Anda di halaman 1dari 21

BAB 1 PENDAHULUAN Rabies saat ini menjadi penyakit yang sangat umum kita dengar di telinga.

Rabies yang berasal dari bahasa latin merupakan penyakit virus neuroinvasif yang menyebabkan encephalitis (infeksi pada otak) yang menginfeksi binatang domestik ataupun binatang buas, ataupun manusia. Virus rabies ini ditularkan melaui kontak dengan saliva dari binatang yang terinfeksi. Hal ini dapat terjadi melalui gigitan, goresan, atau luka pada kulit atau membran mukosa. Binatang yang umum terinfeksi virus rabies ini adalah anjing, kelelawar, kucing, monyet, rakun, ataupun serigala.1,2 Gejala awal rabies biasanya tidak spesifik, melibatkan sistem respirasi, sistem gastrointestinal, atau sistem saraf pusat. Virus rabies dapat mencapai otak melalui saraf-saraf tepi. Semakin dekat letak fokus infeksi virus rabies maka semakin cepat pula gejala pada sistem saraf pusat yang muncul. Sedangkan pada tahap akhir pada penyakit ini dapat terjadi komplit paralisis hingga koma dan kematian pada semua kasus, biasanya terjadi akibat gagal nafas. Kematian dapat terjadi dalam 7 hari tanpa perawatan intensif dan case fatality rate hampir 100% pada pasien yang tidak divaksinasi dan tidak mencari pengobatan setelah kontak dengan binatang yang terinfeksi. Masa inkubasi untuk rabies hanya beberapa minggu hingga beberapa bulan saja.2 Beberapa Negara endemik rabies meliputi negara-negara di Amerika Tengah, Amerika Utara, Afrika, China, dan negara-negara Asia Tenggara. Saat ini prevalensi penyakit rabies bertambah terus, terutama di negara-negara Asia Tenggara. Hal ini perlu menjadi perhatian dan diperlukan strategi khusus dalam menanganinya.3 Beberapa bulan terakhir mulai muncul kasus-kasus rabies di Bali yang menyebabkan beberapa orang meninggal dunia. Tentunya hal ini sangat menarik perhatian karena sejak tahun 1999 Bali sudah dinyatakan bebas penyakit Rabies. Tingginya angka kematian yang disebabkan oleh penyakit rabies menyebabkan diperlukannya pemahaman dalam upaya pencegahan dan

penatalaksanaan awal yang perlu disosialisasikan lebih banyak kepada masyarakat dan terutama di daerah-daerah yang positif rabies.

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Rabies adalah suatu ensefalomielitis akut yang ditimbulkan oleh infeksi suatu virus rabies (yang tergolong rhabdovirus). Penularan kepada manusia terjadi melalui gigitan anjing yang mengandung virus rabies. Gigitan kucing, kera dan kelelawar dapat pula menularkan virus rabies tersebut. Rabies adalah penyakit yang unik dan berumur tua. Tulisan tertua datang dari Eshnunna, Babilon 2000 tahun Sebelum Masehi. Berasal dari kata Rage yang diartikan gila dalam bahasa latin, penyakit ini menimbulkan perubahan tingkah laku dan mempunyai angka kematian mendekati 100 persen. Penelitian terpenting untuk menanggulangi virus rabies dimulai pada tahun 1885 oleh Louis Pasteur yang menggunakan virus rabies liar ( street virus ) dan berhasil menciptakan vaksin pertama untuk penyakit rabies.4 2.2 EPIDEMIOLOGI Penyakit rabies tersebar di seluruh dunia dan ada di semua benua. Berdasarkan data dasar tahun 2005 terdapat 43 negara dari 129 negara yang melaporkan tidak adanya kasus rabies di negaranya pada tahun 2004. Kebanyakan dari mereka adalah negara-negara maju seperti Jepang, New Zealand, Yunani, Portugal, Swedia, Norwegia, dan Amerika Latin seperti Uruguay dan Chili. Namun pada sebagian besar Negara Asia, sebagian Amerika, dan sebagian besar Negara Afrika masih menjadi host utama. 1,3 Diperkirakan terdapat 55.000 kematian pada manusia tiap tahunnya karena rabies di seluruh dunia, dengan jumlah sekitar 31.000 di Asia, dan 24.000 di Afrika. India dilaporkan memiliki jumlah tertinggi di seluruh dunia, yang utamanya ditularkan oleh anjing. Pada tahun 2007 Vietnam memiliki rata-rata tertinggi kedua, lalu disusul Thailand di posisi ketiga dengan sebagian besar terjadi akibat gigitan anjing yang terinfeksi. 2 Rabies sangat jarang ditemukan di USA diluar negara-negara bagian utara. Tapi pada tahun 2006, rakun-rakun di Atlantik Tengah dan di Barat Laut USA

mulai mendapat epidemik rabies sejak tahun 1970, yang kemudian meluas hingga Ohio. 1,3

Gambar 1: Prevalensi kasus rabies 2 2.3 ETIOLOGI DAN VIROLOGI Berbagai jenis hewan dapat menularkan rabies ke manusia. Yang terbanyak adalah oleh hewan liar, khususnya musang, kelelawar, rubah, dan serigala. Anjing, kucing, hewan ternak, atau hewan berdarah panas dapat menularkan rabies kepada manusia. Manusia tertular rabies melalui gigitan hewan yang terinfeksi. Virus rabies terdapat dalam saliva, otak, atau jaringan saraf binatang yang terinfeksi. 5,6,7,8 Virus rabies adalah suatu RNA virus dari keluarga Rhabdoviridae (genus Lyssavirus) genom beruntai tunggal, tidak bersegmen dan berbentuk peluru yang diselimuti selaput glikoprotein berbentuk tonjolan, berfungsi sebagai antigen utama yang menginduksi dan mengikat penetral antibodi virus, yang sangat penting untuk kekebalan. Virus terdiri dari dua unit struktural dan fungsional 9 : 1. Selubung luar dikeliputi oleh penonjolan seperti duri (ukuran 10 nm)yang berkorespondensi dengan trimer G protein yang berhubungan dengan reseptor virus pada membran sel yang peka. 2. Kelompok ribonukleokapsid dalam yang terdiri dari genomik RNA yang berhubungan dengan protein N, Polimerase L, Kofaktor P dan protein M.

Secara antigenik virus rabies dibedakan dengan virus lain yang termasuk keluarga rhabdovirus, genus lyssavirus atas 4 spesies : 1. Rabies virus ( RABV) 2. Lagos Bat Virus ( LBV) 3. Mokola Virus (MOKV) 4. Duvenhage virus (DUVV) Selanjutnya didapat 3 spesies lain yang menyerupai rabies virus : 1. European bat lyssavirus 1( EBLV-1) 2. European bat lyssavirus 2 ( EBLV-2) 3. Australian bat lyssa virus (ABLV) Empat spesies virus baru yang ditemukan di Asia, Siberia : 1. Aravan Virus ( ARAV) 2. Khujand Virus ( KHUV) 3. Irkut Virus (IRKV) 4. West Caucasian bat virus (WCBV) Lyssavirus dibedakan menjadi 2 philogrup yaitu I: genotip 1,4,5,7 dan phylogrup II : genotip 2,3. Setiap philogrup berbeda dalam hal patogenesis, induksi apoptosis dan pengenalan reseptor sel, hal ini berkorelasi dengan bukti eksperimen sejauh ini bahwa vaksin rabies yang ada (seluruhnya adalah milik genotip 1 philogrup I) yang tidak akan efektif untuk perlindungan terhadap infeksi lyssavirus dari phylogrup II. 10 Ukuran virus rabies sekitar 100 x 140 nanometer. Inti virus rabies terdiri dari asam nukleat RNA saja, yang bersifat genetik. Inti ini dikelilingi oleh ribonukleoprotein yang disebut kapsid. Kombinasi inti dan kapsomer yang terdiri satuan molekul protein disebut nukleokapsid, di luarnya terdapat envelope yang pada permukaannya terdapat spikula (spikes). Nukleokapsid berbentuk kumparan heliks dari inti kompleks ribonukleoprotein yang dibentuk oleh gen virus rabies, berupa sebuah rantai tunggal RNA tak bersegmen, sebuah nukleoprotein, sebuah fosfoprotein, dan RNA dependen RNA polimerase. Envelope virus terdiri dari sebuah membran yang terbuat dari lipid host dan 2 jenis protein yaitu G dan M, lipid ini dapat dilarutkan dengan eter, sehingga virus rabies itu dengan mudah

sekali diinaktivasi dengan lipid solvent. Envelope virus menentukan virulensi sedangkan RNA dan nukleokapsidnya sendiri tidak infeksius. 11,12 Dalam Sudewi, dikatakan bahwa virus ini berukuran sekitar 180 nm panjang dan 75 nm lebar yang disusun oleh lima jenis protein yaitu: nukleoprotein (N), fosfoprotein (P), matriks protein (M), glikoprotein (G), dan polimerase (L). Pada umumnya Rhabdoviridae terdiri dari dua bagian luar. RNP dibentuk oleh nukleoprotein dan dihubungkan dengan fosfoprotein dan polimerase (L-protein). Sedangkan glikoprotein membentuk spike (paku) pada daerah permukaan luar (envelope / membran) dan virus dengan panjang sekitar 10 nm yang berfungsi sebagai antigen utama yang menginduksi dan mengikat penetral antibodi virus, sangat penting untuk kekebalan. Sedangkan envelope dengan RNP dihubungkan dengan matriks protein (M). Genom dari virus rabies adalah rantai tunggal, antisense, nonsegmented RNA dengan panjang sekitar 12 kb. 13

Gambar 2: Struktur Virus Rabies 9 2.4 PATOGENESIS Virus rabies bersifat sangat neurotropik, dimana mereka menyebar melalui sistem saraf dan akhirnya menyerang sistem saraf perifer dan menyebabkan infeksi akut.

Gambar 3: Patogenesis Rabies 14 2.4.1 Penyebaran menuju Sistem Saraf pusat Virus rabies masuk ke dalam tubuh melalui luka atau kontak langsung dengan selaput mukosa dengan rasio gigitan dan cakaran sebesar 50:1. Virus rabies tidak bisa menembus kulit yang utuh. 15 Virus rabies membelah diri dalam otot atau jaringan ikat pada tempat inokulasi dan kemudian memasuki saraf tepi pada sambungan neuromuskuler. Setelah virus menempel pada reseptor nikotinik asetilkolin lalu virus menyebar secara sentripetal melalui serabut saraf motorik dan juga serabut saraf sensorik tipe cepat dengan kecepatan 50 sampai 100 mm per hari. Setelah melewati medula spinalis, virus bereplikasi pada motor neuron dan ganglion sensoris, akhirnya mencapai otak. Kolkisin dapat menghambat secara efektif transport akson tipe cepat tersebut. Virus melekat atau menempel pada dinding sel inang. Virus rabies melekat pada sel melalui duri glikoproteinnya, reseptor asetilkolin nikotinat dapat bertindak sebagai reseptor seluler untuk virus rabies. Kemudian secara endositosis virus dimasukkan ke dalam sel inang. Pada tahap penetrasi, virus telah masuk ke dalam sel inang dan melakukan penyatuan diri dengan sel inang yang ditempati, terjadilah transkripsi dan translasi. Genom RNA untai tunggal direkam oleh polimerase RNA terkait, virion menjadi lima spesies mRNA. mRNAs monosistronik ini menyandi untuk lima

protein virion. Genom ini merupakan cetakan untuk perantara replikatif yang menimbulkan pembentukan RNA keturunan. RNA genomik berhubungan dengan transkriptase virus, fosfoprotein dan nukleoprotein. Setelah enkapsidasi, partikel berbentuk peluru mendapatkan selubung melalui pertunasan yang melewati selaput plasma. Protein matriks virus membentuk lapisan pada sisi dalam selubung, sementara glikoprotein virus berada pada selaput luar dan membentuk duri. Setelah bagian-bagian sel lengkap, sel virus tadi menyatukan diri kembali dan membentuk virus yang baru dan menginfeksi sel inang yang lainnya, Kemudian melanjutkan diri begerak secara sentripetal sebagai bentuk sub viral, tanpa nukleokapsid menuju jaringan otak. 9

Gambar 4: Replikasi dan Siklus Infeksi Virus 16 2.4.2 Penyebaran didalam Sistem Saraf Pusat Setelah melewati medula spinalis virus akan menginfeksi tegmentum batang dan nukleus selebelaris batang otak selanjutnya virus akan menyebar ke sel purkinye serebelum, diencefalons, basal ganglia dan akhirnya menuju korteks serebri, penyebaran menuju hipokampus terjadi lebih lambat dengan girus dentatus yang relatif tidak terinfeksi. Dasar dari pemilihan sel tidak diketahui, tetapi Gosztonyi

dan Ludwig (2001) berspekulasi bahwa reseptor NMDA terlibat dalam penyebaran virus, hal inilah yang menjadikan virus rabies tidak bisa menginfeksi sel granuler pada girus dentatus yang sebagian besar mengandung reseptor AMPA dan Kainate.

Gambar 5: Reseptor AMPA, NMDA, Kainate9 Pada infeksi virus liar penyebaran dimulai pada segmen lumbal medula spinalis dan transportasi ke otak menggunakan lintasan saraf yang panjang termasuk : rubrospinalis, kortikospinalis, spino-olivari, vestibulospinal atau spino vestibular, retikulospinal atau spinoretikular, serebelospinal atau spinoserebelar dan lintasan kolumna dorsalis.
9

Jika virus telah mencapai otak, maka ia akan

memperbanyak diri dan menyebar ke dalam semua bagian neuron, terutama mempunyai predileksi khusus terhadap sel-sel sistem limbik, hipotalamus, dan batang otak. Khusus mengenai infeksi sistem limbik, sebagaimana diketahui bahwa sistem limbik sangat berhubungan erat dengan fungsi pengontrolan sikap emosional. Akibat pengaruh infeksi sel-sel dalam sistem limbik ini, pasien akan menggigit mangsanya tanpa adanya provokasi dari luar. 11 2.4.3 Penyebaran dari Susunan Saraf Pusat Setelah memperbanyak diri dalam neuron neuron sentral, virus kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada serabut saraf volunter maupun otonom. Dengan demikian, virus dapat menyerang hampir seluruh jaringan dan organ tubuh dan berkembang biak dalam jaringan seperti kelenjar ludah.11 Virus rabies menyebar menuju multi organ melalui neuron otonom dan sensorik terutama melibatkan jalur parasimpatis yang bertanggung jawab atas

infeksi pada kelenjar ludah, kulit, jantung, dan organ lain. Replikasi di luar sel saraf terjadi pada kelenjar ludah, lemak coklat, dan kornea. Kepekaan terhadap infeksi dan masa inkubasinya bergantung pada latar belakang genetik inang, strain virus yang terlibat, konsentrasi reseptor virus pada sel inang, jumlah inokulum, beratnya laserasi, dan jarak yang harus ditempuh virus untuk bergerak dari titik masuk ke susunan saraf pusat. Terdapat angka serangan yang lebih tinggi dan masa inkubasi yang lebih pendek pada orang yang digigit pada wajah atau kepala. Virus rabies menghasilkan inklusi sitoplasma eosinofilik spesifik, badan Negri, dalam sel saraf yang terinfeksi. Adanya inklusi seperti ini bersifat patognomonik rabies tetapi tidak terlihat pada sedikitnya 20% kasus. Karena itu, tidak adanya badan Negri tidak menyingkirkan diagnosis rabies. Virus rabies memperbanyak diri di luar susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan infiltrat dan nekrosis seluler dalam kelenjar lain, dalam kornea, dan di tempat lain dan tidak pernah diisolasi dari darah orang yang terinfeksi. 5 2.5 IMUNOLOGI Pada infeksi virus rabies respon imun hanya dapat dideteksi setelah gejala klinis muncul, hal ini mengindikasikan virus dapat menghindar atau mensupresi respon imun. Pada manusia yang tidak divaksinasi antibodi penetral akan timbul di serum 7 hari setelah gejala klinis muncul, cairan otak menyusul kemudian, meskipun antibodi penetral adalah protektif pada fase awal setelah terjadi infeksi, B limfosit mungkin bertanggung jawab terhadap bertambah parahnya encefalitis, bahkan kematian yang lebih awal, hal ini dibuktikan dengan inokulasi virus dengan jumlah besar pada tikus. Diyakini antibodi spesifik dapat meningkatkan replikasi virus. Infeksi dengan jenis rabies liar akan mensupresi respon sel T sitotoksik, tidak hanya kepada rabies tetapi juga pada antigen yang lain. Mekanisme supresi ini belum diketahui. 17 2.5.1 Respon imun di perifer Imun respon yang dipicu oleh RABV telah dianalisa dengan menggunakan tikus percobaan melalui jalur intramuskular dan jalur intra nasal. Digunakan dua jenis RABV, jenis patogen dan jenis abortif, dengan berbagai tingkat patogenitas yang

10

berbeda. Pada kontras dengan jalur yang sama terlihat jenis patogen menginvasi medula spinalis dan hampir semua daerah otak yang menghasilkan fatal encefalitis, sedangkan pada jenis abortif menghasilkan infeksi sementara pada otak dan ireversibel paralisis pada daerah inokulasi.9

Gambar 6: Kemampuan Virus Rabies dalam mengontrol respon imun inang 9 2.5.2 Respon imun di susunan saraf pusat Pada injeksi dengan jenis abortif pada tungkai belakang tikus, terjadi infeksi yang progresif pada medula spinalis dan otak diikuti oleh sel radang sitokin IL-1, TNF, IL-6, kemokin ( CCL-5, CXCL-10 ) serta IFN. Hal ini mengindikasikan bahwa susunan saraf pusat mengetahui masuknya RABV dengan menginduksi reaktif respon imun alamiah. Sel limfosit T hancur karena apoptosis yang diakibatkan oleh aktivasi molekul Fas yang disandikan pada permukaan limfosit setelah ligasi dengan FasL, pada keadaan dimana tidak ada FasL destruksi sel limfosit T menurun dan manifestasi penyakit menjadi kurang parah. RABV mempunyai mekanisme selektif baterai untuk menghindari imunosurveillance inang di susunan saraf pusat. Encefalitis terjadi menurut urutan sebagai berikut : setelah virus masuk ke susunan saraf pusat, RABV bergerak melalui akson jaringan saraf, dan menginfeksi terutama jaringan saraf melalui reseptor. Infeksi memicu produksi sitokin, kemokin, limfosit dan menarik mereka masuk susunan saraf pusat melintasi sawar darah otak. RABV menyebabkan

11

encefalitis yang memproduksi infeksi non sitopatogenik, yang tetap memelihara integritas neuron pada jaringan saraf sehingga menghasilkan infeksi menyeluruh pada jaringan saraf. 9 2.6 GEJALA KLINIS Terdapat dua gejala klinis pada rabies yaitu: rabies galak dan rabies paralitik yang terdapat pada hewan dan manusia. 2.6.1 Rabies pada Hewan Setelah virus rabies memasuki tubuh hewan, virus ini akan berjalan ke otak melalui saraf perifer. Anjing, kucing, dan kelinci mungkin dapat menunjukkan berbagai gejala, termasuk ketakutan, agresif, air liur yang berlebih, sulit menelan, sempoyongan, dan kejang. Hewan liar dengan rabies mungkin hanya menunjukkan prilaku yang tidak biasanya misalnya seekor hewan yang biasanya terlihat di malam hari mungkin dapat ditemukan berkeliaran di siang hari. Sebagai tambahan, gejala ini dapat terlihat pada anjing, kucing, kuda, ternak, domba, dan kambing dengan rabies mungkin menunjukkan depresi, atau peningkatan sensitivitas pada cahaya.7 Mamalia dan unggas peka terhadap rabies dengan tingkat kepekaan yang tertinggi sampai terendah ada pada rubah, karnivora, musang, kucing, binatang pengerat, manusia, anjing, herbivora, ayam, tupai. Pada anjing waktu inkubasi diantara 3 sampai 12 minggu, dengan waktu yang ekstrim yaitu 5 hari sampai 14 bulan. Gejala awal adalah menggaruk atau menggigit di tempat luka infeksi, gejala klinis lain adalah perubahan tingkah laku, disfagi, ptosis, gonggongan yang melemah, paralisis rahang, leher dan kaki belakang, hipersalivasi, pembengkakan kelopak mata, gatal, gemetar, menyerang setiap objek, dan sangat gelisah, yang menyebabkan binatang dengan rabies pergi mengembara jauh. Anjing dengan rabies galak akan menyerang manusia, anjing lain atau binatang lain, ataupun objek yang tidak ada. Virus biasanya di ekskresi dari saliva 3 hari sebelum gejala muncul, dan binatang yang terjangkit rabies biasanya akan mati dalam 7 hari setelah gejala muncul, yang merupakan dasar 10 hari periode observasi pada anjing yang menggigit manusia. Rubah liar akan kehilangan rasa takut pada manusia dan akhirnya menjadi lumpuh. Rabies galak dengan derajat yang ekstrim

12

akan terlihat pada 75% kucing, hewan ternak biasanya menunjukkan gejala kelumpuhan, sedangkan kuda cenderung menunjukkan gejala rabies.18 2.6.2 Rabies pada manusia Gejala klinis rabies pada manusia terbagi oleh beberapa stadium yaitu: 15 1. Periode inkubasi ( 30- 90 hari ) 2. Gejala prodromal ( 2-10 hari ) 3. Gejala neurologi akut ( 2-7 hari ) 4. Koma atau kematian ( 0-14 hari) 1. Periode inkubasi Sangat bervariasi dari 4 hari sampai beberapa tahun dan cenderung lebih singkat pada gigitan di muka ( 35 hari) daripada gigitan di tungkai ( 52 hari) Ketika seseorang pertama kali digigit oleh hewan yang terinfeksi rabies, gejalanya dapat terlihat pada otot rangka. Masa inkubasi rata-rata pada manusia sekitar 3 8 minggu, lebih lama daripada masa inkubasi pada hewan. Sangat jarang tapi pernah ditemukan masa inkubasi selama 19 tahun. Pada 90 % kasus, masa inkubasinya kurang dari 1 tahun. Ada pula yang menyebutkan bahwa masa inkubasinya adalah 60 hari untuk gigitan yang terdapat di kaki. Gigitan pada wajah hanya membutuhkan waktu sekitar 30 hari. Hal ini disebabkan karena lokasi inokulasi yang makin dekat dengan otak, makin pendek masa latennya. Pada masa inkubasi ini, virus rabies menghindari sistem imun dan tidak ditemukan adanya respon antibodi. Saat ini, pasien dapat tidak menunjukkan gejala apa apa (asimptomatik). 7, 11, 15 2. Fase prodromal Pada stadium prodromal, virus mulai memasuki sistem saraf pusat. Stadium prodromal berlangsung 2 10 hari dan gejala tak spesifik mulai muncul berupa sakit kepala, lemah, anoreksia, demam, rasa takut, cemas, nyeri otot, insomnia, mual, muntah, dan nyeri perut. Parestesia atau nyeri pada lokasi inokulasi merupakan tanda patognomonik pada rabies dan terjadi pada 50 % kasus pada stadium ini, dan tanda ini mungkin menjadi satu-satunya tanda awal. Setelah beberapa hari akan timbul manifestasi gejala rabies galak ataupun gejala rabies paralitik, tergantung medulla spinalis ataukah otak yang dominan terinfeksi.1,15,19 3. Gejala neurologi akut

13

Setelah melewati stadium prodromal, maka dimulailah stadium kelainan neurologi yang berlangsung sekitar 2 7 hari. Pada stadium ini, sudah terjadi perkembangan penyakit pada otak dan gejalanya, dan dapat dibedakan menjadi encephalitis rabies atau rabies galak atau furious rabies dan paralitik rabies. Hal itu dibedakan berdasarkan pada organ mana yang dominan terinfeksi, apakah otak atau medula spinalis. Encefalitis rabies merupakan gejala yang paling sering dijumpai pada penderita rabies. Penderita menunjukan episode hipereksitabilitas yang mencerminkan gambaran infeksi otak, ditandai episode kebingungan, halusinasi, agitasi dan tingkah laku yang agresif yang berlangsung dalam beberapa menit dan diikuti oleh fase tenang. Gejala hipereksitabilitas terjadi secara spontan atau diprovokasi oleh rangsangan sensorik. Sebagian besar penderita menunjukan gejala hidrofobia dengan trias : spasme otot inspirasi, laringospasme, dan ketakutan menelan. Hidrofobia dapat diprovokasi dengan minum air, memberi air pada kulit penderita, bahkan melihat air, atau mendengar kata air. Mekanisme hidrofobia yang diakibatkan oleh infeksi selektif yang menginhibisi motor neuron pada nukleus ambigus di batang otak yang meningkatkan peningkatan reflek pertahanan yang memproteksi saluran pernafasan. Gejala lain antara lain hiperestesia, bingung, halusinasi, kadang agresif tidak terkendalikan. Perubahan tingkah laku diakibatkan oleh infeksi pada neuron di area limbik. Hipersalivasi dan hiperlakrimasi yang diakibatkan oleh disfungsi otonom, dimana terjadi rangsangan berlebihan pada sistem parasimpatis, dapat terjadi lesi saraf kranialis terutama pada saraf kranialis III, VI, VII, IX, X, XI, XII. Disfungsi otonom sebagai akibat terjadinya infeksi yang melibatkan sistem otonom pusat dan jalur sistem otonom saraf medula spinalis atau ganglion otonom. Rangsangan parasimpatis meningkatkan produksi saliva. Reflek yang menyiksa dan tiba-tiba mengakibatkan terjadi spasme laringoparingeal, nyeri tenggorok, dan nyeri dada yang merupakan episode bangkitan / kejang dimana leher dan punggung mengalami ekstensi seperti epistotonus dan leher terangkat ke atas yang diakhiri oleh henti jantung dan henti nafas. Pada rabies paralitik terdapat gejala kelumpuhan yang menonjol berupa paresis pada keempat ekstrimitas serta gangguan sfingter ani. Gejala yang mirip

14

terkadang mirip suatu sindrom Gullain Barre. Kadang disertai hidrofobia dan spasme otot laring pada fase terminal.11,13,19 4. Koma Tanpa terapi suportif pasien akan meninggal di hari pertama hidrofobia, akan jatuh menjadi koma atau mengalami paralisis flaccid dan jarang ada yang bertahan lebih dari 1 minggu tanpa perawatan intensif. 2.7. DIAGNOSIS Diagnosis rabies berdasarkan hanya gejala klinis sangat sulit dan kurang bisa dipercaya, kecuali terdapat gejala klinis yang khas yaitu hidrofobia dan aerofobia. Menurut CDC gejala klasik keterlibatan otak pada penyakit ini adalah spasme pada respon taktil, visual ataupun stimulus olfaktori yang berselang dengan periode sadar penuh, agitasi, bingung dan tanda tanda disfungsi otonom. Diagnosis pasti rabies hanya bisa didapat dengan pemeriksaan laboratorium. 10 Pemeriksaan penunjang lainnya yang dapat dikerjakan: 11,19
1. Darah rutin : dapat ditemukan peningkatan leukosit (8000 13000/mm3) dan
20

penurunan hemoglobin serta hematokrit.


2. Urinalisis : dapat ditemukan albuminuria dan sedikit leukosit. 3. Mikrobiologi : Kultur virus rabies dari air liur penderita dalam waktu 2

minggu setelah onset.


4. Histologi : dapat ditemukan tanda patognomonik berupa badan Negri (badan

inklusi dalam sitoplasma eosinofil) pada sel neuron, terutama pada kasus yang divaksinasi dan pasien yang dapat bertahan hidup setelah lebih dari 2 minggu.
5. Serologi : Dengan mendeteksi RNA virus dari saliva pasien dengan

menggunakan polymerase chain reactions (PCR).


6. Cairan serebrospinal : dapat ditemukan monositosis sedangkan protein dan

glukosa dalam batas normal. Namun, pada pemeriksaan laboratorium, yang merupakan gold standar untuk diagnosis rabies adalah pemeriksaan dengan tehnik fluorescent antibody (FA). Deteksi nukleokapsid dengan ELISA merupakan tes yang cepat dan juga dapat digunakan maupun dilakukan pada survei epidemiologi. 13

15

CT scan tidak mempunyai nilai diagnostik. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dilakukan dengan hati hati, dapat berguna untuk diagnosa, hiper signal ringan T2 meliputi batang otak, hipokampus, hipothalamus, masa putih dalam maupun subkorteks, serta masa kelabu dalam dan subkortek mengindikasikan rabies, disesuaikan dengan gejala klinis. Gadolinium enhancement terlihat jelas pada fase lanjut dimana ini digunakan untuk membedakan rabies dengan encefalitis virus lain, bukan dari lokasi tetapi gambaran T2 dan pola pada kontras enhancement ketika dibandingkan dengan status kesadaran. 9 2.8 DIAGNOSIS BANDING 2,21 1. Intoksikasi obat-obatan Keracunan obat-obatan dapat memperlihatkan gejala yang mirip dengan rabies misalnya koma (intoksikasi obat hipnotik), pupil midriasis dan anisokor (intoksikasi atropin atau morfin), kejang (intoksikasi amfetamin), hambatan pada pusat napas (intoksikasi insektisida), hingga henti jantung (intoksikasi antidepresan trisiklik dan digitalis). Seluruh gejala ini dapat ditemukan pada rabies jika virus telah menyerang susunan saraf pusat. Anamnesis yang cermat dan teliti diperlukan untuk membedakan kedua kelainan ini. 2. Ensefalitis Rabies sendiri dapat menyebabkan ensefalitis karena virus sehingga gejala yang muncul sangat mirip misalnya prilaku yang tidak normal, perubahan kepribadian, kejang, sakit kepala, dan fotofobia. Alergi terhadap vaksin rabies juga dapat menyebabkan ensefalitis. Anamnesis mengenai riwayat digigit hewan, kontak dengan saliva, serta bepergian ke daerah endemik rabies dapat menegakkan diagnosis. 3. Tetanus Seperti rabies, tetanus juga dapat menyebabkan demam, nyeri dan parestesia di sekitar luka dan kejang. Akan tetapi kejang pada tetanus sifatnya tonik dan adanya kontak dengan hewan liar dapat membedakan keduanya. Pada kedua penyakit kita temukan spasmus otot punggung, bahkan keduanya dapat memperlihatkan opistotonus. Tetapi pada tetanus terdapat trismus, sedangkan pada rabies tidak terdapat trismus.

16

4. Histerikal pseudorabies Reaksi berlebihan karena digigit hewan yang terjadi segera setelah penderita kontak dengan hewan sedangkan pada rabies tidak demikian karena adanya masa inkubasi. 5. Poliomielitis Mirip dengan rabies tipe paralitik akan tetapi pada poliomielitis terdapat demam dan kelumpuhan yang bersifat asimetrik, arefleksi, dan atrofi otot (gejala LMN) 2.9 PENATALAKSANAAN Terapi infeksi rabies pada manusia belum memuaskan, terutama bila penyakit sudah menunjukkan gejala. Penatalaksanan rabies gejala dini dengan terapi kombinasi berdasarkan penelitian Jackson et al antara lain pemberian vaksin rabies secara intradermal untuk mempercepat respon imun, pemberian immunoglobulin rabies untuk penghentian proses infeksi, pemberian ribavirin dan interferon alfa secara intravena dan intraventikuler serta pemberian ketamin untuk menghambat replikasi virus masih kontroversial dan memerlukan pembuktian lebih lanjut karena belum memberikan hasil yang memuaskan. Penggunaan steroid tidak dianjurkan karena pada beberapa kasus rabies dapat mempercepat kematian dan memperpendek periode inkubasi. Pengobatan simptomatis untuk mengurangi keluhan penderita dengan menggunakan sedatif, analgetik narkotika, antikonvulsan dan penghambat neuromuskuler.13 Beberapa penelitian menunjukkan selama infeksi letal, sawar darah otak menghambat sel imun anti viral masuk ke daerah primer replikasi virus rabies di otak. Aspek inilah yang memberikan kontribusi terhadap patogenesis virus dan usaha peningkatan permeabilitas sawar darah otak sehingga mendukung klirens dari virus. Sawar darah otak yang terbuka selama infeksi rabies digunakan sebagai pendekatan pengobatan penyakit.2 Perawatan terhadap penderita rabies hendaknya pada ruangan isolasi dan untuk menghindari penularan saat menagani kasus rabies dokter dan paramedik dianjurkan menggunakan sarung tangan, kacamata, dan masker serta pasien sebaiknya difiksasi di tempat tidur. 13

17

Jika segera dilakukan tindakan pencegahan yang tepat, maka seseorang yang digigit hewan yang menderita rabies kemungkian tidak akan menderita rabies. Orang yang digigit kelinci dan hewan pengerat (termasuk bajing dan tikus) tidak memerlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut jarang terinfeksi rabies. Tetapi bila digigit binatang buas (sigung, rakun, rubah, dan kelelawar) diperlukan pengobatan lebih lanjut karena hewan-hewan tersebut mungkin saja terinfeksi rabies.22 Tindakan pencegahan yang paling penting adalah penanganan luka gigitan sesegera mungkin. Usaha mematikan atau mengurangi virus rabies dengan mencuci luka gigitan dengan air mengalir dan sabun atau detergen selama 10-15 menit kemudian diberikan antiseptik ( povidone-iodine, iodine tincture, aqueous iodine solution atau alkohol/etanol ), tusukan yang dalam disemprot dengan air sabun. Jika luka telah dibersihkan, kepada penderita yang belum pernah mendapatkan imunisasi dengan vaksin rabies diberikan suntikan immunoglobulin rabies, dimana separuh dari dosisnya disuntikkan di tempat gigitan.
2,13,22

Di

Amerika Serikat pasien setelah paparan mendapatkan satu dosis human rabies immunoglobulin (HRIG) dan empat dosis vaksin rabies selama periode 14 hari. Dosis Imunoglobulin tidak boleh melebihi 20 unit per kg berat badan yang hanya diinfiltrasikan disekitar luka gigitan. HRIG sangat mahal 2. Luka tidak dibenarkan dijahit kecuali jahitan situasi dengan menginfiltrasi luka menggunakan SAR (Serum Anti Rabies) serta dipertimbangkan pemberian anti tetanus, antibiotik dan analgetik.13 Pemberian imunisasi untuk mencegah rabies dilakukan melalui dua cara : imunisasi sesudah terkontak (post-exposure prophylaxis) dan imunisasi sebelum terkontak (pre-exposure prophylaxis). Terapi setelah terpapar virus rabies dapat dilakukan dengan pemberian VAR (Vaksin Anti Rabies) saja atau dengan SAR. VAR saja bila gigitan pada luka yang tidak berbahaya (jilatan, eskoriasi, lecet) disekitar tangan dan kaki. Pemberian VAR dengan SAR bila luka berbahaya (jilatan/luka pada mukosa, luka pada muka, kepala, leher, lengan, tungkai, genitalia, luka yang dalam/multipel).13 Pemberian VAR adalah sebagai berikut : Purified Vero Rabies Vaccine (PVRV) sesudah digigit merupakan vaksin kering beku berupa virus rabies

18

(Wistar Rabies PM/WI 38-1503-3 M Strain). Dosis pada dewasa dan anak sama yaitu hari I kunjungan/hari ke 0 diberikan dosis masing-masing 0,5 ml di deltoid kanan dan kiri. Hari ke 7 diberikan lagi 0,5 ml secara IM di deltoid, diulangi pada hari ke 21. Bila hendak diberikan bersama dengan SAR maka diulang lagi 0,5 ml pada hari ke 901. Vaksinasi intramuskular diberikan di daerah deltoid bukan di daerah gluteus karena dihubungkan dengan kondisi gluteus yang banyak mengandung lemak dibandingkan otot sehingga injeksi vaksin gagal. 2 Sedangkan cara pemberian SAR yang terdiri dari dua jenis antara lain 1. Serum heterolog berasal dari serum kuda, dilakukan skin test sebelum penyuntikan. Dilakukan infiltrasi pada luka sebanyak-banyaknya sisanya disuntikkan secara IM dengan dosis 40 IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan VAR hari I kunjungan/hari ke 0. 2. Serum homolog dari serum darah manusia yang diinfiltrasi pada luka sebanyak-banyaknya sisanya secara IM dengan dosis 40 IU/kgBB atau diberikan bersamaan dengan VAR hari I kunjungan/hari ke 0. Bila hendak melakukan pencegahan dari penularan rabies sebelum digigit dapat dilakukan vaksinasi dengan PVRV. Pemberian secara IM di deltoid 0,5 ml pada hari ke 0 dan hari ke 28 diikuti vaksin ulangan 1 tahun setelah pemberian pertama dengan dosis yang sama kemudian diulangi setiap 3 tahun. Pencegahan ini diindikasikan bagi masyarakat resiko tinggi seperti pekerja pada pusat penelitian rabies, dokter hewan, peternak, petugas kebun binatang, dan petugas kehutanan.13 Jika belum pernah mendapatkan imunisasi, maka suntikan vaksin rabies diberikan pada saat digigit hewan rabies dan pada hari ke 3, 7, 14, dan 28. Nyeri dan pembengkakan di tempat suntikan biasanya bersifat ringan. Jarang terjadi reaksi alergi yang serius, kurang dari 1% yang mengalami demam setelah menjalani vaksinasi. Jika penderita pernah mendapatkan vaksinasi, maka resiko menderita rabies akan berkurang, tetapi luka gigitan harus tetap dibersihkan dan diberikan 2 dosis vaksin (pada hari 0 dan 2).

19

2.10 PROGNOSIS Penyakit rabies tidak dapat disembuhkan sehingga prognosisnya jelek. Tanpa pencegahan, penderita hanya dapat bertahan sekitar 8 hari sedangkan dengan penanganan suportif, penderita dapat bertahan hingga beberapa bulan. Sebelum ditemukannya pengobatan, kematian biasanya terjadi dalam 3-10 hari. Kebanyakan penderita meninggal karena sumbatan jalan nafas (asfiksia), kejang, kelelahan atau kelumpuhan total. Hingga saat ini belum ada laporan kasus yang dapat bertahan hidup setelah manifestasi dari penyakit rabies timbul. Pada manusia yang tidak mendapatkan vaksin rabies hampir selalu fatal terutama setelah muncul gejala neurologi, tetapi bila setelah terpapar virus diberikan vaksin akan mencegah perkembangan virus. Rabies menyebabkan kematian kurang lebih 55.000 orang pertahun, paling banyak di Asia dan Afrika. 2,8,11,19

20

BAB 3 RINGKASAN

Rabies (penyakit anjing gila) adalah suatu ensefalomielitis akut yang ditimbulkan oleh infeksi suatu virus rabies (yang tergolong rhabdovirus) dan ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing, dan kera. Virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medula spinalis dan otak, yang merupakan tempat mereka berkembangbiak. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur. Gejala pada manusia biasanya mulai timbul dalam waktu 30-50 hari setelah terinfeksi, tetapi masa inkubasinya bervariasi dari beberapa hari sampai lebih dari 1 tahun. Diawali dengan demam ringan atau sedang, sakit kepala, tak nafsu makan, lemah, mual, muntah dan perasaan yang abnormal pada daerah sekitar gigitan, hiperestesi, kaku kuduk dan kejang-kejang otot-otot menelan dan pernafasan. Sedikit rangsangan berupa cahaya, suara, bau ataupun sedikit cairan dapat menimbulkan refleks kejang-kejang. Diagnosis rabies berdasarkan hanya gejala klinis sangat sulit dan kurang bisa dipercaya. Diagnosis pasti rabies hanya bisa didapat dengan pemeriksaan laboratorium. Yang merupakan gold standar untuk diagnosis rabies adalah pemeriksaan dengan tehnik fluorescent antibody (FA). Langkah-langkah untuk mencegah rabies bisa diambil sebelum terjangkit virus atau segera setelah terjangkit. Rabies dapat dicegah dengan pemberian vaksin. Namun jika telah terinfeksi dan gejala neurologik muncul, maka prognosisnya buruk. Perlu adanya penelitian lebih lanjut untuk menemukan pengobatan Rabies yang efektif agar tingkat mortalitas sebagai dampak utama infeksi virus rabies dapat berkurang.

21

Anda mungkin juga menyukai