Fisiologi otak
Otak konsumsi energi dan oksigen yang besar (otak mengkonsumsi sekitar 18% total energi tubuh basal, utilisasi 15% dari cardiac output, memakai 20% total oksigen tubuh, menggunakan 25% glukosa tubuh). Pada Cerebral Blood Flow (CBF) normal otak memakai 50% oksigen dan 10% dari glukosa dari arteri. Sitoplasma neuron tidak memiliki cadangan glukosa otak bergantung pada suplai yang cukup dan terus-menerus dari oksigen dan glukosa sehingga apabila terjadi suatu gangguan sirkulasi selama beberapa detik maka dapat dipastikan otak mengalami kerusakan, dan apabila interval gangguan semakin panjang maka dapat menyebabkan kerusakan yang berat dan hebat.
Lapisan Kepala
Otak mengkonsumsi 3-5 ml O2/menit/100 gr tissue (45-75 ml O2/menit/1500 g tissue) Konsumsi glukosa 5 mg/menit/100g tissue (75 mg/mnt/1500 g tissue) CBF normal 50 ml/mnt/100 g tissue (750 ml/mnt/1500 g tissue) yang berisi O2 20 ml O2/100 ml (150 ml O2/ 1500 g tissue), sekitar 23x dari aktifitas normal Otak memakai 35-50% oksigen dari arteri untuk metabolisme
Hemodinamik otak
CBF otak dipengaruhi oleh berbagai macam faktor antara lain: SBP (Systemic Blood Pressure) ICP (Intracranial Pressure) Venous outflow Viskositas darah Autoregulasi pembuluh darah otak PaCO2 PaO2 Collateral flow Vasoreaktifitas pembuluh darah
CBF ditentukan Central Perfusion Pressure (CPP) yang merupakan perbedaan antara MAP (Mean Arterial Pressure) dengan ICP (Intracranial Pressure). Pengaturan resistensi pembuluh darah otak terletak pada arteriol dan segmen prekapiler, dan selain itu faktor yang menentukan aliran darah regional otak adalah metabolisme cerebral. Pada pasien dengan iskemia pada otak dalam kurun waktu 12 jam didapatkan pada 30% pasien ditemukan adanya penurunan CBF secara global hingga mencapai kadar dibawah ambang iskemia ( < 18 ml/100 g/menit).
Difus
Concussio Difus Axonal Injury Subarachnoid Haemorargik
Fraktur Kranium
Meskipun secara teknis bukan merupakan suatu cedera otak, namun banyak fraktur tengkorak menyertai adanya cedera otak (terdapat pada separuh jumlah pasien dengan cedera otak berat). Fraktur linier tipe fraktur paling ringan dan pada umumnya tidak memerlukan terapi yang spesifik. Kecuali regio temporal, karena arterinya mudah robek. Fraktur depresi menyebabkan tulang kranial tertekan kebawah kompresi pada otak. Bagian fraktur dapat menyebabkan laserasi dan adanya hematoma sehingga perlu dilakukan debridement untuk evakuasi bekuan darah dan potongan tulang, perbaikan robekan duramater, serta elevasi dari fragmen tulang yang tertekan
Fraktur kranium
Fraktur basilar pada basis cranii terutama pada fossa anterior atau media. Fraktur pada basilar sulit dideteksi dengan pemeriksaan rontgen biasa sehingga diagnosis dilakukan berdasarkan temuan klinis.
Adanya ekimosis periorbital (racoon eyes), pendarahan subkonjungtiva ekstensif, otorrhea CSF, rhinorrhea CSF, ekimosis pada prosesus mastoideus (Battles Sign)
Adanya otorrhea dan rhinorrea berisi CSF merupakan suatu petanda penting karena menandakan adanya robekan duramater sehingga pasien memiliki resiko terjadi meningitis.
Penunjang diagnostik:
Memastikan cairan serebrospinal secara sederhana dengan tes hal Scanning otak resolusi tinggi dan irisan 3 mm (50%+)
Kontusio
Kontusio terjadi apabila adanya daya fokal yang merusak pembuluh darah kecil dan komponen jaringan otak lainnya pada parenkim neuron. Kontusio umumnya terletak pada lobus inferior frontal dan lobus inferolateral temporal dan jarang terjadi pada lobus occipital dan cerebelum. Sehingga pasien pada umumnya datang dengan suatu perubahan dari sikap dan kepribadian yang disertai adanya defisit wicara dan motorik. Kontusio dapat sembuh dengan sedikit sequale atau dapat berkembang menjadi edema otak. Adanya expanding lesion dapat menyebabkan peningkatan ICP.
Penyebab utama dari kontusio adalah cedera coup-countrecuop karena adanya efek akselerasi dan deselerasi yang menyebabkan tumbukan otak pada cavum kranii dan tulang tengkorak kontra-lateral.
Kontusio
Acute cerebral contusion, there are low-density edema with flake high-density shadow(Asterisk), accompanied with subarachnoid hemorrhage in the suprasellar pool, sylvian cistern and around the right falx cerebri(black arrow). The gas in the suprasellar pool indicates basal skull fractures(black arrowhead).
Hematoma
Epidural Hematoma Subdural Hematoma Intracerebral Hematoma Perdarahan Basal Ganglia
Epidural Hematoma
Epidural hematoma terletak di antara duramater dan kranium sehingga memberikan EDH gambaran bentuk konveks. tersering dari EDH pada regio temporo-pareintal dan sering diakibatkan adanya laserasi dari arteri meningea media karena adanya fraktur pada tulang temporal. Tanda diagnostik klinik:
Lucid interval (+) Kesadaran makin menurun Late hemiparese kontralateral lesi Pupil anisokor Babinsky (+) kontralateral lesi Fraktur di daerah temporal
Hematoma epidural pada fosa posterior akan memberikan gejala dan tanda klinis:
Lucid interval tidak jelas Fraktur kranii oksipital Kehilangan kesadaran cepat Gangguan cerebellum, batang otak dan pernafasan Pupil isokor Butuh operasi secepatnya.
Subdural Hematoma
SDH terletak di antara duramater dan aeachnoid. Berbentuk bulan sabit dengan sisi yang tidak tegas. SDH lebih sering terjadi dibandingkan EDH, terjadi pada sekitar 30% dari cedera kepala berat. SDH umumnya disebabkan oleh robekan dari vena-vena penghubung yang terletak antara korteks dan sinus venosus dan sering disebabkan oleh cedera akselerasi-deselerasi.
Tanda dan gejalanya adalah kesadaran menurun dan ada sakit kepala.
Subdural Hematoma
Di antara dura dan arachnoid Dapat melewati sutura Cortical bridging veins Crescent shape Hilang kesadaran Sering pada orang tua Sering pada alcoholics Cito CT without contrast Evacuate via burr holes
Pendarahan intraserebral pada thalamus atau basal ganglia didapatkan pada 10% pasien dengan cedera kepala berat dan sangat berhubungan dengan peningkatan insidens dari cedera axon difus.
Konkusio
Konkusio merupakan suatu disfungsi neurologik yang singkat (transient) yang disebabkan oleh faktor mekanik terhadap otak. Gambaran klinis:
hilangnya kesadaran (pingsan) Kebingugan Sefalgia Disorientasi selama beberapa menit dan dapat juga disertai amnesia Dapat pula disertai gangguan penglihatan.
Diagnosis utama melalui pemeriksaan klinis dan jarang didapatkan lesi pada CT-scan. Konkusio tidak menyebabkan kerusakan neuron namun menyebabkan disfungsi neuron sementara karena adanya perubahan metabolisme, fungsi neurotransmiter, dan ionic shift dan biasanya sembuh dengan sendirinya.
Cedera akson difus sulit dilihat pada CT-scan sehingga memerlukan MRI untuk deteksi dan menentukan derajat beratnya kerusakan. Cedera akson difus sering dihubungkan dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi dan pasien dengan cedera akson difus sering mengalami persistent vegetative state.
Patofisiologi
Mekanisme cedera pada otak yang terjadi pada TBI dapat terjadi melalui dua mekanisme. Trauma pertama terbentuk area perdarahan atau adanya kompresi. Hal ini disebut sebagai cedera otak primer. Cedera primer dapat berupa hematoma simpel atau suatu lesi yang bersifat kompleks dan difus. Cedera awal menyebabkan disfungsi neuron dan kematian dari sel otak yang disebabkan oleh adanya kerusakan pada pembuluh darah, akson dan neuron itu sendiri. Kerusakan neuron pada cedera primer bersifat ireversibel.
Daerah di sekitar cedera primer penumbra (iskemia). Jaringan otak pada daerah penumbra ini masih dapat diselamatkan atau dapat mati beberapa waktu setelah cedera pertama sehingga diperlukan neuroprotektif khusus untuk mempertahankan fungsi sel di penumbra dan meminimalkan daerah kerusakan. Cedera otak sekunder terjadi apabila telah terjadi kerusakan sel di perbatasan atau di luar penumbra. Mekanisme yang menyebabkan cedera otak sekunder ini biasanya multipel antara lain hipotensi, hipoksemia, hipertermia, peningkatan ICP, gangguan elektrolit. Pada tingkat seluler, proses menuju cedera otak sekunder merupakan suatu kaskade dari proses molekular yang apabila tidak segera diintervensi maka dapat menyebabkan kerusakan seluler dan edema otak. Hal ini dapat menyebabkan peningkatan ICP, gangguan perfusi, kematian neuron, gangguan neurologi permanen.
Faktor faktor lainnya yang berperan dalam cedera otak sekunder antara lain:
Iskemia Excitoxicity Kerusakan yang ditimbulkan karena faktor iskemik menyebabkan pelepasan dari excitatory amino acid (EAA) yang dapat menyebabkan excitoxicity (glutamat dan aspartat). Asam-asam amino ini berperan sebagai neurotransmiter eksitasi yang mempengaruhi reseptor-reseptor kanal kalsium pada jaringan otak yang rusak sehingga menyebabkan terjadinya perubahan konsentrasi natrium dan kalsium yang menyebabkan kerusakan neuron
Gangguan metabolisme Otak sangat bergantung pada suplai dari oksigen dan glukosa untuk metabolisme aerob dan untuk produksi dari ATP. Gangguan perfusi dan oksigenisasi sering terdapat pada cedera kepala yang hebat, terutama terkait dengan adanya hipermetabolisme post trauma. Peningkatan metabolisme menyebabkan terjadinya peningkatan uptake dari glukosa dan oksigen yang sudah berkurang sehingga menimbulkan adanya hipoksia, metabolisme anaerob dan mendorong terjadinya cedera otak sekunder.
Gangguan Blood-brain Barrier (BBB) Fungsi utama BBB adalah untuk memfasilitasi atau membatasi pasase dari berbagai macam substrat dari darah ke otak. Sel-sel endotel pada kapiler serebral pada BBB terikat dengan kuat oleh suatu hubungan yang sangat rapat dan mengandung mitokondria dalam jumlah yang besar untuk memfasilitasi transpor substrat ke otak dan hanya komponen yang larut dalam lemak yang dapat langsung berdifusi ke dalam CSF (CO2, O2, amonia, steroid, prostaglandin, dll). Sel-sel dengan berat molekul lebih besar atau larut dalam air memerlukan transpor aktif atau pasif untuk berpindah dari endotel ke CSF. Proses transpor ini diatur oleh astrosit-astrosit yang mensekresi zat-zat kimia untuk mengatur permeabilitas endotel. Pada TBI maka dapat terjadi gangguan pada astrosit sehingga menyebabkan terbentuknya edema yang disebabkan oleh tekanan hidrostatik dari kapiler dan selain itu faktor hipertermia juga berperan terhadap gangguan pada BBB
Faktor-faktor inflamasi Fungsi sitokin sebagai faktor inflamasi sangat penting dalam patofisiologi TBI. Sitokin merupakan suatu protein yang berfungsi sebagai mediator inflamasi dan berperan dalam komunikasi intraseluler. Sitokin dilepaskan sebagai mekanisme pertahanan terhadap adanya infeksi, trauma, dan iskemia pada TBI. Pada TBI sitokin yang dihasilkan berasal dari intrinsik (oleh neuron, astrosit, dan mikroglia) dan ekstrinsik (karena infiltrasi leukosit). Ekspresi sitokin yang berlebihan berbahaya untuk jaringan yang rusak dan dapat menyebabkan kematian seluler dan kontrasnya kadar sitokin yang rendah dapat memacu proses perbaikan seluler. Sitokin utama yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumor necrosis factor (TNF) berperan sebagai mediator apoptosis neuronal sehingga memicu terjadinya neuronal loss pada pasien dengan TBI. Selain itu IL-1 dan TNF menganggu aktivitas sel endotel sehingga terjadi kerusakan endotel dan peningkatan permeabilitas.
Edema Cerebri
Salah satu faktor yang turut menyebabkan cedera otak sekunder adalah adanya edema serebral yang disebabkan oleh adanya leukosit dan platelet sebagai akibat adanya aktifasi dari faktor-faktor inflamasi dan respon imun. Klasifikasi edema serebral:
Vasogenic edema Disebabkan oleh adanya gangguan pada BBB yang menyebabkan akumulasi dari cairan kaya protein pada ruang ekstraseluler. Vasogenic edema menyebabkan pembengkakan lokal pada daerah sekitar kontusio atau hematoma Cytotoxic edema Edema ini terjadi bersamaan dengan kerusakan hipoksia-iskmik diman terjadi gangguan gradien ion sehingga terjadi akumulasi cairan intraseluler Hydrostatic edema Disebabkan oleh peningkatan dari tekanan intravaskuler secara tiba-tiba pada pembuluh darah yang intak sehingga terjadi akumulasi dari cairan yang miskin protein. Hydrostatic edema juga dapat menyertai dekompresi mendadak pada lesi yang besar atau saat terjadi gangguan autoregulasi Osmotic brain edema Disebabkan oleh adanya penurunan dari osmolalitas serum dalam jumlah besar, sehinggga menyebabkan peningkatan cairan intraseluler. Etiologinya disebabkan oleh adanya hemodilusi yang iatrogenik akibat adanya penggunan dextrosa IV/ cairan berbasis air atau adanya SIADH Interstitial brain edema Disebabkan oleh adanya ekstavasasi air periventrikular, edema terjadi hanya pada hydrosefalus dengan obstruksi tekanan tinggi
Pada CT-scan ditemukan gambaran yang sesuai dengan peningkatan ICP yaitu midline shift, hilangnya sulci, hilangnya gambaran ventrikel, dan adanya edema.
Diagnosis
Minimal (Simple Head Injury) GCS 15, tidak ada penurunan kesadaran, tidak ada amnesia pasca trauma (APT), tidak ada defisit neurologis Trauma kapitis ringan (Mild Head Injury) GCS 13-15, CT scan normal, pingsan < 30 menit, tidak ada lesi operatif, rawat RS < 48 jam, amnesia pada trauma (APT) < 1 jam Trauma kapitis sedang (Moderate Head Injury) GCS 9-12 dan dirawat > 48 jam, atau GCS > 12 akan tetapi ada lesi operatif intrakranial atau abnormal CT scan, pingsan >30 menit 24 jam, APT 1-24 jam Trauma kapitis berat (Severe Head Injury) GCS < 9 yang menetap dalam 48 jam sesudah trauma, pingsan > 24 jam, APT > 7 hari
Penatalaksanaan CKB
Penderita cedera kepala berat tidak mampu melakukan perintah-perintah sederhana walaupun status kardiopulmonernya telah distabilisasi. Primary Survey
Airway & breathing Memaksimalkan oksigenasi dan ventilasi. Daerah tulang servikal harus diimobilisasi dalam posisi netral menggunakan stiffneck collar, head block dan diikat pada alas yang kaku pada kecurigaan fraktur servikal. Pernapasan dinilai dengan menghitung laju pernapasan, memperhatikan kesimetrisan gerakan dinding dada, penggunaan otot-otot pernapasan tambahan, dan auskultasi bunyi pernapasan di kedua aksila. Pada cedera kepala berat sering terjadi gangguan terhentinya pernapasan sementara. Penatalaksanaan pada kasus ini adalah dengan intubasi endotrakeal. Tindakan hiperventilasi harus dilakukan hati-hati pada penderita cedera kepala berat. Tindakan ini dapat digunakan sementara untuk mengkoreksi asidosis dan menurunkan secara cepat tekanan intrakranial. pCO2 harus dipertahankan antara 35-40 mmHg sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah ke otak. Penggunaan manitol dapat menurunkan tekanan intracranial
Sirkulasi dilakukan pemberian resusitasi cairan intravena, yaitu cairan isotonic, seperti Ringer Laktat atau Normal Salin (20ml/kgBB) jika pasien syok, tranfusi darah 10-15 ml/kgBB harus dipertimbangkan Defisit Neurologis. Status neurologis dinilai dengan menilai tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil. Tingkat kesadaran dapat diklasifikasikan menggunakan GCS. Anak dengan kelainan neurologis berat seperti anak dengan nilai GCS 8 harus diintubasi. Kontrol Pemaparan/ Lingkungan. Semua pakaian harus dilepaskan sehingga semua luka dapat terlihat. Anak-anak sering datang dengan keadaan hipotermia ringan karena permukaan tubuh mereka lebih luas. Pasien dapat dihangatkan dengan alat pemancar panas, selimut hangat, maupun pemberian cairan intravena (yang telah dihangatkan sampai 390C)
Secondary survey Observasi ketat penting pada jam-jam pertama sejak kejadian cedera. Bila telah dipastikan penderita CKR tidak memiliki masalah dengan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi darah, maka tindakan selanjutnya adalah penanganan luka yang dialami akibat cedera disertai observasi tanda vital dan deficit neurologis. Selain itu pemakaian penyangga leher diindikasikan jika :
Cedera kepala berat, terdapat fraktur klavikula dan jejas di leher Nyeri pada leher atau kekakuan pada leher Rasa baal pada lengan Gangguan keseimbangan atau berjalan Kelemahan umum Bila setelah 24 jam tidak ditemukan kelainan neurologis berupa : Penurunan kesadaran (menurut GCS) dari observasi awal Gangguan daya ingat Nyeri kepala hebat Mual dan muntah Kelainan neurologis fokal (pupil anisokor, reflex patologis) Fraktur melalui foto kepala maupun CT scan Abnormalitas anatomi otak berdasarkan CT scan
TERIMA KASIH