Anda di halaman 1dari 2

Pertumbuhan Ekonomi, Pertanian dan Daerah Tertinggal

Tak bisa dipungkiri, gemuruh pembangunan yang dilakukan pemerintah telah mendorong perbaikan ekonomi. Setelah pertumbuhan ekonomi minus 13,13 persen akibat krisis tahun 1998, pertumbuhan ekonomi positif rata-rata 5 persen sejak tahun 2000 dan meningkat rata-rata di atas 6 persen per tahun sejak tahun 2006. Di tahun 2009, pertumbuhan ekonomi memang sempat terkoreksi pada angka 4,6 persen, namun masih dimaklumi karena sedang terjadi krisis global. Namun angka tersebut menyimpan tantangan baru. Struktur pertumbuhan ekonomi selama ini yang lebih banyak dihela oleh pertumbuhan di sektor nontradable (jasa) dan konsumsi, sehingga menjadikan pertambahan pendapatan kelompok kaya jauh lebih cepat ketimbang laju pertambahan pendapatan kelompok miskin yang sebagian besar menggantungkan hidupnya di sektor riil. Padahal, sebagian besar angkatan kerja kita, termasuk penduduk miskin, menggantungkan hidupnya di sektor tradable (utamanya sektor pertanian). Data BPS Tahun 2011 menunjukkan, indeks gini yang merupakan indikator ketimpangan distribusi pendapatan mencapai 0,41 poin. Angka tersebut dapat diartikan 1 persen penduduk menguasai hingga 41 persen total kekayaan di Indonesia. Disamping itu, pertumbuhan kelas menengah juga meningkat di Indonesia. Bank Dunia Tahun 2011 menyebutkan, 56,5 persen dari 237 juta populasi Indonesia masuk kategori kelas menengah. Kategori kelas menengah versi Bank Dunia adalah mereka yang membelanjakan uangnya 2 dollar AS (sekitar Rp 18.000) sampai 20 dollar AS (sekitar Rp 180.000) per hari. Artinya, saat ini ada sekitar 134 juta warga kelas menengah di Indonesia. Selain menelurkan jumlah kelompok menengah, pertumbuhan ini juga menyisakan kelompok rentan dan miskin. Penurunan tingkat kemiskinan di Indonesia cenderung berjalan lambat, dari data yang sama tingkat kesenjangan kemiskinan antar provinsi sangat tinggi. Pada Maret 2012, misalnya, tingkat kemiskinan di Jakarta sebesar 3,69 persen, sementara di Papua mencapai 31,11 persen. Hal ini tentu tidak terlepas dari disparitas pembangunan ekonomi antar wilayah yang masih tajam. Data Kementerian PDT menunjukan, perbedaan rata-rata angka kemiskinan di kabupaten daerah tertinggal dengan rata rata nasional Tahun 2010 sebanyak 6,32%. Dengan rata-rata angka kemiskinan di daerah tertinggal sebanyak 15,51% maka perlu penurunan tingkat kemiskinan sebanyak 1,9% pertahun jika ingin mencapai target 14,2% di Tahun 2014. Sedangkan pertumbuhan ekonomi di Daerah tertinggal pada tahun 2010 sebanyak 5,60% masih berada di bawah rata-rata nasional sebanyak 5,95%. Laju peningkatan investasi merupakan salah satu faktor peningkatan pertumbuhan ekonomi. Secara makro, kinerja investasi di Indonesia cukup menggembirakan. Data yang dilansir Kantor BKPM (2012), membuktikan kinerja investasi pada triwulan II atau hingga September 2012, yang telah menembus angka Rp 229 triliun atau 81,1% dari target tahun ini, realisasi investasi tersebut meningkat sekitar 27% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Angka tersebut merupakan akumulasi dari realisasi penanaman modal, baik penanaman modal dalam negeri (PMDN) maupun penanaman modal asing (PMA). Dari angka tersebut, telah terjadi pemerataan struktur realisasi investasi yang tercermin dari porsi investasi di luar Jawa yang terus naik. Pada JanuariSeptember 2012, investasi di luar Jawa mencapai Rp107,0 triliun atau 46,5 % di antara total investasi. Angka tersebut naik jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu Rp81,1 triliun atau 44,8% di antara total realisasi investasi, sehingga pemerataan investasi ini sangat penting untuk mendorong pemerataan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertanian di Indonesia Namun sekali lagi, pertumbuhan tersebut belumlah berkualitas. Data BPS 2012 menyebutkan, dari jumlah Rumah tangga miskin di Indonesia sebanyak 55,51% bekerja di pertanian dimana sebagian besar aktifitas sektor ini berada di perdesaan. Hal ini didukung juga dengan data jumlah kemiskinan di perdesaan (15,12%) lebih tinggi bandingkan di Kota (8,78%) pada tahun yang sama. Sehingga tidak

salah untuk menopang pembangunan ekonomi indonesia di fokuskan pada pertanian di perdesaan. Masyarakat di perdesaan selama ini diidentifikasi sebagai masyarakat miskin adalah petani gurem dan buruh tani, atau nelayan di wilayah pesisir. Salah satu permasalahan umum selama ini yang dihadapi petani miskin (baca:gurem) dan buruh tani yaitu tidak memiliki alat produksi (baca: sawah). Sedangkan berdasarkan sintesis data dan informasi dari sejumlah hasil penelitian dan data yang dipublikasikan oleh sejumlah lembaga terkait, diperkirakan luas lahan sawah yang terkonversi tidak kurang dari 150.000 hektar/tahun. Di satu sisi, menurut detik.com (16/02/2013), BPN telah Menetapkan Tanah Terlantar seluas 51.976 Ha selama tahun 2012. Artinya jika secara makro dilakukan moratorium pengalihan fungsi lahan dan pemanfaatan tanah terlantar untuk petani miskin, maka angka kemiskinan diperkirakan relatif turun. Sehingga kedepan perlu dirancang program penanggulangan kemiskinan (dalam skala besar) yang fokus di daerah pedesaan, baik di sektor pertanian (untuk petani gurem dan nelayan) maupun sektor non-pertanian (untuk buruh tani). Program penanggulangan kemiskinan harus dibuat berbeda untuk wilayah perkotaan dan pedesaan (juga antar provinsi), karakteristik daerah harus diperhatikan, dan terkait hal ini peran pemerintah daerah mutlak diperlukan. Karena Sektor pertanian di Indonesia sungguh sangat strategis untuk meningkatkan taraf hidup penduduk di pedesaan, penyediaan pangan bagi seluruh penduduk Indonesia. Oleh karena itu, pembangunan sektor pertanian ke depan seyogianya dengan sasaran utama peningkatan kesejahteraan masyarakat petani dan pemantapan ketahanan pangan nasional. Pembangunan Daerah Tertinggal Dalam konteks ketertinggalan, struktur ekonomi kabupaten di daerah tertinggal selama ini sebagian besar di topang oleh pertanian secara luas (perkebunan, tanaman pangan, peternakan dan perikanan kelautan). Dengan profil sebaran kemiskinan yang banyak di perdesaan yang sebagian besar berada di sektor pertanian, diharapkan Industrialisasi dan hilirisasi yang sedang berjalan menjadi respon positif dalam mengatasi persoalan ini. Dengan sebaran industrialisasi dan hilirisasi khususnya di luar Jawa selain meningkatkan nilai tambah produksi juga diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan usaha baru. Pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru diharapkan terus diperbanyak di luar Pulau Jawa. Hal ini akan menstimuli pembangunan di luar Pulau Jawa, sehingga kedepannya akan lebih banyak lagi daerah yang akan berkembang. Untuk aksesibilitas ke sektor produktif, program pemberdayaan masyarakat, perluasan akses keuangan (modal), akses produksi dan pasar dilakukan melalui berbagai program baik yang dilakukan pemerintah pusat maupun daerah. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal, selama tahun 2011 telah mencanangkan strategi kebijakan pengembangan komoditas atau produk unggulan kabupaten yang ditujukan untuk mendorong dan mengungkit ekonomi daerah melalui pengembangan komoditas maupun produk unggulan di daerah masing-masing. Sebagai kementerian koordinatif, KPDT harus mampu mendorong dukungan dan penguatan kebijakan ini di daerah tertinggal terutama dalam kaitan regulasi, seperti optimalisasi Sinergitas program Kementerian/ Lembaga yang fokus pada sektor pertanian dalam arti luas (mencakup pertanian tanaman pangan, peternakan, hortikultura, perkebunan, perikanan-kelautan, dan kehutanan) terutama lebih jauh dalam kaitan reforma agraria; advokasi alokasi anggaran APBD untuk pembangunan sektor pertanian yang signifikan di daerah tetinggal; mensinergikan Penguatan Kelembagaan yang terkait dengan pertanian di daerah tertinggal, seperti R & D, Perbankan dan penyuluhan; dan Sinergitas Akademisi, Bisnis, Government (ABG) dan LSM untuk peningkatan inovasi dan produktivitas di daerah tertinggal.

Anda mungkin juga menyukai