Anda di halaman 1dari 3

Aksesibilitas, Kepuasan dan Hak Berwisatawa Ga tau, apakah yang lain juga memiliki tingkat kepuasan yang sama

dengan saya atau tidak. Soalnya setiap saya melakukan travelling saya paling suka jalan-jalan sendiri. Klimaks keseruannya adalah saat tersesat. Yah, kalau sudah demikian kembali ke opsi terakhir, taksi. Akhirnya kepuasan itu datang dan kita jadi lebih tau tentang daerah tersebut. I dont have a certain reason but just feel it that way. Ngomong-ngomong tentang taksi. It always is in my last option. Jadi, kemana-mana tu enaknya pake kenderaan umum. Serunya lagi, kalau daerah itu masih baru untuk kita kunjungi, sudah pasti mulut harus bergoyang. Kalau mulut tak mampu, badan pun ikut bergoyang. Kenapa harus sampai segitu? Maksudnya, tempat baru, budaya baru, orang baru, dan bahasa baru. Kalau percakapan verbal tidak dimengerti terpaksa kita keluarkan jurus bahasa tubuh. Aksesibilitas tentu faktor utamanya adalah transportasi. Transportasi dan Pariwisata memiliki arti tersendiri. Pariwisata dan Transportasi merupakan keseluruhan rangkaian kegiatan yang berhubungan dengan gerakan manusia yang melakukan perjalanan atau persinggahan sementara dari tempat tinggalnya ke suatu atau beberapa tempat tujuan di luar lingkungan tempat tinggalnya yang didorong oleh beberapa keperluan atau motif tanpa bermaksud mencari nafkah tetap (situs Badan Pusat Statistik). Faktanya, seperti yang ditulis Andar D. Goeltom, M.Sc dalam esainya. Wisatawan Eropa yang berkisar 700-800 ribu orang tinggal di Indonesia dengan asumsi selama rata-rata 16-17 hari dengan pengeluaran 1500 Dollar AS. Belum lagi fakta wisatawan mancanegara yang tinggal di Bandung (kebanyakan tujuan transit ke Bali atau kota-kota lain) kurang lebih sebanyak 100 ribu orang dan minimal menghabiskan 2jt rupiah per harinya. Sektor pariwisata sangat menggiurkan. Namun bagaimana dengan wisatawannya, terutama wisatawan lokal yang rata-rata termasuk kelompok menengah ke bawah? Hal menarik saya temukan dari sebuah artikel, dimana penulisnya membandingkan pariwisata Indonesia dengan Jepang. Indonesia memiliki 1000 kali lipat pesona dibandingkan jepang. Kita punya Pulau Lombok, Wakatobi, Bangka & Belitung, Raja Ampat, Samosir dan masih banyak lagi. Rasanya Jepang, kalau dibandingkan dengan Indonesia. Sudahlah, Indonesia pasti ga ada duanya. Bagaimanapun, uang menjadi soal, tertutama di negara berkembang seperti Indonesia. Uang termasuk dalam factor aksesibilitas, dan berbanding lurus. Dalam artikel yang saya sebutkan tadi, penulis mengatakan hanya dengan kisaran 2,8jt anda sudah bisa berkeliling hamper seluruh Jepang. Tentunya kalau kita hitung dengan ongkos pesawat akan jadi lebih mahal. Mirisnya, harga yang lebih mahal itu akan sama dengan paket perjalanan ke Raja Ampat yang secara geografis jaraknya hanya sejengkal untuk Orang Indonesia, jika dibandingkan dengan jarak ke Jepang. Mengapa berwisata di Jepang bisa semurah itu? Berbicara soal Jepang, kita tidak hanya berbicara soal murahnya saja. Faktor-faktor pendukung seperti transportasi sangat ditunjang disana. Misalnya penggunaan kereta api atau Japan Railway, transportasi masal yang memegang peran penting

penunjang pariwisata. Terdapat pula diskon-diskon untuk tujuan pariwisata tertentu. Gampang dan murah, itulah kata yang bisa mendeskripsikan pariwisata jepang. Sebenarnya saya tidak ingin membicarakan perekonomian pariwisata, tapi lebih kepada aksesibilitasnya. Namun pertanyaan mana yang lebih menguntungkan? pastinya ada. Baiklah, Indonesia memiliki atraksi dari pesona keindahannya, sayang ongkosnya termasuk mahal. Hanya beberapa kalangan yang dapat menikmatinya. Terlebih dengan harga yang mahal membuat wisatawan hanya memilih satu dari sekian objek wisata di Indonesia. Jepang, seperti yang dijelaskan tadi, gampang dan murah. Dapat diakses oleh wisatawan lokal maupun mancanegara. Ditambah, ongkos murah yang menarik wisatawan untuk menelusuri setiap tempat wisata di Jepang. Keduanya (dalam pandangan situasi ini) memiliki kelemahan dan kelebihan. Indonesia merupakan tempat wisata kelas VIP sedangkan Jepang mencakup segala golongan. Lagipula, keunggulan Jepang terletak pada transportasi umumnya, jangan mengharapkan harga yang lebih murah untuk ongkos taksi, karena berkali-kali lipat mahalnya daripada di Indonesia. Sebaiknya kita tinggalkan pembicaraan Indonesia vs. Jepang ini. Intinya saya pribadi (mungkin juga keinginan banyak orang) ingin berkeliling Indonesia dengan budget yang rendah. Masih soal aksesibilitas, dimana semua kalangan masyarakat ingin menikmati Indonesia. Indonesia bukan cuma ancol atau ragunan. Objek wisata Indonesia banyak. Akses menjadi masalah besar, terutama masalah biaya. Sedih, ketika suatu yang kita cintai, tidak dapat kita lihat seutuhnya. Saya berkata, mustahil untuk kita melihat kesuluruhan Indonesia yang terdiri dari beragam suku, budaya, dan agama. Saya rasa, semua orang Indonesia harus tau apa itu Indonesia, bukan apa itu Jawa, Sumatra, Sulawesi, atau lainnya. Itu hak mereka yang pemerintah harus dukung dengan cara meningkatkan aksesibilitas pariwisata. Seperti salah satu artikel dari wisata.kompasiana.com, Jika konsep low cost carrier saja bisa diwujudkan, mengapa low cost travelling tidak bisa? Dalam artikel kompasiana tersebut juga disebutkan sudah banyak agen perjalanan (travelling) yang mengeluarkan produk backpacking, namun masih belum bisa dijangkau. Menurut saya, pemerintah bisa membangun infrastruktur-infrastruktur yang mendukung konsep tersebut. Di lain sisi, keuntungan pariwisata akan bertambah dengan adanya peluang baru tersebut yang mampu menampung demand lebih besar. For now, what we (youth) gonna do? My big appreciation to AICT atas program Indonesia Kita batch satu. Ini merupakan apresiasi saya pribadi sebagai penulis, terhadap teman-teman AICT, termasuk peserta Indonesia Kita dan bukan disebabkan karena saya bagian dari AICT.

Semoga program Indonesia Kita kedepannya tetap berlanjut. Mengapa? Karena ketika program ini menjadi sebuah kontinuitas, ide dari Low Cost Travelling (LCT) akan tercapai. Saya harap dukungan baik dari pemerintah maupun pihak lainnya terus bertambah. Indonesia Kita merupakan contoh yang jelas tentang ide dari Low Cost Travelling itu sendiri. Ditambah dengan pematangan ilmu wisata dan kegiatan kepemudaan dalam program acara tersebut yang menjadi excitement tersendiri. Walaupun ide LCT masih belum bisa dikatakan tercapai. Inti dari LCC dan LCT itu sama, yaitu efesiensi. Sementara Indonesia Kita merupakan program organisasi yang tujuannya membentuk kader-kader pemerhati Pariwisata Indonesia. Sebenarnya tujuannya tidak masalah, karena seperti definisi dari transportasi dan pariwisata yang tidak mempersoalkan tujuan, melainkan hanya mengecualikan tujuan kerja. Masalahnya, ruang lingkup Indonesia Kita masih dikatakan terbatas. Itulah sebabnya jika program ini menjadi sebuah kontuinitas, LCT baru bisa dicapai. Dimana program ini sudah tersampaikan dan diaplikasikan oleh banyak pihak. Paling tidak sekarang sudah ada paket-paket wisata murah dan berkualitas, salah satunya yang ditawarkan oleh myindonesia. Semoga pariwisata Indonesia bisa lebih berkompetisi dalam menyediakan akses terhadap semua kalangan. Saya lihat perkembangan itu ada saat ini. So, What we gonna do? 1. Like AICT facebook fanpage and follow our twitter account 2. Support us! No, thats not enough! Pertama yang harus disadari adalah pentingnya aksesibiltas dalam pariwisata. Apakah dengan alasan keuntungan atau moral (seperti ingin mempertahankan budaya Indonesia?). Selanjutnya, memarakkan kompetisi dalam pemberian akses tersebut. Baik itu melalui organisasi nonpemerintah, seperti AICT, atau dengan memulai bisnis itu sendiri atau mungkin bisa terlebih dulu belajar dengan menjadi konsumen. A lot of things you can do, just try it on.

Sumber: http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/05/01/seri-belajar-dari-jepang-iii-sinergi-transportasidan-pariwisata-130403.html Esai: Andar Danoeva Goeltom, M.Sc, Transportasi dan Pariwisata

Anda mungkin juga menyukai