Anda di halaman 1dari 3

DINAMIKA PELAKSANAAN UUD 1945

A. Masa Awal Kemerdekaan


Pada masa awal bangsa Indonesia setelah meproklamasikan kemerdekaannya mengalami berbagai macam gangguan terutama adalm upaya untuk mempertahankan kemerdekaannya. Pada masa ini, kolonialisme Belanda berupaya untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia dengna membonceng tentara Sekutu. Selain itu juga telah terjadi berbagai macam pemberontakan yang bersumber pada pertentangan ideologi yang ingin mengubah negara kesatuan Republik Indonesia dengan ideologi lainnya, antara lain pemberontakan PKI di Madiun tahun 1948. PRRI Permesta, DI/TII dan lain sebagainya. Pada bulan September 1955 dan Desember 1955 diadakan pemilihan umum, yang masingmasing untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Konstituante. Tugas konstituante adalah untuk membentuk menyusun Undang-Undang Dasar yang tetap sebagai pengganti UUDS 1950. Untuk mengambil suatu putusan mengenai Undang-Undang Dasar yang baru ditentukan pada pasal 137 UUD1950 sebagai berikut. 1. Untuk mengambil putusan tentang Rancangan Undang-Undang Dasar baru sekurangkurangnya 2/3 jumlah anggota konstituante harus hadir. 2. Rancangan tersebut diterima jika disetujui oleh sekurang-kurang 2/3 dari jumlah anggota yang hadir. 3. Rancangan yang telah diterima oleh Konstituante dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan oleh Pemerintah. 4. Pemerintah harus mengesahkan rancangan itu dengan segera serta mengumumkan UndangUndang Dasar itu dengan keluhuran. Dalam kenyataannya Konstituante selama dua tahun bersidang belum mampu menghasilkan suatu kesepakatan tentang Undang-Undang Dasar yang baru. Hal ini dikarenaka dalam sidang Konstituante munculah suatu usul untuk mengembalikan Piagam Jakarta dalam Pembukaan UUD baru. Oleh karena itu presiden pada tanggal 22 April 1959 memberikan pidatonya di depan sidang Konstituante untuk kembali kepada UUD 1945. Hal ini diperkuat dengan suatu alasan bahwa sidang Konstituante telah mengalami jalan buntu, terutama setelah lebih dari separo anggota Konstituante menyatakan untuk tidak akan menghadiri sidang lagi. Atas dasar kenyataan tersebut Presiden mengeluarkan Dekrit yang didasarkan pada suatu hukum darurat negara (Staatsnoodrecht). Hal ini megingat keadaan ketatanegaraan yang membahayakan kesatuan, persatuan, keselamatan serta keutuhan bangsa dan negara Republik Indonesia. Dekrit Presiden 5 Juli 1959 1. Menetapkan pembubaran Konstituante. 2. Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi, bagi segenap bangsa Indonesia dan selurut tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlakunya lagi Undang-Undang Dasar Sementara 1950. 3. Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara yang terdiri atas AnggotaAnggota Dewan Perwakilan Rakyat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan serta Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.

B. Masa Orde Lama


Sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 itu maka UUD 1945 berlaku kembali di negara Republik Indonesia. Sekalipun UUD 1945 secara yuridis formal sebagaoi hukum dasar tertulis dan berlaku di Indonesia namun realisasi ketatanegaraan Indonesia tidak melaksanakan makna dari UUD 1945 itu sendiri. Sejak itu mulai berkuasa kekuasaan Orde Lama yang secara ideologis banyak dipengaruhi oleh paham komunisme. Hal ini nampak adanya berbagai macam penyimpanan ideologis yang dituangkan dalam berbagai bidang kebijaksanaan dalam negara. Dikukuhkannya ideologi Nasakom, dipaksakannya doktrin negara dalma keadaan revolusi. Oleh karena revolusi adalah permanen maka Presiden sebagai kepala negara yang sekaligus juga sebagai pemimpin besar revolusi diangkat menjadi pemimpin besar revolusi, sehingga Presiden masa jabatannya seumur hidup. Penyimpanan ideologis maupun konstitusional ini berakibat pada penyimpanan-penyimpanan konstitusional lainnya sebagai berikut. 1. Demokrasi Indonesia diarahkan menjadi demokrasi terpimpin, yang dipimpin oleh Presiden, sehingga praktis bersifat otoriter. Pada hal sebenarnya di negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila berasas-kan kerakyatan, sehingga seharusnya rakyatlah sebagai pemegang serta asal mula kekuasaan negara, demikian juga sebagaimana tercantum dalam UUD 1945. 2. Oleh karena Presiden sebagai pemimpin besar revolusi maka memiliki wewenang yang melebihi sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945, yaitu mengeluarkan produk hukum yang setingkat dengan Undang-Undang tanpa melalui persetujuan DPR dalam bentuk penetapan Presiden. 3. Dalam tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah, kemudian Presiden waktu itu membubarkan DPR hasil Pemilu 1955 dan kemudian membentuk DPR Gotong Royong. Hal ini jelas-jeas sebagai pelanggaran konstitusional yaitu kekuasaan eksekutif di atas kekuasaan legislatif. 4. Pimpinan lembaga tertinggi dan tinggi negara dijadikan menteri negara, yang berarti sebagai pembantu Presiden. Dengan dipelopori oleh pemuda, pelajar, dan mahasiswa rakyat Indonesia menyampaikan Trituna (Tri Tuntutan Rakyat) yang meliputi. a. Bubarkan PKI. b. Bersihkan kabiner dari unsur-unsur PKI. c. Turunkan harga/perbaikan ekonomi.

C. Masa Orde Baru


Orde di bawah pimpinan Soeharto pada awalnya untuk mengembalikan keadaan setelah pemberontakan PKI bertekad untuk mempelopori pembangunan nasional Indonesia sehingga Orde Baru juga sering diistilahkan dengan Orde Pembangunan. Untuk itu MPRS mengeluarkan berbagai macam pembangunan penting antara lain sebagai berikut. 1. Tap MPRS No. XII/MPRS/1966 tentang kabinet Ampera, yang isinya menyatakan agar Presiden menugasi pengemban Super Semar, Jenderal Soeharto, untuk segera membentuk Kabinet Ampera. 2. Tap MPRS No. XVIII/MPRS/1966 yang dengan pemintaan maaf, menarik kembali pengangkatan Pemimpim Besar Revolusi menjadi Presiden seumur hidup. 3. Tap MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPRGR mengenai sumber tertib hukum Republik Indonesia dan tata urutan perundang-undangan.

4. Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966 mengenai penyederhanaan kepartaian, keormasan dan kekaryaan. 5. Tap. MPRS No. XXV/MPRS/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia dan pernyataan tentang partai tersebut sebagai partai terlarang diseluruh wilayah negara Indonesia, dan larangan pada setiap kegiatan untuk menyebar luaskan atau mengembangkan faham ajaran komunisme/Marxisme, Leninisme. Pada saat itu bangsa Indonesia dalam keadaan yang tidak menentu baik yang menyangkut bidang politik, ekonomi maupun keamanan. Dalam keadaan yang demikian inilah pada bulan Februari 1967 DPRGR mengeluarkan suatu resolusi yaitu meminta MPR(S) agar mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Menanggapi resolusi DPRGR inilah MPRS kemudian mengadakan sidang istimewa pada bulan Maret 1967. Sidang Istimewa tersebut mengambil suatu keputusan sebagai berikut. 1. Presiden Soekarno telah tidak dapat memenuhi pertanggung jawaban konstitusional dan tidak dapat menjalankan haluan dan putusan MPR(S) sebagaimana layaknya kewajiban seorang Mandataris terhadap MPR(S), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945. 2. Sidang menetapkan berlakunya Tap. No. XV/MPRS/1966 tentang pemilihan/penunjukkan wakil Presiden dan tata cara pengangkatan Pejabatan Presiden dan mengangkat Jendral Soeharto. Pengemban Tap. No. IX/MPRS/1966, sebagai Pejabat Presiden berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 hingga dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilihan Umum.

D. Masa Reformasi
Kekuasaan Orde Baru dibawah Soeharto sampai tahun 1998 membawa ketatanegaraan Indonesia tidak mengamanatkan nilai-nilai demokrasi sebagaimana terkandung dalam Pancasila yang mendasarkan pada kenyataan di mana rakyat yang memiliki kekuasaan tertinggi dalam negara, bahkan juga sebenarnya juga tidak mencerminkan pelaksanaan demokrasi atas dasar norma-norma pasal-pasal UUD1945. Praktek kenegaraan dijangkiti penyakit Korupsi, Kolusi, danNepotisme )KKN. Keadaan yang demikian ini membawa rakyat Indonesia semakin menderita. Terutama karena adanya badai krisis ekonomi dunia yang juga melanda Indonesia maka praktis GBHN 1998 pada PJP II Pelita ketujuh tidak dapat dilaksanakan. Ekonomi Indonesia hancur, sektor riil ekonomi macet. PHK, pengangguran meningkat tajam sehingga terjadilah krisis kepercayaan dan krisis politik. Antiklimaks dari keadaan tersebut, timbullah berbagai gerakan masyarakat yang dipolopori oleh generasi muda terutama mahasiswa sebagai suatu gerakan moral yang memiliki kekuatan yang luar biasa yang menuntut adanya reformasi di segala bidang kehidupan negara terutama bidang politik, ekonomi dan hukum. Awal keberhasilan gerakan reformasi tersebut adalah ditandai dengan mundurnya presiden Soeharto dari singgasana kepresidenan dan diganti oleh Wakil Presiden Prof. Dr. Bj. Habibie pada tanggal 21 Mei 1998. Pemerintahan Habibie inilah yang merupakan Pemerintahan Transisi yang akan membawa bangsa Indonesia untuk melakukan reformasi secara menyeluruh, terutama menata ketatanegaraan Indonesia sesuai dengan UUD 1945.

Anda mungkin juga menyukai