Anda di halaman 1dari 68

SUHAN KEPERAWATAN LANSIA PADA TN.

S DENGAN FRAKTUR LUMBALIS

OLEH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN PAYUNG NEGERI PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN PEKANBARU 2013

BAB I ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN FRAKTUR PADA LANSIA A. Konsep Medis 1. Lansia
a. Pengertian Lansia

Lansia (lanjut usia) adalah kelompok orang yang sedang mengalami suatu proses perubahan yang bertahap dalam jangka waktu beberapa dekade. Lebih rinci, penduduk lansia dapat dilihat dari aspek biologi, ekonomi, sosial, dan batasan umur, yaitu: 1) Aspek Biologi: Lansia merupakan penduduk yang telah menjalani proses penuaan, dalam arti menurunnya daya tahan fisik yang ditandai dengan semakin rentannya tubuh terhadap serangan berbagai penyakit. 2) Aspek Ekonomi: Lansia dianggap sebagai warga yang tidak produktif lagi dan hidupnya perlu ditopang oleh generasi yang lebih muda. Bagi penduduk lansia yang masih memiliki pekerjaan, produktivitasnya sudah menurun dan pendapatannya lebih rendah dibandingkan usia produktif. Namun, tidak semua penduduk yang termasuk dalam kelompok umur lansia ini tidak memiliki kualitas dan produktivitas. 3) Aspek Sosial: Di negara Barat, penduduk lansia memiliki strata sosial di bawah kaum muda. Di masyarakat tradisional di Asia, seperti Indonesia, penduduk lansia memiliki kelas sosial yang tinggi yang harus dihormati oleh masyarakat usia muda. 4) Aspek Umur: Dari ketiga aspek di atas, pendekatan umur adalah yang paling memungkinkan untuk mendefinisikan penduduk lansia. Departemen Kesehatan RI mengelompokkan usia lanjut menjadi kelompok usia lanjut dini yaitu kelompok yang mulai memasuki usia lanjut (55-64 tahun); kelompok usia lanjut yaitu kelompok dalam masa senium (65-70 tahun); dan kelompok usia lanjut dengan risiko tinggi (> 70 tahun). Proses penuaan adalah proses alami, akan tetapi sering menimbulkan masalah karena secara fisiologik akan terjadi kemunduran berbagai organ

tubuh. Beberapa ahli mengatakan bahwa proses menua adalah penimbunan semua perubahan yang menyertai bertambahnya usia. Penuaan dapat menyebabkan berbagai kemunduran fungsional, yang akhirnya dapat memicu timbulnya penyakit.
b. Lansia di Indonesia

Peningkatan jumlah lansia terjadi baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Gejala menuanya struktur penduduk (ageing population) juga terjadi di Indonesia. Jika pada tahun 1990 jumlah lansia hanya sekitar 11 juta maka pada tahun 2020 jumlah itu diperkirakan akan meningkat menjadi sekitar 29 juta, dengan peningkatan dari 6,3% menjadi 11,4% dari total populasi. Tabel 1.1. Pertumbuhan Penduduk Lansia di Indonesia (1971-2020) Tahun TAHUN 1971 1980 1985 1990 1995 2000 2005 2010 2015 2020 Penduduk Lansia (Usia 60 tahun) Jumlah (ribuan) Persentase (%) 5.306 4,5 7.998 9.440 11.277 13.600 15.882 18.283 17.303 24.446 29.021 5,4 5,8 6,3 6,9 7,6 8,2 7,4 10,0 11,4

Sumber: BPS, Sensus Penduduk; dan LD-FEUI, Projeksi Penduduk Indonesia 1990-2020

2. Sistem Rangka Manusia Rangka manusia dewasa tersusun dari tulang-tulang (sekitar 206 tulang) yang membentuk suatu kerangka tubuh yang kokoh. Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, rangka kemudian digolongkan menjadi rangka aksial, rangka apendikular, dan persendian antar tulang. a. Rangka Aksial, terdiri dari 80 tulang yang membentuk aksis panjang pada tubuh dan melindungi organ-organ pada kepala dan leher. Rangka aksial

terdiri dari kolumna vertebrata (tulang belakang), tengkorak, dan kerangka toraks (rangka iga). Kolumna vertebrata terdiri dari 26 vertebrata. Tengkorak diseimbangkan pada kolumna vertebrata yang terdiri dari tulang kranial yang berfungsi menutupi dan melindungi otak dan organ-organ panca indera, tulang wajah yang memberikan bentuk pada muka dan berisi gigi, 6 tulang auditori (telinga) yang terlibat dalam transmisi suara, dan tulang hioid yang menyangga lidah dan laring serta membantu dalam proses menelan. Kerangka toraks meliputi tulang-tulang iga dan sternum yang membungkus dan melindungi organ-organ toraks. b. Rangka Apendikular, terdiri dari 126 tulang yang membentuk lengan, tungkai, dan tulang pektoral serta tonjolan pelvis yang menjadi tempat melekatnya lengan dan tungkai pada rangka aksial. c. Persendian adalah artikulasi dari dua tulang atau lebih.
a. Fungsi Tulang

Tulang mempunyai berbagai peranan bagi tubuh antara lain : 1) Memberikan topangan dan bentuk pada tubuh. 2) Pergerakan. Tulang berartikulasi dengan tulang lain pada sebuah persendian dan berfungsi sebagai pengugkit. Jika otot-otot (yang tertanam pada tulang) berkontraksi, kekuatan yang diberikan pada pengungkit menghasilkan gerakan. 3) Sistem rangka melindungi organ-organ lunak yang ada dalam tubuh. 4) Pembentukan sel darah. Sumsum tulang merah yang ditemukan pada orang dewasa dalam tulang sternum, tulang iga, badan vertebrata, tulang pipih pada kranium, dan pada bagian ujung tulang panjang, merupakan tempat produksi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit darah. 5) Tempat penyimpanan mineral. Kalsium dan fosfor disimpan dalam tulang agar bisa ditarik kembali dan dipakai untuk fungsi-fungsi tubuh, zat tersebut kemudian diganti melalui nutrisi yang diterima. b. Komposisi Jaringan Tulang

1) Tulang tediri dari matriks ekstraselular. Sel-sel tersebut adalah osteosit, osteoblas, dan osteoklas. 2) Matriks tulang tersusun dari serat-serat kolagen organik yang tertanam pada substansi dasar dan garam-garam anorganik tulang seperti fosfor dan kalsium. Substansi dasar tulang terdiri dari sejenis proteoglikan yang tersusun terutama dari kondroitin sulfat dan sejumlah asam hialuronat yang bersenyawa dengan protein. Garam-garam tulang berada dalam bentuk kristal kalsium fosfat yang disebut hidroksiapatit. Persenyawaan antara kolagen dan kristal hidroksiapatit bertanggung jawab atas daya regang dan daya tekan tulang yang besar. 3) Tulang cancellus (berongga) dan tulang kompak. Tulang cancellus tersusun dari batang-batang halus dan ireguler yang bercabang serta saling tumpang tindih untuk membentuk jaring-jaring spikula dengan rongga yang mengandung sumsum. Tulang kompak adalah jaringan yang tersusun rapat, terutama ditemukan sebagai lapisan di atas tulang cancellus. Jumlah tulang kompak dan cancellus relatif bervariasi bergantung pada jenis tulang dan bagian yang berbeda dari tulang yang sama. c. Pembentukan dan Reabsorbsi Tulang Sel-sel dalam tulang yang terutama berhubungan dengan pembentukan dan reasorbsi tulang adalah osteoblast, osteosit, dan osteoklas. Osteoblast adalah sel pembentuk tulang yang mengsekresi kolagen, membentuk matriks sekitar mereka sendiri yang kemudian mengalami kalsifikasi. Osteosit adalah sel-sel tulang yang dikelilingi oleh matriks yang telah mengalami kalsifikasi. Sel-sel osteosit mengirimkan tonjolan-tonjolannya ke dalam kanalikuli yang bercabang-cabang diseluruh tulang. Osteoklas adalah sel multinuklear yang mengerosi dan mereasorbsi tulang yang sebelumnya terbentuk. Osteoklas dianggap berasal dari sistem sel hemopoitik melalui monosit. Mereka memfagositosis tulang dan mencernakannya dalam sitoplasmanya. Osteoblas sebaliknya, berasal dari sel osteoprogenitor yang berasal dari mesenkim. Osteoblas membentuk matriks tulang dan bila mereka dikelilingi tulang baru, menjadi osteosit. Osteosit akan tetap berhubungan satu dengan lainnya dan dengan osteoblas melalui tonjolan-tonjolan sitoplasma yang

panjang yang berjalan melalui saluran-saluran pada tulang. Osteoblas, osteoklas dan osteosit semuanya dipengaruhi oleh hormon-hormon yang mengatur struktur tulang. Osteoklas, seperti telah dijelaskan diatas, adalah giant cell yang berinti banyak, dengan ukuran diameter 20 100 mikron. Ditemukan pada permukaan tulang yang menimbulkan proses erosi atau reasorbsi, dimana osteoklas ini akan membentuk lubang-lubang disebut lakuna. Satu sel osteoklas dapat menghancurkan 100 150 sel osteoblas dari sejumlah tulang. Sedangkan osteoblas merupakan derivat dari sel mesenkim, ditemukan pada permukaan tulang yang mengalami proses pertumbuhan dan perubahan (remodeling). d. Kepadatan (Densitas Tulang) Kepadatan tulang erat hubungannya dengan kekuatan tulang dan perubahan-perubahan tulang yang terjadi selama kehidupan. Kepadatan tulang meningkat selama periode pertumbuhan. Pada wanita usia 35 40 tahun dengan menstruasi yang teratur, kepadatan tulang tidak meningkat atau menurun. Pertumbuhan tulang mencapai puncaknya pada usia 25 35 tahun untuk tulang-tulang trabekular (antara lain tulang belakang) dan pada usia 35 40 tahun untuk tulang-tulang kortikal. Setelah pematangan tulang selesai, kehilangan tulang dimulai dan berlangsung terus sampai usia 85 90 tahun. Pada periode menopause, kepadatan tulang trabekular akan menurun yaitu pada tulang belakang sebesar 1 8 % pertahun dan pada leher tulang paha terjadi penurunan tulang kortikal sebesar 0,5 - 5 % pertahun. Seorang wanita selama kehidupannya akan kehilangan 40 50 % jumlah tulang secara keseluruhan. Sedangkan pada pria hanya sebesar 20 30 %. Banyaknya kehilangan massa tulang pada wanita, selain disebabkan pertambahan usia dihubungkan juga dengan penurunan kadar estrogen dalam darah karena penurunan fungsi dan terhentinya fungsi ovarium. Pada wanita postmenopause jumlah kehilangan tulang trabekular melebihi tulang kortikal.

3.

Pengertian Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer et al, 2000). Sedangkan menurut Linda Juall C. dalam buku Nursing Care Plans and Dokumentation menyebutkan bahwa Fraktur adalah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap oleh tulang. Patah Tulang Tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar (Soedarman, 2000). Pendapat lain menyatakan bahwa patah tulang tertutup adalah suatu fraktur yang bersih (karena kulit masih utuh atau tidak robek) tanpa komplikasi (Handerson, M. A, 1992).

4.

Etiologi 1) Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demikian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. 2) Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan. 3) Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

5.

Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas

tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan tulang nantinya Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur 1) Faktor Ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. 2) Faktor Intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau kekerasan tulang. 6. Klasifikasi Fraktur Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu: a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan). 1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. 2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), adanya perlukaan kulit. b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur. 1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena

tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto. 2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti: a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut) b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya. c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma. 1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung. 2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga. 3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rotasi. 4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang. d. Berdasarkan jumlah garis patah. 1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. 1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap tetapi

kedua fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh. 2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas: a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping). b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh). f. Berdasarkan posisi frakur Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian : 1. 1/3 proksimal 2. 1/3 medial 3. 1/3 distal g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang. h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang

berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu: a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya. b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan. c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan. d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma kompartement. 6. Manifestasi Klinik a. b. c. d. Deformitas Bengkak/edema Echimosis (Memar) Spasme otot

e. f. g. h. i.

Nyeri Kurang/hilang sensasi Krepitasi Pergerakan abnormal Rontgen abnormal

7. Test Diagnostik a. Pemeriksaan memperlihatkan b. c. d. e. Rontgen skan fraktur : juga menentukan tulang, dapat lokasi/luasnya scan CI: untuk fraktur/luasnyatrauma, temogram,

digunakan

mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau cederah hati. 8. Penatalaksanaan Medik a. Fraktur Terbuka Merupakan kasus emergensi karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6-8 jam (golden period). Kuman belum terlalu jauh meresap dilakukan: 1) Pembersihan luka 2) Exici 3) Hecting situasi 4) Antibiotik b. Seluruh Fraktur 1) Rekognisis/Pengenalan Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan

tindakan selanjutnya. 2) Reduksi/Manipulasi/Reposisi Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis (brunner, 2001). Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan. Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin

untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut Reduksi tertutup. Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan, sementara gips, biadi dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat immobilisasi untuk akan menjaga apakah reduksi fragmen dan tulang menstabilkan telah dalam ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan mengetahui kesejajaran yang benar. Traksi. Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot

yang terjadi. Sinar-x digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi. Reduksi Terbuka. Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi terbuka. Dengan pendekatan bedah, fragmen tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat paku, atau batangan logam digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisnya sampai penyembuhan tulang yang solid terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang, alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang. 3) Retensi/Immobilisasi Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti semula secara optimun. Imobilisasi fraktur. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. 4) Rehabilitasi Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan

nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan harga-diri. untuk memperbaiki bertahap kemandirian pada fungsi dan Pengembalian mobilisasi aktivitas semula

diusahakan sesuai batasan terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan. 9. Proses Penyembuhan Tulang Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu: 1) Stadium Satu-Pembentukan Hematoma Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Sel-sel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan perdarahan berhenti sama sekali. 2) Stadium Dua-Proliferasi Seluler Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.

3)

Stadium Tiga-Pembentukan Kallus Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur (anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

4)

Stadium Empat-Konsolidasi Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.

5)

Stadium Lima-Remodelling Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resorbsi dan pembentukan tulang yang terusmenerus. Lamellae yang lebih tebal diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip dengan normalnya.

10. 1)

Komplikasi Komplikasi Awal a. Kerusakan Arteri

Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi, CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan. b. Kompartement Syndrom Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan embebatan yang terlalu kuat. c. Fat Embolism Syndrom Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam. d. Infeksi System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat. e. Avaskuler Nekrosis Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya Volkmans Ischemia. f. Shock Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya

oksigenasi. Ini biasanya terjadi pada fraktur. 2) b. Komplikasi Dalam Waktu Lama Delayed Union Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang. c. Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 69 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang. d. Malunion Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. B. Konsep Keperawatan Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas: a. Pengumpulan Data

1)

Anamnesa a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. b) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan: (1) (2) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk. (3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi. (4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. (5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. c) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana

yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). d) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang e) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995). f) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehariharinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan (1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan

terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995). (2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. (3) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,

kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002). (4) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). (5) Pola Hubungan dan Peran Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995). (6) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995). (7) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995). (8) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama

perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995). 10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif. 11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien 2) Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam. a) Gambaran Umum Perlu menyebutkan: (1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti: (a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan klien. (b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut. (c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. (2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin (a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma

meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan. (b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala. (c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada. (d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. (e) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan) (f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. (g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. (h) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. (i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. (j) Paru (1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru. (2) Palpasi

Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. (4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. (k) Jantung (1) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung. (2) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. (l) Abdomen (1) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. (2) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (3) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. (4) Auskultasi Peristaltik usus normal 20 kali/menit. (m)Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. b) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status

neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: (1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (b) Cape au lait spot (birth mark). (c) Fistulae. (d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan halhal yang tidak biasa (abnormal). (f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) (2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: (a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Normal 3 5 (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian. (c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila

ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. (3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan gerak nyeri ini pada perlu, pergerakan. agar dapat Pencatatan lingkup

mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995) 3) Pemeriksaan Diagnostik a) Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah pencitraan menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: (1) Bayangan jaringan lunak. (2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi. (3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. (4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti: (1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. (2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. (3) (4) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. Computed potongan Tomografi-Scanning: secara transversal dari menggambarkan tulang dimana

didapatkan suatu struktur tulang yang rusak. b) Pemeriksaan Laboratorium (1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. (2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang. (3) Enzim (AST), otot seperti yang Kreatinin Kinase, pada Laktat tahap Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase meningkat

Aldolase

penyembuhan tulang. c) Pemeriksaan lain-lain (1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi. (2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. (3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang

diakibatkan fraktur. (4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. (5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. (6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995)

b.

Dampak Fraktur Terhadap Kebutuhan Dasar Manusia Trauma Fraktur

Perubahan status kesehatan Kurang informasi Degranulasi mast

Cedera sel

Diskontuinitas fragmen tulang Lepasnya lipid pada sum-sum tulang

Luka terbuka

Reaksi peradangan

sel Terapi restrictif

Port de entri kuman

Gg. Integritas kulit

Edema

Kurang pengeta hunan

Pelepasan mediator kimia

Gg. Mobilitas fisik

Terabsorbsi masuk kealiran darah

Resiko Infeksi Nekrosis Jaringan paru

Penekanan pada jaringan vaskuler Penurunan aliran darah

Korteks serebri

Nociceptor

Emboli

Oklusi arteri paru

Medulla spinali Nyeri

Gangguan pertukaran gas

Penurunan laju difusi

Luas permukaan paru menurun

Resiko disfungsi neurovaskuler

3.

Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut: a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup) f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang) g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada (Doengoes, 2000)

4. Intervensi Keperawatan a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian Mengurangi nyeri dan mencegah yang sakit dengan tirah baring, malformasi. gips, bebat dan atau traksi

2. Tinggikan

posisi

ekstremitas Meningkatkan

aliran balik vena,

yang terkena.

mengurangi edema/nyeri.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak Mempertahankan kekuatan otot dan pasif/aktif. 4. Lakukan tindakan meningkatkan sirkulasi vaskuler. untuk Meningkatkan kelelahan otot. teknik Mengalihkan perhatian terhadap sirkulasi umum,

meningkatkan

kenyamanan menurunakan area tekanan lokal dan

(masase, perubahan posisi) 5. Ajarkan penggunaan

manajemen nyeri (latihan napas nyeri, meningkatkan kontrol terhadap dalam, imajinasi visual, aktivitas nyeri yang mungkin berlangsung dipersional) lama.

6. Lakukan kompres dingin selama Menurunkan edema dan mengurangi fase akut (24-48 jam pertama) rasa nyeri. sesuai keperluan. 7. Kolaborasi pemberian analgetik Menurunkan sesuai indikasi. nyeri melalui

mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Evaluasi

keluhan

nyeri

(skala, Menilai

perkembangan

masalah

petunjuk verbal dan non verval, klien. perubahan tanda-tanda vital)

b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Dorong klien untuk secara rutin Meningkatkan sirkulasi darah dan melakukan cedera. 2. Hindarkan terlalu ketat. 3. Pertahankan ada letak restriksi sirkulasi Mencegah stasis vena dan sebagai perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk. tinggi Meningkatkan drainase vena dan adanya adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan penurunan perfusi. 4. Berikan obat antikoagulan Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik trombus vena. 5. Pantau kualitas nadi perifer, Mengevaluasi klien perkembangan dan perlunya untuk menurunkan (warfarin) bila diperlukan. latihan mencegah kekakuan sendi. menggerakkan jari/sendi distal

akibat tekanan bebat/spalk yang petunjuk

ekstremitas yang cedera kecuali menurunkan edema kecuali pada kontraindikasi sindroma kompartemen.

aliran kapiler, warna kulit dan masalah bandingkan dengan sisi yang normal.

kehangatan kulit distal cedera, intervensi sesuai keadaan klien.

c. Tujuan

Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan napas Meningkatkan ventilasi alveolar dan dalam dan latihan batuk efektif. perfusi. meningkatkan drainase

2. Lakukan dan ajarkan perubahan Reposisi klien. 3. Kolaborasi dan indikasi. pemberian paru. obat Mencegah

posisi yang aman sesuai keadaan sekret dan menurunkan kongesti

terjadinya

pembekuan

antikoagulan (warvarin, heparin) darah pada keadaan tromboemboli. kortikosteroid sesuai Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk mencegah/mengatasi emboli lemak. 4. Analisa pemeriksaan gas darah, Penurunan PaO2 dan peningkatan Hb, kalsium, LED, lemak dan PCO2 trombosit menunjukkan gas; gangguan anemia, pertukaran

hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak. 5. Evaluasi frekuensi pernapasan Adanya adanya stridor, penggunaan otot dini aksesori pernapasan, retraksi sela mungkin iga dan sianosis sentral. takipnea, insufisiensi menunjukkan dispnea dan

dan upaya bernapas, perhatikan perubahan mental merupakan tanda pernapasan, terjadinya

emboli paru tahap awal.

d.

Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL perhatian, rasa diri, kontrol membantu

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas Memfokuskan rekreasi terapeutik (radio, koran, meningkatakan kunjungan teman/keluarga) sesuai diri/harga keadaan klien. 2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit Meningkatkan maupun yang sehat sesuai muskuloskeletal, keadaan klien.

menurunkan isolasi sosial.

sirkulasi

darah

mempertahankan

tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.

3. Berikan papan penyangga kaki, Mempertahankan posis fungsional gulungan trokanter/tangan sesuai ekstremitas. indikasi. 4. Bantu dan dorong perawatan diri Meningkatkan (kebersihan/eliminasi) keadaan klien. kemandirian klien

sesuai dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien. insiden komplikasi

5. Ubah posisi secara periodik sesuai Menurunkan keadaan klien.

kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)

6. Dorong/pertahankan cairan 2000-3000 ml/hari. 7. Berikan diet TKTP.

asupan Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi. Kalori dan protein yang cukup diperlukan penyembuhan untuk dan proses mem-

pertahankan fungsi fisiologis tubuh. 8. Kolaborasi pelaksanaan Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual. 9. Evaluasi kemampuan mobilisasi Menilai klien dan program imobilisasi. klien. perkembangan masalah

fisioterapi sesuai indikasi.

e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup) Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang Menurunkan risiko kerusakan/abrasi nyaman dan aman (kering, kulit yang lebih luas. bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit). 2. Masase kulit terutama daerah Meningkatkan sirkulasi perifer dan penonjolan tulang dan area meningkatkan kelemasan kulit dan distal bebat/gips. otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

3. Lindungi kulit dan gips pada Mencegah gangguan integritas kulit daerah perianal dan jaringan akibat kontaminasi fekal. 4. Observasi keadaan kulit, Menilai perkembangan masalah

penekanan gips/bebat terhadap klien. kulit, insersi pen/traksi.

f.

Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah perawatan luka sesuai protokol 2. Ajarkan pen. 3. Kolaborasi pemberian antibiotika Antibiotika dan toksoid tetanus indikasi. profilaksis, spektrum luas atau atau klien RASIONAL infeksi sekunderdan

mempercepat penyembuhan luka.

untuk Meminimalkan kontaminasi.

mempertahankan sterilitas insersi

sesuai spesifik dapat digunakan secara mencegah mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

4. Analisa lengkap,

hasil LED,

pemeriksaan Leukositosis biasanya terjadi pada darah proses infeksi, anemia Kultur dan untuk organisme Kultur dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. mengidentifikasi penyebab infeksi.

laboratorium

(Hitung

sensitivitas luka/serum/tulang)

5.

Observasi tanda vital dan

tanda- Mengevaluasi

perkembangan

tanda-tanda masalah klien.

peradangan lokal pada luka. h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada. Tujuan : klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya INTERVENSI KEPERAWATAN 1. Kaji mengikuti pembelajaran. kesiapan klien Efektivitas mental RASIONAL proses pemeblajaran mengikuti

program dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan klien untuk program pembelajaran. Meningkatkan partisipasi klien dan dan dalam pelaksanaan

2.

Diskusikan metode mobilitas kemandirian dan ambulasi sesuai program perencanaan terapi fisik.

program terapi fisik. Meningkatkan kewaspadaan klien

3.

Ajarkan tanda/gejala klinis untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerluka evaluasi medik yang memerulukan intervensi lebih (nyeri berat, demam, perubahan lanjut. sensasi kulit distal cedera) Upaya pembedahan mungkin

4.

Persiapkan bila diperlukan.

klien

untuk diperlukan untuk mengatasi maslaha

mengikuti terapi pembedahan sesuai kondisi klien.

A. Evaluasi o Nyeri berkurang atau hilang

o Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer o Pertukaran gas adekuat o Tidak terjadi kerusakan integritas kulit o Infeksi tidak terjadi o Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami

BAB II ASUHAN KEPERAWATAN

Bab ini berisikan laporan asuhan keperawatan pada Tn.S dengan gangguan Sistem Muskuloskeletal; Fraktur Lumbal di ruang Bedah Pria (C) RSDS Dr.Soedarso Pontianak, yang dilaksanakan dari tanggal 14 Juni 2012 sampai dengan tanggal 16 Juni 2012. A. Pengkajian Klien bernama Tn. S, umur 65 tahun dan sudah menikah, klien beragama islam, bersuku melayu, pendidikan terakhir klien hanya tamatan SD saat ini klien bekerja sebagai seorang penorek karet, klien berasal dari desa Parid Rodi, Kec Bukit Batu Kab Bengkalis , pada tanggal 06 Juni 2012 klien masuk RSDS dengan no RM 757759 klien di rawat di ruang Bedah Umum Pria (C) dengan diagnose medis Fraktur Lumbal. 2. Riwayat Kesehatan Klien a. Kesehatan Masa Lalu Klien mengatakan ia belum pernah masuk Rumah Sakit, klien hanya menderita sakit seperti flu dan batuk saja dan hanya membeli obat di warung. b. Riwayat Kesehatan Sekarang 1) Alasan Masuk Rumah Sakit Dua puluh hari sebelum masuk rumah sakit RSUD Bengkalis klien mengalami kecelakaan di tempat kerjanya (kebun). Saat bekerja klien tertimpa dahan kayu yang jatuh dengan posisi membungkuk saat menoreh karet, dan beberapa saat setelah itu pada kedua kakinya terasa dingin dan tidak bisa di gerakkan, kondisinya klien saat itu lemah sehingga klien langsung dibawa ke puskesmas Sungai Pakning dan mendapat perawatan, karena fasilitas yang belum memadai di puskesmas Sungai Pakning pada tanggal 06 Juni 2012 klien dirujuk kerumah sakit RSUD Bengkalis dalam keadaan sadar penuh, nyeri pada daerah punggung, tampak jejas pada punggung bagian lumbalis dan klien mengatakan bagian kaki terasa dingin. 2) Keluhan Waktu Didata Pada waktu didata klien mengatakan nyeri pada saat klien: bergerak & diam, dengan kualitas nyeri terasa ditusuk-tusuk, klien mengatakan bagian belakangnya (lumbalis) terasa nyeri dengan skala 4-6 (sedang), dan nyeri nya terjadi secara terus menerus sehingga membuat klien sulit untuk tidur. Klien juga mengatakan hanya terbaring, aktivitasnya dibantu perawat dan keluarga, sudah 2 hari belum mandi dikarenakan keluarga klien tidak berani untuk menggerakan klien. 3. Riwayat Kesehatan Keluarga 1. Identitas Klien

Klien mengatakan didalam keluarganya tidak terdapat penyakit keturunan seperti hipertensi, diabetes melitus, atau asma serta tidak ada pula yang menderita penyakit menular seperti hepatitis, tbc, dan lain-lain. 4. Struktur Keluarga Dan Genogram

Keterangan :

: Laki-laki : Perempuan : Laki-laki meninggal dunia : Perempuan meninggal dunia : Klien : Tinggal serumah

5.

Data Biologis a. Pola Nutrisi Sebelum sakit : Klien makan 3x/ hari dengan menu bervariasi seperti nasi, sayur mayor dan lauk pauk. Klien tidak ada pantangan dan alergi terhadap makanan. Saat sakit : Klien makan 3 kali sehari dengan menu makanan yang disediakan oleh pihak rumah sakit, klien hanya mampu menghabiskan setengah porsi makanan yang disajikan. b. Pola Minum Sebelum sakit :Klien minum air putih 1000 1500 cc / hari. Kadang-kadang klien minum teh manis atau kopi. Saat sakit putih. : Klien minum 7- 8 gelas /hari Klien minum 1000-1500 cc/hari air

c.

Pola Eleminasi

Sebelum sakit : Klien BAK 3-5 kali atau 1200cc sehari dengan urin kuning jernih tanpa keluhan.

Klien BAB 1-2 kali sehari dengan konsistensi padat keluhan. Saat sakit yang keluar.

berwarna kuning dan tanpa

: Klien terpasang kateter, dan dalam 1 hari ada sekitar 1000cc urine

Klien BAB 1-2x sehari dengan konsistensi padat tetapi klien tidak bisa mengontrol pola BAB nya sehingga klien tidsak bisa merasakan adanya feses yang keluar,klien mengatakan klien juga tidak bisa menyadari pada saat BAB dan tidak bisa merasakan pada saat tinjanya keluar. d. Pola istirahat Tidur Sebelum sakit : Klien tidur + 7-8 jam/hari dengan penerangan yang cukup, menggunakan bantal, selimut pada malam hari dan jarang tidur pada siang hari. Saat sakit e. : Klien tidak bisa tidur, klien tidur malam hanya 2-3 jam dan tidak pernah tidur siang. Pola kebersihan Sebelum sakit : Klien mengatakan mandi 2-3 kali/hari dengan sabun dan shampo serta gosok gigi pada saat mandi, potong kuku jika panjang Saat sakit : Selama di rawat rumah sakit klien tidak pernah mandi, klien juga tidak pernah diseka oleh keluarganya karena ada cedera pada tulang belakangnya, kaki tangan dan badan klien tampak kotor. f. Pola aktifitas Klien hanya beraktifitas ditempat tidur, karena klien merasakan nyeri pada bagian belakangnya sehingga klien tidak dapat melakukan pergerakannya 6. Pemeriksaan Fisik a. Keadaan umum Saat dilakukan pemeriksaan fisik, keadaan umum klien tampak lemah, tampak mengatuk, hanya bisa beraktifitas di tempat tidur dan hanya miring kiri dan miring kanan. Saat dikaji kesadaran klien dalam keadaan kompos mentis , tekanan darah 100/60 mmHg dengan frekuensi nadi 89x/ menit dan frekuensi pernapasan 23x/menit sedangkan suhu tubuhnya 36,3C b. Kepala leher dan axila Kepala klien tampak simetris, rambut klien hitam dan agak panjang, leher tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening, tidak adanya lesi, di axilla tidak tampak lesi, tidak ada nyeri tekan dan tidak teraba masa. c. Mata

Mata klien tampak simetris, pupil klien isokor, konjungtiva tidak pucat, terdapat lingkaran hitam disekitar mata, klien tidak menggunakan alat bantu penglihatan, d. Telinga Telinga klien tampak simetris, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba masa dan tidak ada lesi, tidak ada gangguan pada fungsi pendengaran klien e. Hidung Hidung tampak simetris, mukosa hidung lembab, tidak tampak sekret, tidak ada gangguan pada fungsi penciuman klien f. Mulut dan pharing Mulut tampak simetris, mukosa bibir lembab, gigi klien masih lengkap, tidak ada gangguan reflek menelan, tidak ada pembesaran tonsil, ovula terlihat kemerahan. g. Dada 2) Thorak Saat dilakukan pengkajian Inspeksi bentuk thorak klien simetris, tidak terdapat lesi, tidak terdapat retraksi interkosta, pergerakan dada simetris, irama pergerakan reguler,dan ketika di raba tidak terdapat masa, tidak terdapat nyeri, ekspansi paru simetris, kemudian saat di auskultasi terdengar vesikuler di permukaan paru, tidak terdengar whezing dan ronchi. 3) Paru paru Saat di lakukan perkusi terdengar bunyi rensonan pada lapang paru dan ketika di auskultasi terdengar vesikuler di permukaan paru, tidak terdengar whezing dan ronchi. 4) Jantung Saat dilakukan inspeksi pada jantung tidak terlihat adanya iktus kordis pada ics 4 dan 5 dan teraba iktus kordis saat di palpasi, dsan ketika di perkusi terdengar dullnes pada daerah jantung, Pada pemeriksaan auskultasi terdengar bunyi S1 lub dan S2 dup, dan tidak terdengar bunyi tambahan. 5) Payudara Bentuk simetris, tidak tampak pembengkakan, tidak ada lesi, aerola berwarna kecoklatan. h. Abdomen Saat di inspeksi bentuk abdomen klien simetris tidak terdapat ascites, tidak terlihat lesi, terdengar bising usus 6x/menit saat di auskultasi, saat di perkusi terdengar

dullnes didaerah hati tidak ada hepatomegali dan splenomegali dan saat dipalpasi tidak teraba ginjal, tidak ada nyeri tekan dan nyeri lepas. i. Punggung. Saat diinspeksi pada tulang belakang daerah lumbalis tampak bengkok atau terjadi deformitas kearah luar pada lumbalis 4-5, terdapart pula massa atau benjolan, kemerahan. Saat di palpasi terdapat nyeri tekan, teraba benjolan kearah luar. Saat di tekan pada daerah fraktur klien tampak meringis. j. Genetalia dan rectum Saat di kaji klien terpasang kateter dengan ukuran 16 G, dengan urine yang tertampung di urine bag sebanyak 200 cc. k. Ekstremitas atas : kekuatan otot pada tangan kanan 5, di tandai dengan klien mampu melawan tahanan yang diberikan, begitu pula untuk tangan kiri klien kekuatan ototnya 5 walaupun pada tangan kiri klien terpasang infuse klien masih mampu melawan tahanan. bawah : kekuatan otot kaki kiri dan kaki kanan,kekuatan ototnya 0 karena kaki kiri dan kanan klien tak bisa digerakan dan tidak terdapat kontraksi otot, dan kaki kiri dankanan klien juga tidak bisa merasakan sensasi nyeri yang diberikan 5 0 7. a. b. 5 0 Data Psikologis status emosi: status emosi klien stabil di tandai dengan klien tampak tenang konsep diri : klien tidak malu dengan keadaanya sekarang dan tabah dalam menghadapi penyakitnya. Ideal diri : klien berharap penyakitnya cepat sembuh Identitas diri : klien merasa dirinya laki laki dan memiliki istri Peran diri : klien merasa bertanggung jawab sebagai suami c. d. e. gaya komunikasi ; gaya komunikasi yg klien gunakan terbuka menggunakan pola interaksi : interaksi klien dengan istri dan sahabt baik dibuktikan dengan pola koping : pola koping klien dan keluarga baik, apabila ada masalah klien bahasa melayu namun bercampur logat bahasa kapuas hulu adanya keluarga dan sahabatnya yang mengunjungi bermusyawarah dengan keluarganya.

8.

Data Sosial a. b. c. d. Pendidikan dan pekerjaan Hubungan sosial : hubungan sosial klien terhadap keluarga baik Faktor sosiokultural : didalam keluarga klien tidak ada tindakakn keperawatan Gaya hidup : klien tidak merokok dan tidak mengkonsumsi alkohol Pendidikan terakhir klien adalah SD sekarang klien bekerja sebagai penambang emas

yang betentangan dengan kebudayaannya 9. Pengetahuan Tentang Penyakit Klien mengatakan kurang paham dan bingung dengan penyakitnya dan tindakan yang mengharuskan klien tidur tanpa kasur. Keluarga sempat protes terhadap perlakuan terhadap klien yang terbaring tanpa kasur. 10. Data Spiritual Selama di RS klien tidak beribadah, klien hanya berdoa ditempat tidur. 11. Data Penunjang a. Hasil lab tanggal 14 juni 2012: GDS Ureum Kreatinin 99 39,7 0,7 mg/dl mg/dl mg/dl 55-150 10-50 0,6-1,3

b. Hasil pemeriksaan Radiologi Rontgen: dari hasil foto vertebra tampak deformitas pada lumba 4-5. 12. Pengobatan infus RL : 20 tpm Intravena : a. b. c. e. Ranitidine 2x 50mga Ondansentron 3x4 gram Kalnex 3250 mg Methyi prednisolon 2x1

d. Ketorolac 330mg

D. RENCANA KEPERAWATAN NO DX 1 DIAGNOSA KEPERAWATAN TUJUAN & KRITERIA Kaji nyeri yang dialami klien perubahan nyeri pada klien akan menetukan rencana lebih lanjut kaji faktor yang menurunkan ketakutan,keletihan,ketidaktahuan,mo toleransi nyeri noton,dan ketidakpercayaan orang lain sering menyebabkan penurunan toleransi terhadap nyeri,sehingga persepsi terhadap nyeri akan meningkat kurangi atau hilangkan faktor ketakutan,keletihan,ketidaktahuan,mo yang meningkatkan nyeri noton,dan ketidakpercayaan orang lain merupakan faktor yang dapat meningkatkan persepsi nyeri klien tidak meringis kesakitan lagi Pantau tanda- tanda vital Peningktan tanda-tanda vital seperti tekanan darah, nadi menandakan RENCANA INTERVENSI RASIONAL

HASIL Nyeri akut berhubungan Nyeri akut dapat dengan Terputusnya kontinuitas jaringan DS : berkurang setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam

tulang.ditandai dengan keperawatan Pada waktu didata dengan kriteria klien mengatakan nyeri shasil: pada saat klien:bergerak Ds: & diam dengan kualitas nyeri terasa ditusukbagian belakangnya dengan skala 4-6 terjadi secara terus menerus sehingga Do: klien mengatakan berkurang skala

tusuk,klien mengatakan nyerinya sudah (lumbalis) terasa nyeri (1-3) (sedang), dan nyeri nya

membuat klien sulit untuk tidur. DO : -

TTV dalam batas normal Ajarkan tekhnik distraksi dan TD: 120/ 80 mmHg relaksasi

peningkatan nyeri relaksasi dan distraksi merupakan metode nonfarmakologis yang mengubah proses fikir terhadap nyeri Analgetik berfungsi dalam Berikan obat Analgetik ketorolac menghambat impuls nyeri

Klien tampak meringis N: 80x/ menit saat bergerak dan diam, RR: 20x/ menit dan saat di tekan tulang S: 36,5 C belakangnya,

tekanan darah 100/60 mmHg dengan frekuensi nadi 89x/ menit dan frekuensi pernapasan 23x/menit sedangkan suhu tubuhnya 36,3c

Ada reaksi penolakan saat di tekan pada tulang belakang Hambatan mobilitas fisik berhubungan di tandai dengan :

Hambatan mobilitas fisik dilakukan tindakan

Kaji pola aktifitas klien

Dengan mengetahui pola aktifitas klien maka akan mengetahui seberapa mampu klien untuk beraktifitas. Mobilitas rentang gerak yang

dengan fraktur lumbalis teratasi setelah

DS : - Klien mengatakan hanya terbaring - Klien mengatakan aktivitasnya dibantu perawat dan keluarga DO : - Klien terlihat lemah dapat di gerakkan - Kebutuhan klien di bantu oleh keluarga dan perawat

keperawatan dengan kriteria hasil: DS Klien mengatakan bertambahnya tahan ekstremitas DO: Klien mampu melakukan

Tingkatkan mobilitas pergerakan sendi pasif mencegah komplikasi Anjurkan keluarga untuk memandikan klien dengan air

optimal Mencegah kekakuan pada sendi klien Mempermudah pasien untuk mandiri Air hangat akan memperlancar sirkulasi sehingga mencegah iskemi Mengawasi aktifitas klien agar klien tidak melakukan aktifitas yang Kemerahan dan teraba panas pada kulit menandakan area tesebut mengalami tekanan yang dapat menjadi dekubitus

selama 3x 24 jam ekstremitas atau Latih rentang

Posisikan tubuh sejajar untuk memenuhi kebutuhannya secara

- Kaki kanan klien tidak kekuatan dan daya hangat. dan bantu pasien jika di perlukan. Inspeksi kulit terutama yang bersentuhan dengan tempat tidur

Awasi seluruh upaya mobilitas dapat memperparah keadaannya.

- Klien hanya beraktifitasaktivitas secara di tempat tidur dan itu bertahap sesuai pun hanya berbaring - Kekuatan otot 5 5 toleransi

0 0 Inkontinensia defekasi Setelah dilakukan Kaji adanya gangguan pola

Gangguan pola eliminasi BAB

b/d Kerusakan saraf motorik bawah yg ditandai dengan Ds: Klien mengatakan tidak bisa mengatur BAB nya Klien mengatakan pada saat BAB tinjanya rasa mengeluarkanya. Klien mengatakan pada saat BAB. Do: Terlihat klien BAB dicelana dan klien tidak menyadarinya,

tindakan keperawatan selama 3x24 jam gangguan pola eliminasi (BAB) dapat ditoleransi klien dengan kriteria hasil Ds: Klien memberi keluarga kalau sedang BAB

eliminasi (BAB)

biasanya ditandai dengan ketidak tahuan klien kalau dirinya sedang BAB

observasi adanya feses di pampers klien Anjurkan kepada klien untuk memberi tahu perawat atau keluarga kalau terasa BAB

feses yang terlalu lama di pampers atau pengalas klien akan meningkatkan resiko lesi Agar perawat atau keluarga mengetahui dan segera mengganti pempers atau celana klien

keluar sendiri tanpa ada tahu perawat atau Anjurkan kepada keluarga untuk Agar bisa mengontrol adanya peses sering mengawasi klien Jelaskan kepada klien tentang yang tidak disadari klien Agar klien dan keluarga pola eliminasi yang dialami klien

dirinya tidak menyadari Do: Pampers celana klien diganti apabila klien BAB

atauadanya gangguan pola eliminasi mengetahui tentang adanya gangguan

pada tulang belakang daerah lumbalis tampak bengkok atau terjadi deformitas kearah luar pada lumbalis 4-5, terdapat pula massa atau benjolan, kemerahan. Klien mengalami kelumpuhan di bagian ekstremitas bawah. Klien tidak menyadari bahwa dirinya BAB

Defisit perawatan diri;mandi di tandai dengan: DS : - Klien mengatakan sudah 2 hari belum

Deficit perawatan diri mandi teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x30 menit

Kaji keadaan umm klien

Keadaan lemah mempengaruhi terhadap pemenuhan perawatan diri Perubahan pola pemenuhan

Kaji pola kebersihan klien Lakukan personal hygiene

kebersihan diri sering terjadi saat hospitalisasi Agar klien tampak bersih dan segar

mandi - Klien mengatakan susah untuk mandi DO : - Badan, kaki, tangan klien tampak kotor Klien tampak lemah

dengan kriteria hasil: DS: Klien mengatakan sudah mandi Klien mengatakan badannya terasa segar DO: Klien sudah tampak bersih

(mandi) pada klien Libatkan keluarga pada saat memandikan

Agar keluarga juga mengerti cara memandikan pasien yang benar

Defisiensi pengetahuan Pengetahuan klien Kaji tingkat pengetahuan klien Dengan mengetahui tingkat berhubungan Kurang informasi dengan: DS : Klien mengatakan denganbertambah ditandaikeperawatan dengan hasil: kriteriaklien Berikan penkes kepada klien setelah pengetahuan klien maka akan lebih mudah untuk menentukan cara yang tepat untuk penyampaian informasi mempengaruhi pengetahuan klien Meningkatkan pengetahuan klien terpajannyadilakukan tindakan

selama 1x 30 menit Kaji latar belakang pendidikan Tingkat pendidikan mempengaruhi

kurang faham dengan tindakan yang dilakukan terhadap dirinya yang harus terbaring tanpa kasur mengapa klien harus terbaring tanpa kasur

DS:

dan keluarga tentang

tentang pemahaman penyakit yang di

Klienpenyakit,proses pengobatan dan alaminya. mengatakan sudahdiit makanan yang dapat faham tindakan dirinya Evaluasi dari apa yang telah DO: disampaikan Klien dan keluarga sudah bingung lagi denganmempercepat penyembuhan yang Berikan kesempatan klien Untuk memperjelas apa yang belum dimengerti kliean dan keluarga Untuk mengetahui tngkat pemahaman klien tentang apa yang telah disampaikan

Keluarga bertanya, dillakukan terhadapuntuk bertanya

DO : Klien & keluarga kondisi klien yang terbaring tanpa kasur

tampak bingung dengan tampak tidak

E. CATATAN KEPERAWATAN No Dx 1. Tanggal & Waktu 14 Juni 2012 07.30 07.45 . 08.00 Catatan Tindakan Mengkaji nyeri yang dialami klien H : skala nyeri klien 4-6 ( sedang) Mengkaji faktor yang menurunkan toleransi nyeri H: pergerakan klien mempengaruhi tingkat nyeri klien Mengurangi atau menghilangkan faktor yang meningkatkan nyeri H: mengurangi atau meminimalkan pergerakan klien 08.15 08.30 Memantau tanda- tanda vital H: TD : 100/60 mmHg N : 89 x/m S : 36,3c RR : 23 x/m Melakukan pemasangan infus R: klien menerima tindakan keperawatan H: klien terpasang infus RL 20 tpm di tangan kirinya. 08.50 Mengkolaborasikan obat Analgetik ketorolac 30mg drip via infuse RL 500cc R: klien menerima tindakan keperawatan H: klien tidak meringis kesakitan lagi TTD

15 Juni 2012 07.30 07.45

Mengkaji ulang skala nyeri yang dialami klien H : skala nyeri klien 4-6 ( sedang) Mengajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi R: klien mau mengikuti apa yang di ajarkan perawat H: klien bisa mempraktekan apa yang di ajarkan perawat Memantau tanda- tanda vital

08.00

H:

08.15

TD : 110/60 mmHg N : 84 x/m S : 36,5 c RR : 22 x/m Memberikan obat Analgetik ketorolac 30 mg drip via infuse RL 500cc R: klien menerima tindakan keperawatan H: klien tidak meringis kesakitan lagi

16 Juni 2012 07.30 07.40 08.00 H: 08.15

Mengkaji ulang skala nyeri yang dialami klien H : skala nyeri klien 4-6 ( sedang) Menganjurkan klien untuk tidak banyak bergerak H: nyeri klien sedikit berkurang Memantau tanda- tanda vital TD : 100/60 mmHg N : 84 x/m S : 36,6 RR : 20 x/m Memberikan obat Analgetik ketorolac 30 mg drip via infuse RL 500cc R: klien menerima tindakan keperawatan H: klien tidak meringis kesakitan lagi

14 Juni 2012 08.30 08.40

Mengkaji pola aktifitas klien H: klien hanya tampak berbaring Tingkatkan mobilitas ekstremitas atau Latih rentang pergerakan sendi pasif R: klien mau mengikuti anjuran perawat

H: klien mau tangannya digerakkan oleh perawat

15 Juni 2012 08.30 08.45

menginspeksi kulit terutama yang bersentuhan dengan tempat tidur H: tidak ada tanda- tanda dekubitus Posisikan tubuh sejajar untuk mencegah komplikasi R: klien menerima tindakan perawat H: klien baring dalam posisi terlentang

16 Juni 2012 08.00

Menganjurkan keluarga untuk memandikan klien dengan air hangat. R: keluarga menerima anjuran perawat H: klien tampak bersih setelah setelah dimandikan

09.30

Mengawasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien jika di perlukan. H: pemenuhan kebutuhan klien dibantu keluarga dan perawat mengkaji adanya gangguan pola eliminasi (BAB) H: klien tidak bisa mengontrol BAB nya mengobservasi adanya feses di pampers klien H: terdapat feses di pempers klien

14 juni 2012 09.00 09.15

15 juni 2012 09.10

menganjurkan kepada klien untuk memberi tahu perawat atau keluarga kalau terasa BAB R:klien menerima anjuran perawat

09.20

Menganjurkan kepada keluarga untuk sering mengawasi klien R: klien mau menerima anjuran perawat

H: klien mengerti saran perawat 16 juni 2012 09.00 Menjelaskan kepada klien tentang adanya gangguan pola eliminasi. H: klien tau adanya gangguan eliminasi pada dirinya

14 Juni 2012 09.15 09.20

Mengkaji keadaan umm klien H: klien tampak lemah Mengkaji pola kebersihan klien H: klien belum mandi selama dirawat di rumah sakit

15 Juni 2012 09.30

Mengkaji ulang keadaan umum klien H: klien tampak lemah

09.45

Mengkaji ulang pola kebersihan klien H: klien belum mandi selama dirawat di rumah sakit

16 Juni 2012 09.15 09.20

Mengkaji ulang keadaan umum klien H: klien tampak lemah Mengkaji ulang pola kebersihan klien H: klien belum mandi selama dirawat di rumah sakit

09.30

Melakukan personal hygiene (mandi) pada klien R: klien mau dimandikan

H: klien tampak bersih 5 14 Juni 2012 10.00 Kaji tingkat pengetahuan klien H: klien tidak mengetahui peyakit yang di deritanya

10.15

Kaji latar belakang pendidikan klien H: klien hanya tamatan SD

15 Juni 2012 10.00

Kaji ulang tingkat pengetahuan klien H: klien tidak mengetahui peyakit yng di deritanya

10.15

Kaji ulang latar belakang pendidikan klien H: klien hanya tamatan SD

16 Juni 2012 10.30

Berikan penkes kepada klien dan keluarga tentang penyakit dan diit makanan yang dapat mempercepat penyembuhan R: klien tampak antusias dalam mendengarkan penkes H: klie mengerti tentang penyakit yang di deritanya Evaluasi dari apa yang telah disampaikan H: klien mengerti tentang materi yang telah di sampaikan

F. CATATAN PERKEMBANGAN No Dx 1 Tanggal & Waktu 14 Juni 2012 S : Klien mengatakan bagian belakangnya nyeri 13.10 O : Klien tampak meringgis saat bergerak dan diam TTV: Perkembangan ( S O A P) Nama & TTD Perawat

TD : 100/60 mmHg N : 89 x/m S : 36,3c RR : 23 x/m A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan tindakan keperawatan Kaji ulang skala nyeri yang dialami klien Ajarkan tekhnik distraksi dan relaksasi Berikan obat Analgetik ketorolac 30 mg drip via infuse RL 500cc Pantau tanda- tanda vital

15 Juni 2012 S : Klien mengatakan nyeri bagian belakangnya masih terasa 13.10 Skala nyeri (4-6) O : Klien masih tampak meringis TTV: TD : 110/60 mmHg N : 84 x/m S : 36,5 c RR : 22 x/m A : Masalah teratasi sebagian P : Lanjtkan intervensi Kaji ulang skala dan karakteristik nyeri klien pantau TTV Anjurkan klien untuk tidak banyak bergerak berikan obat analgetik ketorolac 30mg drip via infuse RL 500cc

S : Klien mengatakan nyeri di bagian belakangnya 16 Juni 2012 O : Klien masih tampak meringis saat bergerak dan diam 13.10 Skala nyeri (4-6) TTV: TD : 100/60 mmHg N : 84 x/m S : 36,6 RR : 20 x/m A : Masalah belum teratasi P : Lanjtkan intervensi Kaji skala dan karakteristik nyeri klien pantau TTV Ajarkan kembali tekhnik relaksasi berikan obat analgetik ketorolac 30mg drip via infuse RL 2 500cc 14 Juni 2012 S : Klien mengatakan hanya beraktifitas di tempat tidur 13.40 O : Klien tampak hanya beraktifitas di tempat tidur A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan Intervensi menginspeksi kulit terutama yang bersentuhan dengan tempat tidur Posisikan tubuh sejajar untuk mencegah komplikasi

15 Juni 2012 S : Klien mengatakan hanya beraktifitas di tempat tidur 13.40 O : Klien tampak hanya beraktifitas di tempat tidur A : Masalah belum teratasi P : lanjutkan tindakan keperawatan Awasi seluruh upaya mobilitas dan bantu pasien jika di perlukan. Anjurkan keluarga untuk memandikan klien dengan air hangat

16 Juni 2012 S : Klien mengatakan hanya beraktifitas di tempat tidur 13.40 O : Klien tampak hanya beraktifitas di tempat tidur A : Masalah belum teratasi P : lanjutkan tindakan keperawatan 3 tingkatkan kembali mobilitas dan pergerakan yang optimal. 14 Juni 2012 S: klien mengatakan tidak bisa mengontrol BAB nya 13.40 O: tampak feses di pempers klien A: masalah pola eliminasi belum teratasi P: lanjutkan intevensi menganjurkan kepada klien untuk memberi tahu perawat atau keluarga kalau terasa BAB Anjurkan kepada keluarga untuk sering mengawasi klien 15 Juni 2012 S: klien mengatakan masih tidak bisa mengontrol BAB nya 13.40 O: tampak feses di pempers klien A: masalah pola eliminasi belum teratasi P: lanjutkan intevensi: Jelaskan kepada klien tentang adanya gangguan pola eliminasi

16 Juni 2012 S: klien mengatakan masih belum bisa mengontrol pola BAB 13.40 nya O: klien tampak BAB dalam celana A: masalah pola eliminasi belum teratasi P: lanjutkan intevensi: Anjurkan kepada keluarga untuk sering mengawasi klien 4 14 Juni 2012 S : Klien mengatakan sudah 2 hari belum mandi 13.20 O : Badan, kaki dan tangan klien tampak kotor

A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan intervensi Kaji ulang keadaan umum klien Kaji ulang pola kebersihan klien Bantu klien memenuhi kebutuhan personal hygiene (mandi) 15 Juni 2012 S : Klien mengatakan sudah 3 hari belum mandi 13.20 O : Badan , kaki dan tangan klien tampak kotor A : Masalah teratasi sebagian P : lanjutkan intervensi Kaji ulang keadaan umum klien Kaji ulang pola kebersihan klien Bantu pemenuhan kebutuhan personal hygiene klien (mandi)

S : Klien mengatakan terasa segar setelah mandi O : Badan klien tampak bersih 16 Juni 2012 A : Masalah teratasi 13.20 P : hentikan tindakan

14 Juni 2012 S : Klien mengatakan kurang paham dengan penyakitnya 13.30 O : Klien tampak bingung A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan intervensi Berikan penyakitnya penkes kepada keluarga dan klien tentang

15 Juni 2012 S : Klien mengatakan kurang paham dengan penyakitnya

13.30

O : Klien tampak bingung A : Masalah belum teratasi P : Lanjutkan intervensi Berikan penkes kepada klien dan keluarga

16 Juni 2012 S : Klien mengatakan sudah paham dengan penyakitnya 13.30 O : Klien tidak tampak bingung A : Masalah kurang pengetahuan teratasi P : Hentikan tindakan keperawatan

BAB IV PEMBAHASAN Penulis dalam bab ini membahas tentang asuhan keperawatan yang telah diberikan kepada Tn.S dengan gangguan Sistem Muskuloskeletal ; Fraktur lumbal yang di rawat di ruang Bedah Umum Pria (C ) Rumah Sakit Umum Daerah Bengkalis. Pembahasan pada kasus ini adalah berdasarkan proses keperawatan yang meliputi pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi yang dikaitkan dengan landasan teoritis dan asuhan keperawatan yang nyata. Pelaksanaan dan pendekatan proses keperawatan ini dilaksanakan selama tiga hari mulai dari tanggal 14 Juni 2012 sampai dengan tanggal 16 Juni 2012, penulis berperan sebagai perawat pelaksana asuhan keperawatan tersebut yang bekerja sama dengan tim kesehatan lain. Selanjutnya akan diuraikan pembahasan kasus mengenai asuhan keperawatan yang telah diberikan pada klien.

A. Pengkajian Menurut Carpenito & Moyet, (2005) dalam Potter & Perry, (2009) Pengkajian adalah proses pengumpulan data secara sistematis yang bertujuan untuk menentukan status kesehatan dan fungsional klien pada saat ini dan waktu sebelumnya, serta untuk menentukan pola respons klien saat ini dan waktu sebelumnya. Pengkajian keperawatan meliputi dua tahap yaitu pengumpulan data/verifikasi data dan menganalisa data Pengkajian merupakan tahap awal dalam proses keperawatan yang mendasari pengkajian terhadap klien. Klien di pandang sebagai manusia yang utuh dan dari segi bio-psiko-sosio kultural- spritual yang apabila mengalami gangguan akan menyebabkan kondisi tidak seimbang dan memerlukan suatu adaptasi dalam melaksanakan pengkajian data di peroleh melalui wawancara langsung dengan klien dan keluarga, observasi atau mengamati langsung, pemeriksaan fisik, membaca hasil pemeriksaan penunjang catatan keperawatan dan catatan medis. Penulis mengumpulkan data berdasarkan dengan teori yang ada, untuk data dasar sebagian telah di dapat dari catatan keperawatan ataupun catatan medis. Adapun hal-hal yang perlu dikaji ulang sebelum melakukan wawancara penulis terlebih dahulu membina hubungan saling percaya dengan klien dan keluarga sehingga klien mengungkapkan masalah yang dirasakan, memberi jawaban atas pernyataan dan bertanya bila pertanyaan penulis belum dapat mengerti. Adapun hasil pengkajian yang penulis temukan pada Tn.S yang sesuai dengan konsep teoritis yaitu : klien sudah merasakan tanda dan gejala tejadinya fraktur lumbal seperti nyeri, kelemahan dan kelumpuhan ekstremitas, nyeri tekan otot, hiperestesia tepat di atas daerah trauma, dan deformitas pada daerah trauma. Awal mula kejadian nya adalah saat klien bekerja lalu tertimpa runtuhan tanah dengan posisi jongkok, dan beberapa saat setelah itu pada kedua kakinya terasa dingin dan tidak bisa di gerakkan, kondisinya klien saat itu lemah dan untuk keluhan di rumah sakit klien mengeluh nyeri pada bagian belakangnya, klien mengatakan hanya dapat berbaring ditempat tidur dan semua kebutuhannya dibantu oleh keluarga dan perawat, klien jga mengatakan sudah dua hari belum mandi. . Adapun data yang penulis temukan pada Tn.S namun tidak sesuai dengan sumber utama pada konsep teoritis adalah terjadinya inkontinensia alvi . Hal ini mungkin dikarenakan terjepitnya saraf pada lumbal IV dan V, dan masalah kurang

pengetahuan pada klien hal ini dimungkinkan karena klien belum pernah mendapatkan pendidikan kesehatan dari perawat ruangan. Kerjasama yang diberikan oleh klien dan keluarga klien memudahkan penulis dalam mengumpulkan data-data yang memungkinkan penulis untuk menetapkan asuhan keperawatan yang sesuai kepada Tn. S Sebelumnya penulis telah membina hubungan saling percaya dengan klien. Klien mau mengungkapkan masalah-masalah yang klien rasakan dan memberikan jawaban atas pertanyaan penulis. Adapun yang menjadi penghambat didalam melakukan pengkajian terhadap Tn. S yaitu tidak tersedianya hasil pemeriksaan penunjang radiologi seperti dilakukan pemeriksaan, C T klien. B. Diagnosa Keperawatan Menurut Carpenito & Moyet, (2005) dalam Potter & Perry, (2009) Diagnosis keperawatan dan masalah kolaborasi menggambarkan batas kondisi klien yang memerlukan asuhan keperawatan. Pada tahap ini penulis menganalisa dan mensintesis data yang telah dikelompokkan, kemudian penulis melakukan penilaian klinik tentang respon klien dan keluarga terhadap masalah kesehatan / proses kehidupan yang aktual dan resiko. Pada tinjauan teoritis terdapat 5 diagnosa keperawatan. Penulis menemukan 3 diagnosa keperawatan yang muncul pada Tn. S yang sesuai dengan sumber utama dalam perumusan diagnosa dan rencana keperawatan Menurut Arif Muttaqim, (2005, hlm. 1415) diagnosa keperawatan yang muncul pada trauma medulla spinalisadalah sebagai berikut: 1. 2. 3. Nyeri berhubungan dengan kompresi saraf, cedera neuromuskular, dan refleks spasme otot sekunder. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan neuromuscular Defisit perawatan diri;mandi . S c a n , MRI, Elektromiografi dan Pemeriksaan Hantaran Saraf Sehingga penulis mengalami kesulitan dalam melakukan penegakan diagnosa kepada

Tetapi di sini Penulis menemukan 2 diagnosa yang muncul dan tidak terdapat sumber utama dalam perumusan diagnose dan rencana keperawatan untuk sistem muskuloskeletal secara teoritis, namun penulis berinisiatif untuk mencari perumusan diagnose tersebut dengan sumber lain sehingga muncul suatu diagnosa seperti berikut menurut NANDA, (2011): 1. 2. Inkontinensia defekasi berhubungan dengan Kerusakan saraf motorik bawah Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan Kurang terpajannya informasi

C. Perencanaan Keperawatan Pada tahap perencanaan ini, penulis membuat prioritas urutan diagnosa keperawatan yang telah dibuat, kemudian penulis merumuskan tujuan dan kriteria hasil dengan jelas, dapat diukur, dapat dicapai, realistis dan penentuan waktu yang sesuai dengan tujuan sehingga memungkinkan dicapai oleh klien. Kemudian penulis mendesain intervensi dengan landasan teoritis yang penulis sesuaikan dengan kondisi dan penyakit klien. Adapun faktor pendukung yang penulis rasakan pada tahap ini adalah adanya persamaan antara diagnosa yang muncul dengan pedoman teoritis sehingga dalam penyusunan rencana keperawatan tersebut penulis hanya tinggal menyesuaikan perencanaan yang telah ada pada rencana keperawatan teoritis dengan kondisi pasien. Sedangkan untuk hambatan pada tahap ini tidak begitu dirasakan oleh penulis, karena dalam menyusun intervensi penulis memodifikasi berdasarkan teori lain dan disesuaikan dengan kondisi klien, serta sarana dan prasarana yang dimiliki rumah sakit. D. Pelaksanaan Keperawatan Pada tahap ini penulis dapat melaksanakan asuhan keperawatan pada klien sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat baik tindakan mandiri keperawatan maupun tindakan kolaboratif. Dalam hal ini penulis sebagai anggota tim keperawatan mengimplementasikan intervensi keperawatan dengan berlandaskan teori, baik secara mandiri maupun kolaboratif sesuai dengan penyakit yang diderita pasien dan kondisi pasien saat itu. Adapun faktor pendukung pada tahap ini adalah kerjasama yang baik dengan tim kesehatan lain dan partisipasi dan klien dan keluarga sehingga penulis dapat

melaksanakan rencana yang telah penulis buat dengan baik. Sedangkan untuk faktor penghambat pada tahap ini tidak ditemukan karena semua perencanaan yang telah dibuat telah dilaksanakan semuanya. E. Evaluasi Keperawatan Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah berhasil di capai. Adapun hasil dan pengevaluasian masing-masing diagnosa keperawatan yang terdapat pada Tn.S yaitu : 1. Nyeri;akut berhubungan dengan Terputusnya kontinuitas jaringan tulang. Masalah ini masih belum teratasi, karena masih belum sesuai dengan kriteria hasil yang tercantum dalam perencanaan keperawatan salah satunya adalah skala nyeri klien masih 4-6(sedang), dan klien masih tampak meringis kesakitan, saat ditekan tulang belakangnya jadi untuk menindak lanjuti masalah tersebut penulis mencoba untuk berkolaborasi dengan perawat ruangan dan dokter untuk melanjutkan semua intervensi yang telah di rencanakan sampai masalah tersebut berkurang bahkan hilang. 2. Hambatan mobilisasi fisik berhubungan dengan Fraktur lumbalis Masalah ini masih belum teratasi, karena masih belum sesuai dengan kriteria hasil yang tercantum dalam perencanaan keperawatan salah satunya adalah klien masih tampak lemah dan semua kebutuhan klien masih dibantu oleh perawat dan keluarga jadi untuk menyelesaikan masalah tersebut hendaknya intervensi yang telah penulis rencanakan bisa dapat dilakukan atau teruskan oleh perawat ruangan. 3. Inkontinensia defekasi berhubungan dengan Kerusakan saraf motorik bawah Masalah ini belum teratasi, karena belum sesuai dengan tujuan dan criteria hasil yang tercantum pada bagian perencanaan keperawatan, klien masih belum bisa untuk mengontrol pola BAB nya sehingga klien masih harus selalu di observasi untuk pola BAB nya. Jadi untuk solusinya di harapkan kepada perawat dan keluarga untuk selalu mengobservasi keadaan klien dan pola BAB nya. 4. Defisit perawatan diri;mandi berhubungan dengan Fraktur lumbalis Masalah ini menjadi masalah yang teratasi. Karena kondisi klien sudah tampak bersih dari sebelumnya dan sudah sesuai dengan criteria hasil.

5.

Kurang Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajannya informasi

Masalah ini menjadi masalah kedua yang berhasil setelah masalah defisit perawatan diri, karena setelah dilakukan tindakan pembelajaran klien dan keluarga mampu menjawab pertanyaan yang menjadi indikator pencapaian tingkat pemahaman sesuai dengan perencanaan yang telah dibuat. Dari kelima diagnosa diatas, baik yang teratasi sebagian maupun yang belum teratasi, penulis telah melakukan kolaborasi untuk melanjutkan asuhan keperawatan yang sesuai dengan permasalahan tersebut, serta melibatkan keluarga dalam perawatan.

Anda mungkin juga menyukai