertahanan, dan kebijakan internasional. Peran pemerintah dalam membentuk kurikulum melalui Dirjen Dikti pada kementrian pendidikan yang mengklasifikasikan mata kuliah menjadi MKDU, MKDK, MKK dan MKP sangatlah terlihat sebagai pengontrolan dunia universitas. Pada departemen HI, identik dengan mata kuliah Agama, Pancasila (Ideologi negara), budaya dasar, B. indonesia, ilmu logika sedangkan MKDK termasuk pengantar politik, pengantar sosiologi, pengantar ekonmi, metode statistik, politik di Indonesia. Lalu MKK mencakup pelajaran khusus seperti politik internasional, ekonomi politik internasional, teori HI dan organisasi internasional : secara pokok MKK terdiri atas pelajaran yang mendukung keahlian seperti bahasa asing (Inggris, China, Prancis, dan Jepang). Secara umum mehasiswa harus menyelesaikan minimal 140 sks dengan 30%-nya adalah MKDU dan MKDK. Jikapun ada perubahan, universitas dilarang menyalahi aturan pemerintah dilingkungan tersebut. Walaupun regulasi seperti ini ditetapkan, beberapa universitas khususnya jurusan HI di Universitas negeri bersikeras bernegosiasi kepada pemerintah untuk mengimplementasikan kurikulum sesuai pilihannya dengan mengajukan rancanganya. Misalnya pada 2007, depertemen HI UI menemukan rancangan baru agar mahasiswa dapat memilih empat bidang konsenrasi yang sesuai dengan realisme, liberalisme, dan konstuktivisme. Dalam desain baru ini, bagaimanapun, hanya memenuhi 70% dari total 140 sks bagi progam sarjana, atau 30 mata kulyah dengan estimasi 3 sks per mata kulyah, yang ditambah 30% MKDU dan MKDK sebagai regulasi dibawah kebijakan pendidikan nasional. Negara juga memperkuat peran penting bagi promosi jabatan akademik, khususnya dari Lektor Kepala menjadi Profesor. Setiap akademisi harus mengumpulkan poin kredit dari aktivitas pengajaran, tesis, publikasi, presentasi pada seminar dan pengabdian pada masyarakat. Posisi lektor kepala dibagi menjadi tiga kategori, yaitu A = 400 sks, B = 500 dan C = 700, sedangkan gelar professor diberikan jika akademisi mampu melebihi angka 850. Para pengajar ditaksir dengan tridarma, yaitu 1. Pengajaran dan pengawasan, 2. Penelitian, partisipasi pada konferensi, dan publikasi serta 3. Pengabdian kepada masyarakat. Pengajaran dan pengawasan adalah yang paling penting, sebagaimana mayoritas poin didapat dari sini. Selain Universitas, dugaan lain yang menentukan promosi akademik adalah komite khusus pada kementrian pendidikan yang menguji kepantasan akademisi. Yang pada masa orde baru tandatangan presiden pun harus dibubuhkan pada SK (Surat Keputusan) menteri pendidikan. Bagi pendidikan tinggi manapun yang

menyalahi Regulasi kurikulum akan mendapat akreditasi rendah dari BAN (Badan Akreditasi Nasional) yang mana surveynya dilakukan setiap lima tahun sekali. Lebih dari itu, akademisi dari Universitas yang tak terserap dalam birokrasi negara, lebih suka menghabiskan waktu untuk mengajar serta mengawasi pelajar daripada melakukan penelitian, presentasi seminar, atau publikasi. Sebab dari aspek itulah, mayoritas poin untuk mendapatkan promosi sangat mudah didapat. Sungguh kontribusi situasi yang mengurangi motivasi untuk melakukan penelitian atau aktivitas lain yang mendorong kemajuan HI di negeri ini. Pada 2005, pemerintah menetapkan undang-undang baru yang no.14/2005 tentang guru dan dosen. Walaupun tujuan penghargaan adalah untuk meningkatkan profesionalitas dan kesejahteraan, UU ini tumbuh kontoversial. Yang mana mewajibkan setiap guru atau dosen dengan jumlah poin dibawah professor untuk mengikuti kursus sertifikasi secara berkala. Hal ini tentu memperrumit keadaan para akademisi untuk berkembang, dan pastinya menambah banyak waktu dan tenaga.

5. Komersialisasi pendidikan tinggi Sejak krisis ekonomi melanda pada tahun 1997, perguruan tinggi berubah orientasi menjadi sesuatu yang komersil. Dampak ini diikuti dengan menurunnya jumlah pelajar Indonesia yang melanjutkan studinya ke luar negeri khususnya Australia, USA dan negara-negara Eropa. Kenyataan bahwa komersialisasi pendidikan di Indonesia sudah terlihat dari adanya pembukaan kelas-kelas non-reguler baik di perguruan tinggi negeri juga swasta. Kebanyakan dari kelas non-reguler ini dibuka untuk para kaum pekerja sehingga kelas pun dimulai pada sore atau malam hari. Selain itu juga ada juga dibukanya kelas internasional dan perbedaannya pun terlihat dari berbagai fasilitas dan biaya yang dikeluarkan untuk masuk kelas internasional. Contohnya proses belajar-mengajar dengan bahasa inggris serta ruangan kelas dilengkapi pendingin udara. Perguruan tinggi negeri dan swasta tentunya sangat berbeda. Untuk perguruan tinggi negeri tidak perlu pusing dengan urusan dana karena mendapat dukungan dari pemerintah sedangkan perguruan tinggi swasta yang sama sekali tidak menerima dana dari pemerintah sehingga harus lebih kreatif dalam mencari sumber dana. Sumber dana ini dapat dimaksimalkan dari biaya masuk, uang kuliah dan sebagainya. Maka dari itu, banyak dari perguruan tinggi swasta memanfaatkan masa-masa pendaftaran mahasiswa baru dengan meningkatkan daya tampung untuk mahasiswa/i baru. Contoh sejak tahun 1997 Jurusan Hubungan Internasional Universitas Parahyangan Bandung menerima sekitar 100 mahasiswa baru meskipun jumlah pengajar hanya 14 orang dan penerimaan mahasiswa baru tersebut terus bertambah sampai 250 orang pada tahun 2008 dan kelas pun dibuka sampai 4 kelas dengan jumlah 50-60 mahasiswa per kelas. Untuk menjamin

kegiatan belajar-mengajar menjadi efektif, maka dibuat peraturan yang mewajibkan setiap minggu harus memenuhi 12 sks. Kini, beberapa universitas di Indonesia berhasil menghasilkan karya penelitian. Namun, karya-karya penelitian yang dihasilkan merupakan sebuah orientasinya proyek dan dilaksanakan berdasarkan kerjasama dengan lembagalembaga nasional (kementerian) juga internasional. Hal ini menjadi sebuah bentuk komersialisasi dalam perguruan tinggi bukan tanpa alasan. Secara umum, menjadi seorang akademisi bukanlah pekerjaan yang menguntungkan secara materi, dengan mendapatkan proyek penelitian para akademisi jadi mendapat penghasilan tambahan. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya, citra intelektualitas yang ada pada para akademisi Indonesia telah berubah ketika pemerintah masa orde baru. Hal ini mengakibatkan kredibilitas dan reputasinya pun menjadi buruk (tidak intelek). Ketika masa Orde Baru akademisi ditekan oleh pemerintah untuk menghasilkan sebuah karya untuk mendukung kebijakan pemerintah. Komersialisasi terhadapan pendidikan yang terjadi di Indonesia terjadi setelah krisis ekonomi melanda Indonesia tahun 1997. Hal tersebut mendorong para akademisi menjadi berubah orientasi (money oriented). Memasuki masa reformasi demokrasi, penelitian tentang demokratisasi dan konflik menjadi semakin popular karena dikalangan para pendonor (pihak domestik dan luar negeri) merupakan isu yang sangat menarik untuk diteliti. Dampaknya adalah akademisi dipaksa untuk menghasilkan lebih banyak karya penelitian yang manfaatnya hanya menjadi bahan praktis melainkan berteori secara akademik.

6. Kesimpulan Dalam makalah ini dibahas tentang warisan sejarah, hubungan politik dan komersialisasi dalam dunia pendidikan telah menciptakan sebuah paradoks pada Hubungan Internasional sebagai sebuah studi di Indonesia. Sementara studi HI di Indonesia telah mendapatkan apresiasi yang cukup tinggi. Hal tersebut dapat dilihat dari banyaknya mahasiswa baru yang tertarik untuk belajar ilmu HI. Di Indonesia, perkembangan ilmu HI berjalan lambat terutama yang membuka studi HI di universitas-universitas kecil karena kurangnya literatur terbaru sehingga hanya menggunakan studi kepustakaan yang lama. Hal tersebut menghambat proses untuk mendapatkan pandangan-pandangan yang lebih luas tentag keilmuan HI. 1. Komersialisasi di dunia pendidikan yang terjadi telah memberikan dampak yang tidak baik bagi para akademisi karena menjadikan money oriented. Dampak tersebut dapat dilihat dari perguruan tinggi yang membuka kelas non-reguler, kelas internasional dan sebagainya. Hal tersebut mengakibatkan penelitian yang dilakukan para akademisi/pengajar kurang memuaskan. Lebih lanjut lagi adalah tidak

adanya penelitian ilmiah terbaru atau penelitian yang bersifat independen yang bisa saja penelitian tersebut dalam rangka mengkritik kebijakan pemerintah. 2. Meningkatnya jumlah orang Indonesia yang lulus dari universitasuniversitas luar negeri dan kembali mengajar HI di banyak universitas tidak otomatis mengubah sikap terhadap penelitian dan publikasi. Sebaliknya, lulusan muda luar negeri seringkali mengikuti jejak seniornya dalam menjalin kerjasama dengan pihak yang berkuasa, menghabiskan banyak waktunya untuk mengajar, dan melaksanakan penelitian berbasis proyek untuk keuntungan meterial. Seseorang tidak dapat melihat perubahan drastis kecuali ada revolusi dalam manajemen perguruan tinggi secara umum.

Anda mungkin juga menyukai