Anda di halaman 1dari 7

NASIB BURUH DI PERSIMPANGAN JALAN

Mei 12, 2011 Industrialisasi Indonesia yang dibangun dengan canggung semakin menuai goncangan hebat ketika berhadapan dengan krisis ekonomi global 1997 lalu. Semenjak krisis ekonomi 1997 lalu negeri yang kaya akan sumber daya alam dan sumber daya manusia (tenaga produktif) ini terseok-seok tak mampu keluar dari krisis. Bahkan telah masuk begitu dalam dari cengkeraman neoliberalisme. Neolib masuk melalui agen-agennya baik global (IMF, World Bank dll) dan agen local (para birokrat dan komprador) dengan dalih dan bertindak sebagai penasehat atau dokter dengan suntikan-suntikan yang membunuh pelan-pelan rakyat negeri ini. Hingga jurang pemisah antara kelas tertindas dan penindas semakin besar, oleh karena dari akumulasi modal dan penghisapan yang didukung oleh budaya birokrat yang korup. Solusi keluar dari krisis yang dibisikan kapitalisme global bahwa jalan keluar dari krisis adalah pasar bebas dan dibukanya kran demokrasi (demokrasi liberal). Melalui agen lokalnya dengan mudah dibuat kebijakankebijakan politik (regulasi) untuk memuluskan tujuannya dalam mendapatkan tiga hal, yaitu sumber-sumber daya alam atau bahan mentah, tenaga produktif yang murah (buruh murah dan nurut) dan pasar atau konsumen. Mulai dari privatisasi baik perusahaan milik negara atau sumber-sumber alam (pertambangan, kelistrikan, telekomunikasi dll), pencabutan berbagai subsidi rakyat tetapi bankir bermasalah justru yang disubsidi dan sistem pertanahan, sistem ketenagakerjaan. Yang kesemuanya mengabdi pada kepentingan neoliberalisme dan membawa Indonesia pada posisi negeri yang terjajah atau masuk ke era penjajahan bentuk baru. Serangan pertama adalah membonceng melalui ruang politik yang dibuat seakan sudah demokratis. Karena krisis ekonomi Indonesia mampu dipakai untuk meruntuhkan rezim otoriter Suharto. Kebebasan berorganisasi, kebijakan kepartaian dirubah sampai pada kebijakan otonomi daerah atau desentralisasi. Di era Demokrasi Liberal, money politik sulit dielakkan maka kapitalisme global dengan mudah masuk lebih dalam sampai kesungsum tulang belakang negeri ini. Meskipun gelombang perlawanan rakyat dari berbagai sektor terjadi dimana-mana, ternyata belum mampu berbuat banyak, hegemoni politik orde baru masih membekas dan dominan. Sehingga rakyat yang terdidik, terorganisir dan terpimpin masih belum sebanding dengan besaran rakyat Indonesia yang berada dalam kebodohan. Juga yang berorganisasi dan berpolitikpun, mayoritas masih menganut paradigma orba, disamping yang mengaku progresif juga masih belum dapat bersatu atau terkotak-kotak. Akhirnya yang selalu dikorbankan adalah seluruh rakyat tertindas seperti buruh, tani, nelayan dan rakyat miskin dan tertindas lainnya baik

dalam kondisi sadar ataupun tidak sadar. Lengkaplah sudah penderitaan rakyat dalam cengkeraman penjajahan bentuk baru. Dari kondisi yang tidak menyenangkan seperti ini, pada akhirnya akan menimbulkan reaksi dan para pekerja. Salah satu bentuk reaksi itu adalah tumbuhnya serikat pekerja yang dilandasi oleh kesadaran bahwa apabila para pekerja berjuang sendiri-sendiri, maka akan berada pada posisi yang lemah. Sebaliknya apabila para pekerja berjuang bersama, para pemilik modal dan perusahaan terpaksa memberikan tanggapan. Sebab apabila tidak, para karyawan tidak akan melakukan tugasnya yang tentunya berakibat pada pemberhentian proses produksi yang pada gilirannya akan mendatangkan kerugian bagi perusahaan. Ada beberapa alasan yang bersifat ekonomi, psikologikal dan pragmatikal mengapa para pekerja berkeinginan untuk memperjuangkan kepentingannya dalam menghadapi manajemen perusahaan dengan menggunakan saluran organisasional yang dikenal dengan istilah Serikat Pekerja. Menurut Sondang P Siagian (1999: 336) alasan pekerja membentuk serikat pekerja adalah. 1. Hasrat untuk diakui, dalam arti bahwa dalam organisasi serikat pekerja ia mempunyai hak suara untuk turut menentukan nasibnya sendiri. 2. Melalui serikat pekerja, mereka mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk didengar pendapat dan masalahnya oleh manajemen. 3. Melalui berbagai kegiatan yang dilakukan serikat pekerja, para karyawan dapat meningkatkan pengetahuannya dalam berbagai bidang di luar tugasnya sehari-hari, seperti dibidang sosial dan politik yang meskipun tidak langsung mempengaruhi cara yang bersangkutan melaksanakan tugasnya, akan tetapi berpengaruh dalam perjalanan hidupnya. 4. Melalui serikat pekerja integritas kepribadian seseorang dirasakan mendapat pengakuan dan penghargaan yang wajar. Organisai buruh yang diijinkan berdiri pada zaman Orde Baru adalah Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). SPSI kemudian mendapatkan doktrin hubungan industri yang dikenal dengan Hubungan Perburuhan Pancasila (HPP) di mana Pancasila dan UUD 1945 sebagai asas dan dasar SPSI. Keberadaan SPSI merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru untuk mengendalikan para buruh melalui satu serikat buruh yang terkontrol. Sehingga para buruh tidak bisa dengan bebas bergerak dan serikat buruh independen tidak diakui keberadaannya dan tidak berkembang. Kini, rezim Orde Baru runtuh, kondisi yang memberikan harapan bagi pembangunan kembali gerakan buruh dengan serikat buruh sebagai kekuatannya. Berdirinya serikat-serikat buruh merupakan langkah positif untuk merubah bentuk serikat buruh yang semula berbentuk tunggal menjadi majemuk. Realitas tingginya angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sistem kerja kontrak, jaminan sosial tenaga kerja, upah, outsourcing, dan masalah lain manjadi masalah yang dihadapi oleh serikat buruh pasca jatuhnya kepemimpinan Soeharto. Dapat dikatakan bahwa persoalan yang dihadapi oleh kaum buruh merupakan belantara yang sangat kuat dan kompleks. Salah satu sendi dasar yang memungkinkan pihak negara dan pengusaha melakukan tindakan yang merendahkan martabat kemanusiaan buruh adalah lemahnya partisipasi buruh atau tidak terbangunnya suatu relasi produksi yang simetri. Yang sangat menonjol adalah suatu hubungan produksi di mana buruh lebih ditempatkan sebagai factor produksi yang

kedudukannya sederajat dengan mesin. Dalam hubungan tersebut, pihak pengusaha menjadi penentu utama. Sementara buruh menjadi penerima kebijakan tanpa pernah bisa melakukan negoisasi secara damai dan adil. Kondisi perburuhan Indonesia di era Global Labour Flexibility. Peran buruh dalam bidang ekonomi tidak dapat disangsikan lagi. Mereka sudah menjadi bagian mutlak dari aktivitas perekonomian. Bertrand Russel, filosof Barat, mengatakan bahwa pemilikan tanah dan modal (capital) tidak akan berarti tanpa buruh atau tenaga kerja (1988: 98). Mengenai hal ini, Muhaimin Iskandar menuliskan, Besarnya peranan buruh di bidang ekonomi ternyata tidak mencerminkan besarnya imbalan dan jaminan yang mereka dapatkan. Bahkan buruh selama ini selalu dalam posisi yang lemah dan rentan terhadap segala resiko, termasuk tidak terpenuhinya hak-hak dasar buruh. (M.Iskandar, 2001: 65) Masalah perburuhan dalam sejarah peradaban manusia merupakan persoalan yang sangat pelik dan cenderung konfliktual. Dalam konteks kekuasaan Orde Baru, di bawah rezim Soeharto, kaum buruh merupakan merupakan kuda tunggangan yang terus didera untuk memacu roda industry guna mencapai suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Maka, penelusuran kepada kehidupan buruh akan menemukan hari-hari panjang, dengan berat kerja yang tinggi, tiada perlindungan keamanan dan kesehatan yang memadai, sampai kepada upah yang belum menjawab kebutuhan riil buruh yang terus meningkat. Pada kondisi yang demikian, kaun buruh secara objektif terus berusaha mengadaptasi diri, baik dalam bentuk perjuangan untuk mengubah hubungan kerja yang ada, maupun melalui upaya-upaya individual dalam rangka mengatasi beban hidup yang makin berat. Kita bisa melihat dengan mata telanjang berbagai akibat sampingan dari sebuah pilihan kebijakan yang hanya mengacu pertumbuhan ekonomi pada tingkat tinggi terhadap nasib buruh yang semuanya itu lebih banyak menguntungkan sebagian kecil golongan dan mengorbankan kelompok besar. Strategi pembangunan yang hanya berorientasi pada pencapaian pertumbuhan tanpa disertai perhatian yang cukup terhadap berbagai persoalan elementer yang dihadapi kelompok marginal, kelompok buruh. Kebijakan di Orde Baru telah mengantarkan kita pada kesenjangan kesejagteraan antara kelompok masyarakat yang semakin menganga akibat dari kebijakan pembanguana yang tidak diukur sejajar dengan keberhasilan menciptakan kesempatan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Paket kebijakan perburuhan dibuat mulai dari UU No. 21 Tahun 2000 tentang serikat buruh, UU No. 13 Tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang PPHI justru telah menyebabkan berbagai masalah yang harus dihadapi kaum buruh. Pada awalnya perlawanannya kecil dan terkotak-kotak. Sebutlah UUK No. 13 sejak UU No. 25 Tahun 1997 (Binalindung) terakhir sampai disyahkannya UU no. 2 Tahun 2004 tentang PPHI perlawanan begitu masif. Sampai ketika kaum buruh lemah kehabisan tenaga, baru RUU-RUU tersebut dapat disyahkan. Paska diberlakukannya UUK No. 13 Tahun 2003 mulailah dirasakan secara langsung dan massif oleh kaum buruh Indonesia tentang fleksibilitas perburuhan. Meskipun sebelumnya ada pilot projek untuk menciptakan fleksibilitas ini melalui PERMEN tentang KKWT (Kesepatan kerja Waktu Tertentu). Juga untuk memudahkan perubahan status awalnya dibuatlah kebijakan melalui KEPMEN 150 tahun 2000 tentang

pesangon yang dibesarkan nilainya. Benarkah ini sebagai perlindungan? Kenyataannya paska itu adalah begitu marak PHK masal khususnya disektor TPT yang berbareng dengan isu quota. Namun intinya adalah berubahnya status kerja buruh dari permanent menjadi kontrak, dari pekerja formal menjadi informal. Dari yang ada perlindungan dan jaminannya menjadi tidak ada. Juga dalih relokasi selain mencari UMK yang rendah, agenda utamanya tetap perubahan status. Meskipun pada tahun-tahunterakhir begitu banyak pengusaha yang enggan bayar pesangon sesuai aturan yang akhirnya diakomodir dalam UUK, oleh karena buruh yang berubah statusnya menjadi kontrak menjadi signifikan jumlahnya. Juga dengan PHI, uji coba awalnya adalah dengan kriminalisasi dan viktimasis kasus perburuhan. Sebut saja kasus Sandal bolong Hamdani, Nagdinah dan Triyana di Tangerang yang dimasukan pengadilan dan di Bui. Dan kasus buruhburuh hotel Shangrila. Sekarang dengan status kontrak mayoritas buruh tentunya tidak mau pusing-pusing dalam mengajukan masalahnya ke lembaga Peradilan ini. System kerja kontrak dan outsourcing, jam kerja panjang ataupun skorsing waktu, hubungan kerja yang individual, buruh mudah dipecat dan digantikan yang kesemuanya sangat mempengaruhi terhadap posisi tawar buruh yang artinya pengusaha dapat meng-Upah rendah dan sulit untuk berserikat. Menghadang Penjajahan Bentuk Baru, Neoliberalisme? Refleksi atas kondisi organisasi. Merupakan tantangan yang sangat berat saat ini Serikat Buruh harus berhadapan system ketenagakerjaan yang fleksibel yang merupakan program dari neoliberlisme. Negara pun melepas tanggung jawabnya untuk melindungi buruh atau kita dilepaskan untuk menghadapi pasar bebas, bertarung dengan lawan yang tak seimbang (pengusaha). Dan dibukanya keran demokrasi liberal baik dalam berorganisasi, walaupun pada kenyataannya saling kontradiksi antar sistem fleksibilitas dan kebebasan berserikat. Juga peluang gesekan atau benturan antar serikat buruh yang terbuka. Hal tersebut semuanya semakin melemahkan buruh. Maka perlunya kita melakukan refleksi terhadap gerakan yang telah kita lakukan selama ini. Agar dapat menyusun kekuatan atas pengalaman proses selama ini, disesuaikan dengan kondisi obyektif yang didasari oleh kondisi subyektif kita. Apa saja yang harus kita refleksikan (Maruf, 2007) ;

Melihat kembali rumusan cita-cita perjuangan. Dalam AD/ART di setiap serikat buruh umumnya bertujuan untuk meraih kesejahteraan anggota dan keluarganya. Sudah saatnya cita-cita organisasi dirumuskan secara mendalam baik dari perdebatan mayoritas anggota disemua level, jangan lagi hanya didominasi oleh elitnya saja. Dan harus dibuat alur dan diurai secara tuntas dan jelas bagaimana cita-cita tersebut akan dapat dicapai termasuk kapan waktunya, atau bukan sekedar mimpi. Karena kaum buruh yang sampai saat ini ditindas juga bukan mimpi tetapi kenyataan pedih yang harus bergumul dengan kemiskinan dan kebodohan. Disini yang biasa disebut turunan dari idiologi buruh, diuraikan sesuai kondisi obyektif. Sebagai contoh, bagaimana menurunkan dalam bentuk rumusan cita-cita organisasi. Hampir semua serikat buruh bertujuan atau bercita-cita untuk mensejahterakan anggota dan keluarganya, tetapi apakah pernah dipikirkan bagaimana caranya? Benarkah serikat buruh dapat mewujudkan cita-cita kesejahteraan sejati. Dan kesejahteraan sejati itu apa? Apakah cukup dengan upah sesuai UMK atau diatas UMK. Jangan-jangan hanya karena menang dalam suatu tuntutan normatif dianggap suatu kemenangan besar. Hal ini harus dijadikan bahan diskusi dan perdebatan. Lalu ketika bicara tentang kesejahteraan sejati selalu berhadapan dengan system

ekonomi? Dan sistem ekonomi ditentukan oleh kekuasaan negara, yang merupakan hasil dari pertarungan partai-partai politik dalam suatu negara. Dan partai-partai politik dibentuk oleh kepentingan-kepentingan kelompok atau kelas. Kita bisa melihat kelas yang berkuasa saat ini di Indonesia. Mulai dari yang ada di parlemen dan pemerintahan, kita bisa chek berapa kekayaan mereka yang dilaporkan? Jelas mayoritas yang duduk di Parlemen dan Pemerintahan adalah orang-orang kaya atau bisa disebut kaum pemilik modal atau Pengusaha. Maka jelas kaum pemilik modal punya kepentingan untuk mempertahankan kekayaan melalui keuntungan yang di hisap dari rakyat baik melelui proses produksi ataupun korupsi. Jadi jelas kepentingan kelas pemilik modal dengan partai yang dibentuknya dan kekuasaan yang direbutnya. Sementara posisi serikat buruh atau ormas bukan alat untuk merebut kekuasaan. Maka harus dibuat trajektori atau tahapan-tahapan menuju pencapaian cita-cita agar dipahami oleh mayoritas anggota organisasi. Dan masing-masing anggota seharusnya juga mampu menjelaskan atau mampu menggabarkan cita-cita organisasinya termasuk kepada anggota keluarganya. Dengan demikian militansi atau keteguhan dalam perjuangan akan terjaga. Ideologi bukanlah hanya sekedar bahan bacaan atau teriakan yang menggebu-gebu tanpa ada praktek. Propaganda dan pendidikan. Bagaimana kita membahasakan Neoliberalisme sesuai dengan bahasa rakyat yang mendasar dan dialami langsung dalam keseharianya. Masalah-masalah yang ada harus menjadi bahan diskusi dan perdebatan tentang hubungan atau keterkaitan antara bagaimana dampak dan akar masalah, mulai tingkat basis lokal nasional sampai internasional. Termasuk masalah-masalah politik yang harus direspon baik itu disektor buruh maupun sektor lain. Bahan bacaan atau terbitan seperti buletin, selebaran, leaflet dapat dijadikan alat untuk berpropaganda bagaimana kita menjelaskan penjajahan bentuk baru oleh neoliberalisme. Juga contoh-contoh kemenangan kawan-kawan kita dibelahan dunia yang lain harus kita sampaikan dan menjadikan bahan pembelajaran bersama. Tentunya tidak harus menjiplak atau copy paste. Karena seperti kata pepatah lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikanya. Meskipun tentu banyak hal yang dapat kita jadikan referensi. Kemudian bagaimana pendidikan dirancang dan dilaksanakan. Tentunya ada rancangan yang maju baik levelan atau tingkatan termasuk bagaimana kurikulum pendidikan dibuat sesuai kebutuhan yang merupakan hasil dari analisa kondisi organisasi, kader dan karakter dari suatu masyarakatnya. Unsur-unsur yang mendukung dan akan memudahkan pemahaman serta memajukan seperti sosial budaya yang positif bagi gerakan sebaiknya juga dimasukkan. Program pendidikan harus dipersiapkan benar baik untuk memperkuat organisasi yang menjawab kebutuhan para kader penggerak organisasi dan bagaimana mempersiapkannya untuk memperluas struktur organisasi. Sampai pada tahapan penyiapan kader pada tahapan berikutnya (organisasi politik bila perlu). Maka perpaduan praktek dan teori sangatlah penting. Kaderisaisi. Perlunya mempersiapkan petugas dan kapasitasnya. Kekuatan personal ini harus dihitung, diidentifikasi, digali kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan disesuaikan dengan setrategi dan taktik dan program organisasi untuk mencapai tujuan atau cita-cita organisasi baik jangka pendek, menengah dan jangka panjang. Yang harus diperhatikan adalah 1). Jumlah penggerak organisasi Perlu ada perbandingan antara jumlah anggota dan kader. Sebaiknya jaraknya jangan terlalu jauh misalkan 1:10 (1 kader membawahi 10 anggota). 2). Sebaran kader atau penggerak organisasi, penempatan kader

disesuaikan dengan kebutuhan organisasi. Dalam targetan tertentu penugasan sebagai pengurus, perwakilan, organizer. 3). Bagaimana kapasitas dan pemahamannya terhadap organisasi secara menyeluruh. Tidak dapat dilepaskan dari manajemen organisasi. Pemahaman terhadap manajerial dalam mengelola sumber daya manusia dan sumber daya yang ada akan sangat menetukan kemajuan organisasi. Dalam hal ini kita dapat belajar didalam pabrik bagaimana sumberdaya manusia dan sumber daya yang ada diatur sedemikian rupa agar mendapatkan hasil produksi yang tinggi baik secara kuantitas maupun kualitas. 4). Kemudian bagaimana menjaga kader agar tigak tergelincir atau menjadi sesat seperti mayoritas serikat buruh saat ini. Tetap memegang prinsip dan citacita perjuangan, jangan hanya mementingkan karier politiknya atau mengikuti setting lawan (pengusaha) atau titipan penguasa. 5). Penugasan dan penempatan kader dilevel organisasi yang lebih tinggi, sekaligus memberi ruang pada kader-kader baru untuk dapat berpraktek dalam memimpin organisasi sesuai dengan kapasitas dan kebutuhan yang ada. Mekanisme organisasi. Bagaimana hubungan antara anggota dan pengurus, antar pengurus dan antar anggota. Aturan dalam pengambilam keputusan, rapat-rapat, keluar masuknya dana organisasi. Minimal harus ada arahan mulai dari garis komando, koordinasi dan dinamika organisasi yang baik diterapkan. Sebagai contoh bagaimana organisasi membuat keputusan juga mengatur wewenang, bagaimana batasan kekuasaan, jangan sampai ada kekuasaan tanpa batas, hingga orang/sekelompok yang punya posisi tertentu dapat semaunya memutuskan sesuatu. Serikat buruh bukan kerajaan, yang apapun kata ketua umum harus dipatuhi. Tetapi sebagai organisasi gerakan yang kepemimpinannya adalah kolektif atau bersandar pada perwakilan-perwakilan anggota atau kepentingan bersama guna mencapai tujuan menjadi kesatuan yang utuh. Karena serikat buruh adalah organisasi yang berdasarkan persatuan, mandiri dan demokratis maka semua aturan harus bersandar kesana. Pendanaan organisasi. Salah satu wujud kemandirian organisasi adalah iuran anggota. Iuran anggota sangat penting dalam menunjang kinerja dan program organisasi. Kita harus memulai menghitung besaran iuran sesuai kebutuhan organisasi. Maka perlunya ada program tentang kampanye iuran. Bagaimana melakukanya; 1). Sebaiknya iuran dihitung berdasarkan prosentase misalkan 1% dari Upah buruh. Bila terjadi kenaikan upah dengan sendirinya iuran akan naik. 2). Posting iuran dibagai berdasarkan kebutuhan organisasi dengan transparan. Misal 45% untuk operasional basis, 25% untuk federasi atau afiliasi, 15% untuk dana sosial, 15% untuk dana mogok. Jadi basis akan mengelola 75% dengan pembagian yang jelas. 3). Dibuat kejelasan baik ditingkat basis maupun federasi posting dari operasional tersebut 4). Laporan dapat dibuat secara periodik dan ada mekanisme yang mengatur kontrol atau meminta keterangan atas laporan kegiatan dan atau keuangan.

Dari refleksi di atas di harapka bisa menjadi factor pendorong Serikat buruh untuk, bergerak dan berjuang melawan neo kolonialisme dan neo liberalism yang semakin mencekik kaum buruh. Dan setelah melakukan refleksi dan kontenplasi, baru serikat buruh dapat melakukan :

penadataan dan menganalisa kekuatan Pemetaan Industri untuk memahami kondisi secara internal dan eksternal. Memanfaatkan data dan informasi dalam pengorganisiran. Pembangunan aliansi atau front dengan programatis ( Konfederasi Baru).

Membangun Aliansi sektoral yang kuat.

Kesejahteraan merupakan faktor yang sangat dominan dalam diri setiap manusia pun juga dengan buruh yang bekerja di suatu perusahaan, karena maju mundurnya suatu perusahaan sangat dipengaruhi pula oleh kesejahteraan buruh. Namun untuk mencapai kata sejahtera tidaklah mudah, harus disadari proses ini baru satu atau dua langkah dan masih ada seribu langkah kedepan. Juga cita-cita sederhana rakyat tertindas untuk mendapatkan kesejahteraan sejati kelas pekerja. Disadari sepenuhnya bahwa proses perjuangan ini tidak mudah penuh dengan tantangan baik dinamika dan dalektika diinternal maupun pengaruh-pengaruh eksternal yang siap menghantam kapanpun. Maka sebagai otokritik bersama haruslah dihindarkan pikiranpikiran kotor seperti subyektif, yang selama ini mendominasi penyakit gerakan kita. Karena sesungguhnya ada yang lebih penting yaitu kemenangan rakyat tertindas dalam mewujudkan kesejahteraan sejati. Maka gerakan buruh, gerakan rakyat haruslah terus tumbuh dan berkembang baik secara kuantitas dan kualitas, sampai dapat melenyapkan penindasan dari muka bumi.

Anda mungkin juga menyukai