Anda di halaman 1dari 45

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) sampai saat ini masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di dunia, terutama di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penyakit ini merupakan ancaman besar bagi pembangunan sumber daya manusia sehingga perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dari semua pihak. TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis yang telah menginfeksi sepertiga penduduk dunia. Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh yang lainnya. Pada tahun 1993, WHO (World Health Organization) mencanangkan kedaruratan global penyakit TB karena jumlah kasus TB meningkat dan tidak terkendali. 1 Hampir 10 tahun lamanya Indonesia menempati urutan ke-3 sedunia dalam hal jumlah penderita tuberkulosis (TB). Baru pada tahun ini turun ke peringkat ke-5 dan masuk dalam milestone atau pencapaian kinerja 1 tahun Kementrian Kesehatan.2 Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan China.2 Laporan WHO pada tahun 2009, mencatat peringkat Indonesia menurun ke posisi lima dengan jumlah penderita TB sebesar 429 ribu orang. Lima Negara dengan jumlah terbesar kasus insiden pada tahun 2009 adalah India, China, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia.2 Pada Global Report WHO 2010 data total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB baru dengan BTA positif, 108616 adalah kasus TB dengan BTA negatif, 11215 adalah kasus TB ekstra paru, 3709 adalah kasus TB kambuh dan 1978 adalah kasus pengobatan ulang di luar kasus kambuh. 2
1

Sementara itu untuk keberhasilan pengobatan pada tahun 2003 adalah 87%. Sedangkan pada tahun 2004 sebesar 90%. Pada tahun 2005 sampai tahun 2008 angka keberhasilan pengobatan adalah 91%. 2 Munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan bagi penderita TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB paru secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistence = MDR) semakin menjadi masalah karena tidak dapat disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB paru yang sulit di tangani.1 Pada tahun 2006 terdapat sekitar 9,2 juta kasus baru TB secara global. Diperkirakan 1,7 juta orang meninggal karena TB termasuk mereka yang terinfeksi oleh HIV.3 Besarnya dan luasnya permasalahan akibat TB mengharuskan kepada semua pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerja sama dalam melakukan penanggulangan TB. Kerugian yang diakibatkannya bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi. Dengan kata lain TB merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dan dalam hal kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pada tahun 1994, pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan WHO melaksanakan suatu evaluasi bersama (WHO-Indonesia Joint Evaluation) yang menghasilkan rekomendasi tentang perlunya segera dilakukan perubahan mendasar pada strategi penanggulangan TB paru di Indonesia yang disebut sebagai Strategi DOTS (Directly Observed Treatment-Shortcourse). Bank Dunia menyatakan stratei DOTS sebagai salah satu intervensi kesehatan yang paling efektif.4 DOTS adalah strategi yang komrehensif untuk digunakan oleh petugas kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan pasien TB. Penanggulangan TB paru dengan DOTS dapat memberikan angka kesembuhan yang tinggi dimana WHO menargetkan angka kesembuhan minimal sebesar 81% dari penderita TB paru dengan BTA positif yang telah terdeteksi. 4

Prinsip DOTS adalah menentukan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan minum obat. Strategi ini diawasi oleh petugas Puskesmas dan pihak-pihak lain yang paham tentang program DOTS. Di samping itu, keluarga sangat diperlukan keterlibatannya dalam pengawasan dan perawatan penderita. 4 Masih rendahnya cakupan angka kesembuhan berdampak negatif pada kesehatan masyarakat dan keberhasilan pencapaian program. Dalam hal ini masih adanya peluang terjadinya penularan penyakit TB kepada anggota keluarga dan masyarakat sekitar. Selain itu memungkinkan terjadinya resistensi kuman TB terhadap OAT sehingga menambah penyebarluasan penyakit TB, meningkatnya angka kesakitan dan kematian akibat TB.5 Untuk mencapai kesembuhan diperlukan keteraturan atau kepatuhan berobat. Artinya apabila penderita tidak berobat dengan teratur maka hasil dari pengobatan pun akan tidak baik. Banyak faktor yang sangat mempengaruhi keberhasilan pengobatan, seperti lamanya waktu pengobatan, kepatuhan serta keteraturan penderita untuk berobat. Selain itu daya tahan tubuh dan faktor sosial ekonomi juga ikut berperan. Kepatuhan berobat penderita TB juga ditentukan oleh perhatian tenaga kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan penjelasan kepada masyarakat. Keteraturan pengobatan tetap menjadi tanggung jawab petugas kesehatan.4 Berdasarkan uraian di atas, diketahui bahwa angka kesembuhan TB ditentukan oleh kepatuhan penderita untuk berobat, adanya pelayanan kesehatan yang baik dan adanya peran PMO terhadap tingkat kepatuhan pengobatan.

1.2.

Permasalahan
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis. Pada tahun 1995, diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB diseluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB didunia,terjadi pada negara-negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian karena kehamilan, persalinan dan nifas. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2007 menyatakan jumlah penderita TB di Indonesia sekitar 528 ribu atau berada di posisi tiga di dunia setelah India dan China. Pada Global Report WHO 2010 data total seluruh kasus TB tahun 2009 sebanyak 294731 kasus, dimana 169213 adalah kasus TB baru dengan BTA positif, 108616 adalah kasus TB dengan BTA negatif, 11215 adalah kasus TB ekstra paru, 3709 adalah kasus TB kambuh dan 1978 adalah kasus pengobatan ulang di luar kasus kambuh. Besarnya dan luasnya permasalahan akibat TB mengharuskan kepada semua pihak untuk dapat berkomitmen dan bekerja sama dalam melakukan penanggulangan TB. Kerugian yang diakibatkannya bukan hanya dari aspek kesehatan semata tetapi juga dari aspek sosial ekonomi. Dengan kata lain TB merupakan ancaman terhadap cita-cita pembangunan dan dalam hal kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Selain itu munculnya pandemi HIV/AIDS di dunia menambah permasalahan bagi penderita TB. Koinfeksi dengan HIV akan meningkatkan risiko kejadian TB paru secara signifikan. Pada saat yang sama, kekebalan ganda kuman TB terhadap obat anti TB (multidrug resistence = MDR) semakin menjadi masalah karena tidak dapat disembuhkan. Keadaan tersebut pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya epidemi TB paru yang sulit di tangani.

1.3.

Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum


Mengetahui hungungan antara kepatuhan minum OAT dengan kesembuhan TB Paru di Puskesmas Grogol Petamburan.

1.3.2.

Tujuan Khusus
1) Diketahuinya hubungan antara kesembuhan penyakit TB dengan tingkat kepatuan penderita TB dalam meminum OAT. 2) Diketahuinya besarnya masalah perilaku pada penderita TB terhadap tingakt kepatuhannya berobat. 3) Diketahuinya distribusi menurut umur, tingkat pendidikan, pekerjaan dan pengetahuan terhadap tingkat kepatuhan penderita.

1.4.

Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaat Bagi Peneliti


1) Memperoleh pengalaman belajar dan pengetahuan dalam melakukan penelitian 2) Meningkatkan kemampuan dalam berkomunikasi dengan masyarakat 3) Menerapkan dan mengembangkan ilmu yang telah dipelajari pada saat kuliah 4) Mengembangkan daya nalar, minat dan kemampuan dalam bidang penelitian 5) Melatih bekerja sama dalam sebuah tim

1.4.2.

Manfaat Bagi Perguruan Tinggi


1) Realisasi Tridarma perguruan tinggi dalam melaksanakan fungsi atau tugas perguruan tinggi sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat. 2) Mewujudkan kampus Universitas Kristen Krida Wacana sebagai masyarakat ilmiah dalam peran sertanya di bidang kesehatan. 3) Meningkatkan saling pengertian dan kerjasama antar mahasiswa dan staf pengajar.

1.4.3.

Manfaat Bagi Masyarakat


1) Sebagai masukan berupa hasil penelitian dan saran-saran yang diharapkan dapat menjadi umpan balik positif bagi warga di wilayah kerja Puskesmas Jelambar untuk dapat berperan serta. 2) Sebagai bahan masukan dalam melakukan penyuluhan kesehatan untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam melakukan program pemberantasan penyakit TB paru. 3) Sebagai bahan masukan dalam melakukan penelitian selanjutnya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Penyakit Tuberkulosis Paru
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besarkuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan tetapi dapat ditularkan dari orang ke orang lain.6 Kuman penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch di tahun 1882. Hasil penemuannya ini dilaporkan olehnya kepada masyarakat ilmiah pada tanggal 24 Maret 1882. Penemuan ini merupakan peristiwa terbesar dalam perkembangan pengobatan tuberkulosis, dan tanggal 24 Maret setiap tahunnya sampai sekarang diperingati sebagai TB Day (hari Tuberkulosis). 6 Kuman tuberkulosis berbentuk batang berukuran sangat kecil sehingga hanya dapat dilihat di bawah mikroskop. Panjangnya sekitar satu sampai empat micron dan lebarnya antara 0,3 sampai 0,6 mikron. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 370C yang sesuai dengan tubuh manusia. Untuk berkembang biak basil ini melakukan pembelahan diri. Jika dilihat dari struktur kimianya, basil ini tediri dari lemak dan protein.6 Kuman tuberkulosis mempunyai sifat khusus yaitu tahan asam pada pewarnaan sehingga disebut sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Kuman TB akan mati pada penyinaran dengan sinar matahari langsung. Dalam jaringan tubuh kuman ini bersifat dormant, artinya kuman dapat tertidur lama selama beberapa tahun lalu dapat aktif kembali jika keadaan memungkinkan.6

2.1.1.

Klasifikasi Tuberkulosis 9
Penentuan klasifikasi penyakit tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu: - Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; - Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis) : BTA positif atau BTA negatif; - Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. - Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati. Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi adalah : - menentukan paduan pengobatan yang sesuai - registrasi kasus secara benar - menentukan prioritas pengobatan TB BTA(+) - analisis kohort hasil pengobatan Beberapa istilah dalam definisi kasus: - Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter. - Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk : - menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga mencegah timbulnya resistensi, - menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective) - mengurangi efek samping.

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis , yaitu pada TB Paru: Tuberkulosis paru BTA positif. - Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. - 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. - 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. - 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: - Paling tidak 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif - Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis. - Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. - Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan.

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: - TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. - TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis, peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

Catatan: Bila seorang pasien TB paru juga mempunyai TB ekstra paru, maka untuk kepentingan pencatatan, pasien tersebut harus dicatat sebagai pasien TB paru. Bila seorang pasien dengan TB ekstra paru pada beberapa organ, maka dicatat sebagai TB ekstra paru pada organ yang penyakitnya paling berat.

10

2.1.2.

Cara Penularan
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB. Proses terjadinya infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis biasanya secara inhalasi, sehingga TB paru merupakan manifestasi klinis yang paling sering dibandingkan dengan organ lain. Penularan penyakit ini sebagian besar melalui inhalasi basil yang mengandung droplet nuclei, khususnya yang di dapat dari pasien TB paru dengan batuk berdarah atau berdahak yang mengandung basil tahan asam (BTA). Pada TB kulit atau jaringan lunak penularan bias melalui inokulasi langsung. Infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium bovis dapat disebabkan oleh susu yang kurang disterilkan dengan baik atau terkontaminasi. Sudah dibuktikan bahwa lingkungan sosial ekonomi yang baik, pengobatan yang teratur dan pengawasan minum obat yang ketat dapat berhasil mengurangi angka morbiditas dan mortalitas di Amerika selama tahun 1950-1960. 7 Daya penularan dari seseorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil dari pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular. Kemungkinan seseorang terinfeksi TB paru ditentukan oleh konsentrasi droplet dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut. 8 Perlu diketahui bahwa kuman TB tidak hanya keluar ketika penderita batuk saja, tetapi juga pada saat bernyanyi, bersin atau bersiul. Secara umum dapat dikatakan bahwa penularan penyakit TB banyak bergantung dari beberapa factor seperti jumlah kuman yang ada, tingkat keganasan kuman dan daya tahan tubuh orang yang tertular. 6

11

2.1.3.

Penemuan Penderita TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek, diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien. Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang paling efektif di masyarakat.9 Strategi penemuan 9 Penemuan pasien TB dilakukan secara pasif dengan promosi aktif. Penjaringan tersangka pasien dilakukan di unit pelayanan kesehatan; didukung dengan penyuluhan secara aktif, baik oleh petugas kesehatan maupun masyarakat, untuk meningkatkan cakupan penemuan tersangka pasien TB. Pemeriksaan terhadap kontak pasien TB, terutama mereka yang BTA positif, yang menunjukkan gejala sama, harus diperiksa dahaknya. Penemuan secara aktif dari rumah ke rumah, dianggap tidak cost efektif.

2.1.4.

Risiko Penularan 9
- Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif. - Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. - Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif.

12

2.1.5.

Gejala Klinis TB Paru


Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih dari satu bulan.9 Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain tb, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Mengingat prevalensi TB di Indonesia saat ini masih tinggi, maka setiap orang yang datang ke UPK dengan gejala tersebut diatas, dianggap sebagai seorang tersangka (suspek) pasien TB, dan perlu dilakukan pemeriksaan dahak secara mikroskopis langsung.9

2.1.6.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Tuberkulosis


Faktor faktor yang mempengaruhi terhadap terjadinya TB antara lain : 1. Harus ada sumber infeksi Sumber infeksi dapat berasal dari penderita TB dengan BTA positif. Penularan dapat terjadi melalui dropet atau melalui pengunaan alat makan secara bergantian tanpa dicuci yang digunakan oleh penderita TB dengan BTA positif tersebut. 2. Jumlah basil penyebab harus cukup Semakin banyak jumlah basil yang terhirup maka semakin besar kemungkinan seseorang untuk mengidap TB. 3. Virulensi yang tinggi dari basil TB Apabila angka keaktifan kuman tinggi maka semakin cepat kuman TB berkembang biak di dalam tubuh. Selain itu masa inkubasi akan semakin cepat. 4. Daya tahan tubuh yang rendah Daya tahan tubuh yang menurun memungkinkan basil berkembang biak dan menimbulkan penyakit tuberkulosis. 10

13

2.1.7.

Tipe Penderita TB Paru


Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe pasien yaitu: Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. Kasus setelah gagal (failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. Kasus lain : Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

Catatan: TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.9

14

2.1.8.

Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen penderita.

Pemeriksaan dahak mikroskopis 9 Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS). S (sewaktu) Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. P (Pagi) Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. S (sewaktu) Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Adapun tujuan dari pemeriksaan dahak pada program penanggulangan TB adalah : 1. Menegakkan diagnosis dan menentukan tipe/ klasifikasi 2. Menilai kemajuan pengobatan 3. Menentukan tingkat penularan 8

15

Pemeriksaan ulang dahak untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pada : 1. Akhir tahap intensif Dilakukan seminggu sebelum akhir pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke-3 pengobatan ulang penderita BTA positif kategori 2. 2. Sebulan sebelum akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-5 pengobatan penderita baru BTA positif dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke-7 pengobatan ulang penderita BTA positif dengan kategori 2. 3. Akhir pengobatan Dilakukan seminggu sebelum akhir bulan ke-6 pada penderita BTA positif dengan kategori 1 atau seminggu sebelum akhir bulan ke-8 pengobatan ulang BTA positif dengan kategori 2. 8 Pemeriksaan dahak pada sebulan sebelum akhir pengobatan dan akhir pengobatan bertujuan untuk menilai hasil pengobatan (apakah sembuh atau gagal).

2.1.9.

Prinsip Pengobatan
Penatalaksanaan TB meliputi penemuan pasien dan pengobatan yang dikelola dengan menggunakan strategi DOTS.9 Tujuan utama pengobatan pasien TB adalah menurunkan angka kematian dan kesakitan serta mencegah penularan dengan cara menyembuhkan pasien. Penatalaksanaan penyakit TB merupakan bagian dari surveilans penyakit; tidak sekedar memastikan pasien menelan obat sampai dinyatakan sembuh, tetapi juga berkaitan dengan pengelolaan sarana bantu yang dibutuhkan, petugas yang terkait, pencatatan, pelaporan, evaluasi kegiatan dan rencana tindak lanjutnya.9

16

Tabel 2.1. Jenis, sifat dan dosis OAT Dosis yang direkomendasikan (mg/kg) Jenis OAT Isoniazid (H) Sifat Bakterisid Harian 5 (4-6) Rifampicin (R) Bakterisid 10 (8-12) Pyrazinamide (Z) Bakterisid 25 (20-30) Streptomycin (S) Bakterisid 15 (12-18) Etambutol (E) Bakteriostatik 15 (15-20) 3x seminggu 10 (8-12) 10 (8-12) 35 (30-40) 15 (12-18) 30 (20-35)

Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: 9 OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi) . Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsun g (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

17

Tahap awal (intensif) 9 - Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. - Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. - Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan 9 - Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama - Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

2.1.10.

Panduan Penggunaan OAT di Indonesia9


Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: - Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. - Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE) - Kategori Anak: 2HRZ/4HR Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

18

Paket Kombipak Terdiri dari obat lepas yang dikemas dalam satu paket, yaitu Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol. Paduan OAT ini disediakan program untuk mengatasi pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan OAT ini disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan.

KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1. Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2. Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan resep 3. Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien.

19

Paduan OAT dan peruntukannya. 1. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru

Tabel 2.2. Dosis untuk paduan OAT KDT untuk Kategori 1 Tahap Intensif Berat Badan tiap hari selama 56 hari RHZE (150/75/400/275) 30-37 kg
38-54 kg

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu selama 16 minggu RH (150/150) 2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT

55-70 kg
71 kg

2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT

2. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah default (terputus) Tabel 2.3. Dosis untuk paduan OAT KDT Kategori 2 Tahap Intensif Berat Badan tiap hari RHZE (150/75/400/275) + S Selama 56 hari 30-37 kg
38-54 kg

Tahap Lanjutan 3 kali seminggu RH (150/150) + E (275) Selama 20 minggu 2 tablet 4 KDT + 2 tab Etambutol 3 tablet 4 KDT + 3 tab Etambutol 4 tablet 4 KDT + 4 tab Etambutol 5 tablet 4 KDT + 5 tab Etambutol
20

Selama 28 hari 2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT

55-70 kg
71 kg

2 tablet 4 KDT + 500 mg Streptomisin inj 3 tablet 4 KDT + 750 mg Streptomisin inj 4 tablet 4 KDT + 1000 mg Streptomisin inj 5 tablet 4 KDT + 1000 mg Streptomisin inj

Catatan: Untuk pasien yang berumur 60 tahun ke atas dosis maksimal untuk streptomisin adalah 500mg tanpa memperhatikan berat badan. Untuk perempuan hamil lihat pengobatan TB dalam keadaan khusus. Cara melarutkan streptomisin vial 1 gram yaitu dengan menambahkan aquabidest sebanyak 3,7ml sehingga menjadi 4ml. (1ml = 250mg)

3. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

Tabel 2.4. Dosis KDT untuk Sisipan Berat Badan Tahap Intensif tiap hari selama 28 hari RHZE (150/75/400/275) 30-37 kg
38-54 kg

55-70 kg
71 kg

2 tablet 4 KDT 3 tablet 4 KDT 4 tablet 4 KDT 5 tablet 4 KDT

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Di samping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

21

2.1.11.

Alur Diagnostik TB 9
Suspek TB Paru

Pemeriksaan dahak mikroskopis (SPS = Sewaktu Pagi Sewaktu)

Hasil BTA +++ +++

Hasil BTA +--

Hasil BTA ---

Antibiotik Non-OAT

Tidak ada Perbaikan Foto toraks dan Pertimbangan dokter

Ada perbaikan

Pemeriksaan dahak mikroskopis

Hasil BTA +++ +++__

Hasil BTA ---

Foto toraks dan Pertimbangan dokter

TB

Bukan TB

22

2.1.12.

Evaluasi Pengobatan
Evaluasi Klinis Biasanya pasien di control dalam 1 minggu pertama, selanjutnya setiap 2 minggu selama tahap intensif dan seterusnya sekali sebulan sampai akhir pengobatan. Secara klinis hendaknya terdapat perbaikan keluhan pasien seperti batuk yang berkurang, tidak ada batuk darah, nafsu makan bertambah dan ada peningkatan berat badan. Evaluasi Bakteriologis Pemeriksaan dahak untuk menilai keberadaan kuman. Biasanya setelah 2-3 minggu perngobatan, sputum BTA mulai negatif. Pemeriksaan control sputum dilakukan sekali sebulan. Bagi penderita dengan BTA positif setelah tahap intensif akan mendapatkan pengobatan ulang. Bila sudah negatif, sputum diperiksa tiga kali berturut-turut dan harus dikontrol agar tidak terjadi silent bacterial shedding yaitu terdapat sputum BTA positif tanpa disertai keluhankeluhan TB yang relevan. Evaluasi Radiologis Evaluasi radiologis juga diperlukan untuk melihat kemajuan terapi. Dengan pemeriksaan radiologis dapat dilihat keadaan TB parunya atau adanya penyakit lain yang menyertai. Evaluasi foto dada dilakukan tiap 3 bulan sekali. 10

2.1.13.

Efek Samping OAT


Sebagian besar penderita TB paru dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping . Namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping . Oleh karena itu , pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan . Pemantauan dilakukan dengan cara menjelaskan kepada penderita tanda-tanda efek samping dan menanyakan adanya gejala efek samping pada waktu penderita mengambil OAT. 8 Efek samping ringan dari OAT seperti tidak ada nafsu makan,mual, sakit perut , nyeri sendi , kesemutan sampai dengan rasa terbakar di kaki , dan warna kemerahan pada air seni . Efek samping berat dari OAT misalnya gatal dan kemerahan kulit , tuli , gangguan keseimbanagn , ikterus tanpa penyebab lain , bingung dan muntah-muntah , gangguan penglihatan , purpura dan syok .8
23

2.2.

Strategi DOTS
Strategi DOTS adalah strategi penanggulaan TB paru nasional yang telah direkomendasikan oleh WHO , yang dimulai pelaksanaannya di Indonesia pada tahun 1995/1996. Sebelum pelaksanaan strategi DOTS (1969-1994) angka kesembutah TB paru yang dapat dicapai oleh program hanya 40-60% saja . Dengan strategi DOTS diharapkan angka kesembuhan dapat dicapai minimal 85% dari penderita TB paru BTA positif yang di temukan .11 Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan . Kalau diurai dari kata-katanya , pengertian DOTS dapat dimulai dengan keharusan setiap pengelola program TB intuk member direct attention dalam usaha menemukan penderita . Dalam bahasa lain ini diterjemahkan menjadi deteksi kasus dengan pemeriksaan mikroskopik , kendati sebenarnya pengertiannya dapat diperluas dengan keharusan untuk mendeteksi kasus secara baik dan akurat . Kemudian , setiap pasien harus di- observed dalam memakan obatnya , setiap obat yang di telan pasien harus di depan seorang pengawas . Selain itu , tentunya pasien harus menerima treatment yang tertata dalam system pengelolaan , distribusi dan penyediaan obat secara baik . Kemudian setiap pasien harus mendapat obat yang baik , artinya pengobatan short course standart yang telah terbukti ampuh secara klinik . Akhirnya , harus ada dukungan dari pemerinyah yang membuat program penanggulangan TB mendapat prioritas yang tinggi dalam pelayanan kesehatan .11 Strategi DOTS mempunyai lima komponen : 1) Komitmen politits dari para pengambil keputusan , termasuk dukungan dana . 2) Diagnosa TB dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopik. 3) Pengobatan dengan panduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas Menelan Obat (PMO). 4) Kesinambungan perssediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin . 5) Pencatatan dan pelaporan secraa baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB .
24

2.3.

Konsep Perilaku
Kesehatan merupakan hasil interaksi berbagai faktor , baik faktor internal ( dari dalam diri manusia ) maupun faktor eksternal ( dari luar diri manusia ). Faktor internal ini terdiri dari faktor fisik dan psikis . Faktor eksternal terdiri dari berbagai faktor antara lain sosial , budaya masyarakat , lingkungan fisik , politik , ekonomi , pendidikan dan sebagainnya . Secara garis besar faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan , baik individu , kelompok , maupun masyarakat , dikelompokkan menjadi empat ( Blum, 1974 ) . Konsep Blum menjelaskan bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh : 1) Lingkungan, yang mencakup lingkungan fisik , sosial ,budaya , politik , ekonomi , dan sebagainnya. 2) Perilaku. 3) Pelayanan kesehatan . 4) Keturunan ( hereditas ). Perilaku merupakan factor terbesar kedua setelah factor lingkungan yang mempengaruhi derajat kesehatan .Oleh sebab itu , dalam rangka membina dan meningkatkan kesehatan masyarakat , maka intervensi atau upaya yang di tujukan kepada faktor erilaku ini sangat strategis . Menurut Green, perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama , yakni :12 1) Faktor predisposisi ( predisposing factor ) Faktor ini mencakup : pengetahuan sikap dan masyarakat terhadap kesehatan , tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan ,sistem nilai yang dinut masyarakat ,tingkat pendidikan , tingkat sosial ekonomi , dan sebagainya . 2) Faktor Pemungkin ( Enabling factor ) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat , misalnya : air bersih , tempat pembuangan tinja , ketersediaan makanan yang bergizi , dan sebagainnya . termasuk juga fasilitas kesehatan seperti puskesmas rumah sakit , posyandu , dokter atau bidan praktek swasta , dan sebagainnya .
25

3) Faktor penguat ( reinforcing factor ) Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat , tokoh agama , sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan . Termasuk juga di sini undang-undang , peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan .

Tim kerja dari WHO menganalisis bahwa yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu dikarenakan 4 ( empat ) alasan pokok yaitu : 1) Pemikiran dan perasaan ( Thoughts and feeling ) Yakni dalam bentuk pengetahuan , kepercayaan dan sikap . Pengetahuan di peroleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain , sedangkan kepercayaan biasanya diperoleh dari orang tua , kakek atau nenek . Seseorang menerima kepercayaan itu berdasarkan keyankinan dan tanpa adanya pembuktian terlebih dahulu . Sikap menggambarkan suka atau tidak suka seseorang terhadap objek dan seringnya diperoleh dari pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain yang paling dekat . 2) Karakteristik Pendukung (enabling characteristics) Karakteristik ini mencerminkan bahwa meskipun mempunyai predisposisi untuk menggunakan pelayanan kesehatan, ia tak akan bertindak menggunakannya, kecuali bial ia mampu menggunakannya . Penggunaan pelayanan kesehatan yang ada tergantung kepada kemampuan konsumen untuk membayar. 3) Karakteristik kebutuhan (need characteristics) Faktor predisposisi dan factor yang memungkinkan untuk mencari pengobatan dapat terwujud di dalam tindakan apabila itu dirasakan sebagai kebutuhan.Dengan kata lain kebutuhan merupakan dasar dan stimulus langsung untuk menggunakan pelayanan kesehatan, bila mana tingkat predisposisi dan enabling itu ada . Kebutuhan (need) disisni di bagi menjadi dua ketegori , dirasa atau preceived ( subject assessment) dan evaluated ( clinical diagnosis ).

26

Menurut Skinner, perilaku kesehatan adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus atau objek yang berkaitan dengan sakit dan penyakit , system pelayanan kesehatan , makanan dan minimum , serta lingkungan . Dari batasan ini , perilaku kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi 3 ( tiga) kelompok yakni : 1) Perilaku pemeliharaan kesehatan ( health maintenance) Adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk penyembuhan bilamana sakit . Oleh sebab itu , perilaku pemeliharaan kesehatan ini terdiri dari 3(tiga) aspek yaitu : a. Perilaku pencegahan penyakit , dan penyembuhan penyakit bila sakit , serta pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit . b. Perilaku peningkatan kesehatan , apabila seseorang dalam keadaan sehat . c. Perilaku gizi . Makanan dan minimum dapat meningkatkan kesehatan seseorang bahkan dapat mendatangkan penyakit . Hal ini sangat tergantung pada perilaku orang terhadap makanan dan minuman tersebut. 2) Perilaku pencarian pengobatan ( health behavior ) Perilaku ini adalah menyangkut upaya atau tindakan seseorang pada saat menderita penyakit dan atau kecelakaan . Tindakan atau perilaku ini dimulai dari mengobati sendiri ( self treatment) sampai mencari pengobatan keluar negeri. 3) Perilaku kesehatan lingkungan Adalah bagaimana seseorang merespon lingkungan , baik lingkungan fisik maupun social budaya , dan sebagainnya , sehingga lingkungan tersebut tidak mempengaruhi kesehatannya . Dengan perkataan lain , bagaimana seseorang mengelola lingkungannya sehingga tidak mengganggu kesehatannya sendiri , keluarga , atau mesyarakatnya . 12

27

2.4.

Kepatuhan Berobat
Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti taat , suka menuruti , disiplin Kepatuhan menurut Trostle adalah tingkat perilaku penderita dalam menentukan kebiasaan

mengambil suatu tindakan pengobatan , misalnya dalam

hidup sehat dan ketetapan berobat . Dalam pengobatan , seseorang dikatakan tidak patuh apabila orang tersebut melalaikan kewajibannya berobat , sehingga dapat mengakibatkan terhalangnya kesembuhan. 13 Menurut Sacket, kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh professional kesehatan. 14 Menurut Sarafino secara umum , ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang , atau memperburuk kesakitan yang sedang di derita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20 % jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan . Faktor yang mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam berobat yaitu faktor petugas , faktor obat , dan faktor penderita . Karakteristik petugas yang mempengaruhi kepatuhan antara lain jenis petugas , tingkat pengetahuan , lamanya bekerja , frekuensi penyuluhan yang dilakukan . Faktor obat yang mempengaruhi kepatuhan adalah pengobatan yang sulit dilakukan tidak menunjukkan kea rah penyembuhan , waktu yang lama , adanya efek samping obat . Faktor penderita yang menyebabkan ketidakpatuhan adalah umur , jenis kelamin , pekerjaan , anggota keluarga , saudara atau teman khusus. 15

28

2.5.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketidakpatuhan


Faktor-faktor yang mempengaruhi katidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian yaitu : 1. Pemahaman tentang Instruksi Tak seorang pun mematuhi instruksi jika ia salah paham tentang instruksi yang diberikan kepadanya.Ley dan Spelman (Ester , 2000 ) Menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka . kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan professional kesehatan dalam memberikan informasi yang

lengkap , penggunaan istilah-istilah medis dan mbanyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien .

Pendekatan

praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh

Dinicola dan Dimatteo yaitu : a) Buat instruksi tertulis yang jelas dan mudah diinterpretasikan . b) Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal lain . c) Jika seseorang diberikan suatu daftar tertulis tenang hal-hal yang harus diingat , maka aka nada efek keunggulanyaitu mereka brusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis . d) Insruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum ( Non medis ) dan halhal yang perlu ditekankan 14

2. Kualitas Interaksi Kualitas interaksi antara profrsional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan . Meningkatkan interaksi professional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis , Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini , apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti itu.

29

3. Isolasi sosial dan keluarga Keluarga dapat menjadi factor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima . Keluarga juga member dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit .

4. Keyakinan , Sikap , Kepribadian Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antar pengukuranpengukuran kepribadian dan kepatuhan . Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antar orang yang putih drngan orang yang gagal . Orang-orang yang tidak patuh adalah orang-orang yang lebih mengalami depresi , anxietas , sangat memperhatikan kesehatannya memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri . Blumenthal et al mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan diatas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh ( drop out) dari program pengobatan. 14

Menurut Schwart dan Griffin, Faktor yang berhubungan dengan ketidaktaan, secara sejarah , riset tentang ketaan pasien didasarkan atas pandangan tradisional mengenai pasien sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh . Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai , dan masalahnya dianggap sebagai masalah control . Riset berusah untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosioekonomi , pendidikan , umur ,dan jenis kelamin . Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan ,sepanjang bawah pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri . Usaha-usaha ini sedikit berhasil ,seorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekannkan factor situasional dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya . Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya , bahkan jika hal tersebut bias menimbulkan resiko mengenai kesehatannya. 15
30

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan : a. Ciri-ciri kesakitan dan cirri-ciri pengobatan . Menurut Dickson dkk, perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau resiko yang jelas ) saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama , pengobatan yang kompleks , pengobatan dengan efek samping , perilaku yang tidak pantas . Menurut Sarafino, tingkat ketaaatan rata-rata minum obat utnuk menyenbuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78%, Untuk kesakita kronis dengan cara pengobatan jangaka panjang tingkat tersebut menurun sampai 54%. b. Komunikasi antara Pasien dan Dokter . Berbagai aspek komunikasi antara pasien dan dokter mempengaruhi tingkat ketidaktaan misalnya , informasi dengan pengawasan yang kurang ,

ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter , ketidak puasan terhadap pengobatan yang diberikan. c. Variabel-variabel sosial . Hubungan antara dukungan sosial dengan ketaatan telah dipelajari . Secara umum, orang-orang yang merasa mereka menerima penghiburan ,perhatian ,dan pertolongan yang mereka butuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mudah mengikuti nasihat medis , daripada pasien yang kurang mendapat dukungan sosial . Jelaslah bahwa keluarga memainkan peranan yang sangat penting dalam pengelolaan medis . misalnya , penggunaan pengaruh normative pada pasien , yang mungkin mengakibatkan efek yang memudahkan atau menghambat perilaku ketaatan. d. Ciri-ciri Individual . Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan, sebagai contoh : Di Amerika Serikat , kaum wanita , kaum kulit putih , dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter. 15

31

Dalam proses penyembuhan, penderita TB Paru dapat diberikan obat antiTB (OAT) yang diminum secara teratur sampai selesai dengan pengawasan yangketat. Masa pemberian obat memang cukup lama yaitu 6-8 bulan secara terus menerus, sehingga dapat mencegah penularan kepada orang lain. Oleh sebab itu, para penderita TB jika ingin sembuh harus minum obat secara teratur. Tanpa adanya keteraturan minum obat, penyakit sulit disembuhkan. Jika tidak teratur minum obat penyakitnya sukar diobati, kuman TB dalam tubuh akan berkembang semakin banyak dan menyerang organ tubuh lain yang akan membutuhkan waktu lebih lama untuk dapat sembuh.

2.6.

Pengawasan Menelan Obat (PMO) 9


Salah satu komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

a. Persyaratan PMO Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, selain itu harus disegani dan dihormati oleh pasien. Seseorang yang tinggal dekat dengan pasien. Bersedia membantu pasien dengan sukarela. Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan pasien

b. Siapa yang bisa menjadi PMO Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya Bidan di Desa, Perawat, Pekarya, Sanitarian, Juru Immunisasi, dan lain lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota PPTI, PKK, atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

32

c. Tugas seorang PMO Mengawasi pasien TB agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan. Memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur. Mengingatkan pasien untuk periksa ulang dahak pada waktu yang telah ditentukan. Memberi penyuluhan pada anggota keluarga pasien TB yang mempunyai gejalagejala mencurigakan TB untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan. Tugas seorang PMO bukanlah untuk mengganti kewajiban pasien mengambil obatdari unit pelayanan kesehatan.

d. Informasi penting yang perlu dipahami PMO untuk disampaikan kepada pasien dan keluarganya: TB dapat disembuhkan dengan berobat teratur TB bukan penyakit keturunan atau kutukan Cara penularan TB, gejala-gejala yang mencurigakan dan cara pencegahannya Cara pemberian pengobatan pasien (tahap intensif dan lanjutan) Pentingnya pengawasan supaya pasien berobat secara teratur Kemungkinan terjadinya efek samping obat dan perlunya segera meminta pertolongan ke UPK.

33

2.7.

Penanggulangan TB 16
Rencana Global Penanggulangan TB Rencana Global 2006-2015 mencakup enam elemen utama dalam strategi baru Stop TB WHO yang terdiri dari : 1. Memperluas dan meningkatkan ekspansi DOTS yang berkualitas, meningkatkan penemuan kasus dan kesembuhan melalui pendekatan yangterfokus pada penderita agar pelayanan DOTS yang berkualitas dapat menjangkau seluruh penderita, khususnya kelompok masyarakat yang miskin dan rentan. 2. Menghadapi tantangan TB/HIV , MDR-TB dan tantangan lainnya, dengan cara meningkatkan kolaborasi TB/HIV, DOTS-Plus dan pendekatan lainnya. 3. Berkontribusi dalam memperkuat sistem kesehatan melalui kerjasama dengan berbagai program dan pelayanan kesehatan lainnya, misalnya dalam memobilisasi sumber daya manusia dan finansial untuk implementasi dan mengevaluasi hasilnyaserta pertukaran informasi dalam keberhasilan pencapaian dalam program penanggulangan TB. 4. Melibatkan seluruh penyedia pelayanan kesehatan, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan swasta, dengan cara memperluas pendekatan berbasis public-private mix (PPM) dengan menggunakan ISTC. 5. Melibatkan penderita TB dan masyarakat untuk memberikan kontribusi dalam penyediaan pelayanan yang efektif. Hal ini meliputi perluasan pelayanan TB di masyarakat, menciptakan kebutuhan masyarakat akan pelayanan TB, advokasi yang spesifik; komunikasi dan mobilisasi sosial; serta mendukung pengembangan piagam pasien TB dalam masyarakat, dan 6. Memberdayakan dan meningkatkan penelitian operasional.

34

2.8.

Kerangka Konsep Variabel Independent Karakteristik Individu 1.Umur


2.Jenis kelamin 3.Pendidikan 4.Pekerjaan 5.Pengetahuan 6.Efek samping OAT 7.Tingkat kepatuhan penderita dalam pengobatan

Variabel dependent

Kesembuhan Penderita TB paru Faktor Pelayanan kesehatan


1. Ketersediaan OAT 2. Sikap petugas kesehatan 3. Lokasi/Jarak 4. Penyuluhan kesehatan

5. Kunjungan rumah

Faktor Peran PMO

Gambar Kerangka Konsep Penelitian

35

Definisi Konsep : 1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB paru yang mempengaruhi tingkat kapetuhan dalam melaksanakan program pengobatan dengan strategi DOTS yang membedakan seseorang dengan yang lainnya, meliputi : umur , jenis kelamin , pendidikan , pekerjaan , pengetahuan , efek samping OAT, tingkat kepatuhan penderita dalam pengobatan . 2. Faktor pelayanan kesehatan adalah penilaian dari penderita TB paru terhadap upaya yang diselenggarakan oleh unit pelayanan kesehatan untuk menangani penderita TB paru meliputi : Ketersediaan OAT,sikap petugas kesehatan , lokasi/jarak , penyuluhan kesehatan dan kunjungan rumah . 3. Faktor Peran PMO ( Pengawasan Menelan Obat ) adalah penilaian dari penderita TB paru terhadap hal-hal yang menjadi tugas dari seseorang pengawas menelan obat yang mempengaruhi tingkat kepatuhan penderita TB paru dalam melaksanakan pengobatan meliputi : penyuluhan , member dorongan , meningkatkan dan mengawasi . 4. Kesembuhan adalah pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow up) menunjukkan hasil BTA negatif.

2.9.

Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka konsep di atas maka hipotesis penelitian ini adalah : 1) Ada pengaruh karakteristik individu terhadap kesembuhan penderita TB paru dalam pengobatan 2) Ada pengaruh pelayanan kesehatan terhadap kesembuhan penderita TB paru dalam pengobatan 3) Ada pengaruh PMO terhadap kesembuhan penderita TB paru dalam pengobatan.

36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN


3.1. Desain Penelitian
Jenis penelitian ini adalah analitik dengan pendekatan cross sectional yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik individu, faktor pelayanan

kesehatan, dan faktor Pengawas Menelan Obat (PMO) terhadap kesembuhan penderita TB Paru dalam melaksanakan pengobatan di Puskesmas Grogol Petamburan tahun 2011.

3.2.

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Grogol Petamburan, pada bulan Januari sampai Februari tahun 2012.

3.3.

Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang sedang menjalankan pengobatan TB di Puskesmas Grogol

Petamburan mulai bulan OktobeR..........

3.4. 3.4.1. 3.4.2.

Keriteria Inklusi dan Eksklusi Keriteria Inklusi Keriteria Eksklusi

37

3.5. 3.5.1.

Sampel Besar Sampel


Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB Paru yang mengikuti pengobatan dengan strategi DOTS di Puskesmas yang pada saat penelitian sedang menjalani pengobatan dan seluruh penderita TB yang telah mendapat pengobatan selama 6 bulan atau sedang dalam tahap lanjutan.

Keterangan : n1 n2 = Jumlah sampel minimal = Jumlah sampel ditambah substitusi 10% (substitusi adalah persen responden yang mungkin drop out) Z = Tingkat batas kepercayaan, dengan = 5% Didapat Z pada kurva normal = 1,96 p q L = Proporsi variabel yang diteliti yaitu besarnya presentasi 50% ) =1-p = Derajat kesalahan yang masih dapat diterima adalah 10%

Berdasarkan rumus di atas didapatkan angka sebagai berikut : ( Z )2 . p . q L2 ( 1,96 )2 . 0,5.0,5 ( 0,1 )2

n1 = ----------------- = ------------------------------ = 96,04

n2 = n1 + ( 10% . n1 ) = 96,04 + ( 10% . 96,04) = 96,04 + 9,604 = 105,64 Dibulatkan 106

38

3.5.2. 3.6.

Teknik Pengambilan Sampel Identifikasi Variabel


1. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah kesembuhan tb paru. 2. Variabel independen adalah umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, pengetahuan, efek samping OAT, dan tingkat kepahuhan dari penderita TB. Selain itu faktor dari pelayanan kesehatan dan PMO juga ikut berperan.

3.7.

Cara Kerja
1. Membuat proposal penelitian tentang hubungan antara tingkat kepatuhan minum OAT dengan tingkat kesembuhan penyakit TB di Puskesmas Kecamatan Grogol Petamburan. 2. Pengumpulan data sekunder dari Puskesmas Grogol Petamburan. 3. Melakukan kunjungan ke rumah-rumah sampel di daerah RT terpilih untuk pengumpulan data primer dengan memakai kuesioner dan wawancara responden. 4. Data-data yang telah dikumpulkan akan dilakukan pengolahan berupa proses editing, verifikasi, dan koding. Selanjutnya dimasukkan dan diolah dengan menggunakan program computer yaitu program SPSS. 5. Terhadap data yang telah diolah kemudian dilakukan analisis sesuai dengan cara uji statistik menggunakan.. Data diinterpretasi secara deskriptif korelatif antar variabel variabel yang telah ditentukan dan disajikan dalam bentuk tekstular dan tabular. 6. Hasil dari penelitian akan disusun dalam bentuk pelaporan penelitian yang selanjutnya akan di presentasikan di hadapan staf pengajar program pendidikan Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana (FK UKRIDA) dalam forum pendidikan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran UKRIDA.

39

3.8. 3.8.1.

Manajemen Data Pengumpulan Data


Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder yaitu: 1.Data primer, diperoleh dengan wawancara langsung kepada penderita TB paru dan petugas kesehatan program penanggulangan TB Paru yang berpedoman pada kuisioner penelitian yang telah ditetapkan dam melakukan cross check 2.Data sekunder diperoleh dari laporan pelaksanaan program penanggulangan TB Paru di Puskesmas, kartu pengobatan TBC (formulir TB 01), dan Formulir Permohonan Laboratorium TBC Untik Pemeriksaan Dahak (formulir TB 05).

3.8.2.

Pengolahan Data
Aspek pengukuran Aspek pengukuran variable bebas Karakteristik individu Aspek pengukuran variable karakteristik individu dapat dilihat pada tabel 3.1 Table 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Karakteristik Individu Karakteristik individu Umur a. 15-24 tahun b. 25-49 tahun c. > 50 tahun Jenis kelamin a. Laki-laki b. Perempuan Tingkat pendidikan a. Tidak tamat SD b. SD c. SLTP d. SLTA e. Sarjana/ S1 rasio Kategori Skala Bobot nilai

40

Pekerjaan

a. Bekerja b. Tidak bekerja

Pengetahuan

a. Baik b. Sedang c. Bururk

Efek OAT

samping

a. Ada b. Tidan ada

Faktor pelayanan kesehatan Pengukuran faktor pelanan kesehatan meliputi ketersediaan OAT, yang diukur adalah yang diukur dengan 2 pertanyaan, sikap petugas kesehatan diukur dengan 8 pertanyaan, lokasi jarak diukur dengan 3 pertanyaan, penyuluhan kesehatan diukur dengan 6 pertanyaan dan kunjungan rumah diukur dengan 2 pertanyaan, berdasarkan jawaban yang diberikan responden selanjutnya dikelompokkan menjadi tiga (3) yaitu : a. Baik, jika faktor pelayanan kesehatan yang diterima responden menimbulkan penilaian yang baik, karena kebutuhan yang diinginkan debagian besarnya terpenuhi (nilai >32). b. Sedang, bila faktor pelayanan kesehatan yang diterima responden menimbulkan penilaian yang kurang baik karena kebutuhan yang diinginkan responden hanay sebagian saja yang terpenuhi (nilainya 17-32) c. Buruk, bila faktor pelayanan pelayanan kesehatan yang diterima responden menimbulkan penilaian yang tidak baik karena kebutuhan yang diinginka responden sebagian besar tidak dipenuhi (nilainya <17)

41

Faktor Pengawas Menelan Obat (PMO) Faktor Pengawas Menelan Obat diukur dengan 5 pertanyaan yang selanjutnya dibedakan atas 3 kategori yaitu: a. Baik, bila semua tugas yang diterima responden terlaksana dengan baik yaitu mengawasi, memberikan dorongan, mengingatkan dan memberikan penyuluhan (nilainya >11) b. Sedang, bila tugas PMO yang diterima responden sebagian saja yang terpenuhi (nilainya 6-11) c. Buruk, bila tugas PMO yang diterima responden tidak terlaksana dengan baik (nilainya < 6)

Aspek Pengukuran Variabel Terikan Kepatuhan Pengobatan TB Paru Aspek Pengukuran Variabel ini menggunakan skala interval yang diukur berdasarkan tiga (3) kategori yaitu: Patuh, apabila responden selalu menelan obat sesuai ketentuan petugas kesehatan yaitu setiap hari pada tahap awal, tiga kali seminggu pada tahap lanjutan dan mengambil obat serta memeriksakan dahak sesuai jadwal dan menaati nasihat dari petugas kesehatan ( bobot 3 ) Kurang patuh, jika responden kadang-kadang menelan obat sesuai ketentuan petugas kesehatan atau responden tidak menelan obat 2-8 minggu selama tahap pengobatan lanjutan dan tidak memerisakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan tidak selalu menaati nasihat dari petugas kesehatan (bobot 2 ) Tidak patuh, jika responden tidak menelan obat sesuai ketentuan petugas kesehatan atau responden tidak menelan obat lebih dari 8 minggu selama tahap pengobatan lanjutan dan tidak mengambil obat serta tidak memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan tidak menaati nasihat petugas kesehatan (bobot 1)

42

3.8.3. 3.8.4. 3.8.5. 3.8.6. 3.9.

Penyajian Data Analisis Data Interpretasi Data Pelaporan Data Definisi Operasional
1. Umur adalah usia responden saat penelitian berdasarkan ulang tahun terakhir yang dibedakan atas 3 (tiga) kategori berdasarkna Badan Pusat Statistik Kota Medan tahun 2008 yaitu: 1) orang muda 25-24 tahun, 2) dewasa 24-49 tahun. 3) orang tua > 50 tahun 2. Jenis kelamin adalah suatu karakteristik responden yang dibedakan identitasnya dari laki-laki dan perempuan 3. Pendidikan adalah jenjang pendidikannyang berhasil ditamatkan responden yang dibedakan atas: tidak tamat SD, SD, SLTP, SLTA, Akademi/ Sarjana 4. Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh responden sebagai pendapatan utama yang dibedakan atas kerja dan tidak bekerja 5. Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui responden mengenai penyakit TB paru. 6. Efek samping OAT adalah gejala keluhan yang diderita responden akiba menelan OAT selama pengobatan 7. Ketersdediaan OAT adalah pandangan responden terhadap kondisi OAT diperoleh dari puskesmas meliputi kecukupan jumlah OAT dan dan kualitasnya. 8. Sikap petugas kesehatan adalah penilaian responden terhadap reaksi petugas kesehatan kepada responden selama mereka menjalanin pengobatan. 9. Lokasi jarak adalah pandangan responden tentang lama perjalanan dari tempat tinggal responden ke Puskesmas yang diukur dengan jarak, sarana transportasi. 10. Penyuluhan kesehatan adalah pandangan responden tentang kegiatan yang dilakukan oleh petugas kesehatan sehubungan dengan pengobatan TB Paru untuk mencapai suatu keadaan dimana pederita TB Paru dapat hidup lebih sehat.
43

11. Kunjungan rumah adalah pandangan responden tentang kegiatan yang dilakukan petugas kesehatan selama masa pengobatan ke rumah responden 12. Faktor peran Pengawas Minum Obat (PMO) adalah pandangan responden tentang tugas yang dilakasanakan oleh seorang PMO meliputi penyuluhan 13. Kepatuhan berobat adalah ketaan responden dalam menelan obat, mengambil obat, dan melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan dan menaati segala nasehat dari petugas kesehatan

BAB IV HASIL PENELITIAN

44

BAB V DAFTAR PUSTAKA


1) Depkes RI, 2007. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya. Edisi 2. Jakarta. 2) Perkumpulan Pemberantasan TB Indonesia, 2011. TB di Indonesia Peringkat % Dunia. Jakarta. Diakses melalui situs http://www.ppti.info/index.php/component/content/article/46arsip-ppti/141-tbc-di-indonesia-peringkat-5-dunia . Diakses pada tanggal 23 Januari 2012. 3) Depkes dan WHO, 2008. Lembar Fakta Tuberkulosis. Jakarta. 4) Dirjen P2M & PLP, 1997. Pengawasan Menelan Obat (PMO) adalah DOTS ala Indonesia. Jakarta. 5) Amirudin, R, 2006. Faktor Keberhasilan Konversi pada Penderita TB Paru di Puskesmas Jongaya Tahun 2006. Laporan Penelitian, FKM Unhas. Makasar. 6) Aditama, Tjandra Y, 1994. Tuberkulosis Paru : Masalah dan Penanggulangnya. UI Press. Jakarta. 7) Aru W, Bambang S, Idrus A, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II : Tuberkulosis Paru, Edisi IV. FKUI. Jakarta. 2006 ; 998-1004. 8) Depkes RI, 2002. Pedoman Nasional Penangulangan Tuberkulosis. Jakarta. 9) Depkes RI, 2006. Pedoman Nasional Penangulangan Tuberkulosis. Jakarta. 10) Subijakto, Hubungan Pengetahuan tentang Tuberkulosis Paru dengan Kepatuhan Berobat Pasien Tuberkulosis Paru di Puskesmas, Proposal Skripsi, Jakarta. 2011. Diakses pada tanggal 20 Januari 2012. 11) Aditama, Tjandra Y, 2002. Tuberkulosis : Diagnosis, Terapi dan Masalahnya. Yayasan IDI. Jakarta. 12) Notoatmodjo, Soekidjo., 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta. 13) Simamora, Jojor, 2004. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakteraturan Berobat Penderita TB Paru di Puskesmas Kota Binjai Tahun 2004. Tesis, Pascasarjana USU. Medan. 14) Ester, Monica., 2000. Psikologi Kesehatan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. 15) Bart, Smet, 1994. Psikologi Kesehatan. P.T. Grasindo. Jakarta. 16) Depkes RI, 2007. Pedoman Penyakit Tuberkulosis dan Penanggulangannya. Edisi 2. Jakarta.
45

Anda mungkin juga menyukai