Anda di halaman 1dari 27

I.

TUJUAN Mahasiswa mampu menerapkan prinsip maserasi dan kolom kromatografi.

II.

DASAR TEORI Kurkumin merupakan salah satu produk senyawa metabolit sekunder dari

tanaman Zingiberaceae, khususnya Curcuma domestica (kunyit) dan Curcuma xanthorhiza (temulawak). Kurkumin tergolong senyawa diarilheptonoid turunan metana tersubstitusi dua asam farulat (diacu sebagai diferuloil metan) dengan rumus molekul C21H20O6 dan berat molekul 368,126 serta titik lebur 183C. Kurkumin tidak dapat larut dalam air, tetapi larut dalam etanol dan aceton. Degradasi yang terjadi bila kurkumin berada pada lingkungan pH 8,5 10,0 dalam waktu yang relatif lama (Kristina dkk.,2010).

Gambar 1. Struktur Kimia Kurkumin (Kristina dkk., 2010) Maserasi merupakan proses penyarian yang paling sederhana dan banyak digunakan untuk menyari bahan obat yang berupa serbuk simplisia halus (Voight,1994). Teknik penyarian dengan metode maserasi dilakukan dengan merendam simplisia dengan cairan penyari tertentu. Karena perbedaaan konsentrasi di luar dan di dalam sel, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel, maka larutan yang pekat didesak keluar. Peristiwa ini terjadi berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 1986). Maserasi digunakan untuk penyarian simplisia yang mengandung zat aktif yang larut dalam cairan penyari dan tidak mengandung zat yang mudah mengembang dalam cairan penyari (Depkes RI, 1986). Cairan penyari yang biasa digunakan untuk maserasi adalah pelarut yang bersifat non polar, semipolar dan polar. Pemilihan cairan penyari harus mempertimbangkan
1

bentuk dan faktor cairan penyari yang baik. Penyari harus memenuhi kriteria, yaitu murah dan mudah diperoleh, stabil secara fisika dan kimia, bereaksi netral, tidak mudah menguap dan tidak mudah terbakar, selektif (hanya menarik zat berkhasiat yang dikehendaki) dan tidak mempengaruhi zat berkhasiat (Depkes RI, 1986). Pada maserasi, sejauh mungkin dihindari penggunaan logam berat tanpa lapisan karena dapat membentuk senyawa kompleks dengan kandungan kimia tanaman yang mempunyai gugus ortohidroksi atau hidroksikarbonil dalam molekulnya, misalnya flavonoid, antosianin, tanin dan senyawa fenol lain (Depkes RI, 1986). Keuntungan cara penyarian dengan maserasi adalah cara pengerjaan dan peralatan yang digunakan sederhana dan mudah diusahakan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaan yang lama dan penyariannya kurang sempurna (Depkes RI, 1986). Proses maserasi selesai bila keseimbangan antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk ke dalam cairan telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Semakin besar perbandingan simplisia terhadap cairan pengekstraksi akan semakin banyak hasil yang diperoleh (Voight, 1994). Pada penyarian dengan maserasi perlu dilakukan pengadukan untuk meratakan konsentrasi larutan di luar butir serbuk simplisia sehingga dengan pengadukan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dengan di luar sel (Depkes RI, 1986). Pada kromatografi kolom, campuran yang akan dipisahkan diletakkan berupa pita pada bagian atas kolom penyerap yang berada dalam tabung kaca, tabung logam atau bahkan tabung plastik. Pelarut (fasa gerak) dibiarkan mengalir melalui kolom karena aliran yang disebabkan oleh gaya berat atau didorong oleh tekanan. Pita senyawa linarut bergerak melalui kolom dengan laju yang berbeda, memisah dan dikumpulkan berupa fraksi ketika keluar dari alas kolom (Gritter,R.J,1991). Beberapa hal yang perlu diketahui dalam pengerjaan metode ini antara lain

mengenai pemilihan jenis pelarut, adsorben, rancangan alat, dan sifat bahan yang akan dianalisis (Kusmardiyani dkk., 1992). Pengisian kolom harus dikerjakan dengan seragam. Setelah adsorben dimasukkan dapat diseragamkan kepadatannya dalam kolom dengan menggunakan vibrator atau dengan plunger (pemadat).

Selain itu dapat juga dikerjakan dengan memasukkan adsorben dalam bentuk larutan (slurry) dan partikelnya dibiarkan mengendap. Pengisian kolom yang tidak seragam akan menghasilkan rongga-rongga di tengah-tengah kolom. Cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan mengadakan back fushing , sehingga terjadi pengadukan, yang seterusnya dibiarkan lagi mengendap. Pada bagian bawah (dasar) dan atas dari isian kolom diberi wol kaca (glass wool) atau sintered glass disc untuk menyangga isian. Bila kolom telah diberi bahan isian, permukaan cairan tidak boleh dibiarkan turun di bawah permukaan bahan isian bagian atas, karena akan memberikan peluang masuknya gelembung udara masuk ke kolom (Adnan,M., 1997).

Cadangan zat pelarut Pelarut (fase mobil) Isian kolom (fase stasioner) Wol kaca Penampung Eluat

Gambar 2. Alat Kromatograi Kolom (Eni Hayani, 2007) Kromatografi lapis tipis (KLT) merupakan metode pemisahan secara fisiko kimia yang menggunakan media pemisahan berupa lapisan tipis adsorben yang seragam. Prinsip kerjanya memisahkan sampel berdasarkan perbedaan kepolaran antara sampel dengan pelarut yang digunakan. Teknik ini biasanya

menggunakan fase diam dari bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis sampel yang ingin dipisahkan. Data yang diperoleh dari KLT adalah nilai Rf yang berguna untuk identifikasi senyawa. Nilai Rf untuk senyawa murni dapat dibandingkan dengan nilai Rf senyawa standar. Nilai Rf dapat didefinisikan sebagai jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal (Pramseti, 2010).

III.

ALAT DAN BAHAN A. Alat Alat Alat Gelas Batang Pengaduk Chamber Cawan Porselin Batang Bambu Sarung Tangan Masker Botol Vial yang sudah dikalibrasi dengan volum 5 mL dan diberi nomor I-V B. Bahan Serbuk Kunyit Etanol 96% Silika Gel - N-hexana - Kloroform - Plat KLT - Kertas Saring - Kolom Kromatografi - Toples Kaca - Spektrofotometri UV

IV.

PROSEDUR KERJA A. Pembuatan Ekstrak Curcumae domesticate rhizomae

Ditimbang 10 gram serbuk kering Curcumae domesticae rhizoma

Dimasukkan dalam wadah (toples kaca) terlindung cahaya

Ditambah dengan 100 ml etanol 96%

Ditutup dan diamkan selama 5 hari sambil berulang diaduk (setiap 1 hari sekali)

Setelah 5 hari sari disaring, ampas diperas

Ampas ditambah 25 ml etanol 96%, diaduk dan dibiarkan 2 hari lalu disaring

Ekstrak yang diperoleh diuapkan di atas water bath menggunakan cawan porselin (yang sudah ditimbang sebelum digunakan) sampai didapat ekstrak kental

Ditimbang cawan porselin yang berisi ekstrak kental dan dihitung ekstrak kental yang diperoleh

B. Pemisahan dengan Kolom Kromatografi Pembuatan Kolom Kromatografi

Disiapkan Eluen (N-hexana : kloroform : etanol 96% = 45: 45 :10)

Dimasukkan silika gel ke dalam kolom setinggi 15 cm dengan diameter 1 cm yang telah dialasi dengan glass wool

Dituangkan ke dalam beker glass (yang sebelumnya telah ditimbang terlebih dahulu), untuk mengetahui bobot silika gel yang digunakan

Ditambahkan eluen sambil diaduk sampai terbentuk campuran seperti bubur

Bubur silika dimasukkan sedikit demi sedikit dengan pipet ke dalam kolom. Hati-hati jangan sampai terbentuk gelembung /rongga

Kolom disimpan selama 1-2 hari sebelum siap digunakan

Pengisian Cuplikan / Sampel ke dalam Kolom

Ekstrak kental yang diperoleh ditambahkan 10 ml etanol 96%

Dimasukkan ke dalam kolom kromatografi sedikit demi sedikit melalui dinding

Wadah ekstrak dibilas dengan sedikit eluen, lalu dituangkan kembali ke kolom

Dibiarkan cairan mengalir ke bawah sampai terserap semua

Pemisahan

Kolom dielusi dengan eluen sampai keluar eluatnya diatur kecepatan elusi kurang lebih 1 ml per 5 menit

Eluat ditampung dalam 5 vial sampai tanda batas (sebanyak 5 ml)

Eluat dipekatkan sampai setengah volum

C. Identifikasi Curcumin dengan KLT

Semua fraksi yang telah dipekatkan ditotolkan sebanyak 10L pada plat KLT silika gel GF254 yang telah dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110 selama 30 menit

Dimasukkan plat KLT ke dalam chamber dan dielusi sampai jarak pengembangan 1 cm dari tepi atas

Plat diangin-anginkan selama 10 menit

Diamati di bawah sinar UV dengan panjang gelombang 254 nm dan 366 nm

Ditandai spot/noda dan dihitung Rf masing-masing spot serta ditentukan spot yang diduga curcumin

V.

HASIL a. Bobot serbuk kunyit : 10,0017 gram b. Volume etanol 96% yang digunakan untuk maserasi : 100 ml c. Lama proses maserasi : d. Bobot ekstrak kental : 1,0929 gram

Tabel Bahan Untuk Maserasi No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. Bahan Serbuk kunyit Etanol 96% untuk maserasi Etanol 96% untuk remaserasi Bobot cawan porselin Bobot cawan + ekstrak kental Ekstrak kental Jumlah 10,0017 gram 100 ml 25 ml 67,8326 gram 68,9255 gram 1,0929 gram

Tabel Bahan Untuk Kromatografi Kolom No. 1. Bahan Bobot cawan porselin Jumlah 60,9035 gram

2. 3. 7. 8. 9.

Bobot cawan + silika gel Silika gel N-hexana Kloroform Etanol 96%

75,1941 gram 14, 2906 gram 45 ml 45 ml 10 ml

Pembuatan eluen 100 ml untuk kromatografi kolom N-hexana : kloroform : etanol 96% 45 : 45 : 10

Perhitungan N-hexana = Kloroform = Etanol 96% =

= 45 ml = 45 ml = 10 ml

Tabel Bahan Untuk Kromatografi Lapis Tipis (KLT) No. 1. 2. 3. Bahan N-hexana Kloroform Etanol 96% Jumlah 9 ml 9 ml 2 ml

Pembuatan eluen 20 ml untuk kromatografi lapis tipis N-hexana : kloroform : etanol 96% 45 : 45 : 10

Perhitungan N-hexana =

= 9 ml

Kloroform = Etanol 96% =

= 9 ml = 2 ml

e. Tabel Rf dan warna spot curcumin : Fraksi I Spot 1. 2. 3. Rf 0,35 0,42 0,52 Di bawah UV 366 nm hRf 35 42 52 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Coklat kemerahan Ket. Des. Kur. Rf 0,34 0,41 0,52 Di bawah sinar matahari hRf 34 41 52 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Kuningjingga Ket. Bis. Kur. -

Fraksi II Spot 1. 2. 3. Rf 0,32 0,39 0,5 Di bawah UV 366 nm hRf 32 39 50 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Coklat kemerahan Ket. Bis. Des. Rf 0,31 0,45 0,5 Di bawah sinar matahari hRf 31 45 50 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Kuningjingga Ket. Bis. Kur. -

Fraksi III Spot 1. 2. 3. Rf 0,32 0,39 0,48 Di bawah UV 366 nm hRf 32 39 48 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Coklat kemerahan Ket. Bis. Des. Rf 0,32 0,39 0,48 Di bawah sinar matahari hRf 32 39 48 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Kuningjingga Ket. Bis. Des. -

Fraksi IV
9

Spot 1. 2. 3. Rf 0,33 0,4 0,5

Di bawah UV 366 nm hRf 33 40 50 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Coklat kemerahan Ket. Bis. Kur. Rf 0,33 0,4 0,48

Di bawah sinar matahari hRf 33 40 48 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Kuningjingga Ket. Bis. Kur. -

Fraksi V Spot 1. Rf 0,33 Di bawah UV 366 nm hRf 33 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Coklat kemerahan Ket. Bis. Rf 0,33 Di bawah sinar matahari hRf 33 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Kuningjingga Ket. bis.

2. 3.

0,4 0,48

40 48

Kur. -

0,4 0,48

40 48

Kur. -

Fraksi VI Spot 1. Rf 0,34 Di bawah UV 366 nm hRf 34 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Coklat kemerahan Ket. Bis. Rf 0,34 Di bawah sinar matahari hRf 34 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Kuningjingga Ket. Bis.

2. 3.

0,4 0,48

40 48

Kur. -

0,4 0,48

40 48

Kur. -

Fraksi VII Spot 1. 2. Rf 0,34 0,4 Di bawah UV 366 nm hRf 34 40 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Ket. Bis. Kur. Rf 0,34 0,4 Di bawah sinar matahari hRf 34 40 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Ket. Bis. Kur.

10

3.

0,5

50

Coklat kemerahan

0,49

49

Kuningjingga

Fraksi VIII Spot 1. Rf 0,32 Di bawah UV 366 nm hRf 32 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Coklat kemerahan Ket. Bis. Rf 0,32 Di bawah sinar matahari hRf 32 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Kuningjingga Ket. Bis.

2. 3.

0,41 0,5

41 50

Kur. -

0,4 0,5

40 50

Kur. -

Fraksi IX Spot 1. Rf 0,34 Di bawah UV 366 nm hRf 34 Warna Hijau terang Ket. Bis. Rf 0,35 Di bawah sinar matahari hRf 35 Warna Kuning pudar Ket. Des.

2. 3.

0,42 0,52

42 52

Kuning kecoklatan Coklat kemerahan

Kur. -

0,41 0,51

41 51

Agak kekuningan Kuningjingga

Kur. -

Fraksi X Spot 1. Rf 0,46 Di bawah UV 366 nm hRf 46 Warna Hijau terang Kuning kecoklatan Coklat kemerahan Ket. Rf 0,48 Di bawah sinar matahari hRf 48 Warna Kuning pudar Agak kekuningan Kuningjingga Ket. -

2.

0,55

55

0,55

55

3.

0,64

64

0,65

65

11

Keterangan : Bis : Bisdesmetoksikurkumin Des : Desmetoksikurkumin Kur : Kurkumin

VI.

PERHITUNGAN Perhitungan Rf dan hRf masing-masing spot

Rf =

hRf = Harga Rf x 100

4.1. Pada pengamatan di bawah sinar UV 366 nm Fraksi I Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi II Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = = 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50 = 0,39 hRf = 0,39 x 100 = 39 = 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32 = 0,52 hRf = 0,52 x 100 = 52 = 0,42 hRf = 0,42 x 100 = 42 = 0,35 hRf = 0,35 x 100 = 35

12

Fraksi III Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi IV Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi V Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi VI Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 = 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40 = 0,34 hRf = 0,34 x 100 = 34 = 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48 = 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40 = 0,33 hRf = 0,33 x 100 = 33 = 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50 = 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40 = 0,33 hRf = 0,33 x 100 = 33 = 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48 = 0,39 hRf = 0,39 x 100 = 39 = 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32

13

Rf = Fraksi VII Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf =

= 0,48

hRf = 0,48 x 100 = 48

= 0,34

hRf = 0,34 x 100 = 34

= 0,4

hRf = 0,4 x 100 = 40

= 0,5

hRf = 0,5 x 100 = 50

Fraksi VIII Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = = 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50 = 0,41 hRf = 0,41 x 100 = 41 = 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32

Fraksi IX Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = = 0,52 hRf = 0,52 x 100 = 52 = 0,42 hRf = 0,42 x 100 = 42 = 0,34 hRf = 0,34 x 100 = 34

Fraksi X Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = = 0,55 hRf = 0,55 x 100 = 55 = 0,46 hRf = 0,46 x 100 = 46

14

Spot 3 Rf = = 0,64 hRf = 0,64 x 100 = 64

4.2. Pada pengamatan di bawah sinar matahari Fraksi I Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi II Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi III Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = = 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48 = 0,39 hRf = 0,39 x 100 = 39 = 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32 = 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50 = 0,45 hRf = 0,45 x 100 = 45 = 0,31 hRf = 0,31 x 100 = 31 = 0,52 hRf = 0,52 x 100 = 52 = 0,41 hRf = 0,42 x 100 = 42 = 0,34 hRf = 0,35 x 100 = 35

15

Fraksi IV Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi V Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi VI Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi VII Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = = 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40 = 0,34 hRf = 0,27 x 100 = 34 = 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48 = 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40 = 0,34 hRf = 0,34 x 100 = 34 = 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48 = 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40 = 0,33 hRf = 0,33 x 100 = 33 = 0,48 hRf = 0,5 x 100 = 48 = 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40 = 0,33 hRf = 0,33 x 100 = 33

16

Spot 3 Rf = Fraksi VIII Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi IX Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = Fraksi X Spot 1 Rf = Spot 2 Rf = Spot 3 Rf = = 0,65 hRf = 0,65 x 100 = 65 = 0,55 hRf = 0,55 x 100 = 55 = 0,48 hRf = 0,48 x 100 = 48 = 0,51 hRf = 0,51 x 100 = 51 = 0,41 hRf = 0,41 x 100 = 41 = 0,35 hRf = 0,35 x 100 = 35 = 0,5 hRf = 0,5 x 100 = 50 = 0,4 hRf = 0,4 x 100 = 40 = 0,32 hRf = 0,32 x 100 = 32 = 0,49 hRf = 0,49 x 100 = 49

17

V.

PEMBAHASAN Pada praktikum kali ini dilakukan proses pemisahan dan identifikasi senyawa

curcumin dari serbuk simplisia Curcumae domesticae rhizoma. Metode yang digunakan untuk proses ini yaitu maserasi, kromatografi kolom dan kromatografi lapis tipis (KLT). Metode maserasi digunakan untuk tahap awal pemisahan senyawa curcumin dari campurannya. Maserasi merupakan proses penyarian yang paling sederhana yang dilakukan dengan merendam serbuk simplisia pada cairan penyari. Mulamula serbuk kering Curcumae domesticae rhizoma ditimbang sebanyak 10 gram. Serbuk yang telah ditimbang dimasukkan ke dalam toples kaca terlindung cahaya. Hal ini dilakukan untuk mencegah curcumin kontak dengan cahaya yang dapat menyebabkan penguraian curcumin. Serbuk kemudian ditambahkan dengan 100 ml etanol 96% yang berfungsi sebagai cairan penyari. Etanol digunakan sebagai cairan penyari karena senyawa curcumin yang bersifat non polar dapat larut dalam etanol yang cenderung bersifat non polar dibandingkan air. Etanol (C 2H5OH) memiliki dua gugus yang berbeda, yaitu gugus hidroksi (OH) yang bersifat polar dan gugus alkana (C2H5) yang cenderung bersifat non polar sehingga dapat melarutkan senyawa curcumin. Karena perbedaaan konsentrasi di luar dan di dalam sel, cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam dan di luar sel, maka larutan yang pekat didesak keluar. Peristiwa ini terjadi berulang sehingga terjadi keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel (Depkes RI, 1986). Proses perendaman simplisia ini dilakukan selama 5 hari sambil diaduk berulang setiap satu kali sehari. Perendaman dilakukan selama beberapa hari dimaksudkan agar zat pengotor dapat mengendap sedangkan pengadukan dilakukan dengan tujuan untuk meratakan konsentrasi diluar butir-butir serbuk simplisia dan menjaga perbedaan konsentrasi sekecil-kecilnya antara larutan di dalam sel dan di luar sel (Sudjadi, 1986). Ekstrak yang didapat disaring dengan corong yang telah dilapisi kertas saring. Sebelum digunakan kertas saring dibasahi terlebih dahulu

18

dengan etanol 96% yang bertujuan untuk mengkondisikan kertas saring pada corong sehingga mempermudah dan mempercepat proses penyaringan. Selain itu juga dapat membersihkan pengotor-pengotor yang mungkin tertinggal pada kertas saring. Ampas yang didapat selanjutnya diremaserasi dengan 25 ml etanol 96% yang bertujuan untuk melarutkan kembali senyawa analit curcumin yang tertinggal pada ampas dan mengendapkan senyawa pengotor saat perendaman kembali. Selain itu proses maserasi juga masih belum menjamin senyawa analit yang diinginkan terekstraksi sempurna. Setelah perendaman selama 2 hari, ekstrak disaring kembali. Ekstrak yang diperoleh diuapkan di atas water bath dengan cawan porselin sampai didapat ekstrak kental. Untuk mempercepat penguapan pelarut, maka saat menguapkan dilakukan pengadukan dan diangin-anginkan secara terus menerus. Kemudian ekstrak kental yang diperoleh dihitung bobotnya. Tahap selanjutnya dilakukan dengan metode kromatografi kolom. Sebelum dilakukan proses pemisahan dengan metode ini, kolom kromatografi disiapkan sebagai tempat dari fase diam dan fase garak. Pada prinsipnya ada dua cara pengemasan kolom yaitu cara basah dan cara kering. Pada praktikum ini, pengemasan kolom dilakukan dengan cara basah. Mula-mula kolom dipasang tegak lurus pada statif. Kolom yang digunakan berupa tabung kaca yang dilengkapi dengan keran pada bagian bawahnya untuk mengatur aliran pelarut. Kolom yang digunakan harus dalam keadaan kering untuk mencegah menempelnya adsorben pada kolom saat adsorben dikeluarkan dari dalam kolom. Selain itu apabila kolom dalam keadaan basah, permukaan adsorben akan menyerap air sehingga adsorben akan mengalami reaksi pendeaktifasian pada sisi aktifnya. Pada bagian dasar kolom dilapisi dengan glass wool untuk menahan agar adsorben yang nantinya akan dimasukkan tidak sampai masuk ke bagian bawah kolom di dekat keran. Adsorben yang digunakan praktikum kali ini adalah silika gel. Selanjutnya disiapkan eluen (N-hexana : kloroform : etanol 96% = 45 : 45 : 10). Eluen merupakan fase gerak yang bersifat non polar. Di dalam beker glass silika gel ditambahkan dengan eluen secukupnya sambil diaduk hingga terbentuk campuran seperti bubur. Sisa eluen tadi dimasukkan terlebih dahulu ke dalam kolom dan dilanjutkan dengan memasukkan bubur silika gel ke dalam

19

kolom melalui dinding kolom. Hal ini bertujuan untuk mencegah adanya udara yang terperangkap di dalam kolom yang nantinya dapat terbentuk gelembunggelembung udara yang dapat merusak kolom sehingga proses pengelusian tidak akan baik. Akan tetapi jika memang terjadi gelembung-gelembung, maka dapat diatasi dengan memukul-mukul bagian dinding kolom secara perlahan sehingga udara dapat digantikan dengan pelarut. Beberapa silika gel akan menempel pada dinding kolom sehingga perlu dilakukan pembilasan dengan menggunakan eluen untuk mencegah mengerasnya silika gel pada dinding. Eluen yang ada di dalam kolom dikeluarkan namun tetap dijaga agar silika gel pada kolom tidak kering dengan cara mengatur aliran keran. Eluen inilah yang dipakai untuk membilas silika gel yang menempel di dinding. Setelah semua silika gel masuk ke dalam kolom, bagian atas kolom ditutup rapat dengan aluminium foil untuk mencegah eluen di dalam kolom agar tidak menguap. Setelah didiamkan selama 1 hari, kolom kromatgrafi sudah siap untuk digunakan. Ekstrak kental yang diperoleh tadi selanjutnya dilarutkan dengan 10 ml etanol 96% dan dimasukkan ke dalam kolom kromatografi sedikit demi sedikit melalui dinding. Cairan dibiarkan mengalir ke bawah sampai terserap semua. Pengelusian kromatogram dilakukan dengan cara mengalirkan pelarut dan mengatur kecepatan penetesan larutan yang keluar dari dalam kolom (Kusmardiyani dkk., 1992). Prinsip pengelusian yang digunakan pada

kromatografi kolom yaitu pada afinitas kepolaran analit dengan fase diam, sedangkan fase gerak selalu memiliki kepolaran yang berbeda dengan fase diam. Semakin besar afinitasnya terhadap fasa gerak, zat akan semakin lama tertahan di fasa gerak. Semakin kecil afinitasnya terhadap fasa gerak, zat akan semakin lama tertahan di fasa diam. Sehingga senyawa yang bersifat polar cenderung akan berinteraksi dengan fase diam yang cenderung bersifat polar, sedangkan senyawa non polar akan bergerak ke bawah bersama pelarut yang kemudian ditampung sebagai fraksi-fraksi pada dasar kolom. Hal inilah yang menyebabkan nantinya terbentuk seperti lapisan-lapisan pada kolom. Hasil pengelusian ditampung dalam 10 botol vial yang masing-masing telah ditera sebanyak 5 ml. Tiap botol terdapat

20

fraksi yang berbeda-beda. Semua farksi pada botol didiamkan selama beberapa hari. Tahap akhir pada praktikum ini dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT). Metode ini digunakan untuk mengidentifikasi senyawa curcumin pada sampel. Semua fraksi yang didapat masing-masing ditotolkan sebanyak 10L pada plat KLT. Seharusnya plat KLT yang akan digunakan yang dicuci dengan metanol dan diaktivasi pada suhu 110 selama 30 menit tetapi pada praktikum kali ini tidak dilakukan. Pemilihan metanol dibandingkan dengan etanol karena sifat semipolar metanol (CH3OH) yang mengandung tiga atom H dan satu gugus OH. Karena sifatnya yang semipolar, metanol lebih mampu membersihkan zat-zat pengotor dibandingkan dengan etanol yang bersifat non polar dan metanol juga lebih mudah menguap. Penotolan harus tegak lurus agar didapat spot atau noda yang baik. Selain itu saat melakukan penotolan pada plat KLT totolan jangan sampai dempet dengan totolan sebelahnya. Hal ini dapat mempengaruhi hasil pada plat yang kemungkinan akan terjadi hasil ganda (Gandjar, 2007). Plat yang digunakan sebagai fase diam adalah silika gel GF254 yang berukuran (10 x 10) cm. Fase diam silika gel GF254 yang mana G yang berarti Gypsum (pengikat) biasanya pengikat yang digunakan adalah kalsium sulfat, F yang berarti Flouresence (panjang gelombang), dan 254 yang berarti panjang gelombang yang digunakan yaitu

2 5 4 nm. Sehingga G F 254 adalah penjerap silika gel dengan pengikat kalsium sulfat dengan ditambahkan indikator yang dapat berflouresensi jika dideteksi pada sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 254 nm. Indikator flouresensi adalah senyawa yang memancarkan sinar tampak jika disinari dengan sinar ultraviolet (Gritter,R.J,1991). Pada plat terdapat 10 buah totolan yang masing-masing mewakili tiap fraksi. Setelah penotolan berakhir, dilakukan pengelusian sampai jarak pengembangan 1 cm dari tepi atas. Pengelusian dilakukan di dalam chamber yang telah diisi dengan fase gerak. Fase gerak yang digunakan untuk mengelusi yaitu N-hexana : kloroform : etanol 96% (45 : 45 : 10). Penggunaan N-hexana, kloroform dan etanol 96% dikarenakan prinsip like dissolved like yaitu

senyawa akan cenderung mudah larut pada pelarut yang memilki kepolaran yang

21

relatif sama, yang menyebabkan pelarut harus sesuai dengan sampel yang akan diidentifikasi. Plat kemudian diangin-anginkan dengan tujuan untuk menguapkan sisa-sisa pelarut yang digunakan saat proses pengelusian. Plat selanjutnya diamati di bawah sinar matahari. Di bawah sinar UV 254 nm dan 366 nm plat juga diamati spot/noda yang terbentuk. Hanya saja pada sinar UV 254 nm terjadi pemadaman yang disebabkan karena adanya flouresensi. Adanya noda/spot pada plat saat diamati di bawah UV 366 nm karena di dalam senyawa tersebut terdapat gugus kromofor yang akan menyerap panjang gelombang tertentu dan memancarkan sinar tampak. Kromofor berfungsi sebagai antena, alat penangkap gelombang elektomagnetik pada panjang gelombang tertentu. Suatu panjang gelombang tertentu merangsang perubahan struktur molekul kromofor karena molekul tersebut tereksitasi. Perubahan struktur ini mengakibatkan pelepasan energi / electron. Energi atau elektron ini lalu ditangkap oleh sistem pembawa signal yang pada akhirnya noda dapat terlihat. Dan selanjutnya dideteksi dan dihitung nilai Rf pada masing-masing noda/spot.

22

Replika plat saat dimati di bawah sinar UV 366 nm Saat diamati di bawah sinar matahari sudah mulai tampak spot-spot pada tiap fraksi yang terdapat 3 spot pada masing-masing fraksi. Warna spot 1,2, dan 3 adalah kuning pudar, agak kekuningan, dan kuning-jingga. Begitu saat diamati di bawah sinar UV 366 nm pada tiap fraksi yang terdapat 3 spot pada masing-masing fraksi. Warna spot 1,2, dan 3 adalah hijau terang, kuning kecoklatan, dan coklat kemerahan. Jika dilihat warna spot pada tiap fraksi yang diamati di bawah sinar UV 366 nm masih belum sesuai pada pustaka. Warna dengan Komponen hRf (Egon, 1985) UV 366 nm Bisdemetoksikurkumin Desmetoksikurkumin Kurkumin 25-35 35-40 40-45 Merahjingga muda Salmon Merh-darah Matahari Kuning Jingga Jingga

23

Selain itu pada plat juga ditunjukkan adanya tailing (pengekoran). Sehingga proses pemisahan dapat dikatakan kurang baik. Dengan spot tersebut Rf dan hRf dapat dihitung dimana Rf merupakan jarak yang ditempuh oleh senyawa dari titik asal dibagi dengan jarak yang ditempuh oleh pelarut dari titik asal. Pada metode KLT kali ini jarang pengembang pada setiap spot adalah 8 cm. Berdasarkan Rf dan hRf pada masing-masing fraksi semua fraksi mengandung senyawa kurkuminoid keculai pada fraksi X. Dimana senyawa kurkuminoid antaralain bisdesmetoksikurkumin, desmetoksikurkumin, dan kurkumin.

Gambar 3. Senyawa Kurkuminoid Pada fraksi I terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,35 dan 0,34 dengan hRf 35 dan 34. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,42 dan 0,41 dengan hRf 42 dan 41. Dan pada spot 3 yang diamati pada

24

UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,52 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 52. Pada fraksi II terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,32 dan 0,31 dengan hRf 32 dan 31. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,39 dan 0,45 dengan hRf 39 dan 45. Dan pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,5 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 50. Pada fraksi III terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,32 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 32. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,39 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 39. Begitu juga pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,48 dengan hRf 48. Pada fraksi IV terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,33 dan 0,34 dengan hRf 33 dan 34. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,4 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 40. Dan pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,5 dan 0,49 dengan hRf 50 dan 49. Pada fraksi V terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,33 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 33. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,4 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 40. Begitu juga pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,48 dengan hRf 48. Pada fraksi VI terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,34 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 34. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366
25

nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,4 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 40. Begitu juga pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,48 dengan hRf 48. Pada fraksi VII terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,34 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 34. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,4 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 40. Dan pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,5 dan 0,49 dengan hRf 50 dan 49. Pada fraksi VIII terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,32 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 32. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,41 dan 0,4 dengan hRf 41 dan 40. Begitu juga pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf yang sama yaitu 0,5 dengan hRf 50. Pada fraksi IX terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,34 dan 0,35 dengan hRf 34 dan 35. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,42 dan 0,41 dengan hRf 42 dan 41. Dan pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,52 dan 0,51 dengan hRf 52 dan 51. Pada fraksi X terdapat 3 spot yaitu pada spot 1 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,46 dan 0,48 dengan hRf 46 dan 48. Pada spot 2 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai nilai Rf yang sama yaitu 0,55 dan dengan hRf yang sama juga yaitu 55. Dan pada spot 3 yang diamati pada UV 366 nm dan sinar matahari memiliki nilai Rf 0,64 dan 0,65 dengan hRf 64 dan 65. Dari data data di atas dapat dilihat pada spot 3 pada tiap fraksi tidak mengandung senyawa kurkuminoid.

26

VII.

KESIMPULAN 7.1. Maserasi merupakan proses penyarian yang paling sederhana dengan prinsip merendam simplisia dengan cairan penyari tertentu sehingga cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan yang diluar sel, maka zat aktif yang di dalam sel didesak keluar. 7.2. Kromatografi kolom merupakan metode pemisahan dengan kolom kromatografi dengan menggunakan prinsip yang sama dengan prinsip yang digunakan dengan kromatografi lapis tipis yaitu perbedaan afinitas antara fasa diam dan fasa gerak. 7.3. Fraksi yang diduga terdapat curcumin yaitu pada fraksi I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, dan IX. adanya

27

Anda mungkin juga menyukai