Anda di halaman 1dari 6

20959723-cdk-154Kesehatankerja Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi

Stres merupakan sebuah terminologi yang sangat populer dalam percakapan sehari-hari. Stres adalah salah satu dampak perubahan sosial dan akibat dari suatu proses modernisasi yang biasanya diikuti oleh proliferasi teknologi, perubahan tatanan hidup serta kompetisi antar individu yang makin berat
(1,2)

STRES DAN STRESOR Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres.

Menurut teorinya stresor fisik maupun psikologik akan mengakibatkan 3 tingkatan gejala adaptasi umum; tahap (1,11) reaksi alarm (alarm reaction), resistensi (resistance) dan tahap kehabisan tenaga (exhaustion). . Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu : a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain. b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain. c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain.

Interaksi antara stres dengan sistem Imun Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (Hypothalamic-Pituitary-Ovarial Axis). (5,16,17) HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti . Aksis limbic-hypothalamo-pitutary-adrenal (LHPA) menerima berbagai input, termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stresor
(3,6,18,19)

Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik negatif. Peningkatan glukokortikoid umumnya disertai

penurunan kadar androgen dan estrogen. Karena glukokortikoid dan steroid gonadal melawan efek fungsi imun, stres pertama akan menyebabkan baik imunodepresi (melalui peningkatan kadar glukokortikoid) maupun imunostimulasi (dengan menurunkan kadar steoid gonadal) . Karena rasio estrogen androgen berubah maka stres menyebabkan efek yang berbeda pada wanita dibanding pria. Pada penelitian binatang percobaan, stres menstimulasi respon imun pada betina tetapi justru menghambat respon tersebut pada jantan. Suatu penelitian menggunakan 63 tikus menunjukkan kadar testosteron serum meningkat bermakna dan berahi betina terhadap pejantan menurun
(20) 19 (3,6)

59908167-refrat-GANGGUAN-CEMAS

PATOFISIOLOGI Pada kecemasan terjadi mekanisme sebagaimana terjadi pada stress. Terjadi pengaktifan sistem saraf simpatis dan aktivasi hipotalamus-hipofisis-adrenal. Bila sebagian besar daerah sistem saraf simpatis melepaskan impuls pada saat yang bersamaan, maka dengan berbagai cara, keadaan ini akan meningkatkan kemampuan tubuh untuk melakukan aktivitas otot yang besar, diantaranya dengan cara : 1. Peningkatan tekanan arteri 2. Peningkatan aliran darah untuk mengaktifkan otot-otot bersamaan dengan penurunan aliran darah ke organ-organ, seperti traktus gastrointestinalis dan ginjal, yang tidak diperlukan untuk aktivitas motorik cepat 3. Peningkatan kecepatan metabolisme sel di seluruh tubuh 4. Peningkatan konsentrasi glukosa darah 5. Peningkatan proses glikolisis di hati dan otot 6. Peningkatan kekuatan otot 7. Peningkatan aktivitas mental 8. Peningkatan kecepatan koagulasi darah. Seluruh efek diatas menyebabkan orang tersebut dapat melaksanakan aktivitas fisik yang jauh lebih besar daripada bila tidak ada efek tersebut. Keadaan ini sering disebut sebagai respons stress simpatis. Sistem simpatis terutama teraktivasi dengan kuat pada berbagai keadaan emosi, termasuk didalamnya kecemasan dan stres.

Jika stress menyebabkan keseimbangan terganggu, maka tubuh kita akan melalui serangkaian tindakan (respons stres) untuk membantu tubuh mendapatkan kembali keseimbangan. Perjuangan untuk mempertahankan keseimbangan ini disebut sebagai sindrom adaptasi umum. Ini adalah cara tubuh bereaksi terhadap stres dan untuk membawa kembali sistem tubuh ke keadaan yang seimbang. Tahapan salah satu responnya disebut fase alarm, yang dicirikan oleh aktivasi langsung dari sistem saraf dan kelenjar adrenal. Berikutnya fase resistensi, yang ditandai dengan aktivasi hipotalamus-hipofisis-adrenal (HPA) axis. HPA axis adalah sistem terkoordinasi dari tiga jaringan endokrin yang mengelola respon kita terhadap stres. HPA adalah bagian utama dari sistem neuroendokrin yang mengendalikan reaksi terhadap stres dan memiliki fungsi penting dalam mengatur berbagai proses tubuh seperti pencernaan, sistem kekebalan tubuh dan penggunaan energi. Spesies dari manusia ke organisme yang paling kuno berbagi komponen dari sumbu HPA. Ini adalah mekanisme untuk satu set interaksi di antara kelenjar, hormon dan bagian-bagian tengah otak yang menengahi sindrom adaptasi umum. Sedikit kenaikan kortisol memiliki beberapa efek positif termasuk semburan energi untuk alasan bertahan hidup, peningkatan fungsi memori, semburan lebih rendah meningkatkan kekebalan dan kepekaan terhadap rasa sakit. Masalah terjadi ketika kita meminta tubuh kita bereaksi terlalu sering atau dengan perlawanan yang berlebihan - baik dari yang dapat mengakibatkan meningkatnya kadar kortisol. Ketika stres diulangi, atau konstan, kadar kortisol meningkat dan tetap tinggi - menyebabkan fase ketiga dari sindrom adaptasi umum yang tepat disebut sebagai overload. Pada tahap overload, sistem tubuh mulai memecah dan risiko penyakit kronis meningkat secara signifikan. Diketahui bahwa orang-orang normal tingkat kortisol dalam aliran darah puncaknya terjadi pada pagi hari dan berkurang seiring berjalannya hari itu. Sekresi kortisol bervariasi antar individu. Satu orang dapat mengeluarkan kortisol lebih tinggi daripada yang lain dalam situasi yang sama. Penelitian juga menunjukkan bahwa orang-orang yang mengeluarkan tingkat kortisol lebih tinggi sebagai respons terhadap stres juga cenderung makan lebih banyak makanan, dan makanan yang lebih tinggi karbohidrat daripada orang yang kurang mengeluarkan kortisol.

arina widya, murni and Nasrul, Zubir and Julius, - (2011) PLASMA CORTISOL LEVELS IN DYSPEPSIA WITH PSYCHOSOMATIC PATIENTS Arina Widya Murni*, Nasrul Zubir**, **Julius * Sub Division of Psychosomatic, ** Sub division of Gastroenterology Department of Internal Medicine Faculty of Medicine Andalas University Padang. Masters thesis, Faculty of Medicine, Andalas University. Murni, Arina Widya, et al. 2011. Plasma Cortisol Levels In Dyspepsia With Psychosomatic Patients, Sub division of Gastroenterology Department of Internal Medicine Faculty of Medicine Andalas University Padang. Available from: http://repository.unand.ac.id/18327/1/PLASMA%20CORTISOL%20LEVELS%20IN%20DYSP EPSIA.pdf (accesed 12 November 2012)

Gunawan, Bambang & Sumadiono. 2007. Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi, Sub Bagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 154.

Stres dan Sistem Imun Tubuh: Suatu Pendekatan Psikoneuroimunologi


Bambang Gunawan*, Sumadiono**
Pendidikan Profesi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Sub Bagian Alergi Imunologi, Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta

Cermin Dunia Kedokteran No. 154, 2007

Dalam ilmu psikologi stres diartikan sebagai suatu kondisi kebutuhan tidak terpenuhi secara adekuat, sehingga menimbulkan adanya ketidakseimbangan. Taylor (1995) mendeskripsikan stres sebagai pengalaman emosional negatif disertai perubahan reaksi biokimiawi, fisiologis, kognitif dan perilaku yang bertujuan untuk mengubah atau menyesuaikan diri terhadap situasi yang menyebabkan stres. (Gunawan, 2007) Faktor-faktor yang dapat menimbulkan stres disebut stresor. Stresor dibedakan atas 3 golongan yaitu : (Gunawan, 2007) a. Stresor fisikbiologik : dingin, panas, infeksi, rasa nyeri, pukulan dan lain-lain. b. Stresor psikologis : takut, khawatir, cemas, marah, kekecewaan, kesepian, jatuh cinta dan lain-lain.

c. Stresor sosial budaya : menganggur, perceraian, perselisihan dan lain-lain.

Interaksi antara stres dengan sistem Imun Stresor pertama kali ditampung oleh pancaindera dan diteruskan ke pusat emosi yang terletak di sistem saraf pusat. Dari sini, stres akan dialirkan ke organ tubuh melalui saraf otonom. Organ yang antara lain dialiri stres adalah kelenjar hormon dan terjadilah perubahan keseimbangan hormon, yang selanjutnya akan menimbulkan perubahan fungsional berbagai organ target. Beberapa peneliti membuktikan stres telah menyebabkan perubahan neurotransmitter neurohormonal melalui berbagai aksis seperti HPA (Hypothalamic-Pituitary Adrenal Axis), HPT (Hypothalamic-Pituitary-Thyroid Axis) dan HPO (HypothalamicPituitary-Ovarial Axis). HPA merupakan teori mekanisme yang paling banyak diteliti. (Gunawan, 2007) Aksis limbic-hypothalamo-pitutary-adrenal (LHPA) menerima berbagai input, termasuk stresor yang akan mempengaruhi neuron bagian medial parvocellular nucleus

paraventricular hypothalamus (mpPVN). Neuron tersebut akan mensintesis corticotropin releasing hormone (CRH) dan arginine vasopressin (AVP), yang akan melewati sistem portal untuk dibawa ke hipofisis anterior. Reseptor CRH dan AVP akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensintesis adrenocorticotropin hormon (ACTH) dari prekursornya, POMC (propiomelanocortin) serta mengsekresikannya. Kemudian ACTH mengaktifkan proses biosintesis dan melepaskan glukokortikoid dari korteks adrenal kortison pada roden dan kortisol pada primata. Steroid tersebut memiliki banyak fungsi yang diperantarai reseptor penting yang mempengaruhi ekspresi gen dan regulasi tubuh secara umum serta menyiapkan energi dan perubahan metabolik yang diperlukan organisme untuk proses coping terhadap stressor Pada kondisi stres, aksis LHPA meningkat dan glukokortikoid disekresikan
.

walaupun kemudian kadarnya kembali normal melalui mekanisme umpan balik negative. (Gunawan, 2007) Interaksi faktor psikis dengan gangguan saluran cerna diyakini melalui mekanisme brain gut axis. Adanya stimulasi atau stresor psikis mempengaruhi keseimbangan sistem syaraf otonom, mempengaruhi fungsi hormonal, serta sistem imun ( psiko neuro- imun - endokrin ). Jalur tersebut secara langsung atau tidak langsung , terpisah atau bersamaan dapat mempengaruhi saluran cerna, mempengaruhi sekresi, motilitas, vaskularisasi dan menurunkan ambang rasa nyeri. (Murni, 2011) Gangguan sekresi pada lambung dapat terjadi karena gangguan jalur endokrin melalui poros hipotalamus pituitary adrenal ( HPA axis). Pada keadaan ini terjadi peningkatan kortisol dari korteks adrenal akibat rangsangan dari korteks serebri diteruskan ke hipofisis anterior sehingga terjadi pengeluaran hormon kortikotropin. Peningkatan kortisol ini akan merangsang produksi asam lambung dan dapat menghambat Prostaglandin E yang merupakan penghambat enzim adenil siklase pada sel parietal yang bersifat protektif terhadap mukosa lambung. Dengan demikian akan terjadi gangguan keseimbangan antara peningkatan asam lambung (faktor agresif) dengan penurunan prostaglandin (faktor defensif) sehingga menimbulkan keluhan sebagai sindroma dispepsia. (Murni, 2011)

Anda mungkin juga menyukai