ADENOKARSINOMA SINONASAL
Disusun Oleh:
Hisar Daniel, S.Ked
0706168963
Narasumber:
dr. Marlinda Adham Yudharto, Sp.THT-KL (K)
Terima kasih,
Penulis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
ANATOMI1,6
1. Hidung
Hidung dibagi menjadi vestibulum, dan rongga hidung karena
struktur anatomis keduanya berbeda. Vestibulum hidung yang
merupakan pintu masuk ke rongga hidung merupakan rongga
hidung bagian anterior, diliputi oleh epitel kulit yang mengandung
rambut serta folikel rambut dan kelenjar sebasea. Bagian lateral
dibatasi oleh tulang rawan lateral bawah (lower lateral cartilages)
dan bagian medial, dibatasi kolumela septum.
Rongga hidung dibagi menjadi dua oleh septum nasi,
dimulai dari daerah transisi antara epitel kulit vestibulum, mukosa
hidung, dan ke belakang sampai ke koana. Septum nasi sebagian
besar dibentuk oleh tulang rawan septum di bagian anterior dan
bagian tulang di bagian posterior dibentuk oleh perpendicular
tulang etmoid yang juga membentuk kribriformis dan tulang
vomer yang membentuk bagian bawah septum. 1,6
3. Sinus etmoidalis
Sinus etmoidalis atau labirin merupakan rongga-rongga kecil,
sehingga disebut juga sel etmoid, mulai terbentuk pada bulan ke
3 - 4 kehidupan janin sebagai proses evaginasi dinding lateral
hidung di daerah meatus media (etmoid anterior) dan meatus
superior (etmoid posterior). Pada waktu lahir jumlahnya hanya 3-4
sel dan cepat berkembang sampai mencapai jumlah 10-15 sel
pada usia 12 tahun, dengan total volume 14-15 ml. Sel etmoid
terletak di pertengahan atas rongga hidung dan medial rongga
orbita.
a. b.
4. Sinus frontalis1,9
Sinus frontalis secara radiologis belum terlihat pada usia kurang
dari 2 tahun, dan terbentuk lengkap pada usia akhir belasan.
Besar dan bentuk sinus frontal sangat bervariasi, bahkan pada 5%
populasi salah satu sisi sinus tidak berkembang. Ukuran dewasa
rata-rata 28 x 27 x 17 mm dengan volume 6-7 ml. Sinus ini
berhubungan dengan rongga hidung melalui resesus frontal yang
berjalan ke bawah dan belakang dan bermuara di sebelah atas
infudibulum, atau bermuara langsung di meatus media. Lapisan
diploik bagian tulang frontal (dahi) merupakan batas anterior
sinus frontal, sedangkan bagian posterior sinus dibentuk oleh
lapisan tulang yang padat yang memisahkan sinus frontal dari
fosa kranii anterior.
5. Sinus sfenoidalis
Sinus sfenoidalis mencapai ukuran dewasa pada usia 12-15
tahun, dengan ukuran 14 x 14 x 12mm dan volume rata-rata
7,5ml.
Kedua sinus sfenoid kiri dan kanan dipisahkan oleh septum
intersinus. Sinus ini bermuara di meatus superior, berupa ostium
kecil di resesus sfenoetmoid yang berlokasi 10 mm di atas dasar
sinus atau kurang-lebih 30 mm dari lantai rongga hidung. Di atas
sinus terdapat kelenjar hipofise dan saraf optikus, sedangkan di
lateral terdapat sinus kavernosus, fisura orbita superior dan arteri
karotis interna. Tulang yang membentuk sinus sfenoid merupakan
tulang yang tipis dan hanya diliputi oleh mukosa sehingga
tindakan kuret harus dilakukan sangat hati-hati karena dapat
merusak struktur penting di sekitarnya.
HISTOPATOLOGI1,2,5,10
Tumor hidung dan sinus paranasal secara garis besar dikelompokkan
menjadi tumor epitel, non epitel dan metastasis tumor.
Tumor ganas epitel
Tumor ganas epitel yang sering dijumpai (sekitar 80-90%) adalah
karsinoma sel skuamosa, dengan lokasi tersering adalah di sinus maksila
(70-80%), sinus etmoid 10-22%, hidung sekitar 12%, sinus sfenoid sekitar
2% dan di sinus frontal yang paling jarang ditemukan yaitu, kurang dari
1%, kemudian kanker kelenjar liur, adenokarsinoma, karsinoma tanpa
diferensiasi, dan lain-lain.1,2,6
Karsinoma sel skuamosa yang ditemukan umumnya berdifferensiasi
baik, tumbuh agak lambat dan jarang bermetastasis jauh atau regional.
Adenokarsinoma dan adenosistik karsinoma yang termasuk tumor epitel
yang berasal dari kelenjar liur minor jumlahnya sekitar 10-14 %, sering
ditemukan di sinus etmoid, maksila dan hidung. Tumor ini dibagi menjadi
2 jenis yaitu, gradasi rendah (low grade) dan gradasi tinggi (high grade)
dengan tingkat metastasis yang tinggi (30%). Low grade adenocarcinoma
cenderung untuk terjadi rekurensi lokal. Sedangkan sepertiga dari pasien
dengan high grade adencarcinoma akan disertai metastasis jauh.
Pembagian histopatologis terbaru adenokarsinoma sinonasal adalah
dengan membaginya menjadi dua tipe yakni salivary gland-type
adenocarcinoma dan non-salivary gland-type adenocarcinoma yang
kemudian dibagi lagi menjadi tipe intestinal dan non-intestinal. 11
Pendekatan untuk adenokarsinoma sinus paranasal meliputi reseksi
kraniofasial anterior, rinotomi lateral, dan teknik endonasal dengan atau
tanpa radioterapi. Angka bertahan hidup 5 tahun pada pasien pasca
operasi dan radiasi berkisar 55% untuk T1 dan T2, 28% untuk T3, dan
25% untuk lesi T4.5
Melanoma malignum dapat juga ditemukan di hidung dan sinus
paranasal, paling sering terdapat di rongga hidung, sinus etmoid, maksila
dan frontal. Jumlahnya kira-kira 1% dari seluruh keganasan di daerah ini.
Tumor ini mudah residif dan sering bermetastasis jauh secara limfogen
dan hematogen.
Mukoepidermoid karsinoma sangat jarang ditemukan di daerah ini.
Dari 400 kasus karsinoma mukoepidermoid di kepala dan leher, hanya
ditemukan 21 kasus yang terdapat di hidung dan sinus paranasal. Tumor
jenis ini cenderung di temukan dalam stadium lanjut dan lebih dar -i 25%
telah bermetastasis jauh.1
Metastasis tumor
Walaupun sangat jarang, hidung dan sinus paranasalis dapat merupakan
tempat metastasis jauh. Metastasis tumor hidung dan sinus paranasal
menimbulkan gejala yang mirip dengan tumor primer yang paling sering
berasal dari payudara, ginjal dan karsinoma paru.
ETIOLOGI1,2,4,6
Berbagai faktor diajukan sebagai etiologi keganasan di hidung dan
sinus paranasal. Setelah terpapar bahan-bahan karsinogen diperlukan
waktu laten kurang lebih 20-30 tahun untuk dapat berkembang menjadi
keganasan. Lebih dari 44% keganasan di hidung dan sinus paranasal
menunjukkan adanya paparan karsinogen industri maupun rumah tangga,
seperti nikel, kromium, larutan isopropil, gas hidrokarbon, dan debu serat
organik. Bahan-bahan kimia ini banyak terdapat pada industi kayu, kulit
dan tekstil.1,4,6 Terpaparnya debu kayu pada industri furnitur dan
penggergajian kayu, menyebabkan insidens yang sangat tinggi terjadinya
adenokarsinoma di sinus etmoid, yaitu 1000 x lebih sering dibanding
populasi normal.1,2,5 Debu kayu tidak memiliki sifat mutagenik, akan tetapi
apabila terakumulasi di mukosa dapat mengakibatkan inflamasi kronis
sehingga turnover rate mukosa meningkat dan pada akhirnya memicu
hiperplasia dan metaplasia mukosa yang dapat berlanjut menjadi
keganasan.12 Ciri gambaran histologisnya adalah adenokarsinoma tipe
intestinal (golongan non-salivary gland-type adenocarcinoma).12
Menurut Sakai, 80 % pasien dengan karsinoma sinus maksila
mempunyai latar belakang sinusitis kronis untuk berkembang menjadi
keganasan adalah 36 kali lebih besar dari orang sehat.4
GEJALA KLINIS1,2,4,5,10
Tumor primer di rongga hidung sulit diketahui apakah dimulai dari
rongga hidung atau perluasan tumor dari sinus maksila atau etmoid,
sebab secara anatomis daerah tersebut berhubungan. Hal yang sering
dijumpai pertama kali pasien datang adalah bahwa tumor sudah meluas
mengenai seluruh rongga hidung dan sinus paranasal bahkan sudah
mengenai kulit pipi, palatum, orbita dan dasar tengkorak, sehingga secara
klinis sangat sulit menentukan asal tumor. Pada stadium yang lebih awal,
gejala yang timbul tergantung dari tempat asal dan perluasan tumor.
Gejala yang ditimbulkan sulit dibedakan dengan peradangan kronis di
hidung dan sinus paranasal sampai tumor tumbuh menjadi stadium lanjut.
Pada pasien yang lebih tua adanya keluhan hidung atau sinus yang
bersifat unilateral seperti poliposis atau keluhan sumbatan, epistaksis,
anosmia harus dicurigai adanya keganasan. Adanya rasa nyeri dan
pembengkakkan dahi mungkin dapat disebabkan oleh keganasan di sinus
frontal. Keganasan di sinus sfenoid secara dini sulit dikenal, sampai tumor
ini keluar dari sinus sfenoid dan sering terlihat sebagai tumor nasofaring
atau sfenoetmoid.
Gejala tersering pada keganasan di sinus maksila yaitu benjolan di
pipi yang menyebabkan asimetris wajah akibat perluasan tumor ke
dinding sinus anterior. Lebih dari 50% keganasan di sinus maksila dan
etmoid terdapat keluhan rinore dan nyeri di daerah pipi atau pangkal
hidung. Keganasan di sinus maksila, tumor dapat meluas ke superior dan
masuk rongga orbita sehingga menyebabkan proptosis, atau ke inferior
menyebabkan keluhan gigi-geligi berupa gigi goyang, bahkan tanggal,
atau meluas ke posterior melalui rongga pterigomaksila, masuk ke fosa
kranii media dan menyebabkan gangguan neurologis.
Gejala mata terdapat pada 25% pasien yang disebabkan oleh
perluasan tumor melalui dinding orbita inferior atau melalui lamina
papirasea. Gejala yang timbul berupa, diplopia, berkurangnya visus dan
eksoftalmus, bahkan pada stadium lanjut terjadi pelebaran jarak antara
kedua kantus medial mata. Rasa penuh di kelopak mata bawah dan
epifora menunjukkan keterlibatan rima orbita atau struktur lakrimalis.
Pada stadium lanjut terdapat gangguan neurologis karena kerusakan
saraf-saraf kranial akibat perluasan tumor ke dasar tengkorak.
DIAGNOSIS1,2,5
Anamnesis
Anamnesis yang lengkap dan menyeluruh sangat diperlukan dalam
penegakkan diagnosis keganasan di hidung dan sinus paranasal. Pada
stadium awal sering berupa sumbatan, rinore, epistaksis, nyeri di daerah
sinus dan pembengkakan pipi yang juga merupakan gejala peradangan
umumnya. Kurang lebih 9-12 % keganasan di hidung dan sinus paranasal
stadium awal bersifat asimptomatis. Riwayat terpapar bahan-bahan kimia
karsinogen yang dihubungkan dengan pekerjaan atau lingkungan perlu
diketahui untuk mencari kemungkinan faktor resiko.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik THT harus seteliti mungkin dengan penerangan yang
cukup, baik dengan alat-alat konvensional maupun dengan endoskopi.
Adanya asimetri wajah atau proptosis dapat disebabkan oleh
pertumbuhan atau desakan tumor di hidung dan sinus paranasal. Adanya
massa di rongga hidung, harus dideskripsikan dengan lengkap baik warna,
permukaan, konsistensi, rapuh/tidak, mudah berdarah serta perluasannya.
Jika dinding lateral kavum nasi terdorong ke medial berarti tumor berada
di sinus maksila. Pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan apakah ada
massa tumor di palatum atau sulkus gingivobukalis, bila perlu digunakan
sarung tangan untuk meraba apakah terdapat destruksi tulang palatum,
penonjolan atau gigi yang goyah.1,2
Pemeriksaan nasofaring dilakukan untuk mengetahui adanya massa tumor
yang berasal dari sinus sfenoid atau perluasan tumor hidung ke posterior.
Pemeriksaan lain yang harus dilakukan adalah, pemeriksaan telinga,
adakah otitis media atau tuli konduktif akibat masa tumor yang menutup
tuba Eustakius, pemeriksaan visus dan gerakan bolamata, pemeriksaan
saraf perifer dan pemeriksaan kelenjar getah bening leher walaupun
keganasan di hidung dan sinus paranasal jarang bermetastasis ke kelenjar
getah bening regional.
Pemeriksaan penunjang
• Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologi dapat berupa foto polos sinus (posisi Waters
atau lateral), tomografi komputer (CT Scan) atau MRI. Pada lebih dari 60%
kasus, adanya destruksi tulang dapat terlihat pada foto polos, tetapi
adanya invasi tumor ke jaringan lunak kurang jelas terlihat. Kadang-
kadang pada keganasan yang masih terbatas, dengan pemeriksaan foto
polos, masih terkesan normal. Perselubungan di rongga sinus sulit
dibedakan dengan proses peradangan. Sehingga penleriksaan foto polos
untuk keganasan di hidung dan sinus paranasal sudah jarang digunakan.
CT Scan dan MRI dapat mengisi kekurangan pada foto polos, karena
dengan jelas dapat terlihat adanya destruksi tulang, besar dan perluasan
tumor primer ke jaringan lunak, sehingga derajat invasi tumor
tergambarkan. Selain itu, dapat dinilai adanya metastasis ke kelenjar
getah bening regional. CT Scan lebih baik dalam memperlihatkan
gambaran destruksi tulang, sedangkan pada MRI adanya invasi ke
jaringan lunak lebih jelas terlihat dan lebih tidak invasif dibandingkan
dengan pemeriksaan CT Scan.
a. b.
Gambar 4.a. Pasien dengan tumor sinonasal kiri. 4.b. Gambaran CT-Scan pasien 4.a.
dengan keterlibatan sel tumor pada kavum nasi kiri, antrum maksila, etmoid, dan orbita.
Sumber: Fasunla AJ, Lasisi AO. Sinonasal Malignancies: A 10-Year Review in a Tertiary
Health Institution. JNMA;99:1407-10
• Biopsi
Setiap keganasan hidung dan sinus paranasal harus dilakukan biopsi
untuk menegakkan diagnosis yang definitif dan merencanakan
pengobatan. Pada umumnya pasien datang sudah dalam stadium lanjut
dan tumor sudah terdapat di rongga hidung bahkan sudah menginfiltrasi
kulit. Biopsi cukup dilakukan pada massa tumor yang terlihat dan mudah
dicapai. Jika dicurigai tumor jenis vaskuler, misalnya hemangioma atau
angiofibroma, jangan lakukan biopsi karena sulit untuk menghentikan
perdarahan yang terjadi. Untuk kasus tumor vaskuler, diagnosis dapat
ditegakkan dengan angiografi.1,2
KLASIFIKASI STADIUM1,3,4,5,10
Klasifikasi stadium karsinoma sinus paranasal sampai saat ini masih
kontroversial, sedangkan untuk karsinoma sinus frontal dan sfenoid
sampai saat ini belum ada sistim klasifikasi stadium yang dipakai secara
luas, karena keganasan di daerah ini sangat jarang ditemukan.1,2,3
Onhgren tahun 1933, pertama sekali membuat sistim stadium keganasan
di sinus maksila , dengan membagi sinus maksila menjadi bagian
Anteroinferior (Infrastruktur) dan Postero superior (Suprastruktur)
berdasarkan garis imajiner yang ditarik dari angulus mandibula ke kantus
medial mata. Onhgren membuat korelasi secara umum yaitu, tumor yang
berasal dari bagian Supra struktur mempunyai prognosis yang lebih buruk
dibanding dari Infra struktur. Sissons tahun 1963, mengadopsi sistim TNM
dan menambahkan uraian daerah Onhgren. Sakai tahun 1985
mengusulkan sistim TNM dan sistim ini juga dipakai oleh UICC dan AJCC.
Klasifikasi stadium diatas hanya untuk keganasan di sinus maksila.1
Uraian lengkap yang terbaru dan banyak dipakai saat ini yaitu
berdasarkan UICC (Union Internationale Contre le Cancer) atau
International Union Against Cancer edisi ke 6 tahun 2002s klasifikasi ini
hanya untuk karsinoma di sinus maksila, etmoid, dan rongga hidung, serta
harus dibuktikan dengan pemeriksaan histopatologis. Penulis sendiri
mengambil sumber dari AJCC Cancer Staging Manual sebagai sumber
dalam pengklasifikasian yang serupa dengan UICC dimana penilaian TNM
didasari atas pemeriksaan fisik, dan penunjang antara lain nasoendoskopi,
foto Rontgen, CT-Scan, MRI, ataupun modalitas pencitraan terkini lainnya.3
Klasifikasi TNM adalah sebagai berikut :
T Tumor Primer
TX Tumor primer tidak diketahui
T0 Tidak terbukti adanya tumor primer
Tis Karsinoma insitu
Sinus Maksila
T1 Tumor terbatas di mukosa dan tidak ditemukan erosi atau
destruksi tulang
T2 Tumor sudah mengakibatkan erosi atau destruksi tulang,
meluas ke palatum durum dan atau meatus media tanpa
perluasan ke dinding posterior sinus maksila dan tulang
pterigoid
T3 Tumor sudah menginvasi salah satu organ : dinding
posterior sinus maksila, jaringan subkutan, dasar atau
medial orbita, fossa pterigoid, sinus etmoid
T4a Tumor sudah menginvasi salah satu organ : masuk anterior
orbita, kulit pipi, os pterigoid, fosa infratemporal,
kribriformis, sinus sphenoid atau frontal
T4b Tumor sudah menginvasi salah satu organ : apeks orbita,
dura/ intraserebral, fosa kranii media, saraf cranial selain
cabang maksila saraf trigeminal (V2), nasofaring atau
klivus
M = Metastasis Jauh
Mx Adanya metastasis jauh tidak dapat dinilai
M0 Tidak terdapat metastasis jauh
M1 Terdapat metastasis jauh
KLASIFIKASI STADIUM TNM
Stadium 0 Tis N0 M0
Stadium I T1 N0 M0
Stadium II T2 N0 M0
T1,T2 N1 M0
Stadium III
T3 N0. N1 M0
T1,T2,T3 N2 M0
Stadium IVa
T4a No, N1, N2 M0
T4b Setiap N M0
Stadium IVb
Setiap T N3 M0
Stadium IVc Setiap T Setiap N M1
PENGOBATAN1,4,5,6
Pembedahan
Pembedahan pada keganasan hidung dan sinus paranasal merupakan
modalitas utama dan lebih sering bertujuan untuk pengobatan yang
bersifat kuratif. Eksisi paliatif biasanya dilakukan untuk tumor yang sangat
besar untuk mengurangi nyeri dengan dekompresi terhadap struktur
penting atau debulking sebagai persiapan pemberian radiasi dan
kemoterapi. Pembedahan sebagai pengobatan tunggal pada keganasan di
hidung dan sinus paranasal, prognosis bertahan hidup selama 5 tahun
mempunyai variasi luas antara 19 – 86%.5
Pada tumor yang terbatas di vestibulum, tumor dapat diangkat
secara adekuat dengan reseksi sebagian hidung, setelah reseksi defek
dapat langsung di rekonstruksi dengan "local flap" atau "forehead flap"
pada defek yang lebih besar. Pada rinektomi, defek akan lebih mudah
ditutup dengan prostesis hidung. Tumor yang masih terbatas di dinding
lateral hidung dapat diangkat dengan eksisi luas dengan pendekatan
rinotomi lateral atau "mid facial degloving". Bila tumor sudah meluas ke
sinus maksila atau etmoid, dilakukan maksilektomi medial dengan cara
pendekatan rinotomi lateral. Bila tumor melibatkan lempeng kribiformis,
atap hidung atau etmoid, biasanya membutuhkan reseksi kraniofasial
anterior.6
Tumor di septum nasi bila masih terbatas pada bagian anterior,
dapat dilakukan eksisi luas dengan pendekatan rinotomi lateral atau
"mid facial degloving". Bila telah meluas ke vestibulum, dasar rongga
hidung, eksisi luas masih dapat dilakukan dengan pendekatan Weber-
Fergusson atau Rinektomi total.
Pembedahan sinus paranasal, pertama kali diperkenalkan oleh
Lizars pada tahun 1822 yang pertama kali melakukan maksilektomi.1
Beberapa modifikasi maksilektomi dapat dilakukan yaitu maksilektomi
medial dengan pendekatan rinotomi lateral, maksilektomi parsial maupun
total, dan maksilektomi radikal yang sekaligus melakukan eksentrasi
obita. Maksilektomi medial bermanfaat untuk tumor hidung dan sinus
etmoid yang mengenai pula dinding medial antrum. Maksilektomi partial
dilakukan untuk mengangkat tumor yang mengenai bagian superior atau
inferior antrum.4 Sejak saat itu mulai dilakukan pembedahan radikal sinus
maksila, berupa maksilektomi radikal dengan dan tanpa eksentrasi orbita.
Dalam 20 tahun terakhir, maksilektomi radikal mulai ditinggalkan dan
diganti dengan maksilektomi parsial, terutama dengan makin pesatnya
perkembangan pemeriksaan radiologi seperti CT-Scan dan MRI sehingga
perluasan tumor dapat diketahui dengan akurat. Saat ini maksilektomi
total (pengangkatan seluruh maksila) dengan atau tanpa eksentrasi orbita
hanya dilakukan pada tumor yang sudah meluas ke gingiva-alveolar,
palatum durum, daerah pterigoid atau ke rongga orbita.1
Tumor sinus maksila stadium I dan II masih dapat diangkat dengan
maksilektomi partial dengan pendekatan rinotomi lateral atau "midfacial
degloving", sedangkan bila stadium III, harus dilakukan maksilektomi total
dengan atau tanpa eksentrasi orbita dan dikombinasikan dengan radiasi
pasca operasi. Jika tumor telah mencapai periorbita, diperlukan operasi
radikal termasuk eksentrasi orbita. Eksentrasi orbita dilakukan bila
terdapat infiltrasi luas ke rongga orbita. Menurut Harrison, eksentrasi
perlu dilakukan jika terdapat proptosis bola mata, hambatan gerak bola
mata,dan jelas terdapat destruksi tulang. Indikasi mutlak adalah jika
tumor telah menginfiltrasi periorbita, sel etmoid posterior dan apeks
orbita. 1,4
Radioterapi1,5,6,7
Respon radioterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal
bervariasi, tergantung dari stadium dan jenis histopatologis tumor. Radiasi
dapat digunakan sebagai terapi tunggal, pada kasus keganasan
limforetikuler seperti limfoma malignum, midline granuloma atau pada
kasus kondisi buruk atau menolak untuk tindakan bedah. Radiasi juga
dapat diberikan setelah pembedahan sebagai ajuvan pada kasus dimana
tumor sulit diangkat secara total, atau dengan batas yang tidak bebas
tumor, atau sebagai terapi paliatif untuk mengurangi nyeri dan
menghentikan perdarahan pada tumor stadium lanjut. Pada umumnya,
dosis radiasi yang diperlukan adalah 50 Gy.
Kemoterapi1,5
Kemoterapi pada keganasan hidung dan sinus paranasal umumnya
sebagai terapi paliatif untuk mengurangi nyeri, obstruksi dengan
mengecilkan tumor, atau pada kasus stadium lanjut dengan metastasis
jauh. Kemoterapi dapat bersifat ajuvan setelah pembedahan atau radiasi
untuk mencegah metastasis jauh, atau neo-ajuvan sebelum pembedahan
untuk mempertahankan organ yang terkena tumor, walaupun manfaat
masih banyak diperdebatkan. Untuk keganasan terutama karsinoma
kepala dan leher umumnya, kombinasi cisplatin, methotrexate, dan 5
fluoro-urasil merupakan obat pilihan yang paling banyak digunakan.
Menurut Samant et al (2004), penggunaaan Cisplatin intraarterial disertai
radiasi pada keganasan sinus paranasal dapat meningkatkan angka
bertahan hidup 5 tahun menjadi 53%.
PROGNOSIS1,2
Sedikit dan tidak khasnya gejala yang ditimbulkan pada keganasan
hidung dan sinus paranasal menyebabkan sangat jarang pasien datang
dalam keadaan stadium dini. Faktor yang mempengaruhi prognosis antara
lain perbedaan diagnosis histology, asal tumor primer, perluasan tumor,
pengobatan yang diberikan sebelumnya, status batas sayatan, terapi
adjuvant yang diberikan, status imunologis, lamanya follow-up dan
banyak lagi.2 Umumnya pasien datang dalam stadium lanjut, tumor
sudah meluas ke seluruh struktur hidung dan sinus paranasal, sehingga
asal tumor tidak diketahui dan sulit mengangkat tumor secara "en bloc".
Hal ini menyebabkan prognosis penyakit sampai saat ini masih buruk.
Sampai beberapa dekade terakhir, belum tampak peningkatan yang
bermakna terhadap angka bertahan hidup (survival rates) pada seluruh
keganasan hidung dan sinus paranasal. Angka bertahan hidup selama 5
tahun rerata seluruh keganasan sinus maksila berkisar antara 20-50%, hal
yang sama juga berlaku untuk keganasan sinus paranasal lainnya.1 Tapi
dengan pengobatan yang agresif dan multimodalitas, angka bertahan
hidup 5 tahun dapat meningkat sebesar 75% untuk seluruh stadium
tumor.
BAB III
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. ES
Jenis Kelamin : Wanita
Umur : 57 tahun
Alamat : Kampung Bulak RT 02 RW 03, Cikarang
Agama : Islam
Suku : Sunda
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
No. RM : 324-00-94
ANAMNESIS
Pasien pertama kali datang ke poliklinik THT RSCM pada tanggal 2 Juli
2008. Data terdiri dari data sekunder, dan auto serta alloanamnesis pada
pasien pasca operasi yang dikerjakan hari Senin, 13 Oktober 2008.
Anamnesis terakhir dilakukan pada Selasa, 14 Oktober 2008 di bangsal
perawatan THT.
Keluhan Utama
Pasien mengeluh timbulnya benjolan di hidung kanan yang membesar
dengan cepat sejak 2 bulan sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan dilakukan di poliklinik THT RSCM pada tanggal 2 Juli 2008.
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : kompos mentis
Tanda vital :
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Frekuensi nadi : 90x/ menit, reguler, isi cukup
Suhu : afebris
Pernapasan : 20x/ menit, teratur, kedalaman cukup
Status Generalisata
Kepala : wajah terlihat asimetris, nampak
pembesaran sisi kanan dan massa keluar
dari hidung kanan, rambut hitam, tidak
mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-),
proptosis - / -
Mulut : trismus (-), tidak terlihat massa di palatum
Wajah : asimetris, nyeri tekan frontal (+), maksila
(+), etmoid tidak dilakukan karena ada
benjolan
Leher : pembesaran KGB (-)
Paru : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung : BJ I/II (N), murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, lemas, NT(-), hepar/limpa tidak teraba,
BU (+) N
Ekstremitas : Akral hangat, perfusi cukup, edema (-)
Status THT
Pemeriksaan Telinga
Pemeriksaan Telinga KANAN Telinga KIRI
Daun Telinga Deformitas(-), radang(-) Deformitas(-), radang(-)
Daerah Fistel(-), radang(-) Fistel(-), radang(-)
retroaurikuler
Liang Telinga Serumen(+),sekret(-) Serumen(+),sekret(-)
Gendang telinga intak intak
Refleks cahaya (+) pada arah jam 5 (+) pada arah jam 7
Rinne (512 Hz) (+) (+)
Weber Lateralisasi (-)
Schwabach Sama dengan pemeriksa Sama dengan pemeriksa
Pemeriksaan Hidung
Pemeriksaan Hidung KANAN Hidung KIRI
Hidung luar Deformitas(+), asimetris Deformitas(-), radang(-)
Kavum nasi Dipenuhi massa polip sempit, sekret (+)
Vestibulum Dipenuhi massa polip Sekret (-)
Terdorong ke kiri, abses(-), Terdorong ke kiri,
Septum
perforasi(-) abses(-), perforasi(-)
Konka superior Tidak terlihat Tidak terlihat
Konka media Tidak terlihat Eutrofi
Konka inferior Tidak terlihat Eutrofi, sekret (+)
mukoid
Meatus superior Tidak terlihat Tidak terlihat
Meatus media Tidak terlihat Tidak dapat dinilai
Meatus inferior Tidak terlihat Sekret (+) mukoid
Setelah tampon dibuka ditemukan:
Pemeriksaan Hidung KANAN Hidung KIRI
Hidung luar Deformitas(+), asimetris Deformitas(-), radang(-)
Kavum nasi Lapang, dipenuhi massa sempit, sekret (+)
Vestibulum Dipenuhi massa polip Sekret (-)
Septum Terdorong ke kiri, abses(-), Terdorong ke kiri,
perforasi(-) abses(-), perforasi(-)
Konka superior Tidak terlihat Tidak terlihat
Konka media Ditemukan massa Eutrofi
Konka inferior nekrotik, rapuh s.d. koana, Eutrofi, sekret (+)
perdarahan (-) mukoid
Meatus superior Tidak terlihat Tidak terlihat
Meatus media Tidak terlihat Tidak dapat dinilai
Meatus inferior Tidak terlihat Sekret (+) mukoid
Pemeriksaan Tenggorok
• Faring
Arkus faring : simetris
Uvula : letak di tengah
Dinding faring : hiperemis (-), granulasi (-)
Tonsil : T1-T1, hiperemis -/-, kripta tidak melebar,
detritus (-), licin
• Laring
Epiglotis, plika ariepiglotika, pita suara palsu, pita suara, aritenoid,
subglotis, fossa piriformis : dalam batas normal massa (-), benda
asing (-), radang(-)
PEMERIKSAAN PENUNJANG
CT SCAN sinus paranasal tanpa dan dengan kontras potongan
aksila dengan rekonstruksi sagital dan koronal (14 Juli 2008)
Tampak massa memenuhi kavum nasi dekstra yang menyangat dengan
pemberian kontras. Septum nasi terdorong ke sisi kiri. Tampak pula
pendesakan dinding medial sinus maksilaris kanan. Massa meluas ke
posterior mencapai kavum nasofaring. Rongga parafaring baik. Ke
superior mengenai sinus etmoidalis kanan. Tak tampak perluasan massa
intrakranial maupun sinus sfenoid, basis kranii intak. M. Pterigoid medial
dan lateral baik. Pterigoid plate lateral dan medial baik.
Sinus maksilaris kanan, frontalis kanan terselubung, tidak menyangat
setelah pemberian kontras. Kavum nasi kiri tak tampak massa, konka
nasalis kiri baik, tak tampak pneumatisasi konka. Prosesus uncinatus
kanan dan kiri baik, ostium sinus maksila dan infundibulum etmoid kiri
terbuka.
Kesan:
1. Massa di kavum nasi kanan yang meluas ke rongga nasofaring, dan
sinus etmoidalis kanan sugestif tumor sinonasal.
2. Sinusitis maksilaris dan frontalis kanan.
Kesimpulan :
- Kardiomegali
- Elongasi aorta dan
kalsifikasi
- Suspek kalsifikasi apeks
paru kiri
Histopatologi (17 Juli 2008) / Biopsi
Mikroskopik :
Sediaan biopsi kavum nasi dekstra menunjukkan jaringan tumor yang
sebagian solid, sebagian lagi membentuk struktur duktal/rongga kistik. Sel
tumor uniform, berinti bulat/oval, ukuran kecil sampai sedang,
hiperkromatik, anak inti kecil. Stroma sebagian miksoid dan sebagian lain
mengalami hyalinisasi, bersebukan sel radang mendadak dan menahun.
Tampak daerah nekrotik luas dan perdarahan.
Kesimpulan:
Tumor kelenjar liur.
DD/
- polymorphous low grade adenocarcinoma
- adenoid cystic carcinoma
Hasil pemeriksaan lanjutan (histokimia):
Histologik lebih sesuai dengan Adenokarsinoma NOS, yang berasal dari
kelenjar liur.
Konsul Mata
Hasil : okuli dekstra tenang, dan tidak ada tindakan di bagian mata
mengingat massa tumor belum menyebabkan gangguan visus, dan
gerakan bola mata ke segala arah.
Resume
Ny. ES, 57 tahun, datang dengan keluhan timbul benjolan di hidung kanan
sejak 2 bulan SMRS. Rinorea (+), post nasal drip (+), kongesti nasal (+),
wajah terlihat asimetris (+), epstaksis (+), sakit kepala (-), diplopia (-),
proptosis (-), epifora (-), tinnitus (-), otalgia (-), hipo/anosmia (-), hidung
gatal (-), mata gatal (-), bersin-bersin di pagi hari (-). Riwayat hipertensi
belum terkontrol, dan sinusitis.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan tekanan darah 140/80 mmHg, tanda
vital lain dan status generalis ditemukan nyeri tekan daerah sinus frontal
dan maksila. Pada pemeriksaan THT, ditemukan wajah asimetri, pada
rinoskopi anterior hidung ditemukan kavum nasi dekstra terisi massa
polip, pada konka media dan inferior dekstra ditemukan massa nekrotik
rapuh sampai daerah koana, dengan perdarahan. Pada konka inferior
sinistra ditemukan sekret mukoid, dan septum terdorong ke kiri. Pada
rinoskopi posterior ditemukan muara tuba eustachius terbuka, sekret (-),
hiperemis (-),koana, septum bagian belakang, konka, torus tubarius, fossa
Rosenmuller, adenoid dalam batas normal, ditemukan massa polip dari
kavum nasi dekstra.
Pada pemeriksaan penunjang CT-scan ditemukan massa di kavum nasi
kanan yang meluas ke rongga nasofaring, dan sinus etmoidalis kanan
sugestif tumor sinonasal, dan sinusitis maksilaris dan frontalis kanan. Dari
foto toraks PA tidak ditemukan gambaran metastasis paru. Pada
pemeriksaan histopatologi didapatkan tumor kelenjar liur dengan
diagnosis banding polymorphous low grade adenocarcinoma, dan adenoid
cystic carcinoma. Dari pemeriksaan histokimia secara histologik lebih
sesuai dengan adenokarsinoma NOS yang berasal dari kelenjar liur
(salivary gland-type adenocarcinoma).
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
Adenokarsinoma sinonasal dekstra T1 N0 M0 Stadium I
Sinusitis maksilaris dan frontalis dextra.
Diagnosis Banding (-)
TATALAKSANA
Rencana Edukasi
Menjelaskan tentang karsinoma sinonasal terutama rencana tatalaksana
sampai prognosis pasien.
Rencana Terapi
Pro operasi ekstirpasi adenokarsinoma sinonasal T1 N0 M0 (Stadium I)
Maxilektomi medial dekstra.
Instruksi pre-op :
Ceftriaxon 1x 2 g iv
Puasa 6 jam pre-op
Konsul IPD
SIO + konsul anestesi
Konsul Ilmu Penyakit Dalam
Hasil : Toleransi operasi sedang
Konsul Anestesi : ASA II dengan hipertensi belum terkontrol
PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN KHUSUS
Klasifikasi pada pasien ini yaitu T1N0M0 sesuai dengan klasifikasi UICC
maupun AJCC dan tergolong dalam stadium I. Sehingga diagnosis akhir
pada pasien ini adalah Adenokarsinoma sinonasal dekstra T1N0M0
Stadium I.
Pada keganasan hidung dan sinus paranasal, pembedahan berupa
maksilektomi masih merupakan modalitas utama, dan lebih sering
bertujuan untuk pengobatan kuratif. Radiasi dan kemoterapi dapat
merupakan pengobatan tambahan. Sedangkan kombinasi pembedahan,
radiasi dan kemoterapi masih besifat paliatif.1 Pada tumor jinak dilakukan
ekstirpasi tumor sebersih mungkin, bila perlu dengan cara pendekatan
rinotomi lateral atau mid-facial degloving. Untuk tumor ganas, tindakan
operasi harus seradikal mungkin. Maksilektomi yang dilakukan dapat
berupa maksilektomi medial, partial, total atau radikal.2
Pilihan pembedahan pada pasien ini berupa tindakan maksilektomi
medial dengan pendekatan rinotomi lateral dinilai tepat, sebab pada
tumor hidung yang sudah meluas ke sinus maksila ataupun etmoid
dilakukan maksilektomi medial dengan pendekatan rinotomi lateral. Hal
ini sesuai dengan lokasi tumor pasien yaitu di kavum nasi dekstra yang
sudah meluas ke sinus etmoidalis dekstra, dan rongga nasofaring.
Akibatnya, pasca operasi masih ditemukan sisa tumor yang banyak di
daerah orbita dan palatum, dan terapi radiasi yang direncanakan pada
pasien tidak dapat memperoleh hasil yang maksimal.
Setelah operasi, pasien diberikan antibiotika Cefriaxon 1 x 2 g,
bertujuan sebagai antibiotik profilaksis, dan juga bermanfaat untuk terapi
sinusitis pasien. Pemberian Ranitidin dimaksudkan untuk mencegah efek
samping gastrointestinal oleh karena perngaruh antibiotik yang diberikan.
Pemberian Transamin (asam Traneksamat) bertujuan untuk mencegah
terjadinya perdarahan pasca operasi. Tramadol (Analgetik) sebagai
analgetik kuat untuk mencegah nyeri pasca operasi pada pasien. Dalam
dua hari perawatan bangsal kondisi klinis pasien membaik dan tidak ada
keluhan. Pada pasien ini pertimbangan pemberian terapi radiasi sebagai
ajuvan dapat ditunda, karena terapi radiasi dilakukan sebagai terapi
paliatif pada keganasan stadium lanjut, pada pasien yang menolak
operasi, pada operasi yang tidak bersih atau masih batas yang tidak
bebas tumor, atau untuk menghentikan perdarahan aktif pada stadium
lanjut. Sedangkan dari laporan pembedahan didapatkan massa tumor
telah dibersihkan dari sinus maksilaris dekstra, kavum nasi dekstra
sampai dengan nasofaring, dan setelah dievaluasi ulang sisa massa tumor
diangkat sampai bersih, sehingga pemberian terapi radiasi dapat ditunda
melihat hasil pencitraan (CT-Scan) pasca operasi untuk melihat apakah
terjadi rekurensi.
Prognosis quo ad vitam pada pasien ini dubia ad bonam. Sebab
pada pasien dengan keganasan maka kita akan bicara mengenai angka
bertahan hidup dalam 5 tahun. Angka bertahan hidup 5 tahun pada
pasien adenokarsinoma sinus paranasal yang menjalani operasi dan
radiasi berkisar 55% untuk T1 dan T2, 28% untuk T3, dan hanya 25%
untuk lesi T4.5 Sehingga angka bertahan hidup pasien masih cukup tinggi.
Prognosis quo ad functionam pasien dubia ad bonam, karena pada
pasien diterapi sesuai kondisinya. Tumor yang belum sempat menginvasi
terlalu jauh, dan tidak ditemukannya keluhan gangguan penciuman
sebelum dan setelah operasi menunjukkan fungsi indera penghidu yang
masih dapat dipertahankan. Prognosis qua ad sanactionam dubia ad
malam, karena adenokarsinoma gradasi rendah sekalipun memiliki
kecenderungan untuk rekurensi lokal.5
BAB V
DAFTAR PUSTAKA