Anda di halaman 1dari 2

Rendahnya Upah Buruh Perempuan Bukan Takdir Sebagaimana diketahui, pada umumnya upah perempuan lebih rendah dari

pada laki-laki. Baik untuk pekerjaan rumah tangga (domestik) ataupun untuk pekerjaan mencari nafkah di luar rumah (publik). Fakta seperti ini banyak ditemukan tak jauh disekitar lingkungan kita. Sementara itu ada anggapan bahwa rendahnya upah perempuan sebagai sesuatu yang datang dari sononya (takdir). Lantas apa benar bahwa upah buruh atau pekerja perempuan ditakdirkan lebih rendah dari upah laki-laki? Perempuan Bekerja itu Dari Dulu Perempuan bekerja sebenarnya bukanlah hal baru bagi masyarakat. Dalam Islam fenomena ini ada sejak zaman Nabi SAW. Ada beberapa hadits yang meriwayatkan tentang sahabat perempuan yang bekerja, baik di dalam maupun di luar rumah. Sebagai contoh, sebut saja misalnya Asma binti Abu Bakar, isteri sahabat Zubair bin Awwam, bekerja bercocok tanam. Yang untuk melakukan itu ia terkadang melakukan perjalanan cukup jauh (HR. Shahih Muslim, juz II, halaman 1211, nomor hadits 1483) Dalam masyarakat yang terus berkembang, dari masyarakat perempuan sungguh tidak bisa diabaikan. Dalam masyarakat berladang di berbagai suku dunia, yang banyak menjaga ternak dan mengelola ladang adalah perempuan bukan laki-laki. Ini menunjukkan bahwa perempuan bekerja bukanlah hal baru, tetapi ada sudah sejak dulu. Jenis dan bidang pekerjaannya pun sama dengan laki-laki. Di Indonesia, sebenarnya tidak ada perempuan yang benar-benar menganggur. Biasanyaperempuan memiliki pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya, entah mengelola sawah, membuka warung, mengkreditkan pakaian dan lain-lain. Sayangnya. sebagian besar masyarakat beranggapan bahwa perempuan dengan pekerjaan-pekerjaan di atas bukan termasuk kategori perempuan bekerja. Hal ini karena perempuan baru dianggap bekerja jika ia wanita karir atau wanita kantoran (yang bekerja di kantor). Padahal, di manapun dan kapanpun perempuan selalu bekerja. Penyebab Rendahnya Upah Buruh Perempuan Ada beberapa hal yang menyebabkan upah perempuan lebih rendah dari laki-laki. Di antaranya adalah karena ada anggapan kuat di masyarakat bahwa, mencari nafkah atau bekerja menghidupi keluarga adalah tugas laki-laki dan bukan tugas perempuan. Laki-lakilah yang berkewajiban dan bertanggung jawab atas maju mundurnya perekonomian keluarga. Karena itu kerja-kerja laki-laki dihargai lebih. Sementara perempuan selama ini oleh kebanyakan masyarakat, dianggap sebagai yang Bertanggungjawab dalam urusan dapur, sumur dan kasur belaka. Di tangan perempuanlah tanggung jawab dan tugas-tugas rumah tangga di bebankan. Dan pada prakteknya urusan rumah tangga ini bukan hanya menjaga keharmonisan dapur, sumur dan kasur, tetapi juga tugas-tugas memelihara, mendidik dan membesarkan anak-anak. Pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan, dimana laki-laki bertugas mencari nafkah dan perempuan menjaga rumah tangga, sebenarnya tidak dengan sendirinya menyebabkan upah perempuan lebih rendah. Baru setelah era industrialisasi di mana terjadi pergeseran makna mengenai apa yang disebut bekerja, maka dengan sendirinya penghargaan terhadap pekerjaan domestik (rumah tangga) menjadi berkurang. Lebih-lebih di zaman susah di mana pekerjaan adalah sesuatu yang tidak mudah didapat begitu saja, melainkan mesti melalui proses dan persyaratan-persyaratan tertentu. Sementara pekerjaan rumah tangga yang biasanya dikerjakan perempuan tidak memerlukan keahlian dan syarat-syarat yang memberatkan. Ironisnya meskipun sekarang banyak perempuan bekerja di sektor publik (kantoran atau pabrik), tetap saja dihargai dengan upah rendah. Karena penghasilan perempuan bekerja dianggap penghasilan tambahan. Dalam hal ini perempuan dianggap pencari nafkah tambahan,

bukan sebagai pencari nafkah utama. Sehingga mesti sama-sama mengerjakan apa yang dikerjakan laki-laki, upah mereka tetap lebih rendah. Pembedaan Upah Tidak Berdasar Sebagai agama yang menjunjung keadilan sosial, Islam tidak membeda-bedakan laki-laki dan perempuan, termasuk dalam pekerjaan, baik domestik (seabagai ibu atau pembantu rumah tangga) maupun publik (sebagai wanita karir). Allah SWT berfirman dalam QS.: Al-Nahl: 97 yang artinya: Barang siapa melakukan kerjakerja yang baik, laki-laki atau perempuan, selama dia beriman, Kami akan memberinya kehidupan yang sejahtera, dan Kami akan membalas amal perbuatan mereka dengan balasan yang lebih baik. Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada perbedaan penghargaan kerja antara laki-laki dan perempuan. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28 D ayat (2) disebutkan: Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja Ini artinya pada dasarnya negara kita tidak menghendaki adanya diskriminasi dalam pekerjaan, baik pekerja laki-laki maupun perempuan. Kedua-duanya berhak mendapat imbalan dan perlakuan adil dalam pekerjaan, terlebih dalam masalah upah. Dalam Convention On The Elimination Off All Forms Of Discrimination Against Women (CEDAW) II dinyatakan bahwa: Perempuan memiliki hak untuk bekerja dengan jaminan keadilan, keamanan, upah yang baik, tempat yang pantas, dan didukung oleh perlindungan sosial jika dibutuhkan. Perempuan memiliki hak untuk bekerja dengan kondisi yang sama dengan laki-laki, terutama hak dalam mendapatkan upah yang sama dengan pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Jadi, segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, terutama yang terkait dengan pekerjaan seharusnya segera dihentikan, karena tidak sesuai dengan UUD 1945 dan nilai-nilai agama. Bukankah perempuan adalah ibu kita, istri kita, saudara kandung dan mungkin juga anak kita. Apakah kita akan menghargai pekerjaan mereka, lebih rendah dari yang dilakukan laki-laki? Relakah kita bila mereka menjadi korban diskriminasi?[ Perempuan memiliki hak untuk bekerja dengan kondisi yang sama dengan laki-laki, terutama hak dalam mendapatkan upah yang sama dengan pekerjaan yang sama dengan laki-laki

Anda mungkin juga menyukai