Anda di halaman 1dari 20

MANAJEMEN SARANA PENDIDIKAN SEKOLAH SEBAGAI PENUNJANG DALAM PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA HINDU

Dewasa ini era globalisasi menuntut kesiapan yang lebih matang dalam segala hal. Bidang pendidikan merupakan salah satu andalan untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan zaman. Persiapan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan dilakukan sejak dari masa pendidikan dasar, menengah, dan tinggi. Peran sarana pendidikan sangat penting dalam memperlancar pelaksanaan proses pembelajaran. Satu sisi harapan yang dibebankan pada dunia pendidikan sangat banyak, tetapi di sisi lain dunia pendidikan mempunyai banyak masalah yang menghambat dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Salah satu masalah yang dihadapi oleh sekolah adalah masalah sarana pendidikan. Masalah-masalah sarana pendidikan yang dihadapi sekolah antara lain sarana penunjang pendidikan belum sepenuhnya berada dalam kondisi yang memadai. Hal ini dapat dilihat dari segi kuantitas dan kualitas sarana yang belum memadai misalnya sarana belajar berupa perangkat komputer yang jumlahnya belum memadai dibandingkan dengan jumlah pengguna dan juga dari segi kualitas yang mudah rusak. Belum lagi sarana pembelajaran yang lain seperti sarana olah raga, sarana laboratorium, sarana penunjang keagamaan, dan lain-lain. Kondisi yang demikian, selain akan berpengaruh pada ketidaklayakan, ketidaknyamanan pada proses belajar mengajar, juga akan berdampak pada keengganan orang tua untuk menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah tersebut. Fasilitas lainnya yang mempengaruhi kualitas pendidikan ialah ketersediaan sumber belajar seperti buku teks pelajaran atau bahan ajar. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Depdiknas diketahui bahwa secara nasional, ratarata rasio buku per siswa untuk SD adalah 0,80, yang belum menunjukkan rasio satu siswa satu buku. Padahal buku merupakan sarana belajar yang sangat penting yang ketiadaannya dapat menghambat pelaksanaan proses belajar mengajar (http://www.bappenas.go.id/). Adanya masalah-masalah sarana pendidikan berupa sarana penunjang pendidikan kurang memadai disebabkan karena pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota lebih banyak mengalokasikan sebagian anggaran untuk pos-pos lain atau Departemen lain, sementara biaya pendidikan yang dianggarkan sebesar 20% hanya sebatas peraturan yang selama ini belum terealisasi. Akibatnya, pembiayaan untuk sarana pembelajaran, biaya pembelajaran, pengembangan staf, dan biaya perawatan dan pemeliharaan sarana sekolah masih menjadi kendala sehingga tidak menunjang upaya peningkatan kualitas dan relevansi. Selain itu disebabkan oleh variasi antar daerah dan satuan pendidikan mengenai pengeluaran biaya pendidikan, termasuk dalam pembiayaan untuk gaji dan di luar gaji, masih menimbulkan potensi ketidakadilan dalam pemerataan kesempatan belajar yang

berkualitas. Pihak sekolah sendiri, masalah sarana pendidikan muncul disebabkan karena kurang optimalnya perawatan yang dilakukan terhadap sarana pendidikan yang sudah ada. Kurangnya perawatan terhadap sarana pendidikan yang sudah ada menyebabkan sarana pendidikan di sekolah banyak yang rusak, sehingga pada saat akan digunakan sarana tersebut tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Manajemen sarana pendidikan sangat penting agar sarana pendidikan dapat difungsikan dengan baik. Manajemen adalah penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran (Depdiknas, 2001: 708). Dalam konteks sarana pendidikan, maka manajemen sarana pendidikan dapat diterjemahkan sebagai proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran pendidikan. Dengan kata lain, manajemen sarana pendidikan adalah proses penyelenggaraan pendidikan dengan memanfaatkan sarana pendidikan secara efektif untuk mencapai tujuan sekolah. Dalam manajemen sarana pendidikan hal-hal yang dibicarakan dan dilaksanakan berkaitan dengan lima hal, yaitu penentuan kebutuhan, proses pengadaan, pemakaian, pencatatan/pengurusan, dan pertanggungjawaban (Suryosubroto, 2004: 115). Terkait dengan manajemen sarana pendidikan sekolah, penulis tertarik untuk mengkaji pelaksanaan manajemen sarana pendidikan di sekolah yang meliputi perabot (misalnya meja, kursi, almari, rak buku, kursi tamu), peralatan pendidikan (misalnya papan tulis), media pendidikan (misalnya buku teks/bahan ajar, globe, perangkat komputer), bahan habis pakai (misalnya kapur tulis dan spidol), serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran khususnya dalam pembelajaran pendidikan agama Hindu. Pengkajian dibatasi pada sarana-sarana tersebut karena sering digunakan tetapi manajemennya kurang baik. Pengkajian dilakukan terhadap sarana pendidikan sekolah karena berdasarkan informasi yang sering dilangsir melalui media cetak dan media elektronik atau media internet, terdapat banyak masalah manajemen sarana pendidikan. Masalah yang ditemukan antara lain tidak ada tahapan penentuan kebutuhan di sekolah, sehingga sarana yang dimiliki hanya tergantung kepada kebijakan yang ditetapkan pihak atasan sedangkan pihak atasan sendiri tidak mengetahui kebutuhan sarana pendidikan di masing-masing sekolah. Hal ini menimbulkan dampak ada sarana pendidikan yang sangat dibutuhkan tetapi tidak diberikan, dan ada sarana pendidikan yang sudah ada tetapi justru ditambah dari pihak atasan. Dalam hal pengadaan sarana pendidikan juga sering terjadi masalah, yaitu dalam hal ada suatu kebutuhan sarana pendidikan, tetapi pihak atasan tidak memberikan sarana tersebut. Di lain pihak kegiatan belajar mengajar dapat terhambat jika sarana pendidikan itu tidak ada. Hal ini menuntut pihak sekolah untuk mengadakan sarana pendidikan dengan cara membeli sendiri, padahal dana untuk itu tidak ada. Hal ini membuat pengadaan sarana pendidikan menjadi terhambat. Masalah lain adalah pada proses pencatatan/pengurusan. Pencatatan sangat penting dilaksanakan untuk mengetahui inventarisasi sarana yang ada dan

keadaan sarana itu sendiri. Akan tetapi ada sekolah yang tidak melakukan pencatatan dengan baik. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya kartu laporan untuk sarana pendidikan yang menjadi inventaris sekolah. Ketidakadaan kartu laporan ini membuat pihak sekolah tidak memiliki data yang valid mengenai keadaan masing-masing sarana pendidikan. Akibat lebih jauh, pihak atasan tidak dapat mengetahui dengan jelas kebutuhan masing-masing sekolah sehingga ketika memberi bantuan sarana pendidikan, belum tentu sesuai dengan kebutuhan sekolah yang bersangkutan. Masalah manajemen sarana pendidikan yang juga ditemukan adalah masalah pertanggungjawaban. Seharusnya semua aspek pelaksanaan manajemen sarana pendidikan dapat dipertanggungjawabkan, termasuk penghapusan sarana pendidikan. Akan tetapi dalam prakteknya ternyata sekolah-sekolah, proses penghapusan itu tidak dilakukan sesuai dengan prosedur. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa barang-barang yang menjadi sarana pendidikan dapat dimiliki oleh guru atau kepala sekolah tanpa melalui prosedur yang benar. Seharusnya pemilikan barang tersebut tidak dapat diambil begitu saja, tetapi harus diberikan kepada instansi atasan Dinas Pendidikan. Oleh instansi atasan, barang tersebut dapat dilelang atau dapat juga langsung dilimpahkan pengelolaannya kepada kepala sekolah. Jika sudah diserahkan pengelolaannya kepada kepala sekolah barulah barang itu boleh dimiliki secara perorangan sesuai dengan kebijakan kepala sekolah. Akan tetapi dalam prakteknya, biasanya barang yang sudah tidak dipakai itu langsung diambil begitu saja oleh guru, pegawai, atau kepala sekolah. Hal ini berdampak pada terjadinya perilaku ingin memiliki barang yang menjadi sarana pendidikan di antara para guru/pegawai yang ada, sehingga bisa mengganggu ketersediaan sarana pendidikan di sekolah. Adapun contoh sarana pendidikan yang diambil alih secara langsung tanpa prosedur yang benar adalah meja, kursi, laptop, printer, LCD, kamera, dan lain-lain untuk kepentingan sendiri. Berdasarkan uraian di atas, dapat teridentifikasi beberapa masalah seperti: sebaran sarana pendidikan masih kurang merata, banyak sekolah yang belum lengkap sarana pendidikannya, sarana penunjang pendidikan banyak yang rusak dan jumlahnya tidak mencukupi, perawatan yang dilakukan terhadap sarana pendidikan tidak optimal, biaya perawatan dan pemeliharaan sarana sekolah sangat kecil sehingga tidak menunjang upaya peningkatan kualitas dan relevansi, dan pelaksanaan manajemen sarana pendidikan masih belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Munculnya masalah-masalah sarana pendidikan sebagaimana dikemukakan di atas, membuat penulis tertarik untuk mengkaji pelaksanaan manajemen sarana pendidikan di sekolah dalam rangka menunjang pelaksanaan pembelajaran pendidikan agama Hindu. Akan tetapi mengingat adanya keterbatasan waktu, tenaga dan dana, maka tidak mungkin untuk mengkaji semua masalah yang telah teridentifikasi. Oleh karena itu pengkajian ini akan dibatasi pada masalah pelaksanaan manajemen sarana pendidikan di sekolah secara umum yang meliputi perabot, peralatan pendidikan, media pendidikan, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses

pembelajaran pendidikan agama Hindu. Adapun aspek manajemen yang dikaji meliputi penentuan kebutuhan, proses pengadaan, pemakaian, dan pencatatan/pengurusan, dan pertanggungjawaban.

Pelaksanaan Manajemen Sarana Pendidikan di Sekolah Sarana pendidikan adalah semua perangkat peralatan, bahan, dan perabot yang secara langsung digunakan dalam proses pendidikan di sekolah.Ditinjau dari fungsi dan peranannya dalam pelaksanaan proses pembelajaran, maka sarana pendidikan dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: alat pelajaran, alat peraga, dan media pembelajaran. Gedung sekolah dan alat perabot sekolah tergolong prasarana pendidikan (Suharsimi dalam Suryosubroto, 2004: 114). Prasarana pendidikan juga memiliki peranan penting dalam proses pembelajaran, karena jika prasarana pendidikan tidak memadai akan timbul ketidaknyamanan dalam melaksanakan proses pembelajaran. Pengertian tentang alat pelajaran, alat peraga, dan media pembelajaran kadang-kadang sukar dibedakan. Alat pelajaran adalah alat yang digunakan secara langsung dalam proses pelaksanaan pembelajaran, seperti buku sumber belajar, alat tulis, dan alat praktek, Buku sumber belajar merupakan buku teks pelajaran yang dijadikan sebagai sumber bahan ajar oleh guru dan peserta didik. Buku sumber bahan ajar berisikan materi-materi pembelajaran untuk pencapaian kompetensi dasar. Alat tulis merupakan alat tulis menulis yang diperlukan dalam proses pelaksanaan pembelajaran baik untuk keperluan catat-mencatat oleh siswa maupun untuk keperluan tulis-menulis di papan tulis untuk penegasan suatu pokok materi pelajaran, seperti: buku tulis, pulpen, pensil, kapur, spidol, dan termasuk juga penggaris/mistar, jangka, dan sebagainya. Alat praktek yang diperlukan dalam pelaksanaan proses pembelajaran tergantung dari jenis mata pelajaran itu sendiri, misalkan mata pelajaran seni rupa untuk pembelajaran melukis, maka alat praktek yang diperlukan berupa kanvas, kuas, warna (cat air, cat minyak, atau pastel), dan sebagainya. Contoh lain pada mata pelajaran pendidikan agama Hindu misalkan praktek membuat sanggah cucuk, maka alat praktek yang diperlukan alat pengerjan berupa pisau pengutik, blakas, dan gergaji sedangkan bahan yang digunakan adalah potongan bambu dan bilahan bambu. Alat peraga adalah alat bantu pembelajaran yang memberikan pengertian atau pemahaman terhadap materi pelajaran yang yang bersifat verbal atau yang konkrit akan tetapi tidak dapat ditunjukkan secara langsung dihadapan peserta didik. Alat peraga dapat berupa perbuatan-perbuatan, benda-benda konkret, atau benda-benda tiruan. Alat peraga berupa perbuatan-perbuatan merupakan peragaan langsung oleh guru atau model untuk memberi kejelasan atau petunjuk terhadap suatu materi pembelajaran, misalkan guru pendidikan agama Hindu sedang menjelaskan sikap sembahyang padasana, secara langsung dihadapan siswa guru memperagakan sikap sembahyang tersebut. Alat peraga berupa benda konkret

adalah benda-benda nyata yang langsung ditunjukkan kepada siswa, seperti guru pendidikan agama Hindu menjelaskan tentang sarana persembahyanga berupa kewangen, guru dapat memperlihatkan langsung benda yang sesungguhnya. Alat peraga berupa benda tiruan yaitu bentuk benda yang dibuat sebagai tiruan dari benda aslinya. Benda tiruan dibuat untuk alat peraga, karena benda sesungguhkan tidak mungkin dapat ditunjukkan di hadapan siswa, seperti misalnya dalam pelajaran biologi tentang materi pelajaran organ dalam tubuh manusia, benda tiruannya berupa model/bentuk organ dalam tubuh manusia (paru, jatung, ginjal dan sebagainya). Contoh lain alat peraga benda tiruan dalam pelajaran agama Hindu tentang Dewi Saraswati, guru agama Hindu tidak mungkin akan dapat menunjukkan secara langsung wujud dari Dewi Saraswati melainkan ditunjukan melalui simbolik Dewi Saraswati dalam bentuk gambar atau patung/arca. Media pembelajaran adalah perantara atau pengantar sumber pesan dengan penerima pesan. Perantara yang dimaksud dalam pembelajaran adalah untuk lebih mengefektivitaskan dan mengefisiensikan dalam pencapaian tujuan pendidikan atau pencapaian kompetensi. Ada tiga jenis media pembelajaran berdasarkan tipetipe belajar peserta didik, seperti media audio, visual, dan audio visual. Media audio adalah media pembelajaran menggunakan alat bantu suara, seperti dalam pembelajaran agama Hindu tentang pengucapan mantram atau kidung dapat diperdengarkan melalui tape recorder. Media visual adalah media yang dapat diamati atau dilihat, seperti dalam pembelajaran agama Hindu tentang tempat suci agama Hindu, guru dapat menunjukkan berbagai tempat suci agama Hindu yang ada di luar Bali melalui gambar-gambar/foto-foto tentang pura yang ada di luar Bali. Sedangkan media audio visual sudah tergolong multimedia pembelajaran, perantara pembelajaran dapat mengakomodir berbagai tipe belajar siswa, seperti misalnya dalam pembelajaran agama Hindu tentang prosesi upacara manusa yadnya (potong gigi), guru agama Hindu dapat menunjukkan prosesi upacara tersebut melalui gambar dan suara atau berupa video dari prosesi upacara tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa sarana pendidikan agama Hindu meliputi: kurikulum, buku-buku, perpustakaan, dan guru-guru (http://www.babadbali.com/canangsari/hkt-pddkan-agama.htm). Kurikulum menurut Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pengajaran Nasional dan digunakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 yang merumuskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, materi/isi atau bahan pelajaran serta metode cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pengajaran. Kurikulum merupakan kerangka kerja/rancangan dalam membantu mengembangkan kemampuan-kemampuan siswa melalui proses pembelajaran. Untuk buku telah dibahas di atas, bahwa buku-buku diperlukan sebagai pedoman atau bahan ajar oleh guru dan peserta didik, selain itu juga diperlukan buku penunjang belajar yang biasanya disediakan diperpustakaan. Perpustakaan sekolah merupakan tempat sumber informasi atau sumber bacaan, sudah selayaknya tersedia berbagai buku penuntun dan buku penunjang

sebagai sumber informasi yang dapat mendukung dan memperkaya pemahaman siswa terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi. Perpustakaan berfungsi sebagai tempat untuk mengakses informasi melalui buku sumber. Era globalisasi, perpustakaan juga selayaknya dilengkapi akses informasi melalui media internet, karena itu perlu dilengkapi beberapa perangkat komputer sekaligus dengan jaringan internet. Guru merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam melakukan pembelajaran di sekolah untuk pencapaian kompetensi dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. Untuk itu kualitas guru perlu ditingkatkan agar menjadi tenaga pendidik yang profesional. Pelaksanaan suatu kegiatan tidak akan mencapai maksimal apabila dilakukan dengan meraba-raba atau mencoba-coba, akan tetapi suatu penerapan harus memiliki pedoman teoritis yang teruji kevalidannya. Seorang yang profesional bekerja dengan mengandalkan teori, praktik dan pengalaman, bukan berdasarkan penguasaan materi ajar semata. Selain itu, kuantitas guru perlu mendapat perhatian terutama di daerah terpencil, di samping kualitas belum memadai, kuantitasnya juga belum terpenuhi sehingga masalah guru juga menjadi kendala dalam proses pembelajaran. Masalah sarana pendidikan dalam pembelajaran, yang terpenting bukan masalah definisinya melainkan menyangkut masalah memanajemennya sehingga sarana yang ada dan diperlukan dalam pembelajaran benar-benar dapat memperlancar proses pencapaian tujuan pendidikan di sekolah. Dalam pelaksanaan manajemen sarana pendidikan di sekolah, selama ini belum ada tenaga professional yang menangani manajemen dan pemeliharaan sarana pendidikan tersebut, maka tugas-tugas tersebut biasanya diserahkan kepada salah satu pegawai atau lebih yang dianggap memiliki kemampuan untuk hal tersebut. Seperti telah disebut pada latar belakang, masalah manajemen sarana pendidikan meliputi: (1) penentuan kebutuhan, (2) proses pengadaan, (3) pemakaian/penggunaan, (4) pencatatan/pengurusan, dan (5) pertanggungjawaban.

(1) Penentuan Kebutuhan Penentuan kebutuhan merupakan perencanaan pengadaan sarana pendidkan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan. Sebelum mengadakan alat-alat tertentu atau fasilitas pendidikan terlebih dahulu harus melalui prosedur yang benar, yaitu melihat dan memeriksa kembali keadaan dan kekayaan yang telah ada, agar tidak terjadi sarana pendidikan yang mubazir, seperti pengadaan kembali sarana yang masih memadai dari segi kuantitas maupun kualitas atau pengadaan alat-alat yang tidak diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan. Setelah melalui prosedur yang benar, baru bisa ditentukan jenis sarana yang diperlukan berdasarkan kepentingan pendidikan di sekolah bersangkutan.

Penentuan sarana pendidikan sekolah juga harus mempertimbangkan, siapa-siapa saja yang memfasilitasi atau membiayai pengadaan sarana tersebut. Pihak sekolah bisa mengajukan permohonan pengadaan sarana pendidikan kepada istansi atasan seperti kepada pemerintah melalui Disdikpora provinsi, kabupaten/kota, bisa juga kepada pihak komite sekolah mengajukan RAPBS (Rencana Anggaran Penerimaan dan Belanja Sekolah) pada waktu awal tahun pelajaran atau mungkin sumbangan dari masyarakat. Apabila pengajuan pengadaan sarana pendidikan tersebut hanya sebagian yang disetujui, maka harus menentukan sekala prioritas atau sarana yang paling penting dan mendesak diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan. Untuk memudahkan mengetahui sarana yang paling penting dan mendesak dalam keperluan pendidikan, maka pada daftar pengadaan sarana harus diurut dari nomor terkecil untuk sarana/fasiltas yang paling penting atau mendesak kemudian diikuti sarana yang lain sesuai dengan tingkat kepentingan.

(2) Proses Pengadaan Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 42 ayat (1) disebutkan bahwa setiap satuan pendidikan wajib memiliki sarana yang meliputi perabot, alat pendidikan, media pendidikan, buku dan sumber belajar lainnya, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran yang teratur dan berkelanjutan (Permendiknas, 2006: 192). Untuk memenuhi sarana pendidikan, satuan pendidikan (sekolah) wajib mengupayakan sarana pendidikan yang diperlukan. Seperti telah disebut dalam penentuan kebutuhan sarana pendidikan, bahwa pengadaan sarana pendidikan dapat ditempuh melalui beberapa kemungkinan, yaitu: a. Bantuan atau pengadaan dengan biaya pemerintah Biasanya untuk mohon bantuan pengadaan sarana kepada pihak pemerintah diperlukan proposal yang memuat tentang jenis sarana dan besaran biaya yang diperlukan. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah juga biasanya dengan jumlah yang terbatas atau sangat minimal, selain itu realisasinya bantuan juga dalam waktu relatif lama karena melalui birokrasi yang sangat rumit, hal ini tentu dapat menghambat proses penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Pengadaan dengan biaya dari SPP atau uang komite Selama ini pengadaan sarana pendidikan lebih banyak mengandalkan bantuan yang bersumber dari SPP atau uang komite. Pengadaan sarana/fasilitas pendidikan dengan bantuan tersebut, biasanya relatif lebih cepat, hanya saja tetap juga terbatas pada kemampuan orang tua siswa dalam memberikan bantuan (uang komite). Terlebih lagi belakangan ini ke luar kebijakan pemerintah tentang pendidikan gratis, sekolah tidak diperbolehkan memungut iuran investasi/uang pembangunan atau uang awal sekolah. Sementara pemerintah tidak memberikan solusi atau dana konpensasi, sedangkan

b.

c.

sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan memerlukan biaya yang tinggi, sungguh kebijakan yang tidak logis atau rasional. Hal inilah yang menghambat dalam pengadaan sarana pendidikan, pihak sekolah harus berpikir keras agar mampu mewujudkan sarana/fasilitas yang diperlukan dalam pendidikan. Bantuan dari lembaga/instansi lain, perusahaan, atau masyarakat yang peduli terhadap pendidikan Sumber bantuan ini tidak dapat dijadikan sumber bantuan yang permanen atau berkala, hanya bersifat sewaktu-waktu. Bantuan tersebut juga biasanya memiliki kepentingan tertentu, seperti balas jasa atau penghargaan. Sebagai contoh penerbit buku yang bukunya digunakan sebagai pegangan atau penuntun belajar bagi siswa, maka pihak penerbit buku memberikan imbalan seperti berupa perangkat komputer atau laptop. Akan tetapi hal ini juga menjadi sasaran pemerintah, bahwa guru-guru disenyalir berbisnis menjual buku pada hal para guru hanya memfasilitasi peserta didik agar lebih mudah dalam mencari buku sumber belajar.

(3) Pemakaian/Penggunaan Pemakaian/penggunakan merupakan pemanfaatan sarana pendidikan untuk kepentingan pembelajaran oleh guru-guru mata pelajaran untuk mengoptimalkan dalam pencapaian tujuan pendidikan. Dalam pemakaian/penggunaan terutama sarana alat pembelajaran atau alat perlengkapan belajar dapat dibedakan menjadi dua jenis (Suryosubroto, 2004: 116), yaitu: a. Barang habis dipakai Sarana pendidikan yang habis dipakai adalah segala bahan atau alat yang apabila digunakan bisa habis dalam waktu yang relatif singkat, dengan kata lain sarana/barang habis dipakai adalah semua jenis barang yang digunakan akan mengalami pengurangan dan akhirnya habis, seperti kapur tulis, spidol/tinta spidol, pensil, dan bolpoin. Kapur tulis dan spidol/tinta spidol yang disediakan oleh sekolah dalam pelaksanaan pembelajaran, sedangkan pensil dan bolpoin diupayakan oleh guru masing-masing. Penggunaan barang-barang habis dipakai harus secara maksimal dan dipertangungjawabkan pada tipa tri wulan sekali.

b.

Barang tidak habis dipakai Sarana pendidikan tidak habis dipakai adalah keseluruhan bahan atau alat yang dapat digunakan secara terus menerus dan dalam waktu yang lama. Atau dengan kata lain Sarana/barang tidak habis dipakai adalah jenis barang yang digunakan dapat bertahan lama atau dapat digunakan berulang kali, akan tetapi jenis barang ini tetap mengalami penyusutan atau kerusakan akibat dipakai, seperti papan tulis, buku pelajaran, laptop, LCD, dan sebagainya. Penggunaan barang tidak habis dipakai tetap dipertanggungjawabkan satu

tahun sekali, karena itu perlu pemeliharaan atau perawatan. Jenis barang ini juga disebut barang inventaris. (4) Pencatatan/Pengurusan Pencatatan/pengurusan sarana pendidikan merupakan kegiatan administrasi. Untuk keperluan pencatatan/pengurusan disediakan instrumen administrasi, antara lain: a. Buku inventaris Buku iventaris berisi daftar barang inventaris tentang barang-barang miliki negara dan barang-barang dari sumber lain dan telah menjadi milik negara. Barang-barang milik negara yang ada di sekolah berbagai jenis. Khusus yang termasuk sarana dan prasarana pendidikan antara lain: alat-alat peraga, alat praktek, alat teknis pendidikan, laboratorium, alat transformasi, gedung/bangunan sekolah, perabot sekolah, dan sebagainya. Berikut disajikan format/bentuk daftar barang inventaris (Suryosubroto, 2004: 123).
DAFTAR BARANG INVENTARIS Keadaan pada tanggal: Nama Sekolah : Daftar Nomor : Alamat : Jenis Alat :
Th. diperoleh Kelengkapan dokumenn Keterangan Banyaknya No. pabrik Kode klasifikasi Jenis Th. bikin Asal dari No. Urut Kondisi Ukuran

Merek

Harga

Status

b.

Buku pembelian Buku pembelian berisi daftar pembelian/pengadaan barang-barang. Berikut disajikan format/bentuk daftar pembelian/pengadaan barang-barang.
DAFTAR PEMBELIAN BARANG
Dipakai tanggal Nama Barang Mulai untuk No. Urut Tanggal Terima Beli Dari Keterangan Banyaknya

c.

Buku penghapusan Buku ini berisi tentang penghapusan barang-barang yang tidak dapat dipakai lagi atau sudah rusak dan barang-barang yang masih bagus tetapi tidak diperlukan dalam pembelajaran. Barang-barang yang rusak atau barangbarang yang tidak dipakai lagi harus dilaporkan kepada instansi atasan terkait untuk penghapusan keberadaannya sebagai barang inventaris. Setelah mendapat legalitas atau persetujuan, barang-barang yang rusak dapat dimusnahkan sedangkan barang yang masih baik dapat dilakukan pelelangan oleh guru-guru dan pegawai tata usaha.

d.

Kartu barang Kartu barang diperlukan untuk mengetahui keadaan barang dari segi kuantitas untuk setiap bulan, catur wulan, setahun, dan keadaan dari tahun ke tahun berikutnya. Kartu barang hanya berlaku untuk pencatatan satu jenis barang inventaris atau satu jenis sarana pendidikan untuk memudahkan pengontrolan keadaan barang. Berikut disajikan format/bentuk contoh kartu barang.

Harga

KARTU BARANG/ALAT Sekolah Nama Barang Merek/Ukuran Penjelasan Tahun Banyaknya Satuan Perubahan Januari Pebruari Maret April Jumlah Mei Juni Juli Agustus Jumlah Setember Oktober Nopember Desember Jumlah Sisa Keterangan :..

: : : 2000 2001 dst.

Kurang

Tambah

Kurang

Tambah

(5) Pertanggungjawaban Pertanggungjawaban penggunaan barang-barang inventaris sekolah merupakan data penggunaan barang-barang tersebut bahwa telah digunakan sesuai dengan fungsinya. Penggunaan barang-barang inventaris sekolah dipertanggungjawabkan dengan jalan membuat laporan penggunaan barangbarang tersebut yang ditujukan kepada instansi atasan terkait Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olah Raga (Disdikpora).

(6) Manajemen Perpustakaan Sekolah Perpustakaan sekolah merupakan institusi penyedia sarana bacaan atau informasi bagi peserta didik. Melalui koleksi buku-buku yang dihimpun, perpustakaan sekolah mampu menumbuhkan kebiasaan membaca peserta didiknya. Perpustakaan memegang peranan penting dalam menunjang penyelenggaraan pendidikan yang harus dikelola secara efektif dan efisien, karena itu manajemen perpustakaan sekolah harus dilakukan secara professional. Era globaisasi, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) sekarang ini sangat pesat, maka peranan buku sebagai sumber informasi sangat penting dan mutlak diperlukan di sekolah-sekolah. Operasional perpustakaan sekolah perlu penanganan lebih serius, agar perpustakaan dapat berfungsi sebagai sumber untuk menggali informasi bagi guru-guru dan peserta didik. Untuk itu perlu penataan penggunaan perpustakaan sekolah supaya dapat berjalan dengan tertib, efektif, dan efisien. Adapun hal-hal yang diperlukan dalam penataan (tatalaksana) perpustakaan sekolah, antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. Tata tertib perpustakaan Buku induk anggota perpustakaan Buku induk bahan pustaka Almari catalog Kartu buku Kantong buku Lembar pengembalian Kartu peminjam Label buku Balangko peringatan Kartu katalog (Suryosubroto, 2004: 127)

Realitas perpustakaan sekolah, walaupun sekolah telah memiliki perpustakaan sekolah, akan tetapi belum dikelola dengan baik. Hanya sekolahsekolah unggulan dan sekolah yang sadar akan pentingnya perpustakaan, memiliki perpustakaan yang dikelola secara baik oleh tenaga profesional. Sekarang ini banyak sekolah yang baru tahap permulaan membina penataan perpustakaannya. Hal yang terpenting dari itu, hendaknya sekolah selalu berupaya secara berkala atau setiap saat untuk memperbaharui dan menambah kuantitas dan kulitas buku sumber bacaan, baik buku sumber bacaan penunjang bahan ajar maupun bahan bacaan umum. Sudah saatnya perpustakaan tidak hanya berisi buku-buku paket, koleksi perpustakaan juga dapat berupa buku-buku bacaan yang mampu menarik minat siswa untuk membacanya. Selain itu perpustakaan dapat juga melengkapi koleksinya dengan koleksi audiovisual dan perangkat komputer dengan jaringan internet untuk menggali dan melengkapi sumber informasi melalui situs internet sehingga perpustakaan sekolah tidak memberikan kesan layanan yang monoton.

Kendala-Kendala dalam Pengadaan Sarana Pendidikan di Sekolah Penyelenggaraan pendidikan tidak dapat dipisahkan dengan sarana-sarana pendidikan, baik sarana yang bersifat utama atau penunjang. Realitas pelaksanaan proses pembelajaran sering mengalami kesulitan untuk memperoleh sarana-sarana tersebut, sehingga dapat menghambat dalam pencapaian tujuan pendidikan atau pembelajaran. Kendala-kendala yang sering dihadapi oleh manajemen sekolah adalah dalam hal pengadaan sarana dan prasarana, seperti: keterbatasan anggaran sekolah, birokrasi bantuan pemerintah yang rumit, kemanpuan SDM yang kurang kreatif dalam membuat sarana sendiri, dan kurangnya relasi dengan masyarakat yang peduli pendidikan.

(1) Keterbatasan Anggaran atau Dana Lembaga sekolah bukan perusahan yang menghasilkan finansial (uang). Melainkan lembaga pendidikan yang bertanggungjawab dalam mengembangkan potensi peserta didik menjadi SDM yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, sosial, demokratis, berakhlak mulia, bertanggungjawab, dan sebagainya. Akibat tangung jawab tersebut memerlukan dana untuk memenuhi segala kebutuhan dalam penyelenggaraan pendidikan. Selama ini, sumber dana berasal dari orang tua siswa dan pemerintah. Besarnya dana dari orang tuas siswa tidak bisa ditentukan sendiri oleh pihak sekolah, melainkan harus melalui prosedur yang memiliki legalitas, yaitu dimusyawarahkan melalui rapat orang tua siswa yang menyesuaikan dengan kemampuan rata-rata orang tua siswa. Dana yang bersumber dari orang tua siswa dikelola oleh komite sekolah bersangkutan. Dana dari orang tua siswa, tidak serta merta dapat membiayai keseluruhan pengadaan sarana pendidikan, karena harus diporsikan untuk program/kegiatan yang lain, seperti kegiatan lomba-lomba/kejuaraan, membayar tenaga guru/pegawai honor, pemeliharan taman sekolah, dan sebagainya. Keterbatasan anggaran sekolah, membuat sekolah tidak dapat memenuhi segala kebutuhan sarana yang diperlukan dalam penyelenggaraan pendidikan disekolah. Hal ini sangat dirasakan oleh semua sekolah terutama sekolah-sekolah yang berada di daerah-daerah terpencil atau terisolir. Jangankan untuk membeli sarana pendidikan yang memadai dari segi kuantitas dan kualitas, belajar saja masih di tempat yang rusak-rusakan (sekolah yang rusak parah) atau numpang di Balai Desa. Pemerataan pendidikan dari segala komponen masih menjadi kendala yang sangat pelik, hal yang mustahil dapat mencapai kualitas pendidikan nasional yang baik. Kualitas pendidikan nasional bukan ditentukan oleh sekolah-sekolah yang ada di perkotaan, melainkan keseluruhan sekolah-sekolah yang di nusantara. (2) Birokrasi Bantuan Pemerintah Pemerintah bertanggungjawab menyelenggarakan pendidikan nasional, atinya pemerintah menyelenggarakan pendidikan di seluruh tanah air Indonesia.

Undang-Undang Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 4 ayat (1) disebutkan pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak deskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa. Mencermati pernyataan tersebut, mestinya kondisi sekolah-sekolah di seluruh nusantara memiliki kuantitas dan kualitas sarana-prasarana relatif sama sesuai dengan kebutuhan, akan tetapi kenyataannya tidak demikian adanya. Selama ini sekolah-sekolah tidak diberikan kesempatan yang sama untuk mengajukan pengadaan sarana-prasarana, hanya sekolah-sekolah yang kepala sekolahnya memiliki kedekatan baik dengan instansi atasan terkait saja yang sering mendapat perhatian, sementara sekolah-sekolah yang lainnya terpinggirkan. Selain kondisi seperti tersebut, sering juga mengalami kesulitan dalam hal birokrasi bantuan. Pengajuan melalui prosedur yang rumit, berlarut-larut, dan realisasi pengadaan sarana yang juga lamban. Penanganan semacam ini tentu menghambat proses pelaksanaan pendidikan di sekolah, sedangkan di sisi lain pemerintah menggebu-gebu untuk meningkatkan kualitas pendidikan secara nasional. (3) Kemampuan SDM dalam Membuat Sarana Sendiri Membuat sarana pendidikan sendiri hanya terbatas pada alat peraga, media pembelajaran, dan bahan ajar. Membuat sarana sendiri memerlukan kemampuan atau keahlian dalam mewujudkan suatu sarana yang dimaksud. Sebagai contoh: (1) membuat alat peraga berupa gambar pengider-ider penjuru mata angin (Dewata Nawa Sanga, warna, dan senjata saktinya) dalam pelajaran pendidikan agama Hindu, tidak semua guru agama Hindu mampu membuat alat peraga tersebut; (2) membuat media pembelajaran berbasis komputer, di samping menguasai bahan ajar, guru mata pelajaran bersangkutan harus juga memahami cara-cara mengoperasikan komputer dan cara-cara merancang media. Kondisi seperti ini, tidak semua guru mampu melakukan, hanya guru-guru yang inovatif dan kreatif saja yang mampu mewujudkan media tersebut; dan (3) membuat bahan ajar, bahan ajar memuat materi pelajaran untuk pencapaian kompetensi yang dapat diakses dari beberapa buku teks terkait dengan kompetensi yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Dalam membuat bahan ajar diperlukan kemampuan guru untuk melakukan seleksi terhadap isi buku teks, analisis, dan sintesis terhadap materi pelajaran. Membuat sarana pendidikan sering mengalami kendala-kendala seperti masalah sumber daya manusia dalam mewujudkan sarana tersebut. Keterbatasan kemampuan akan mempengaruhi kualitas sarana yang dihasilkan. Kualitas sarana yang kurang memadai tentu juga berdampak terhadap proses pelaksanaan pembelajaran. Dalam membuat sarana sendiri, juga tidak terlepas dari masalah biaya, karena untuk mewujudkan sarana tersebut juga memerlukan biaya, seperti untuk membuat alat peraga berupa gambar akan memerlukan kertas gambar, pensil, kuas, spidol, warna, dan lain-lain yang membutuhkan biaya.

(4) Relasi dengan Masyarakat, Pengusaha, atau Instansi Lainnya Pengadaan sarana pendidikan dapat dilakukan dengan kerja sama dengan pihak masyarakat, pengusaha/perusahaan, atau instansi lainnya. Akan tetapi sering kali mengalami kesulitan karena kurangnya informasi atau sosialisasi. Sekolah belum dikenal oleh pihak lain atau kurangnya sosialisasi program sekolah dalam mengembangkan kualitas sekolah. Sekolah-sekolah yang telah dikenal oleh masyarakat melalui hasil ajang kompetisi, sering mendapat bantuan sarana pendidikan. Sementara sekolah-sekolah baru tahap pengembangan diri belum memasyarakat, terlebih lagi sekolah-sekolah di daerah terpencil semakin tenggelam tanpa adanya perhatian masyarakat. Sekolah hendaknya proaktif mencari relasi dimasyarakat, menunjukkan program-program yang kompetitif dalam meningkatkan kualitas sekolah sehingga muncul rasa peduli masyarakat terhadap dunia pendidikan. Selama sekolahsekolah pasif dan tidak memiliki program yang jelas dalam upaya meningkatkan kualitas pendidkan atau hanya menunggu uluran tangan pemerintah tentu untuk mengembangkan potensi sekolah akan berjalan sangat lamban atau hanya berjalan di tempat. Satuan pendidikan (sekolah) yang paling tahu tentang kondisi sekolahnya, hanya dengan upaya dari sekolah tersebut yang bisa mencari jalan ke luar dari ketiadaan sarana pendidikan.

Upaya-Upaya untuk Mengatasi Kendala Pengadaan Sarana Pendidikan di Sekolah Membahas masalah pengadaan sarana pendidikan, tentu akan berhubungan dengan masalah biaya. Dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pada pasal 62 ayat (1) Pembiayaan pendidikan terdiri atas biaya investasi, biaya operasional, dan biaya personal. Sementara pada ayat (2) disebutkan biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Biaya personal merupakan biaya yang dikeluarkan oleh peserta didik untuk bisa mengikuti proses pembelajaran secara teratur dan berkelanjutan, sedangkan biaya operasional adalah biaya yang diperlukan untuk membiayai gaji pendidik dan tenaga kependidikan, bahan/peralatan habis pakai, dan biaya operasional lainnya yang selanjutnya diatur melalui Peraturan Menteri. Sementara untuk biaya investasi tidak disebutkan dengan jelas dari mana sumber biaya tersebut. Penyelenggaraan pendidikan merupakan tanggung jawab pemerintah baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota, maka menjadi kewajiban pemerintah untuk membiayai semua kebutuhan yang diperlukan dalam proses pembelajaran. Penyelenggaraan pendidikan di setiap satuan pendidikan harus tetap berjalan tanpa memandang dari mana sumber pembiayaan pengadaan sarana

tersebut. Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan dalam mengatasi keterbatasan anggaran pendidikan dalam pengadaan sarana pendidikan, antara lain: mengajukan permohonan bantuan kepada pemerintah, mohon bantuan kepada orang tua siswa, mengupayakan sarana pendidikan yang memungkinkan untuk dibuat sendiri, dan mohon bantuan kepada masyarakat yang peduli pendidikan.

(1) Bantuan Pemerintah Satuan pendidikan atau lembaga sekolah merupakan ujung tombak dalam menyelenggarakan pendidikan untuk mencapai cita-cita bangsa, yaitu sumber daya manusia Indonesia yang berilmu, cakap, kreatif, mandiri, sosial, demokratis, berakhlak mulia, bertanggungjawab, dan akhirnya menuju masyarakat yang cerdas, adil dan sejahtera. Dalam melaksanakan tanggung jawab tersebut, memerlukan berbagai sarana pendukung untuk mencapai tujuan pendidikan nasional tersebut. Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional harus bertanggungjawab untuk menyediakan sarana pendidikan sekolah. Pemerintah dalam hal ini adalah pemerintah pusat dan daerah (provinsi dan kabupaten/kota). a. Pemerintah Pusat Pemerintah pusat memiliki tanggung jawab penyelenggara pendidikan secara nasional, maka sepantasnya pemerintah pusat menyediakan sarana pendidikan untuk semua satuan pendidikan di wilayah nusantara secara teratur dan berkelanjutan. Masalah pengadaan sarana merupakan masalah yang krusial di Indonesi dan menjadi salah satu syarat atau unsur yang sangat menentukan keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini setiap satuan pendidikan berhak mengajukan pengadaan sarana pendidikan kepada Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) atau melalui instansi terkait dengan prosedur yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Pasal 62 ayat (2) PP Nomor 19 tahun 2005 disebutkan biaya investasi satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi biaya penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan sumber daya manusia, dan modal kerja tetap. Jika dicermati pernyataan tersebut bahwa pengadaan sarana pendidikan bersumber dari biaya investasi, ini berarti pemerintah pusat menyediakan biaya investasi untuk setiap satuan pendidikan dalam pengadaan sarana pendidikan yang dibutuhkan oleh setiap satuan pendidikan (sekolah).

b. Pemerintah Daerah Pengadaan sarana pendidikan memiliki dasar dan payung hukum, akan tetapi pelaksanaannya timbul berbagai dalih atau alasan untuk menghambat realisasinya. Diberlakukannya otonomi daerah, maka anggaran pendidikan dialokasikan pada APBD. Pemberlakuan otonomi pendidikan di tingkat daerah justru terjadi penurunan biaya penyelenggaraan pendidikan. Pemahaman pimpinan daerah terhadap pendidikan, banyak yang masih sangat terbatas, tidak jarang kebijakan daerah menempatkan pendidikan bukan

berada pada skala prioritas. Prioritas keberapapun pendidikan tersebut tingkat otonomi daerah, pendidikan harus tetap terselenggara. Dalam hal ini, penyelenggaraan pendidikan bukan saja menjadi tanggung jawab pemerintah pusat melainkan tanggung pemerintah daerah juga, karena itu sekolah memiliki hak untuk mengajukan biaya pengadaan sarana pendidikan kepada pemerindah daerah baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

(2) Bantuan Orang Tua Siswa (Komite Sekolah) Komite Sekolah adalah badan mandiri yang mewadahi peran serta masyarakat (orang tua siswa) dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di satuan pendidikan, baik pada pendidikan pra sekolah, jalur pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan di luar sekolah. Komite Sekolah dibentuk sebagai mitra sekolah, terutama bagi kepala sekolah dan guru dalam merancang dan melaksanakan program pendidikan, baik program pembangunan fisik maupun non fisik seperti pengadaan sarana pendidikan untuk kepentingan pembelajaran. Peran serta orang tua siswa (komite sekolah) sangat dibutuhkan dalam peningkatkan mutu pendidikan, selain memberi bantuan berupa pemikiran, ide, dan gagasan-gagasan inovatif demi kemajuan suatu sekolah, juga bantuan berupa pengadaan saran pendidikan. Dalam hal pengadaan sarana pendidikan, komite sekolah mengupayakan melalui iuran anggota/orang tua siswa yang dimusyarahkan melalui pertemuan orang tua siswa pada awal tahun pelajaran dan sumbangan sukarela yang tidak mengikat. Namun bantuan orang tua siswa belakangan ini menjadi kendala akibat keluarnya kebijakan pendidikan gratis. Sekolah tidak lagi diijinkan memungut iuran awal sekolah (biaya investasi) kepada orang tua siswa. Tetapi kembali lagi bahwa penyelenggaran pendidikan harus terlaksana. Kepala sekolah dan pengurus komite harus berpikir keras untuk mengupayakan anggaran pendidikan agar dapat memenuhi kebutuhan sekolah dalam penyelenggaraan pendidikan. Beberapa sekolah telah membijaksanai dengan mengatur biaya investasi dalam bentuk iuran bulanan. Iuran bulanan biasanya digunakan untuk biaya operasional sekolah. Dengan mengalihkan biaya investasi dari orang tua siswa menjadi iuran bulanan, maka jumlah iuran bulanan yang dikeluarkan orang tua siswa menjadi membengkak atau lebih tinggi dari iuran bulanan sebelumnya. Hal ini terpaksa dilakukan sekolah agar terkesan tidak melanggar kebijakan atasan, akan tetapi biaya tersebut tetap dapat dipungut dari orang tua siswa. Tentu pemungutan biaya tersebut bukan tanpa alasan, seperti sebelumnya telah dikemukakan bahwa akibat penyelenggaraan pendidikan pasti membutuhkan biaya termasuk biaya pengadaan sarana pendidikan.

(3) Membuat sendiri Ada beberapa sarana pendidikan yang dapat dibuat oleh guru sendiri dalam melaksanakan pembelajaran, seperti alat peraga, media pembelajaran, dan bahan ajar. Agar setiap guru memiliki inovasi dan kreativitas dalam membuat sarana pendidikan untuk keperluan pembelajaran, maka perlu dilakukan pembinaan kepada guru-guru mata pelajaran tentang strategi dan cara membuat sarana pembelajaran sendiri. Misalnya dalam membuat media pembelajaran berbasis komputer, maka guru harus diberikan pelatihan cara mengoperasikan komputer dan cara merancang media pembelajaran dengan program komputer. Setiap mata pelajaran memutuhkan bahan ajar, media pelajaran, dan/atau alat peraga. Bahan ajar dapat disusun sendiri melalui beberapa sumber buku teks yang telah ada dan tidak harus dengan cara membeli yang baru. Bahan ajar wajib dimiliki oleh guru dan peserta didik karena memuat materi-materi pelajaran untuk mencapai kompetensi atau tujuan pembelajaran. Membuat bahan ajar sendiri jauh efektif dan efisien, karena sebelumnya telah dirancang sesuai dengan pencapaian kompetensi, dibandingkan dengan membeli buku teks pelajaran karena isinya belum tentu mencerminkan kompetensi-kompetensi pembelajaran sehingga peserta didik harus memilih atau menyeleksi sendiri.

(4) Masyarakat Peduli Pendidikan Mengingat pendidikan memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia di era globalisasi ini, maka keberhasilan penyelenggaraan pendidikan bukan tanggung jawab pemerintah semata. Penyelenggaraan pendidikan membutuhkan kepedulian masyarakat untuk bersama-sama dengan pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan. Dalam hal ini, masyarakat yang dimaksud adalah masyarakat yang peduli terhadap pendidikan baik secara perorangan/individu, kelompok/organisasi/lembaga kemasyarakatan, masyarakat pengusaha, dan sebagainya. Satuan pendidikan atau lembaga sekolah bisa mengajukan bantuan pengadaan sarana pendidikan melalui jalinan kerja sama atau mungkin tanpa imbalan balas jasa. Peserta didik termasuk warga masyarakat yang tergolong konsumtif, seperti konsumtif buku teks mata pelajaran, pulsa hand phone (HP), bahan bakar dan pengguna kendaraan motor, dan sebagainya. Lembaga sekolah bisa menjalin kerja sama dengan pengusaha yang produknya dibeli dan digunakan oleh kebanyakan peserta didik. Lembaga sekolah juga bisa meminta bantuan kepada alumni sekolah yang telah maju dan sukses dalam usaha atau sukses sebagai pejabat di suatu instansi atau perusahaan. Selama ini, buku teks mata pelajaran dari tahun ke tahun oleh sekolah dijadikan sebagai buku sumber atau bahan ajar. Hal ini sangat menguntungkan

pihak penerbit buku teks pelajaran. Pihak sekolah harus menggunakan kesempatan ini untuk melakukan kerja sama secara teratur dan berkelanjutan, misalnya meminta bantuan untuk pengadaan perangkat komputer/laptop atau pengadaan sarana pendidikan yang lain yang diperlukan dalam pembelajaran. Contoh lain yang juga sangat strategis, yaitu kerja sama dengan perusahaan penjual layanan produk pulsa. Hampir semua peserta didik di perkotaan memiliki HP dan pasti akan selalu melakukan isi ulang pulsa. Isi ulang pulsa rata-rata dilakukan paling lama tujuh hari (satu minggu) dengan isi ulang minimal Rp. 10.000,00 dan terjadi setiap hari. Jumlah peserta didik diperkotaan seluruh wilayah Indonesia sangat besar, bisa dibayangkan betapa besarnya omset penjualan pulsa per-hari. Selain perusahaan tersebut, banyak juga perusahaan jenis lainnya yang juga telah banyak mendapat keuntungan dari peserta didik. Kenyataan ini, apakah pihak perusahaan tersebut tidak menyadari atau tidak peduli dengan pendidikan di Indonesia? Mestinya pihak sekolah proaktif melakukan pendekatan dengan perusahaan-perusahaan yang mapan terlebih lagi produknya digunakan oleh peserta didik. Kalau pihak sekolah bertekad untuk meningkatkan kualitas sekolahnya, perusahaan-perusahaan yang telah mapan pasti mengulurkan tangan untuk memberi bantuan, asalkan dengan prosedur yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan.

Sumber Pustaka Anonim. 2004. Pendidikan Agama Hindu di Sekolah. Diakses pada 23 Desember 2009 dari World Wide Web: http://www.babadbali.com/canangsari/hktpddkan-agama.htm Bafadal, Ibrahim. 1996. Pengelolaan Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Bumi Aksara. Darmono, 2001. Manajemen dan Tata Kerja Perpustakaan Sekolah. Jakarta : Grasindo. Hadiyanto. 2004. Mencari Sosok Desentralisasi Manajemen Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Hasbulah. 2007. Otonomi Pendidikan, Kebijakan Otonomi Daerah dan Implikasinya terhadap Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo. Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi Offset. Suryosubroto, 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Bappenas. 2004. Program Kebijakan Depdiknas. http://www.bappenas.go.id/ Tim Penyusun. 2001. Partisipasi Masyarakat. Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. Tim Redaksi Sinar Grafika. 2006. Permendiknas 2006 Tentang SI & SKL. Jakarta: Sinar Grafika. Tim Redaksi Fokusmedia. 2008. Himpunan Peraturan Perundang-Undangan, Undang-Undang Guru Dan Dosen. Bandung: Fokusmedia. Tim Penyusun. tt. Kumpulan Permendiknas Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan Panduan KTSP. Departemen Pendidikan Nasional Jakarta. Tim Redaksi. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai