N e w s l e t t e r
Vol.1Minggu372007
media@csrindonesia.com www.csrindonesia.com
DariRedaksi
Tampaknya sudah menjadi trend baru dalam setiap penyelenggaraan seminar seputar CSR perusahaan-perusahaan
memajang dokumen laporan berkelanjutan (sustainability report) yang menampilkan kinerja CSRnya. Laporan tersebut semoga bukan cuma menjadi souvenir, namun utamanya menjadi dokumen yang memperlihatkan akuntabilitas perusahaan terhadap publik.
Kalau kita membolak-balik berbagai laporan keberlanjutan yang sudah dituliskan, hampir tidak bisa ditemukan peta jalan menuju keberlanjutan, berbagai masukan pemangku kepentingan, tantangan-tantangan yang dihadapi oleh perusahaan, serta projek CSR mereka yang belum berhasil. Pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah dokumen ini hanya dibuat untuk semata membangun reputasi dan citra perusahaan? Ataukah memang perusahaan melakukan CSRnya untuk mendukung pencapaian pembangunan berkelanjutan? Editorial minggu ini, mungkin bisa menjadi bahan renungan untuk melihat kembali apakah dokumen keberlanjutan tersebut memang dapat teruji kesahihannya? Serupa dengan apa yang tertulis dalam editorial, publikasi A+ memuat tulisan Jalal yang mengajak perusahaan agar memandang dokumen tersebut sebagai bagian dari akuntabilitas publik. Ia juga menuliskan timbangan atas buku Reporting Nonfinancials karya Kaevan Gazdar (John Wiley and Sons, Ltd., 2007). Selain itu, masih banyak tulisan lain dan berita yang termuat di newsletter kali ini. Bagaimanapun, butuh proses untuk menyatakan bahwa sebuah dokumen laporan keberlanjutan layak untuk dipertanggungjawabkan kebenarannya. Terutama, dari para pemangku kepentingannya. Semoga dinamika pelaporan ini terus berkembang untuk semakin memperkokoh akuntabilitas, keberlanjutan, serta hubungan kemitraan tiga pihak antara pemerintah, swasta dan masyarakat. Selamat membaca.
TentangA+CSRIndonesia
A+ CSR Indonesia hadir sebagai social enterprise yang menghimpun berbagai keahlian profesional dalam isu-isu seputar CSR. Dengan keahlian itu, berbagai permasalahan yang ada dalam pelaksanaan CSR dapat diidentifikasikan dengan tepat dan peluang bagaimana melakukan perbaikan atasnya dapat direkomendasikan. Di sisi lain A+ juga menghimpun keahlian yang sama untuk memajukan konsep CSR yang substansial, agar khalayak dapat membedakannya dengan upaya menggunakan konsep tersebut untuk kepentingan di luar pembangunan berkelanjutan. A+ memang bertekad menjaga keseimbangan antara kritisisme terhadap kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dengan optimisme rasional untuk perbaikannya.
DaftarIsi
2 3-5 5 6 10 11 13
Editorial Dokumen Laporan Keberlanjutan bukan Sekadar Souvenir ........................................................................ Berita CSR..................................................................... Agenda. Publikasi A+ Tentang Laporan Keberlanjutan Perusahaan .............. DuhRamahnya Industri Rokok ................................ Artikel Pilihan CSR dalam Perspektif Ganda....................... Polutan Benzena Ancam Kesehatan Warga Kota Informasi Buku Tuntas Memahami Pelaporan Aspek Nonfinansial Perusahaan ...................................................................
15
A+CSRIndonesia
Redaksi
PamadiWibowo(pamadi.wibowo@gmail.com) Jalal(jalal.csri@gmail.com) TaufikRahman(rahman.taufik@gmail.com) IrpanKadir(irpan.kadir@gmail.com) RezaRamayana(reza.ramayana@gmail.com) EndroSampurna(endara.sampurna@gmail.com) Website&Publikasi(media@csrindonesia.com) RukanPermataSenayanNoA/6, Jl.TentaraPelajar,PatalSenayan,Jakarta12210 T:+622157940610F:+622157940611
Laporan
mereka untuk bertanggung jawab terhadap perubahan iklim dengan menyerap emisi karbon malahan luput dipublikasikan sebagai sesuatu yang utama. Hal-hal ini menunjukkan bahwa CSR belumlah dipahami sebagai upaya manajemen dampak yang terkait dengan bisnis inti. Dalam hal ini, diperlukan sebuah diskusi serius yang bisa diprakarsai oleh berbagai asosiasi sektor industri, seperti Indonesia Mining Association (IMA) untuk perusahaan tambang, dan asosiasi-asosiasi sejenis, untuk membuat standar substansi laporan kinerja sosial dan lingkungan dengan mengacu pada prinsip meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif dalam tiga ranah dari operasi masing-masing sektor industri. Dengan panduan standar pelaporan yang sesuai dengan bisnis inti, diharapkan laporan kinerja sosial dan lingkungan mampu menunjukkan pemahaman yang lebih baik terhadap keberlanjutan dan terus-menerus menunjukkan kemajuan di setiap tahunnya. Adalah wajar jika pemangku kepentingan berharap kejelasan tentang kinerja sosial dan lingkungan, sebagaimana harapan pemegang saham untuk kejelasan kinerja keuangan. Berkenaan dengan itu, tampaknya dokumen laporan keberlanjutan masih belum secara optimal disadari sebagai dokumen akuntabilitas terhadap pemangku kepentingan. Sangat sedikit perusahaan yang telah melakukan komunikasi dua arah untuk mendapatkan masukan bagi perbaikan kinerja sosial dan lingkungan dengan para pemangku kepentingan dalam membuat dokumen laporan yang dipublikasikannya. Dokumen itu, sekali lagi, masih lebih mirip sebagai sebuah souvenir yang dibagi-bagikan secara gratis dengan harapan ada timbal balik bagi citra perusahaan. Di tengah berbagai kemajuan yang ditunjukkan, kita terus berharap agar kedudukan laporan keberlanjutan sebagai sebuah alat pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan tidak luput atau bahkan hilang dari kesadaran.
BeritaCSR
to act on carbon storage, but have done little so far. New investments coming forward in this is pathetic, said Jonathon Porritt, who heads green lobby group Forum for the Future. The industry had better get serious about CCS...its critical for big oil companies to take a lead, he said at the conference. The UK government in its last budget launched a competitive process for various carbon capture and storage schemes. David Cairns, Scottish energy minister, told the conference, there were currently 6 bids in this competition and the possibility of a couple more. But Scotland's First Minister Alex Salmond said the timetable for this competition had slipped. There has been a disturbing lack of urgency, he told the conference. ExxonMobil, for long environmentalists least favorite oil company, is looking at the viability of geological carbon storage working with other companies and the European Union. This initiative...is working to advance carbon capture and storage technologies by studying current projects at sites throughout Europe, said Robert Olsen, chairman and production director at ExxonMobil. He said aside from the technological issues, carbon capture needed an appropriate legal and
regulatory framework to allow private sector participation. Governments also needed to be confident that it would work and be secure long-term. Another related issue is to how to establish the cost of carbon. The European Union is already operating a capand-trade system in an effort to control greenhouse gas emissions. Olsen said ExxonMobils European businesses had operated under the cap-and-trade system successfully, but noted that carbon prices had fluctuated widely between a high of 30 euros and a low of less than one euro a ton. He suggested an upstream cap-and-trade system that would limit carbon at the point where the fuel enters the commercial world rather than at the point of emission, offered potential advantages in terms of efficiency and simplicity. It reduces the number of regulated entities and provides a uniform cost of carbon to the entire economy. Alex Salmond met with EU Energy Commissioner Andris Piebalgs in the summer, and said Piebalgs is inviting a number of energy companies from the EU to Brussels in two weeks to discuss the financial framework for carbon capture and storage.
The new bottles for Coca-Cola, Diet Coke and Coke Zero, which also have ridges to make it easier to grip, will be available nationwide by early next year, the Atlanta-based drink maker said. The worlds largest beverage company has already lightened the weight of its Dasani water bottles. Rivals PepsiCo Inc and Nestle have done the same with their respective water brands Aquafina and Poland Spring. The announcement comes a day before Coca-Cola is slated to unveil other environmental initiatives. Last week the Wall Street Journal reported that Coke was
planning to build a plant that will be able to recycle as many as 2 billion 20-ounce bottles a year, but that Coke declined to say exactly where the plant would be or when it would open.The political and environmental opposition to the beverage industry, and bottled water in particular, has grown in recent months, with several US mayors taking action aimed at eliminating bottled water. Critics charge the beverage industry adds plastic to landfills and uses too much energy by producing and shipping bottles across the world. (Reporting by Martinne Geller)
InfoLayananA+
Agenda
PT. Bank Rakyat Indonesia, Tbk (Persero) dan Imago Communication menyelenggarakan Seminar Optimalisasi Pemanfaatan Corporate Social Responsibility di Lingkungan BUMN
Keynote Speaker
Dr. Sofyan A. Djalil ( Menteri Negara BUMN RI) Pembicara Emil Salim (Anggota Dewan Pertimbangan Presiden) Sofyan Basri (Direktur Utama BRI) Gunawan Sumodiningrat ( Direktur Jenderal Pemberdayaan Sosial, Depkes RI) Ismid Hadad (Ketua Perhimpunan Filantropi Indonesia) Eddie Widiono (Direktur Perusahaan Listrik Negara) Waktu Tempat Pendaftaran : Rabu, 12 September 2007, Pukul 08.0016.00 WIB : Grand Ball Room Hotel Mulia, Senayan Jakarta : Hubungi Vina, (021) 53555740 atau (021) 32084839
Penghargaan untuk perusahaan yang membuat laporan keberlanjutan kembali diberikan. Tanggal 6 September 2007, dalam kesempatan The 2nd Sustainable Enterprise Performance Conference, Towards a Sustainable Business, Ikatan Akuntansi Indonesia Kompartemen Akuntansi Manajemen dan Indonesia Netherlands Association (INA) memberikannya kepada perusahaan-perusahaan yang menjadi pelopor pelaporan aspek-aspek nonfinansial. Kabar gembiranya, semakin banyak perusahaan yang melakukannya. Kabar yang belum menggembirakan adalah bahwa jumlah perusahaan tersebut masih terlampau sedikit dibandingkan jumlah seluruh perusahaan yang ada di Indonesia. Juga, mutu laporan keberlanjutan itu masih sangat beragam.
Menyebut istilah laporan keberlanjutan sendiri sebetulnya problematik. Sudah menjadi hukum besi dalam komunikasi CSR bahwa klaim atas kinerja haruslah benar-benar didukung oleh kinerja yang sesungguhnya. Apabila tidak, maka perusahaan jatuh ke dalam aktivitas kamuflase hijau atau greenwash semata. Maka, laporan keberlanjutan haruslah benar-benar menunjukkan bahwa perusahaan yang melaporkannya diyakini telah berada pada kondisi keberlanjutan atau minimal telah berada di jalan yang tepat menuju ke kondisi tersebut. Tentu saja, untuk mengetahui apakah perusahaan telah sampai atau berada di jalan menuju keberlanjutan, diperlukan pemahaman atas apa yang dimaksud dengan perusahaan yang berkelanjutan itu.
Gambar. Unsur Keberlanjutan Perusahaan (Wilson, 2003)
Mel Wilson dalam tulisannya di Ivey Business Journal edisi Maret/April 2003 berjudul Corporate Sustainability: What is It and Where does It Come From? menjelaskan dengan sangat bernas pengertian keberlanjutan perusahaan. Menurutnya, ada empat konsep yang membangun keberlanjutan suatu perusahaan, yaitu pembangunan berkelanjutan, CSR, teori pemangku kepentingan, dan teori akuntabilitas perusahaan. Hanya perusahaan yang telah memenuhi berbagai kondisi yang dijelaskan oleh masing-masing konsep itulah yang bisa dikatakan telah menjadi perusahaan yang berkelanjutan. Konsep pembangunan berkelanjutan menjelaskan bahwa perusahaan adalah alat bagi manusia untuk mencapai tujuan bersama, yaitu keadilan intra dan antargenerasi dalam ranah ekonomi, sosial dan lingkungan. Kalau perusahaan masih timpang dalam memenuhinya, maka ia tidak dapat dikatakan telah memenuhi keseimbangan triple bottom line, dan kondisi ketimpangan hampir bisa dipastikan akan menghasilkan konflik. Konflik antara perusahaan dan masyarakat luas yang mendambakan keadilan dalam tiga ranah itu dipastikan akan membuat perusahaan dalam kondisi yang berisiko. Dalam kondisi demikian, tidak ada jaminan bahwa perusahaan bisa menjalankan usahanya dalam jangka panjang. Konsep CSR kemudian menjelaskan apa saja bentuk-bentuk tanggung jawab yang harus diemban oleh perusahaan dalam menjaga keseimbangan tiga ranah di atas, sementara teori pemangku kepentingan menjelaskan kepada siapa saja perusahaan harus bertanggung jawab. Teori akuntabilitas perusahaan menekankan kewajiban perusahaan untuk bertanggung jawab atas dampak tindakannya serta keharusan menjelaskan dan melaporkan apa yang sudah dilakukan. Dari penjelasan di atas, sangatlah jelas bahwa laporan keberlanjutan merupakan alat untuk memenuhi kewajiban perusahaan dalam melaporkan kinerjanya di tiga ranah. Kalau laporan kinerja keuangan (satu ranah) sudah menjadi praktik yang berlangsung cukup lama, laporan keberlanjutan (tiga ranah) ini masih berumur seumur jagung. Tidak mengherankan, karena dalam dunia bisnis, akuntabilitas terhadap pemilik modal mungkin sudah dikenal sejak awal bisnis berlangsung, sehingga melaporkan kinerja keuangan kepada mereka sudah menjadi standar berbisnis. Ketika perusahaan mengakui bahwa tanggung jawabnya tidaklah hanya kepada para pemilik modal, melainkan kepada seluruh pemangku kepentinganyang kepentingannya juga
lingkunganmaka
Satu hal yang penting diperhatikan ketika laporan perusahaan dibuat untuk kepentingan akuntabilitas kepada bermacam pemangku kepentingan adalah bahwa tidak seluruh kepentingan bisa dilayani dengan seimbang. Ada kalanya melayani satu kepentingan berarti mengorbankan yang lain, sebagaimana yang dilaporkan dalam artikel Toddi Steelman dan Jorge Rivera bertajuk Voluntary Environmental Programs in the United States, Whose Interests are Served? (Organization and Environment, Vol. 19/4, 2006). Walaupun analisis mereka terbatas pada aspek lingkungan dan di Amerika Serikat, kiranya keberlakuan kesimpulan mereka lebih luas daripada konteks tersebut. Bagaimanapun sangat terlihat dari laporan-laporan keberlanjutan yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan di Indonesia bahwa mereka masih jauh lebih fasih memaparkan ranah ekonomi dibandingkan dua ranah yang lain. Memang ada kemungkinan ketimpangan itu karena dua ranah lainnya baru saja masuk, namun kemungkinan bahwa ranah ekonomi masih menjadi pertimbangan utama dalam keputusan bisnis juga tak dapat diabaikan. Kalau ketimpangan dalam laporan keberlanjutan memang ternyata merupakan cerminan ketimpangan dalam keputusan-keputusan bisnis, maka bisakah kita tetap menyatakannya sebagai laporan keberlanjutan? Mungkin masih, kalau diyakini bahwa ada upaya keras dari manajemen perusahaan untuk meningkatkan keseimbangan dari waktu ke waktu. Hal itu berarti secara sungguh-sungguh meningkatkan kinerja sosial dan lingkungantanpa mengorbankan kinerja ekonomi yang sudah baik. Dalam hal ini sangat penting untuk memastikan bahwa perkembangan dari tahun ke tahun dari setiap ranah dapat diukur. Nyatanya, ada cukup banyak laporan keberlanjutan yang belum mencantumkan indikator-indikator kunci yang bermakna di setiap ranah dan tidak melaporkan perkembangannya dari tahun ke tahun. Laporan-laporan itu masih terlalu banyak memuat narasi yang sulit diverifikasi kebenaran dan perkembangannya. Tentu, laporan-laporan keberlanjutan yang cukup baik juga sudah tersedia. Misalnya, laporan keberlanjutan tahun 2006 dari RAPP pemenang kategori best social and environmental reporting dan best websitemencantumkan perkembangan dari tahun 2004 hingga pertengahan 2006 pada banyak indikator, yang memungkinkan pembacanya melihat adanya berbagai kemajuan dalam kinerja setiap ranah. Sebagai alat untuk memastikan akuntabilitas perusahaan, laporan-laporan keberlanjutan haruslah memastikan bahwa data yang tersedia di laporan benar-benar valid. Untuk itu, verifikasi kebenaran oleh pihak ketiga akan sangat dihargai oleh seluruh pemangku kepentingan. Laporan keberlanjutan pada dasarnya adalah sebuah self reporting atau pelaporan oleh pihak pertama, namun tidak menutup diri dari verifikasi oleh pihak kedua (misalnya
kesaksian dari pemangku kepentingan), serta pihak ketiga yang dipandang independen, kompeten dan kredibel. Dalam hal penggabungan tiga pendekatan, lagi-lagi penghargaan harus diberikan kepada laporan dari RAPP yang memuat komentar berbagai pemangku kepentingan sekaligus tanggapan RAPP atas komentar itu, selain verifikasi oleh Bureau Veritas. Laporan keberlanjutan KPCsang pemenang kategori best sustainability reportingmenggunakan verifikasi dari SGS, sementara kebanyakan laporan lainnya belumlah menggunakan verifikasi pihak ketiga. Laporan dengan verifikasi pihak ketiga sebetulnya juga belum bisa dianggap sempurna. Sebagaimana yang pernah ditunjukkan oleh studi-studi Luc Zandvliet dari Collaborative for Development Action, laporan yang sudah diverifikasi kebenarannya pun kerap tidak berbicara mengenai masalah-masalah yang substansial. Sebagai misal, kalau sebuah laporan menyatakan bahwa sebuah rumah sakit untuk masyarakat sudah dibangun dan itu dinyatakan terverifikasi, belumlah tentu kondisi kesehatan masyarakat setempat meningkat. Karenanya, pemilihan indikator yang tepat harus benar-benar dipikirkan. Kalau salah satu sasaran CSR adalah peningkatan kondisi kesehatan masyarakat, pembangunan infrastrukur rumah sakit atau puskesmas belumlah bisa memastikan itu. Hanya pengukuran kondisi kesehatan masyarakat dalam wilayah dampak dari tahun ke tahun yang akan menunjukkan kinerja sesungguhnya dari kegiatan itu. Kalau indikator yang kuat tidak bisa dibuat, dipantau dan dilaporkan terus-menerus, maka dikhawatirkan laporan keberlanjutan hanya berisikan retorika yang kosong. David Crowther menuliskan kritik itu dalam A Social Critique of Corporate Reporting (Ashgate, 2002). Kecenderungan tersebut muncul pada perusahaanperusahaan yang sebetulnya tidak memiliki kinerja yang solid. Crowther membuktikan bahwa perusahaan yang berkinerja kuat sesungguhnya tidak mengorbankan salah satu atau lebih ranah untuk peningkatan kinerja ranah yang lain. Peningkatan kinerja pada ranah sosial, misalnya, tidak perlu mengorbankan kinerja ranah lingkungan dan atau ekonomi. Dengan demikian, kesimpulan Steelman dan Rivera di atas sebetulnya hanya berlaku di perusahaan-perusahaan yang belum cukup mengintegrasikan konsep triple bottom line. Dengan kekhawatiran bahwa laporan-laporan keberlanjutan hanyalah berisi retorika tanpa substansi yang memadaiselain beberapa alasan lainnya berbagai pemerintahan di negara maju telah mewajibkan laporan keberlanjutan dengan daftar isi yang tegas, kewenangan untuk memeriksa kebenaran laporan dan ketetapan sanksi kepada perusahaan yang melakukan pembohongan kepada publik dalam laporannya. Dalam catatan Daniel Tschopp, Perancis adalah negara pertama yang mewajibkan hal tersebut di bulan Mei 2001, kemudian inisiatif itu disusul oleh Spanyol, Italia,
Jerman, Swedia dan Inggris (lih. Tschopp, D. 2005. Corporate Social Responsibility: A Comparison between the United States and the European Union. Corporate Social Responsibility and Environmental Management, Vol. 12). Kecenderungan-kecenderungan Eropa yang lebih progresif itu tampaknya belum akan diikuti oleh Amerika Serikat. Tulisan Linda Rodriguez dan Jane LeMaster di Business and Society, Vol. 46/3, September 2007 yang berjudul Voluntary Corporate Social Responsibility Disclosure menentang upaya US Securities and Exchange Commission (SEC) yang sedang mempertimbangkan untuk mewajibkan laporan keberlanjutan, sebagaimana negara-negara Eropa. Kalau akademisi sajayang biasanya lebih progresif dibandingkan pemerintah menentang kewajiban pelaporan, maka kemungkinan kita melihat adanya pewajiban laporan keberlanjutan di Amerika Serikat memang masih kecil.
Kembali ke fungsi sebagai alat akuntabilitas, tentu saja laporan keberlanjutan tidak boleh dibuat untuk dijadikan pajangan belaka. Laporan harus diinformasikan kandungannya kepada seluruh pemangku kepentingan, untuk mendapatkan masukan dari mereka. Perusahaan kemudian harus mengintegrasikan seluruh masukan mereka ke dalam keputusan manajemen yang terbaik, dan kemudian kembali melaporkan perbaikan-perbaikan yang dilakukan kepada mereka pada laporan periode berikutnya. Hanya dengan demikian saja laporan keberlanjutan dijamin memang mencerminkan akuntabilitas perusahaan kepada seluruh pemangku kepentingan. Pertanyaan pentingnya: apakah perusahaan pembuat laporan keberlanjutan di Indonesiatermasuk mereka yang telah diberi penghargaan pada tanggal 6 September 2007telah melakukan hal tersebut? Semoga sudah.
tidak sedikit kalangan pengamat CSR yang mengategorikannya sebagai produk berbahaya masuk ke dalam harmfull industries yang dianggap legal, setara dengan miras, judi dan senjatatampil sedemikian elegan. Industri rokok memang sudah lama menjadi sponsor untuk berbagai event yang sama sekali bertentangan dengan kebiasaan merokok, seperti turnamen sepak bola, kejuaraan bulu tangkis, dan bahkan tidak sedikit menjadi sponsor utama untuk acara-acara keagamaan. Padahal, olahraga adalah upaya untuk meningkatkan kesehatan yang kerap disejajarkan dengan upaya menghindari rokok, sementara majoritas norma agama menganjurkan agar tidak merokok. Event lain yang banyak disponsori industri rokok adalah pagelaran seni. Bahkan sebuah industri rokok secara rutin menyelenggarakan konser musik tahunan dengan tur berkeliling ke sejumlah kota-kota besar di Indonesia. Sekali lagi, pesannya pun dikemas sedemikian indah dan menyentuh sisi yang sangat positif, seperti ungkapan Tur musik demi perubahan. Hampir dalam semua kegiatan yang disponsori industri rokok, dengan publikasi yang gedegedean dan nyaris menggunakan semua media publikasi, mulai dari televisi, radio, baliho, dan bahkan sampai dengan poster-poster yang ditempel di berbagai tempat. Juga, selalu mengutamakan pesan utama yang sepertinya tidak ada hubungannya dengan bahaya merokok. Sesungguhnya baik pesan yang menunjukkan kepedulian pada penderitaan sosial, kesehatan, menjadi sahabat di saat duka dan menjadi teman yang paling pas di kala suka, dengan sangat mudah
dipastikan bahwa itu semua merupakan strategi pemasaran. Bertambahnya jumlah pecandu perokok adalah tujuan utama dari kegiatan ini. Padahal, para dokter punya banyak daftar nama penyakit yang bakal diderita orang yang kecanduan rokok. Bahkan dalam setiap kemasan bungkus rokok, dicantumkan peringatan: Merokok dapat menyebabkan serangan jantung, impotensi dan gangguan kehamilan dan janin. Bahkan dalam kemasan rokok produk luar negeri, banyak mencantumkan hal yang lebih dahsyat lagi, seperti kalimat: Perokok akan mati muda! atau Smoking Kills dengan huruf yang sangat besar dan mencolok dalam kemasannya. Di berbagai negara, ada ketentuan mencantumkan statistik orang yang meninggal karena rokok di kemasan-kemasannya. Ada pula yang mengharuskan pencantuman gambar tenggorokan dan paru-paru yang terkena kanker karena konsumsi rokok. Kembali ke pertanyaan pokok mengenai rumusan tanggung jawab sosial industri rokok. Dampak terdekat dari kehadiran dan penggunaan produk rokok adalah soal kesehatan. Oleh karena itu seharusnya industri rokok banyak memprakarsai meminimumkan dampak negatif ini dibandingkan dengan jorjoran memberikan sumbangsih bagi kegiatan hiburan dan mempublikasikan kegiatan solidaritas sosial. Selain harus tetap mencantumkan bahaya kesehatan dari merokok dalam setiap kemasan, dianjurkan industri rokok juga memprakarsai layanan kesehatan untuk berbagai penyakit yang diakibatkan oleh kecanduan rokok. Demikian pula hanya dengan produk rokoknya sendiri. Dalam rangka menghindari dampak buruk bagi kesehatan, produk rokok selain mengedepankan soal cita rasa, sebaiknya juga menginformasikan kandungan dan batas toleransi racun dan tata cara merokok yang mungkin bisa meminimalisasi dampak negatif bagi kesehatan bagi konsumennya. Secara sosial, aktivitas merokok di ruang publik juga banyak dikeluhkan. Oleh karena itu, industri rokok juga seharusnya berperan aktif untuk menyosialisasikan larangan
merokok di ruang publik dan membangun saranasarana smoking area. Dari sisi penonjolan kemewahan dan kebanggaan merokok, iklan rokok sudah sangat berhasil. Namun dari sisi pendidikan untuk perokok tentang bagaimana sebaiknya merokok dengan santun, hingga kini tak ada satu pun industri rokok yang mulai memrakarsainya. Dalam soal supply chain, industri rokok merupakan salah satu industri yang memiliki mata rantai keterlibatan pelaku bisnis yang sangat panjang. Sejak petani tembakau dan cengkih sampai dengan penjaja rokok di pinggir jalan. Pertanyaan penting yang harus diajukan adalah: apa yang dilakukan oleh industri rokok untuk meningkatkan kehidupan merka yang terlibat di dalamnya? Apakah pembagian keuntungan yang relatif adil sudah terjadi, ataukah ketimpangan pendapatan yang menjadi ciri pelaku industri ini? Demikian pula halnya dengan soal transparensi pembayaran cukai rokok yang lumayan sangat besar. Deretan pertanyaan penting diajukan: Apakah pembayaran cukai itu sudah sesuai ketentuan?; Apakah harga cukai itu sudah menunjukkan internalisasi eksternalitas?; Apakah Pemerintah telah memanfaatkan pendapatan dari cukai rokok untuk halhal yang bisa menekan dampak negatif industri ini, dan kalau belum, apa yang harus dilakukan perusahaan? Pola hubungan bisnis yang jujur dan transparen dengan seluruh pemangku kepentingan sangatlah krusial untuk mendapatkan perhatian yang mendalam. Dengan memfokuskan diri pada upaya meminimumkan dampak negatif yang dirumuskan dari bisnis intialias menjalankan tanggung jawab sosial perusahaannya yang utamaindustri rokok tidak akan dituduh sekadar berlindung di balik keanggunan kemasan publikasi sumbangsih sosial industri rokok. Masyarakat tidak boleh melupakan bahwa urusan utama industri rokok adalah turut bertanggung jawab pada pemeliharaan kesehatan banyak orang, baru kemudian melangkah ke hal-hal lain.
Undang-Undang Perseroan Terbatas mewajibkan perusahaan yang berbasis sumberdaya alam menyisihkan anggaran untuk tanggung jawab sosial perusahaan dan lingkungan. Maksud munculnya ketentuan ini tentu dilandasi oleh keinginan yang mulia. Tetapi antara niat, aturan dan pelaksanaan di lapangan acap berbeda. Perdebatan banyak terjadi di seputar CSR yang seharusnya berlandaskan kerelaan, tetapi menjadi kewajiban. Tetapi karena sudah menjadi UU, yang bisa dilakukan adalah justru bagaimana merumuskan dalam peraturan pemerintah yang akan menjadi juklaknya.
Tanggung jawab sosial perusahaan yang populer dengan sebutan corporate social responsibility (CSR) telah mengalami perkembangan yang sangat pesat, dengan definsi yang makin luas, jauh lebih luas dari pada, misalnya, yang didefinisikan Maignan dan Ferrell "A business acts in socially responsible manner when its decision and account for and balance diverse stakeholder interest." Komisi Eropa membuat definisi yang lebih praktis, yang pada galibnya bagaimana perusahaan secara sukarela memberi kontribusi bagi terbentuknya masyarakat yang lebih baik dan lingkungan yang lebih bersih. Ujung-ujungnya adalah tiga pilar utama: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Lebih tegas dikatakan CSR adalah semacam 'lisensi' bagi perusahaan untuk beroperasi. Tanggung jawab sosial ini diarahkan baik ke dalam (internal) maupun ke luar (eksternal) perusahaan. Ke dalam, tanggung jawab ini diarahkan kepada pemegang saham dalam bentuk profitabilitas dan pertumbuhan. Keluar, tanggung jawab sosial ini berkaitan dengan peran perusahaan sebagai pembayar pajak dan penyedia lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kompetensi masyarakat, serta memelihara lingkungan bagi kepentingan generasi mendatang. Apa yang diungkapkan Carroll mungkin dapat lebih memperjelas betapa luasnya makna CSR. Carroll menggambarkan CSR sebagai sebuah piramida, yang tersusun dari tanggung jawab ekonomi sebagai landasannya, kemudian tanggung jawab hukum, lantas tanggung jawab etik, dan tanggung jawab filantropis berada di puncak piramida. Tanggung jawab ekonomi adalah memperoleh laba, sebuah tanggung jawab agar dapat menghidupi
karyawan, membayar pajak dan kewajiban perusahaan yang lainnya. Tanpa laba perusahaan tidak akan eksis, tidak dapat memberi kontribusi apapun terhadap masyarakat. Kemudian sebagai perwujudan dari tanggung jawab sosial perusahaan di bidang hukum perusahaan mesti mematuhi hukum yang berlaku sebagai representasi dari rule of the game. Berikutnya, tanggung jawab sosial juga harus tercermin dari perilaku etis perusahaan, dan pemuncaknya adalah tanggung jawab filantropis, yang mengharuskan perusahaan untuk berkontribusi terhadap komunitasnya: meningkatkan kualitas hidup! Arti CSR yang dikatakan Elkington mencakup tiga P (people, planet, profit), jika dibandingkan dengan katakata ayat 1 pasal 74 UU PT yang berbunyi Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumberdaya alam wajib melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan, tentu amat sulit untuk disandingkan. Jika memakai berbagai definisi di atas, CSR bukan hanya kewajiban perusahaan yang berbasis sumberdaya alam belaka, tetapi semua perusahaan. Tampaknya semangat yang ditiupkan oleh pasal ini lebih kepada dimensi filantropi ini. Artinya, CSR yang dalam dimensi filantropi yang biasanya bersifat kerelaan, dijadikan sebuah keharusan bagi perusahan yang berbasis sumberdaya alam. Penjabarannya mungkin lebih mengarah kepada community development yang tersirat dari judulnya tanggung jawab sosial dan lingkungan dan mengaitkannya dengan perusahaan berbasis sumberdaya alam. Dalam program community development telah terjadi pergeseran paradigma dalam pengembangan komunitas dari yang semula hanya bersifat ad hoc, pendekatan amal, berorientasi jangka pendek, kesadaran yang rendah, dan externally driven menjadi bersifat kemitraan, lebih dirasakan sebagai kewajiban moral, berorientasi kepada etika dan internally driven. Perspektif Perusahaan Riset yang dilakukan oleh Roper Search Worldwide menunjukkan 75% responden memberi nilai lebih kepada produk dan jasa yang dipasarkan oleh perusahaan yang memberi kontribusi nyata kepada komunitas melalui program pengembangan. Sekitar 66% responden juga menunjukkan mereka siap berganti merek kepada merek perusahaan yang
11
memiliki citra sosial yang positif. Hal ini membuktikan terjadinya perluasan minat konsumen dari produk menuju korporat. Konsumen semacam ini tidak hanya peduli pada faktor pemenuhan kebutuhan pribadi sesaat saja, tetapi juga peduli pada penciptaan kesejahteraan jangka panjang. Meningkatnya tingkat kepedulian akan kualitas kehidupan, harmonisasi sosial dan lingkungan ini juga memengaruhi aktivitas dunia bisnis. Maka lahirlah gugatan terhadap peran perusahaan agar mempunyai tanggung jawab sosial. Di sinilah salah satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR. CSR dapat mengimbangi exposure terhadap sisi negatif perusahaan dan mengurangi dampak terhadap tindakan yang tidak menyenangkan. Misalnya, jika suatu saat perusahaan menghadapi krisis. Aktivitas CSR yang efektif akan menumbuhkan kepercayaan masyarakat kepada perusahaan. Ketika perusahaan diterpa kabar miring, masyarakat tidak
langsung percaya. satu manfaat yang dapat dipetik perusahaan dari kegiatan CSR. Perspektif Ganda Dalam perspektif ganda, keberadaan perusahaan diharapkan dapat memacu derak roda perekonomian, yang membawa komunitas menuju taraf hidup yang lebih tinggi. Dengan demikian harus ada keseimbangan manfaat komunitas (community benefits) dengan manfaat bisnis (business benefits), yang dapat diperoleh dari percampuran antara filantropi murni dan pendekatan business sponsorship approach yang melahirkan strategic philanthropy. Bahkan bila perlu diberikan insentif khusus bagi perusahaan yang konsisten menerapkan CSR atau community development secara efektif serta terbukti berhasil meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan lingkungan sekitarnya, sehingga ada keseimbangan antara punishment berupa sanksi dan reward berupa insentif (misalnya keringanan pajak).
Selama ini sudah banyak studi tentang kualitas udara di DKI Jakarta serta wilayah lainnya di Indonesia dengan menggunakan beberapa parameter polutan yaitu Oksida Nitrogen (NOx), Sulfur dioksida (SO2), partikulat halus yang diameternya berukuran kurang dari 10 m (PM10), dan ozon (O3). Namun, belum banyak studi yang dilakukan di Indonesia terhadap polutan Benzena. Padahal Benzena merupakan salah satu komponen pencemar udara yang dihasilkan dalam BBM dan diemisikan dalam gas buang kendaraan bermotor yang dapat memberikan efek buruk terhadap kesehatan, diantaranya adalah leukimia dan penyakit Kanker.
Sumber antropogenik Benzena berasal dari gas buang kendaraan bermotor, stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), dan buangan dari industri. Benzena juga dihasilkan dalam pembakaran tungku batu bara, asap rokok dan asap dari proses pembakaran lainnya (WHO, 1996). Celakanya potensi polusi udara dari jenis polutan Benzena justru diperkirakan akan meningkat pasca munculnya kebijakan penghapusan bensin tanpa timbal. Dampak kesehatan akibat paparan Benzena berupa depresi pada sistim saraf pusat hingga kematian. Paparan Benzena antara 50150 ppm dapat menyebabkan sakit kepala, kelesuan dan perasaan mengantuk. Konsentrasi Benzena yang lebih tinggi dapat menyebabkan efek yang lebih parah, termasuk vertigo dan kehilangan kesadaran. Paparan sebesar 20.000 ppm selama 5 10 menit bersifat fatal dan
paparan sebesar 7.500 ppm dapat menyebabkan keracunan jika terhirup selama 0,5 1 jam. Dampak yang ringan dapat berupa euforia, sakit kepala, muntah, gaya berjalan terhuyung-huyung, dan pingsan. Penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Resiko dan Keselamatan Lingkungan (Puska RKL) UI pada tahun 2006 yang lalu menyebutkan bahwa petugas SPBU, pedagang jalanan (asongan) dan sopir angkutan umum pada lima wilayah di Jakarta ternyata telah terpapar Benzena. Dari ketiga kelompok masyarakat tersebut di atas pedagang asongan mengalami paparan Benzena dengan konsentrasi tertinggi dibandingkan kelompok masyarakat lainnya. Fakta ini sekaligus mengindikasikan bahwa emisi kendaraan bermotor sebagai penyebab utama paparan Benzena di Jakarta. Ancaman polutan Benzena terhadap kesehatan warga Jakarta semakin nyata karena sampai saat ini batasan kandungan Benzena tidak diatur secara jelas dalam Keputusan Direktur Minyak dan Gas Bumi Nomor 3674 K/24/DJM/2006 tentang spesifikasi Bahan Bakar Bensin (Indonesian Fuel Quality Report 2006). Padahal di negara lain seperti Thailand, Filipina, Cina, Sri Lanka, Hongkong dan Malaysia kandungan Benzena maksimum dalam bensin tidak boleh lebih dari 5 persen. Padahal berdasarkan Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor 01/MEN/1997 mengenai Nilai Ambang Batas Bahan-Bahan Kimia, nilai ambang batas paparan benzena di tempat kerja adalah sebesar 10 ppm. Di tingkat internasional seperti
12
di Amerika, ACGIH (American Conference of Governmental Industrial Hygienists) pada tahun 2000 merekomendasikan Nilai Ambang Batas (TLV Threshold Limit Value) untuk benzena sebesar 0.5 ppm dan di Inggris pada tahun 2000, batas paparan maksimum (Maximum Exposure Limit, MEL) untuk TWA 8-jam sebesar 3 ppm. Dampak kesehatan akibat paparan Benzena dari emisi pembakaran bensin tidak dapat diabaikan begitu saja. Pemerintah harus lebih proaktif untuk melindungi warganya dari ancaman polutan Benzena ini. Untuk itu, tindakan yang harus segera diambil oleh pemerintah adalah segera merevisi spesifikasi bahan bakar bensin yang sudah ada untuk kemudian memasukan batasan maksimum kandungan Banzena dalam spesifikasi tersebut. Adalah tidak fair jika rakyat yang sudah membayar mahal untuk membeli BBM sesuai dengan harga pasar harus dibebani lagi dengan biaya kesehatan akibat spesifikasi BBM nasional yang tidak memperhatikan resiko kesehatan dan lingkungan hidup. Namun perlu pula disadari bahwa proses revisi spesifikasi bahan bakar bensin ini tidaklah semudah membalikkan telapak tangan dikarenakan banyaknya kepentingan pemodal yang akan 'terganggu' dengan perubahan spesifikasi Selain itu setelah munculnya kebijakan penghapusan bensin bertimbal, pemerintah
perlu mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan setiap pengguna kendaraan bermotor untuk memasang catalitic converter guna mereduksi meningkatnya jenis polutan Benzena. Kewajiban penggunaan catalitic converter ini tentu harus dalam skema insentif dan disinsentif ekonomi. Kebijakan itu saja jelas tidaklah cukup tanpa ada kebijakan di sektor transportasi yang mampu menekan penggunaan kendaraan bermotor pribadi sebagai penyebab utama meningkatnya kadar polutan Benzena di udara. Kebijakan transportasi yang berpihak pada transportasi publik perlu dikeluarkan untuk mengiringi kebijakan terkait dengan spesifikasi BBM dan kewajiban penggunaan catalitic converter. Warga kota sebagai pihak yang sangat potensial menjadi korban dari meningkatnya polutan Benzena harus secara aktif mendesak pemerintah dan juga daerah untuk mengeluarkan kebijakan yang dapat mereduksi polutan Benzena di udara. Pihak industri otomotif yang juga berkepentingan dalam pengembangan teknologi kendaraan yang menggunakan catalitic converter harus pula terlibat dalam upaya tersebut seperti yang pernah dilakukannya dalam mensupport gerakan penghapusan bensin bertimbal.
JajakPendapat
Sejak 30 Juli lalu, di www.csrindonesia.com, kami melakukan jajak pendapat mengenai pemberlakukan UU Perseroan Terbatas. Hingga 11 September 2007 sebanyak 38 responden telah memberikan pendapatnya. Bagi Anda yang ingin berpartisipasi silakan memberikan pendapat melalui website kami (lokasinya ada di bagian kanan paling bawah).
Hasil perhitungan sementara jajak pendapat Pertanyaan: Apa sikap Anda terhadap Undang-Undang Perseroan Terbatas yang mewajibkan CSR? Pilihan Jawaban Setuju Tidak Setuju Tidak Tahu TOTAL Jumlah 19 19 0 38 Persentase 50 50 0 100%
Kutipan (Be) careful about labeling companies as being good or bad sustainability performers, because its a transitory situation (Mel Wilson)
Business culture and definitions of corporate responsibility must always take account of the local context (Robert Davies) Business executives need to recreate a trust agenda. Nothing good happens without trust (Jim Burke) Corporate power is an important aspect of contemporary societies and that civil society has awoken to this by engaging directly or indirectly with corporations (Jem Bendell and Mark Bendell)
13
If people cannot accurately know their world, how can be they expected to act wisely in it Walter Lippman ...reporting solely on financial performance provides a seriously incomplete picture of a companys prospects, especially as intangibles now make up higher proportion of corporate value than ever before. Sir Mark Moody-Stuart, Foreword
Setiap tahun, ada waktu ketika berbagai media massa cetak kita dihujani dengan laporan-laporan keuangan dari perusahaan. Di situ terlihat apakah perusahaan yang melaporkannya mengalami kerugian atau keuntungan, berapa apa saja komponen yang menyumbang pada kerugian/keuntungan itu beserta masing-masing jumlahnya, dan juga perbandingan kinerja finansialnya sekarang dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam catatan sejarah bisnis, pelaporan kinerja finansial sudah berumur setidaknya 500 tahun. Seorang biarawan Ordo Fransiskan bernama Luca Pacioli memulainya ketika memperkenalkan pembukuan debit dan kredit di tahun 1494. Kapitalisme modern, menurut ekonom kenamaan Jerman Warner Sombart, tumbuh pesat setelahnya dan tidak pernah bisa dipisahkan dengan pembukuan itu (h. 14). Dengan catatan selama itu, tidak mengherankan apabila bentuk pelaporan aspek finansial dari bisni sudah sangat terstandarkan, dan hampir semua perusahaan besar sudah sangat fasih melakukannya. Namun, 10-20 tahun belakangan, laporan kinerja keuangan saja sudah dianggap tidak lagi memadai. Kini para investor menuntut perusahaan juga melaporkan hal-hal seperti kualitas tata pemerintahan, hubungan dengan pekerja, manajemen kualitas, pangsa pasar, dan sebagainya. Hal-hal tersebut dalam pandangan Sir Mark Moody-Stuart, chairperson UN
Global Compact Foundation, sangatlah penting untuk menilai perusahaan dan prospeknya di masa mendatang (h. xi). Dua anekdot berikut menggambarkan hal itu. Pertama, nilai jual Microsoft sekarang diperkirakan mencapai 25 kali lipat nilai bukunya. Ini berarti faktor-faktor lainkerap disebut sebagai intangiblesmenyumbang 24 kali lipat dibandingkan nilai-perusahaan yang bisa dibukukan. Kedua, Arnold Schwarzenegger pernah menyatakan bahwa My favourite fiction writers...are studio accountants. (h. 18). Betapa tidak? Di Hollywood, nilai sebenarnya dari sebuah film utamanya tidaklah bergantung dari jumlah dolar yang digelontorkan studio, tetapi lebih oleh sutradara dan para bintangnya. Sayangnya, pelaporan aspek finansial tidaklah bisa melihat hal itu sama sekali. Sutradara dan bintang memang tidak bisa dimasukkan ke dalam pembukuan yang diciptakan oleh Pacioli. Jadi, sangat wajar kalau kini para investor juga ingin mengetahui berbagai aspek nonfinansial dari investasinya. Sementara, para pemangku kepentingan lainnya yang semakin berpengaruh atas sukses atau tidaknya bahkan di antara mereka ada yang mampu menentukan mati hidupnyaperusahaan memiliki tuntutan yang berbeda-beda. Pemerintah, LSM, masyarakat luas, dan lainnya menginginkan perusahaan semakin menjadi transparen dan akuntabel terhadap kinerja nonfinansial mereka. Menguatnya paradigma pembangunan berkelanjutan dan inisiatif tanggung jawab sosial perusahaan atau CSR membuat pelaporan kinerja sosial dan lingkungan perusahaan dianggap sama pentingnya dengan pelaporan kinerja ekonomi. Masalah terbesarnya adalah bahwa mutu laporanlaporan nonfinansial memang belumlah sebaik mutu laporan finansial. Selain usianya yang terpaut jauh (>500 vs. 10-20 tahun), kesenjangan di antara keduanya ditandai oleh derajat keformalan, pihak yang dituju, serta interval laporan. Formalisasi laporan finansial sudah sangat jelas, dengan munculnya GAAP, IFRS serta standar-standar pelaporan di setiap negara. Hampir seluruhnya sudah bersifat mengikat secara
14
hukum. Sementara, laporan nonfinansial paling komprehensifpunyaitu standar dari Global Reporting Initiative (GRI)masih bersifat sukarela. Perusahaanperusahaan yang tidak mengikuti standar GRI telah menunjukkan ragam yang luar biasa dalam format laporan non-finansialnya. Kalau laporan finansial terutama ditujukan pada investor dan lembaga yang mengatur investasi dalam suatu negara, laporan nonfinansial ditujukan untuk seluruh pemangku kepentingan (termasuk pula investor). Konsekuensinya, cara pelaporannya akan menjadi sangat beragam sesuai dengan pemangku kepentingan yang dituju. Terakhir, laporan keuangan finansial memiliki interval yang tetap yaitu tahunan dan kuartalan, sementara laporan nonfinansial biasanya berupa laporan setahunan atau dua tahunan, bahkan tidak tetap. Buku karya Kaevin Gazdar ini dengan sangat komprehensif memaparkan seluruh hal berkaitan dengan pelaporan aspek-aspek nonfinansial itu, dan utamanya bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara pelaporan finansial dengan yang nonfinansial. Kesenjangan itu, menurut John Elkingtonorang yang terkenal karena mempopularkan istilah triple bottom linekondisinya sangat memprihatinkan. Sebagaimana yang dikutip Gazdar di halaman 17-18, Elkington menilai bahwa secara umum pelaporan finansial sudah bisa beroleh nilai 8 dari 10, sementara laporan aspek lingkungan bernilai 3-4, dan aspek sosial bernilai 1-2. Untuk keperluan mendorong peningkatan mutu laporan nonfinansial ini, Gazdar menyusun bukunya menjadi tiga bagian, yaitu The Why (2 bab), The What (4 bab) dan The How (2 bab). Dalam The Why, ia menyatakan ada empat hal yang membuat mengapa pelaporan nonfinansial ini menjadi sangat penting: Pertama, meningkatkan reputasi perusahaan. Semakin transparen perusahaan dalam aspek-aspek yang dituntut oleh seluruh pemangku kepentingannya, semakin tinggi pulalah reputasi perusahaan. Tentu saja, kalau kinerja yang dilaporkan itu baik dan valid. Karenanya, perusahaan harus terlebih dahulu meningkatkan kinerjanya dengan sungguh-sungguh. Validitas juga sangat penting, karena pemangku kepentingan tidak akan pernah memaafkan perusahaan yang melakukan pembohongan publik. Kedua, melayani tuntutan pemangku kepentingan. Pemangku kepentingan adalah pihak-pihak yang terpengaruh oleh dan bisa memengaruhi perusahaan dalam mencapai tujuannya. Tentu saja, mereka yang terpengaruh hidupnya oleh perusahaan berhak untuk mengetahui aspek-aspek yang bersentuhan dengan kehidupan mereka. Mereka yang bisa memengaruhi perusahaan sangat perlu untuk mendapat informasi yang benar, sehingga pengaruh mereka bisa diarahkan ke tujuan yang tepat.
Ketiga, membantu perusahaan dalam membuat berbagai keputusan. Laporan kinerja yang baik tentu saja akan memuat indikator-indikator yang akan membantu perusahaan melihat kekuatan dan kelemahan dirinya. Perusahaan bisa sedikit lebih tenang dalam aspek yang indikator-indikatornya menunjukkan kekuatan. Di sisi lain, perusahaan perlu mencurahkan sumberdaya yang lebih besar untuk aspek-aspek yang tampak masih lemah. Laporan periodik dengan indikator yang konsisten sangat diperlukan di sini, sehingga naik turunnya kinerja bisa terpantau dan disikapi dengan keputusan yang tepat. Keempat, membuat investor dengan mudah memahami kinerja perusahaan. Sebagaimana yang sudah diungkapkan di atas, ada kebutuhan yang semakin tinggi dari investor untuk bisa mengetahui kinerja perusahaan yang sesungguhnya. Para investor jangka panjang benar-benar ingin mengetahui apakah modal yang ditanamkannya aman atau tidak. Perusahaanperusahaan yang memiliki kinerja sosial dan lingkungan yang tinggi memiliki kemungkinan yang lebih baik untuk terus berlanjut usahanya, dan para investor tentu lebih berminat untuk menanamkan modalnya pada perusahaan-perusahaan tersebut. Gazdar kemudian bergerak menjelaskan empat komponen pelaporan nonfinansial dalam The What. Ia menganjurkan para perusahaan untuk mengadopsi klasifikasi empat hal yang termasuk aspek nonfinansial, yaitu competitive value, management value, human resources value, dan ethical value. Setiap aspek itu ia jelaskan dalam satu bab. Kategori competitive value mencakup konsumen, merek dan pasar. Management value mencakup strategi perusahaan, mekanisme dan proses dalam tata kelola perusahaan, serta kemampuan untuk meramalkan kecenderungan dan kinerja perusahaan di masa mendatang. Dalam human resources value, hal-hal terkait produktivitas, motivasi dan potensi tenaga kerja harus dibahas. Sementara, ethical value mencakup CSR, keberlanjutan dan dialog dengan pemangku kepentingan. Seluruh hal di atas dibahas dengan komprehensif. Gazdar memaparkan contoh-contoh indikator kualitatif dan kuantitatif yang bisa dipergunakan untuk memantau perkembangan masing-masing value, untuk kemudian dilaporkan. Catatan yang penting mungkin bisa diberikan pada ethical value. Gazdar berpendirian bahwa CSR berkonotasi aspek sosial, sementara keberlanjutan berarti aspek lingkungan, dan pemangku kepentingan penting untuk diajak berdialog. Baginya CSR berarti kebijakan sosial, dampak sosial, investasi untuk program-program komunitas dan citra sebagai corporate citizen. Pada bagian ini, pendirian Gazdar sama sekali bukan arus utama. CSR oleh banyak pihak sudah diterima sebagai konsep yang mencakup tiga ranah: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Demikian juga, istilah sustainability
15
atau keberlanjutan juga mengacu pada tiga ranah, bukan sekadar aspek lingkungan (bdk. Hopkins, M. 2007. Corporate Social Responsibility and International Development. Earthscan, London). Istilah untuk hubungan dengan pemangku kepentingan yang semakin banyak dipergunakan adalah stakeholder engagement, yang di antaranya mencakup juga stakeholder dialogue. Dialog sejatinya memang hanya salah satu dari spektrum hubungan dengan pemangku kepentingan, yang merentang dari pelacakan hingga kerjasama dalam jaringan (lih. Gable, C. and Shireman, B. 2005. Stakeholder Engagement: A Three-Phase Methodology. Environmental Quality Management, Spring). Dalam The How, Gazdar menuntun pembacanya agar bisa membayangkan seluruh proses pelaporan. Di sini ia pertama-tama menegaskan bahwa empat hal yang tercakup dalam The What haruslah disesuaikan dengan prioritas regional. Masing-masing negara memiliki prioritas yang berbeda dalam melihat laporan nonfinansial. Mengutip penelitian Alison Thomas, Gazdar memberi contoh bahwa di Jerman para pembaca sangat menekankan quality control, sementara di negara-negara Skandinavia perbandingan kinerja (benchmark) dalam aspek lingkungan adalah yang paling penting. Setelah mempertimbangkan prioritas regional, perusahaan kemudian harus mentransformasikan kesadaran untuk melaporkan menjadi tindakan melaporkan. Untuk itu, dua hal perlu diperhatikan, yaitu pemangku kepentingan dan laporan itu sendiri. Berkenaan dengan pemangku kepentingan, Gazdar kembali menegaskan bahwa pelaporan adalah upaya untuk meningkatkan standar akuntabilitas perusahaan, di mana kondisi yang ada sekarang masihlah rendah. Karena sifat sebagai alat akuntabilitas itu, ia sangat menekankan agar laporan nonfinansial dibuat dengan memperhatikan hal-hal spesifik dan umum yang menjadi perhatian pemangku kepentingan. Laporan, menurut Gazdar, adalah medium dialog dengan beragam pemangku kepentingan. Sehingga, fokus
pada isu-isu yang menjadi perhatian pemangku kepentingan tertentu harus diimbangi dengan pemaparan yang komprehensif atas isu-isu yang menjadi perhatian pemangku kepentingan yang lebih luas. Berikutnya, Gazdar mendedikasikan satu bab penuh untuk membicarakan aspek yang sangat teknis berkaitan dengan penulisan laporan. Ia menegaskan pentingnya kelengkapan, kredibilitas dan komunikasi dalam pembuatan laporan, dengan detail masingmasing. Untuk meningkatkan kemudahan pembacaan laporan, misalnya, ia memberi contoh bagaimana informasi yang ada di dalamnya harus bergerak dari coherent, kemudian compelling, untuk bisa menghasilkan sifat laporan yang convincing. Jumlah buku mengenai pelaporan aspek nonfinansial hingga kini tampaknya memang masih sedikit, sebagaimana yang tercantum dalam bibliografi yang dikutip (h. 307-310). Yang cukup banyak adalah artikel dalam jurnal ilmiah yang mengkritisi berbagai kecenderungan dari pelaporan, di antaranya kecenderungan untuk melakukan pengelabuan/ pendongkrakkan citra perusahaan serta kecenderungan untuk meminimumkan akuntabilitas (lih. Owen, D. 2005. Corporate Social Reporting and Stakeholder Accountability, the Missing Link. ICCSR Research Paper Series No. 32). Buku yang tersedia juga punya kecenderungan tema yang sama (mis. Crowther, D. 2002. A Social Critique of Corporate Reporting. Ashgate, Hampshire). Pembaca buku Gazdar pasti akan menemukan jawaban bagi banyak kritik itu. Jadi, wajar apabila sumbangan pemikiran Gazdar dihargai sangat tinggi oleh para pakar CSR. Profesor Andre Habisch, Pendiri sekaligus Direktur Center for Corporate Citizenship di Jerman menyatakan This path-breaking book firmly steers nonfinancial reporting into the mainstream of management practice. Kiranya kebanyakan pembaca akan bersetuju dengan pernyataan Habisch. Para pendukung CSR dan akuntabilitas perusahaan pasti juga berharap demikian.
16
LayananA+CSRIndonesia
A+ CSR Indonesia memberikan layanan jasa yang mencakup keseluruhan cakupan CSR. Seluruh layanan jasa yang diberikan ditujukan sebagai suatu upaya memberikan solusi yang bersifat terpadu, komprehensif, dan sinergis. Sebagaimana keyakinan A+ terhadap pentingnya kerjasama multipihak, maka ranah jasa tersebut tidak hanya ditujukan bagi perusahaan, melainkan juga bagi sektor lain (pemerintah dan kelompok Assessment (Kajian dan Penilaian) 1. Penilaian Sosial dan Lingkungan untuk Pengambilan Keputusan Investasi (Social and Environmental Aspects of Investment Screening). 2.Penilaian Dampak Sosial dan Lingkungan Projek (Social and Environmental Impacts Assessment). 3.Survei Data Dasar (Baseline Survey). 4.Penilaian Kebutuhan Masyarakat (Community Needs Assessments). 5.Pemetaan Isu Strategis dan Pemangku Kepentingan (Strategic Issues and Stakeholder Mapping). 6.Kajian Kebijakan dan Manajemen Tanggung Jawab Sosial Perusahaan (Review on CSR Policy and Management). Assistance (Bantuan dan Pendampingan) 1. Pengembangan Kebijakan CSR (CSR Policy Development). 2.Perencanaan Strategik CSR (CSR Strategic Planning). 3.Rekruitmen Spesialis CSR (CSR Specialist Recruitment). 4.Pengembangan Tim CSR (CSR Team Development). 5.Pelatihan Manajemen CSR (CSR Management Training). 6.Pelatihan Keterampilan Sosial untuk CSR (Social Skills Training for CSR). 7.Pendampingan Teknis Pelaksanaan Program CSR (CSR Program Technical Assistance). Assurance (Jaminan) 1. Audit Kinerja CSR (CSR Performance Audit). 2.Pelaporan dan Publikasi Program CSR (CSR Reporting and Publication) 3.Penilaian Independen atas Rencana atau Kinerja CSR (CSR Due Diligence). Advocacy (Advokasi) 1. Fasilitasi Hubungan dengan Pemangku Kepentingan (Stakeholder Engagement Facilitation). 2.Fasilitasi Resolusi Konflik (Alternative Dispute Resolution/ADR). 3.Pengembangan Kerjasama Tim (Team Building). 4.Perencanaan Penutupan Operasi (Exit Strategy Planning). 5.Pengembangan Strategi Komunikasi CSR (CSR Communication Strategy Development). 6.Pelaksanaan Strategi Komunikasi CSR (CSR Communication Strategy Execution). 7.Kontribusi dalam Penyebaran Wacana dan Keterampilan CSR (Contribution to CSR Discourse and Skills).
masyarakat sipil) sebagai pemangku kepentingan yang akan menggunakan CSR bagi pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Deskripsi layanan lengkap dapat dilihat pada situs www.csrindonesia.com, atau Anda bisa mengirim email ke alamat email office@csrindonesia.com untuk mendapatkan profil perusahaan.