Anda di halaman 1dari 19

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2005 TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN

UMUM DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah; b. bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 sudah tidak sesuai sebagai landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum; c. bahwa berdasarkan pertimbangan huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; Mengingat : 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2043); 3. Undang-undang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 158, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2106); 4. Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1961 Nomor 288, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2324); 5. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501); MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PRESIDEN TENTANG PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Presiden ini yang dimaksud dengan: 1. Pemerintah pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden kekuasaan Republik Indonesia Negara yang Republik memegang Indonesia pemerintahan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. 3. Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah atau dengan pencabutan hak atas tanah. 4. Rencana Tata Ruang Wilayah adalah hasil perencanaan tata ruang wilayah. 5. Kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. 6. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah adalah kegiatan melepaskan hubungan hukum antara pemegang hak atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti rugi atas dasar musyawarah. 7. Pihak yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah adalah perseorangan, badan hukum, lembaga, unit usaha yang mempunyai hak penguasaan atas tanah dan/atau bangunan serta tanaman yang ada di atas tanah. 8. Hak atas tanah adalah hak atas bidang tanah sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. 9. Panitia Pengadaan Tanah adalah panitia yang dibentuk untuk membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. 10. Musyawarah adalah kegiatan yang mengandung proses saling mendengar, saling memberi dan saling menerima pendapat, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk

dan besarnya ganti rugi dan masalah lain yang berkaitan dengan kegiatan pengadaan tanah atas dasar kesukarelaan dan kesetaraan antara pihak yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dengan pihak yang memerlukan tanah. 11. Ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik dan/atau non fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. 12. Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah adalah lembaga/tim yang profesional dan independen untuk menentukan nilai/harga tanah yang akan digunakan sebagai dasar guna mencapai kesepakatan atas jumlah/besarnya ganti rugi. BAB II PENGADAAN TANAH Pasal 2 (1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilaksanakan dengan cara: a. pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; atau b. pencabutan hak atas tanah. (2) Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau pemerintah daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Pasal 3 (1) Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dilakukan berdasarkan prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah. (2) Pencabutan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf b dilakukan berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya. Pasal 4 (1) Pengadaan dan rencana pemenuhan kebutuhan tanah yang diperlukan bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan pada Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan lebih dahulu. (2) Bagi daerah yang belum menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah, pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada. (3) Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan oleh Bupati/ Walikota atau Gubernur, maka bagi siapa yang ingin melakukan pembelian tanah di atas tanah tersebut, terlebih dahulu harus mendapat persetujuan tertulis dari Bupati/ Walikota atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya. Pasal 5 Pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan Pemerintah atau pemerintah daerah meliputi: a. jalan umum, jalan tol, rel kereta api (di atas tanah, di ruang atas tanah, ataupun di ruang bawah tanah), saluran air minum/air bersih, saluran pembuangan air dan sanitasi;

b. waduk, bendungan, bendung, irigasi, dan bangunan pengairan lainnya; c. rumah sakit umum dan pusat kesehatan masyarakat; d. pelabuhan, bandar udara, stasiun kereta api dan terminal; e. peribadatan; f. pendidikan atau sekolah; g. pasar umum; h. fasilitas pemakaman umum; i. fasilitas keselamatan umum; j. pos dan telekomunikasi; k. sarana olah raga; l. stasiun penyiaran radio, televisi dan sarana pendukungnya; m. kantor Pemerintah, pemerintah daerah, perwakilan negara asing, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan atau lembagalembaga internasional di bawah naungan Perserikatan BangsaBangsa; n. fasilitas Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya; o. lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan; o. rumah susun sederhana; p. tempat pembuangan sampah; q. cagar alam dan cagar budaya; r. pertamanan; s. panti sosial; t. pembangkit, transmisi, distribusi tenaga listrik.

BAB III PANITIA, MUSYAWARAH, DAN GANTI RUGI Bagian Pertama Panitia Pengadaan Tanah Pasal 6 (1) Pengadaan tanah untuk kepentingan umum di wilayah kabupaten/kota dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah kabupaten/kota yang dibentuk oleh Bupati/Walikota. (2) Panitia pengadaan tanah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dibentuk oleh Gubernur. (3) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah kabupaten/kota atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah provinsi yang dibentuk oleh Gubernur. (4) Pengadaan tanah yang terletak di dua wilayah provinsi atau lebih, dilakukan dengan bantuan panitia pengadaan tanah yang dibentuk oleh Menteri Dalam Negeri yang terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur pemerintah daerah terkait. (5) Susunan keanggotaan panitia pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) unsur perangkat daerah terkait. Pasal 7 Panitia pengadaan tanah bertugas: a. mengadakan penelitian dan inventarisasi atas tanah, bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang ada kaitannya dengan tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; b. mengadakan penelitian mengenai status hukum tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan, dan dokumen yang mendukungnya; c. menaksir dan mengusulkan besarnya ganti rugi atas tanah yang haknya akan dilepaskan atau diserahkan; d. memberikan penjelasan atau penyuluhan kepada masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah mengenai rencana dan tujuan pengadaan tanah terdiri atas

tersebut dalam bentuk konsultasi publik baik melalui tatap muka, media cetak maupun media elektronik agar dapat diketahui oleh seluruh masyarakat yang terkena rencana pembangunan dan/atau pemegang hak atas tanah; e. mengadakan musyawarah dengan para pemegang hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah dalam rangka menetapkan bentuk dan/atau besarnya ganti rugi; f. menyaksikan pelaksanaan penyerahan ganti rugi kepada para pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan bendabenda lain yang ada di atas tanah; g. membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah; h. mengadministrasikan dan mendokumentasikan semua berkas pengadaan tanah dan menyerahkan kepada pihak yang berkompeten. Bagian Kedua Musyawarah Pasal 8 (1) Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan melalui musyawarah dalam rangka memperoleh kesepakatan mengenai: a. pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum di lokasi tersebut; b. bentuk dan besarnya ganti rugi. (2) Musyawarah dilakukan di tempat yang ditentukan dalam surat undangan.

Pasal 9 (1) Musyawarah dilakukan secara langsung antara pemegang hak atas tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda lain yang

berkaitan dengan tanah bersama panitia pengadaan tanah, dan instansi Pemerintah atau pemerintah daerah yang memerlukan tanah. (2) Dalam hal jumlah pemegang hak atas tanah tidak memungkinkan terselenggaranya musyawarah secara efektif, maka musyawarah sebagaimana dimaksud dilaksanakan oleh panitia pengadaan Pemerintah oleh atau pemerintah hak atas daerah yang tanah, pada ayat (1) memerlukan sekaligus tanah dan instansi

tanah dengan wakil-wakil yang ditunjuk di antara dan para pemegang yang bertindak selaku kuasa mereka. (3) Penunjukan wakil atau kuasa dari para pemegang hak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus dilakukan secara tertulis, bermaterai cukup yang diketahui oleh Kepala Desa/Lurah atau surat penunjukan/kuasa yang dibuat di hadapan pejabat yang berwenang. (4) Musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dipimpin oleh ketua panitia pengadaan tanah. Pasal 10 (1) Dalam hal kegiatan pembangunan untuk kepentingan umum yang tidak dapat dialihkan atau dipindahkan secara teknis tata ruang ke tempat atau lokasi lain, maka musyawarah dilakukan dalam jangka waktu paling lama 90 hari kalender terhitung sejak tanggal undangan pertama. (2) Apabila setelah diadakan musyawarah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak tercapai kesepakatan, panitia pengadaan tanah menetapkan bentuk dan besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan menitipkan ganti rugi uang kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan.

(3) Apabila terjadi sengketa kepemilikan setelah penetapan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka panitia menitipkan uang ganti rugi kepada pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Pasal 11 Apabila dalam musyawarah telah dicapai kesepakatan antara pemegang pemerintah hak atas tanah dan instansi Pemerintah dan/atau daerah yang memerlukan tanah, panitia

pengadaan tanah mengeluarkan keputusan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi sesuai dengan kesepakatan tersebut. Bagian Ketiga Ganti Rugi Pasal 12 Ganti rugi dalam rangka pengadaan tanah diberikan untuk: a. hak atas tanah; b. bangunan; c. tanaman; d. benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah. Pasal 13 (1) Bentuk ganti rugi dapat berupa: a. uang; dan/atau b. tanah pengganti; dan/atau c. pemukiman kembali. (2) Dalam hal pemegang hak atas tanah tidak menghendaki bentuk ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka dapat diberikan kompensasi berupa modal (saham) sesuai dengan ketentuan perundang- Undangan. penyertaan peraturan

Pasal 14 Penggantian terhadap bidang tanah yang dikuasai dengan hak ulayat diberikan dalam bentuk pembangunan fasilitas umum atau bentuk lain yang bermanfaat bagi masyarakat setempat. Pasal 15 (1) Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas: a. Nilai Jual Obyek Pajak atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penetapan Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia; b. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan; c. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian. (2) Dalam rangka menetapkan dasar perhitungan ganti

rugi, Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah ditetapkan oleh Bupati/ Walikota atau Gubernur bagi Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Pasal 16 (1) Ganti rugi diserahkan langsung kepada: a. pemegang hak atas tanah atau yang berhak sesuai dengan peraturan perundang-undangan; atau b. nadzir bagi tanah wakaf. (2) Dalam hal tanah, bangunan, tanaman, atau benda

yang berkaitan dengan tanah dimiliki bersama-sama oleh beberapa orang, sedangkan satu atau beberapa orang pemegang hak atas tanah tidak dapat ditemukan, maka ganti rugi yang menjadi hak orang yang tidak dapat ditemukan tersebut dititipkan di pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi lokasi tanah yang bersangkutan. Pasal

17 (1) Pemegang hak atas tanah yang tidak menerima keputusan panitia pengadaan tanah dapat mengajukan keberatan kepada Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan disertai dengan penjelasan tersebut. (2) Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengupayakan penyelesaian mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi tersebut dengan mempertimbangkan pendapat dan keinginan dari pemegang hak atas tanah atau kuasanya. (3) Setelah mendengar dan keinginan pemegang pertimbangan kewenangan hak mempelajari pendapat dan atas tanah Negeri serta sesuai dapat mengenai sebab-sebab dan alasan keberatan

panitia pengadaan tanah, Bupati/Walikota mengeluarkan keputusan yang

atau Gubernur atau Menteri Dalam

mengukuhkan atau mengubah keputusan panitia pengadaan tanah mengenai bentuk dan/atau besarnya ganti rugi yang akan diberikan. Pasal 18 (1) Apabila upaya penyelesaian Gubernur atau yang ditempuh Dalam Bupati/Walikota atau tanah Menteri

Negeri tetap tidak diterima oleh pemegang hak atas dan lokasi pembangunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah berdasarkan Undang- undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah Dan Benda-benda Yang Ada Di Atasnya. (2) Usul penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bupati/Walikota/Gubernur/Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional dengan tembusan kepada menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. (3) Setelah menerima usul penyelesaian sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Badan Pertanahan Nasional berkonsultasi dengan menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. (4) Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah tersebut disampaikan kepada Presiden oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang ditandatangani oleh menteri dari instansi yang memerlukan tanah, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Pasal 19 Terhadap tanah yang digarap tanpa izin yang berhak atau kuasanya, penyelesaiannya dilakukan berdasarkan Undangundang Nomor 51 Prp. Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin Yang Berhak Atau Kuasanya.

BAB IV PENGADAAN TANAH SKALA KECIL Pasal 20 Pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat dilakukan langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak. BAB V KETENTUAN PERALIHAN Pasal 21 Dengan 1993 berlakunya tentang Peraturan Pengadaan Presiden Tanah ini, peraturan Pelaksanaan

pelaksanaan dari Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden ini.

BAB VI KETENTUAN PENUTUP Pasal 22 Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum diatur dengan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional. Pasal 23 Pada saat berlakunya Peraturan Presiden ini, Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Pasal 24 Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Untuk Kepentingan Umum dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 3 Mei 2005

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd Dr. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Analisa Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum
Analisa terhadap Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, sebagai berikut :

1. Tentang kedudukan Peraturan Presiden sebagai suatu sumber hukum ; Dalam pasal 7 ayat ( 1 ) Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan, menyebutkan bahwa : jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut : a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 b.Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang c. Peraturan Pemerintah d. Peraturan Presiden e. Peraturan Daerah.

Memperhatikan ketentuan dalam undang-undang tersebut, terlihat adanya perbedaan dengan peraturan sebelumnya berkaitan dengan hirarki perundang-undangan, sekurangkurangnya dalam ketentuan UU N0. 10 tahun 2004 mengatur, bahwa :

1.Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak lagi menjadi sumber hukum; 2.Undang-undang dan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang menjadi sejajar atau sederajat; 3.Dikenalnya sumber hukum Peraturan Presiden ( Perpres ).

Berdasarkan adanya nama baru dalam peraturan perundang-undangan yaitu Perpres menimbulkan beberapa pertanyaan dan keingintahuan dari masyarakat. Pertanyaan tersebut antara lain adalah Apakah yang dimaksud dengan Peraturan Presiden?, Kapan Peraturan Presiden dibuat?, Apa saja substansi yang dapat diatur dalam Peraturan Presiden tersebut?. Mempertimbangkan beberapa pertanyaan tersebut, kami mencoba melakukan analisa berkaitan dengan kedudukan sumber hukum Peraturan Presiden. Berdasarkan hasil analisa kami, diketahui bahwa berdasarkan ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.

Dengan melihat hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa Peraturan Presiden ditetapkan dalam rangka melaksanakan materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi

untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Sehingga berdasarkan pengertian tersebut dapat juga dikatakan bahwa dibentuknya Peraturan Presiden setelah adanya Undangundang ataupun Peraturan Pemerintah, yang apabila dapat dikatakan dimana Undangundang dan Peraturan Pemerintah tersebut merupakan komponen induknya dan Peraturan Presiden sebagai komponen pelaksana atau berfungsi sebagai alat administrasi negara dalam melaksanakan Undang-undang dan/atau Peraturan Pemerintah.

2. Relevansi dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Pertanyaan sebagaimana dimaksud diatas, menjadi lebih sering di dengar setelah ditetapkannya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, oleh Presiden Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 3 Mei 2005. Memperhatikan bagian pertimbangan (consideran) Peraturan Presiden tersebut di mana di sebutkan dalam : a. Bahwa dengan meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yang memerlukan tanah, maka pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Kemudian dalam butir b. Bahwa pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum sebagaimana telah ditetapkan dengan keputusan Presiden No. 55 tahun 1993 sudah tidak sesuai dengan landasan hukum dalam rangka melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Selanjutnya dalam butir c. Bahwa berdasarkan pertimbangan butir a dan butir b, perlu menetapkan Peraturan Presiden tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

Deputi Sekretaris Kabinet (Seskab) Bidang Hukum dan Perundangan, Lambok V Nahattandas mengatakan: Dalam Perpres ini ada beberapa hal yang berbeda dengan Keppres 55/1993. Antara lain, adanya pencabutan hak atas tanah bila yang bersangkutan bersikeras tidak mau menjual tanahnya untuk digunakan sebagai kepentingan umum meskipun setelah melalui musyawah untuk menentukan nilai jual tanah tersebut. (Kompas Cyber Merdeka, 6 Mei 2005). Selanjutnya menurut Andi Malaranggeng . Keluarnya Perpres No. 36 tahun 2005 sebagai salah satu tindak lanjut dari KTT Infrastruktur. (Kompas Cyber Merdeka, 6 Mei 2005).

Pertanyaan ini menjadi lebih mendasar ketika masyarakat melihat bahwa substansi atau materi yang diatur dalam Peraturan Presiden sangat kental dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah. Hal tersebut sangat meresahkan masyarakat dan menjadi masalah sosial yang

timbul di masyarakat. Permasalahan utamanya adalah hak masyarakat atas hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah menjadi terganggu. Pemerintah dapat saja seolah-olah dalam rangka kepentingan umum yang sebenarnya adalah akses memperlancar bisnis segelintir orang mencabut hak masyarakat tersebut, terlebih yang dimaksud dengan kepentingan umum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tersebut telah mengalami perluasan kriteria jika dibandingkan dengan Keputusan Presiden No. 55 tahun 1993. Sekalipun diatur mengenai musyawarah dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, akan tetapi jika musyawarah gagal ditempuh kemudian terdapat uang pengganti dari pemerintah yang dititipkan ke pengadilan, hingga presiden sendiri yang mencabut hak atas tanah itu.

Hal tersebut menunjukan diperlemahnya akses masyarakat akan hak atas tanah dan dilanggarnya hak sipil-politik dan hak ekonomi, sosial, budaya oleh masyarakat oleh pemerintah. Tetapi mungkin saja justru para pemodal yang diuntungkan, termasuk investor asing. Sahala Sianipar, Direktur Golin/Haris Internasional Pte Ltd Singapura, perusahan public relation yang bermarkas di AS, mengungkapkan, bahwa beberapa investor asing memang belum mau meneken persetujuan investasi di proyek infarstruktur karena belum ada jaminan soal pertanahan di Indonesia. Investor asing tidak mungkin berhadapan langsung dengan masyarakat di Indonesia. Sebab itu, investor menginginkan agar pemerintah mengatur soal tanah (Jawa Pos Online, 08/05/2005). Dan nampaknya bahwa pemerintah ingin menguasai tanah masyarakatnya dengan harga murah. Pada kenyataan seperti yang disampaikan Abdul Haris Kepala Subdit Pertanahan Bappenas Jakarta bahwa berdasarkan hasil pemantauan proyek-proyek pemerintah yang berupa pinjaman luar negeri diperoleh bahwa salah satu faktor penghambat pelaksanaan proyek tersebut adalah kurangnya dana pengadaan tanah, adanya hambatan dalam proses pembebasan tanah, maupun hambatan dalam permukiman kembali (Media Indonesia Kamis, 26 Mei 2005).

3.Permasalahan Hukum dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005;

a. Permasalahan Formal : Ketentuan pasal 11 Undang-undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, menyatakan bahwa: Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh Undang-undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah. Berdasarkan ketentuan tersebut jelaslah bahwa Peraturan Presiden dibuat untuk melengkapi materi yang diperintahkan Undang-undang atau berisi materi yang diperintahkan oleh Peraturan Pemerintah. Artinya juga bahwa Peraturan Presiden sesungguhnya dibuat sebagai sarana administrasi pemerintah, namun menunjuk (according) Undang-undang dan /atau Peraturan Pemerintah. Bagaimana dengan Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanan Kepentingan Umum? Telah diketahui bersama bahwa keluarnya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005

merupakan salah satu tindak lanjut dari Infrastucture Summit 2005. Artinya bahwa Peraturan Presiden tersebut bukanlah merupakan materi yang diperintahkan oleh Undangundang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, sehingga secara formil Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 adalah cacat hukum dan harus dicabut oleh Presiden.

b. Permasalahan Materiil: Perihal Pencabutan Hak Atas Tanah (pasal 2 ayat 1 b, pasal 18): Mengenai permasalahan pencabutan hak atas tanah, Undang-undang Pokok Agraria dan Undang-undang Hak Asasi Manusia telah memberikan jaminan serta perlindungan terhadap hak milik atas tanah, sebagaimana dinyatakan dalam :

1. UU No. 5 tahun 1960 (UUPA ) : Pasal 6: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial Penjelasan pasal 6 ; ? Lihat penjelasan umum (II angka 4). . tetapi dalam ketentuan tersebut tidaklah berarti, bahwa kepentingan perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat). UUPA memperhatikan pula kepentingan perseorangan. Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling mengimbangi, hingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok : kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi seluruh rakyatnya ( pasal 2 ayat 3 ) ..

2. Pasal 36 ayat 1 dan 2 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 36 :

1. Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarkat dengan cara yang tidak melanggar hukum. 2. Tidak seorangpun boleh dirampas hak miliknya dengan sewenang-wenang dan secara melawan hukum 3. Pasal 71 UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Pasal 71 ; Pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam UU ini, peraturan per-UU-an lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh Negara Republik Indonesia Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut diatas maka dengan tegas dapat dinyatakan bahwa Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 bertentangan dengan UUPA dan UU HAM. Oleh sebab itu, dikarenakan dalam ilmu hukum dikenal asas hukum Lex superior derogat legi inferiori yang artinya peraturan yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan yang lebih rendah, sehingga dalam hal ini yang berlaku adalah UUPA dan UU HAM. Perihal Ganti Kerugian (pasal 1 angka 11, pasal 10, pasal 12, pasal 13, pasal 15 ): Berkaitan dengan permasalahan ganti kerugian, dimana dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005, dinyatakan bahwa dengan pencabutan hak atas tanah, bangunan, tanaman, serta bendabenda lain yang berkaitan dengan tanah oleh negara dengan pemberian ganti rugi senilai Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) untuk tanah, atau berdasarkan perhitungan dari instansi pemerintah yang bersangkutan dengan benda-benda selain tanah, menimbulkan keresahan

bagi masyarakat. dalam kondisi senyatanya dimana harga jual tanah itu bisa tiga kali lipat atau lebih dari NJOP, sehingga hal ini telah membawa masyarakat kepada kondisi yang menurun. Berbeda dengan ketentuan dalam UUPA, sebagaimana diuraikan sebagai berikut,

Pasal 18 ( UUPA ) Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan UU.

Penjelasan pasal 18 ; Pasal ini merupakan jaminan dari rakyat mengenai hak-haknya atas tanah. Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi diikat dengan syarat-syarat, misalnya harus disertai pemberian ganti kerugian yang layak. Mengenai permasalahan ganti kerugian yang layak ini, seharusnya dapat juga dipertimbangkan tidak hanya sebatas pada Nilai Jual Objek Pajak (NJOP), harga bangunan, dan tanaman yang ditetapkan oleh instansi pemerintah, tetapi berkaitan juga dengan ganti kerugian atas relasi sosial, seperti antara lain dengan pindah dari tempat semula ketempat yang kurang accessble mengakibatkan biaya transportasi untuk ke kantor, ke sekolah, ke pasar menjadi lebih mahal dan menggangu hak-hak ekonomi rakyat. Dengan demikian ketentuan dalam Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 telah bertentangan dengan UUPA. 4.Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian di atas, dalam rangka memberikan perlindungan hukum dan memberikan rasa keadilan masyarakat, maka Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, harus segera dicabut oleh Presiden RI karena baik secara formil ataupun materiil Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 telah bertentangan dengan hukum dan Hak Asasi Manusia itu sendiri.

Anda mungkin juga menyukai