Anda di halaman 1dari 8

J. Sains & Teknologi, Desember 2009, Vol.9 No.

3 : 218 225

ISSN 1411-4674

ANALISIS KELAYAKAN PENGEMBANGAN EKOWISTA MANGROVE DI KEPULAUAN TANAKEKE Ambo Tuwo1), Joeharnani Tresnati2) dan Basse Siang Parawansa2)
1)

Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin, 2) Ilmu Perikanan Universitas Hasanuddin


ABSTRACT

Indonesian mangrove ecosystem is very urgent to protect from unsustainable use although Indonesian government have tried to promote the sustainable development, the unsustainable use of mangrove eocsystem increases. Mangrove ecotourism is an alternative problem solution mangrove resources management problem. The aim of this study was to analyse the feasibility of mangrove ecotourism development in Tanakeke Archipelago. The indicators analyzed were mangrove ecosystem; social and economic, infrastructure, and community institution. Mangrove area will be analyzed using Landsat 7 image and ArcView Program. The data of social economic, infrastructure, and community institution condition were collected by using desk study and field verification method. Desk study covered collecting secondary data. Field verification was used to prove, validate, and complete the data. The data were collected through sensus, quesioner, interview, and survey. SWOT Analysis and Proses Hirarqy Analysis used to analysed the feasibility of mangrove ecotourism development in Tanakeke Archipelago. Mangrove ecotourism is feasible to develop in Lantangpeo Island (West and North Part), Tanakeke Island (West Part), and Bauluang Island (West and East Part). The program priority is strengthen government and community institution; economic development, social and culture of local community; mangrove resources management; and regional infrastructure development. Keyword : ecotourism, mangrove, Tanakeke Archipelago

PENDAHULUAN Ekowisata mangrove merupakan salah satu bentuk pemanfaatan hutan mangrove secara berkelanjutan. Ekowisata merupakan aktivitas yang memadukan kegiatan konservasi dan wisata. Ekowisata terkesan penuh makna bukan hanya semata-mata untuk memperoleh hiburan alami, tetapi juga diharapkan para wisatawan dapat berpartisipasi langsung untuk mengembangkan konservasi, serta membangun kesadaran bagaimana seharusnya bersikap untuk melestarikan sumberdaya alam. Pengembangan ekowisata mangrove mutlak memperhatikan paling sedikit empat komponen, yaitu kondisi ekosistem hutan mangrove; kondisi sosial ekonomi masyarakat, terutama kondisi pendidikan, lapangan pekerjaan, kesehatan masyarakat, dan kondisi kesehatan lingkungan; kondisi infrastruktur wilayah, terutama jalan, jembatan dan dermaga, air bersih, dan listrik; dan kondisi kelembagaan 218

masyarakat, terutama kelembagaan ekonomi, dan sosial. Upaya pengembangan kegiatan ekowisata mangrove tidak akan berhasil dengan baik tanpa memperhatikan keempat komponen tersebut; oleh karena itu, keempat komponen tersebut harus dikaji secara komprehensif dan terintegrasi dalam menganalisa kelayakan pengembangan ekowisata mangrove. Untuk maksud tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengkaji kelayakan pengembangan ekowisata mangrove di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Selayar , Sulawesi Selatan. Pada Kepulauan Tanakeke terdapat ekosistem mangrove yang apabila dikelola dengan baik akan mendatangkan kesejahteraan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar hutan mangrove, serta dapat mengurangi tekanan terhadap sumberdaya hutan mangrove yang ada. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisa kelayakan pengembangan ekowisata mangrove di Kepulauan Tanakeke.

Ambo Tuwo, at al.

ISSN 1411-4674

Ekosistem hutan mangrove memiliki nilai ekonomi dan ekologi. Secara ekologis, hutan mangrove dapat menghasilkan 6 - 10 ton bahan organik kering per ha per tahun (Nybakken, 1988). Berkat dukungan bahan organik/energi yang besar ini, maka hutan mangrove menjadi daerah asuhan dan pemijahan bagi berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan hewan lainnya (Zamora, 1987; Silas, 1987; Seow, 1987; Hutchings dan Recker, 1983; Collette, 1983). Organisme ini membentuk struktur kehidupan yang unik di daerah hutan mangrove, sehingga dapat menjadi objek ekowisata yang unik pula. Kondisi sosial ekonomi masyarakat pesisir masih didominasi oleh kegiatan penangkapan ikan, sedangkan kegiatan ekonomi lainnya, seperti ekowisata mangrove belum berkembang. Tingkat produksi yang belum optimal di satu sisi dan biaya produksi/operasional yang tinggi di sisi lain, menyebabkan tingkat pendapatan nelayan menjadi rendah dibandingkan dengan profesi lain. Salah satu ciri yang sangat menonjol dari kehidupan nelayan di Indonesia adalah kemiskinannya. Secara umum masyarakat nelayan lebih miskin dibandingkan dengan masyarakat petani. Hal ini terutama karena tantangan alam yang dihadapi masyarakat nelayan sangat berat, termasuk faktor musim, pola kerja yang homogen (hanya satu sumber penghasilan), keterbatasan penguasaan modal (perahu dan alat tangkap), keadaan pemukiman dan perumahan yang tidak memadai (Rahardjo, 1999). Fakta yang ada menunjukkan bahwa karakteristik sosial ekonomi masyarkat belum mengarah pada kegiatan wisata, namun demikian berbagai kegiatan ekonomi dapat diarahkan pada usaha yang mendukung kegiatan ekowisata mangrove. Wilayah pesisir dan laut sangat lemah dalam hal infrastruktur jalan, jembatan dan dermaga, infrastruktur air bersih, dan infrastruktur tenaga listrik. 219

Pengembangan ekowisa mangrove memerlukan kebijakan yang berpihak pada ketersediaan infrastruktur wilayah (Tuwo, et.al.2005). Air bersih merupakan masalah utama di wilayah dan kepulauan, padahal kegiatan ekowisata mangrove, seperti jenis kegiatan wisata lainnya, sangat membutuhkan air bersih. Listrik juga merupakan masalah utama (Tuwo, et.al. 2006), terutama ketika harga BBM tinggi. Generator yang menjadi sumber pembangkit listrik di wilayah kepulauan mengalami masalah biaya operasional yang tinggi, sehingga hanya mampu beroperasi satu sampai dua jam per hari (Tuwo, et.al. 2007). Menurut Budiharsono (2001), potensi wilayah pesisir dan laut baru termanfaatkan sebagian kecil saja; hal ini disebabkan antara lain oleh karena sistem kelembagaan yang ada belum mendukung pengembangan sektor kelautan. Pembangunan ekowisata diharapkan dapat membantu upaya peningkatan kemampuan kelembagaan ekonomi masyarakat pesisir dan laut. Lembaga diartikan sebagai institusi atau bentuk kerjasama dan pergaulan hidup dimana terjelma kehidupan masyarakat secara organisatoris (Bouman, 1992). Lembaga juga diartikan sebagai suatu sistim hubungan sosial yang terorganisir untuk mewujudkan nilai-nilai dan tata cara tertentu, serta untuk membantu pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Dalam paradigma kelembagaan, sebuah lembaga diartikan sebagai sebuah organisasi formal yang menghasilkan perubahan dan yang melindungi perubahan dan jaringan dukungan yang dibentuk dalam lembaga sebagai sistem kegiatan yang normatif. Sebuah lembaga dapat merupakan milik negara atau sektor swasta. Oleh karenanya, tujuan pengembangan kelembagaan adalah mencapai taraf kemandirian lembaga, dimana lembaga itu mampu bertahan hidup secara berkelanjutan. Masyarakat pesisir dan kepulauan yang umumnya adalah nelayan merupakan masyarakat dapat memiliki

ecotourism, mangrove, tanakeke archipelago

ISSN 1411-4674

prasarana yang memungkinkan mereka berinteraksi, sehingga membentuk ikatan yang mempersatukan mereka menjadi suatu kelompok masyarakat yang pola tingkah laku kehidupannya sifatnya khas, mantap dan berkesinambungan sebagai adat istiadat (Koentjaraningrat, 2001). Masyarakat pesisir dan kepulauan adalah kelompok yang dalam mempertahankan hidupnya selalu bergantung pada sumberdaya pesisir dan laut yang ada disekitarnya. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, masyarakat umumnya memanfaatkan sumberdaya secara sederhana, dan inilah yang menjadi ciri masyarakat pesisir dan kepulauan. Namun demikian, ciri tersebut sudah mulai mengalami perubahan, terutama dengan adanya motorisasi dan peralatan tangkap yang diperkenalkan oleh pemerintah dan dunia usaha. Sejak dahulu masyarakat pesisir dan kepulauan sudah menjalankan aktivitasnya berdasarkan pola kerjasama tradisonal, dimana setiap daerah mempunyai system yang berbeda, seperti sistem Sasi di Maluku, Panglima Laot di Aceh, Masnait Tanase di Maluku Utara, Lebak Lebung di Sulawesi Tenggara, Ondoapi di Papua dan Ponggawa Sawi Di Sulawesi Selatan, serta banyak lainnya yang belum terpetakan (Indar, 2003). Semua pola kerjasama tersebut sangat mendukung pengembangan ekowisata. Pembangunan ekowisata diharapkan dapat menunjang upaya pengembangan kelembagaan masyarakat pesisir dan kepulauan. Lembaga sosial (social institution) diartikan sebagai kompleks norma-norma atau kebiasaaan-kebiasaan untuk mempertahankan nilai-nilai yang dipandang sangat penting dalam masyarakat (Rahardjo, 1999). Lemahnya kondisi kelembagaan sosial ekonomi masyarakat pesisir dan kepulauan mengharuskan pemerintah melakukan penguatan kelembagaan sebelum melakukan implementasi suatu kegiatan. Penguatan kelembagaan terfokus pada 220

tiga unsur utama, yaitu : (1) aturan dan prosedur (norms and rules), (2) organisasi (organization) dan (3) sumberdaya (resources). METODOLOGI PENELITIAN Potensi ekosistem mangrove dapat dilihat pada kondisi kondisi kerapatan dan penutupan jenisnya. Keraptan jenis hutan mangrove dapat dihitung berdasarkan persamaan Di =

adalah Kerapatan Jenis (ind/m2), ni adalah Jumlah Total Tegakan Jenis i, A adalah Luas Total Area Pengambilan Contoh. Sedangkan Penutupan Jenis dihitung berdasarkan persamaan Ci = BA DBH 2 ; dimana BA = ; A 4 dimana DBH =

ni A

dimana Di

Penutupan Jenis, BA (dalam cm2), DBH adalah Diameter Pohon Jenis i (cm), adalah Konstanta (3,1416), CBH adalah Lingkaran Pohon Setinggi Dada. Kategori kondisi mangrove berdasarkan persentase penutupan menurut BraunBlanques (1965) adalah : (1) Kondisi Alami/Asli (> 75%); (2) Kondisi Bagus (50-75%); (3) Kondisi Sedang (25-50%); (4) Kondisi Rusak (5 - 25%); dan (5) Kondisi Rusak Parah (<5%). Analisis citra digunakan untuk menganalisis potensi ekosistem hutan mangrove. Potensi yang akan digambarkan dalam bentuk luas areal akan dianalisis dengan menggunakan citra Landsat 7. Citra diolah dengan menggunakan Program ArcView. Dari hasil analisis dan pengukuran lapangan ini diperoleh data tentang luas hutan mangrove. Tahapan penelitian mencakup studi pendahuluan dan survei lapangan. Studi pendahuluan mencakup pengambilan dan pengumpulan data sekunder yang sudah tersedia, serta analisis guna mendapatkan profil sementara dan perencanaan pengambilan dan verifikasi data di

CBH . Ci adalah

Ambo Tuwo, at al.

ISSN 1411-4674

lapangan. Data yang dikumpulkan dan dipelajari adalah data-data sosial ekonomi. Kegiatan survei dan verifikasi di lapangan bertujuan untuk membuktikan, memvalidasi dan melengkapi data yang telah diperoleh dari hasil kegiatan studi pendahuluan, dengan pengambilan data primer dan sekunder di lokasi survei. Metode yang digunakan disesuaikan dengan jenis dan kondisi riil di lapangan, agar dapat memberikan hasil yang maksimal. Jenis metode-metode (IIRR, 1998) yang digunakan pada kegiatan survei dan verifikasi data di lapangan terdiri dari literatur/peninjauan pustaka, sensus, kuesioner, wawancara, yaitu menggali secara terarah pikiran orang lain dalam suatu bidang untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Metode ini dapat digunakan khusus data yang bersifat non statistik dan kualitatif atau subjektif. Pemilihan responden dapat dilakukan dengan sistem sampel key informan atau semi-random (random dalam kelompok terbatas yang sudah ditentukan). Jenis data yang dikumpulkan adalah kondisi ekosistem pesisir, kondisi sosial ekonomi, kondisi infrastruktur wilayah, kondisi kelembagaan masyarakat, survei Fisik dan Dokumentasi/Visual. Kategori data yang dikumpulkan adalah data Kondisi ekosistem pesisir yang mencakup ekosistem hutan mangrove; data kondisi sosial ekonomi mencakup kependudukan, pendidikan dan lapangan kerja; data infrastruktur perekonomian wilayah, seperti sarana jalan, transportasi, air bersih dan listrik; dan data kondisi kelembagaan masyarakat yang mencakup kelembagaan sosial dan ekonomi. Potensi ekowisata mangrove ditentukan berdasarkan kriteria ekowisata yang dikembangkan oleh Clark and Salm (2000), yaitu kriteria sosial ekonomi, kriteria ekologi, dan kriteria penunjang. Kriteria sosial ekonomi terdiri dari penerimaan masyarakat, kesehatan masyarakat, budaya, pendidikan, keamanan, lapangan pekerjaan, dan manfaat ekonomi. Kriteria ekologi terdiri 221

dari keanekaragaman yang mencakup penutupan vegetasi mangrove; jumlah spesies mangrove, dan jumlah fauna mangrove, seperti ikan, makrobentos, burung, ular, dan lainnya; keunikan; biota berbahaya; keaslian yang meliputi penutupan vegetasi, suksesi alami, kerusakan dan struktur vegetasi; karakteristik kawasan yang mencakup kondisi fisika oseanografi seperti kecepatan arus, tinggi gelombang, tinggi pasut); kondisi kualitas air, seperti suhu, salinitas, kecerahan, oksigen terlarut, kebutuhan oksigen biologis (BOD), amoniak, nitrit, nitrat, phosphate. Kondisi geomorfologi, seperti kelerengan, kedalaman perairan, substrat; kerawanan bencana; dan konservasi. Kriteria penunjang mencakup aksesibilitas, air bersih, listrik; (4) dan kelembagaan. Metodologi dasar yang digunakan pada tahap ini adalah Analisis SWOT (Rangkuty, 2000; IIRR, 1998). Analisis SWOT dilakukan untuk setiap lokasi survei untuk mendapatkan gambaran kondisi lingkungan strategik di setiap lokasi survei. Metode SWOT diperkuat dan dilengkapi dengan berbagai pendekatan lain, untuk menghasilkan gambaran potensi sosial ekonomi, menentukan isu sosial ekonomi dan isu strategis lainnya, serta menghasilkan daftar aktivitas yang layak dikembangkan bagi pengembangan ekowisata. AHP digunakan untuk menganalisis pengaruh prioritas pada level yang lebih tinggi dapat mempengaruhi prioritas pada level di bawahnya (Saaty, 1993). AHP dilakukan untuk mendapatkan alternatif kebijakan umum pengembangan daerah ekowisata mangrove di Kepulauan Tanakeke. Kriteria yang digunakan adalah kebijakan strategik. Alternatif yang berpengaruh adalah kondisi ekosistem pesisir, sosial dan ekonomi, infrastruktur dan kelembagaan masyarakat. Untuk melihat sebaran karakteristik parameter kesesuaian untuk pengembangan ekowisata mangrove berdasarkan kondisi kelayakan pada

ecotourism, mangrove, tanakeke archipelago

ISSN 1411-4674

setiap stasiun pengamatan, maka dilakukan analisis komponen utama. Analisis ini dilakukan terhadap semua parameter kesesuaian untuk ekowisata mangrove. HASIL DAN PEMBAHASAN Hutan mangrove pada Kepulauan Tanakeke didominasi Rhizophoraceae, terutama Rhizhophora mucronata dan Bruguiera sp. Selain itu terdapat Ceriops sp. dan Avicennia sp. dalam jumlah relatif kecil. Hutan mangrove di Kepulauan Tanakeke dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, baik sebagi sumber protein berupa kerang-kerangan, maupun untuk kayu bakar, bahan bangunan dan usaha budidaya tambak. Kegiatan konversi lahan mangrove menjadi tambak di Kepulauan Tanakeke nampaknya tidak direncanakan dengan baik sehingga menyebabkan kerusakan pada mangrove. Seharusnya pengembangan tambak menggunakan pola wana-mina (agrofishery atau silvofishery) yang ramah lingkungan. Di Kepulauan Tanakeke terdapat hutan rakyat berupa pohon bakau (Rhizophora SP) yang ditanam pada bagian sisi luar pertambakan. Pohon bakau juga tumbuh subur secara alami pada daerah pantai pulau Tanakeke, pulau Bauluang (pada sisi Selatan dan Barat), pulau Satangnga (pada bagian Tabel 1. No

Selatan), dan pada Dusun Lantangpeo. Seluruh permukaan pulau Lantangpeo ditutupi oleh pohon bakau sehingga pulau ini disebut juga pulau bakau. Saat penelitian berlangsung dijumpai kegiatan rehabilitasi hutan mangrove di Dusun Rewataya melalui penanaman anakan pohon bakau pada tepi pantai dan tambak-tambak yang sudah tidak diolah. Pada Kepulauan Tanakeke terdapat dua desa, yaitu Desa Maccinibaji dan Desa Mattirobaji. Desa Maccinibaji memiliki luas hutan mangrove yang lebih besar (886.49 Ha, atau 57,23%) dibanding di Desa Mattirobaji (662,40 Ha atau 42.77%). Tumbuhan pantai khususnya di Pulau Tanakeke umumnya didominasi oleh mangrove. Mangrove tumbuh dengan baik pada empat dari lima pulau yang terdapat dalam kawasan Kepulauan Tanakeke. Jenis mangrove yang dijumpai di Kepulauan Tanakeke ada 6 jenis, yaitu Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, Rhizophora stylosa, Lumnitzera racemosa, Avicennia alba dan Sonneratia alba (Tabel 1). Dari kelima jenis mangrove tersebut, yang paling banyak ditemukan adalah Rhizophora mucronata. Jenis ini mendominasi keempat pulau yang diamati, sedang jenis lainnya hanya dijumpai pada pulau-pulau tertentu saja.

Sebaran jenis mangrove yang dijumpai di Kepulauan Tanakeke Tanakeke Lantangpeo Bauluang Satangnga Dayangdayangan -

Jenis Mangrove

1. Lumnitzera racemosa x x 2. Rhizophora apiculata x xx xx 3. Rhizophora mucronata xx xx xx xx 4. Rhizophora stylosa x 5. Sonneratia alba x Keterangan : xx = banyak dijumpai; x : ada dijumpai; - : tidak dijumpai Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata pada ekosistem mangrove di Kepulauan Tanakeke dapat dilihat pada rata-rata kerapatan pohon 222

yang lebih besar (0.325 individu/m2), rata-rata penutupan jenis (0,0040 individu/m2) dan rata-rata penutupan relatifnya (91,67 individu/m2). Dominasi

Ambo Tuwo, at al.

ISSN 1411-4674

jenis Rhizophora mucronata diperkuat oleh nilai indeks keanekaragaman (H) yang sangat rendah, yaitu 0,037. Hal ini menunjukkan bahwa ada jenis tumbuhan mangrove yang mendominasi ekosistem hutan mangrove di Kepulauan Tanakeke, yaitu Rhizophora mucronata. Dominasi Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata nampak pada hampir semua pulau yang ada hutan mangrovenya. Di Pulau Bauluang, ekosistem mangrove didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata, serta beberapa jneis Avicennia alba. Di Pulau Satangnga, ekosistem mangrove didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Sedangkan di Pulau TanakekeLantangpeo didominasi oleh jenis

Rhizophora mucronata dan Rhizophora apiculata. Dari hasil skoring kriteria kelayakan dan analisis kelayakan pengembangan ekowisata mangrove di Kepulauan Tanakeke diketahui bahwa tidak ada wilayah yang memiliki katergori kelayakan sangat sesuai, tetapi hanya memiliki kategori kelayakan sesuai dan kurang sesuai. Wilayah yang memiliki kategori sesuai adalah pada lokasi pengamatan T1 (Pulau Bauluang), T2 (Pulau Bauluang), T5 (Pulau Lantangpeo), dan T6 (Pulau Lantangpeo). Wilayah yang memiliki kategori kurang sesuai adalah T3 (Pulau Satangnga), T4 (Pulau Satangnga), T7 (Pulau Tanakeke), T8 (Pulau Tanakeke) dan T9 (Pulau Lantangpeo) (Gambar 1).

69 67 65 63 61 59 57 55 T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9

Gambar 1. Histogram nilai kelayakan pengembangan ekowisata mangrove pada tiap lokasi pengamatan di Kapulauan Tanakeke. Berdasarkan hasil analisis komponen utama terlihat bahwa kriteria ekologi lebih menonjol pada stasiun T5 dan T6. Kriteria sosial lebih menonjol pada stasiun T1 dan T2. Sedangkan kriteria pendukung lebih menonjol pada stasiun T1, T2, T3, dan T4 (Tabel 2)

Tabel 2. Hasil analisis komponen utama pada kriteria ekologi, sosial dan pendukung pada setiap stasiun penelitian di Kapulauan Tanakeke 223

ecotourism, mangrove, tanakeke archipelago

ISSN 1411-4674

Stasiun T1 T2 T3 T4 T5 T6 T7 T8 T9

Nama Pulau Pulau Bauluang Pulau Bauluang Pulau Satangnga Pulau Satangnga Pulau Lantangpeo Pulau Lantangpeo Pulau Tanakeke Pulau Tanakeke Pulau Lantangpeo

Kriteria Ekologi 31.40 31.40 27.54 27.54 36.34 36.34 29.38 28.68 28.68

Kriteria Sosial 23.97 23.97 22.87 22.87 22.32 22.32 22.32 22.32 22.32

Kriteria Penunjang 12.60 12.60 12.08 12.08 9.8 9.8 10.68 9.80 10.68

Nilai kesesuaian tersebut selanjutnya digunakan untuk menganalisa peta kelayakan pengembangan ekowisata mangrove di Kepulauan Tanakeke. Dari hasil analisis diketahui bahwa pengembangan ekowisata mangrove di
' 2 1 9 1 1 ' 4 1 9 1 1 ' 6 1 9 1 1

Kepulauan Tanakeke layak dilakukan di Pulau Lantangpeo dan Bauluang. Sedangkan pengembangan ekowisata mangrove kurang sesuai dilakukan di Pulau Satangnga dan Tanakeke (Gambar 2).
' 8 1 9 1 1 ' 0 2 9 1 1

PETA KELAYAKAN EKOWISATA MANROVE


N

Gambar 2. Hasil pemetaan kesesuaian wilayah untuk pengembangan ekowisata mangrove di Kepulauan Tanakeke KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis potensi pengembangan disimpulkan bahwa Kepulauan Tanakeke layak dikembangkan sebagai daerah pengembangan ekowisata mangrove. Pengembangan 224 ekowisata mangrove layak dikembangkan di pulau Lantangpeo (bagian Barat dan Utara), pulau Tanakeke (bagian Barat), pulau Bauluang (bagian Barat dan Selatan). Urutan prioritas kriteria program pengembangan kawasan

' 2 3 5

' 2 3 5

' 0 3 5

' 0 3 5

' 8 2 5

' 8 2 5

' 6 2 5

' 6 2 5

Kilometers

TAKALAR

KETERANGAN KELAYAKAN MANGROVE SESUAI KURANG SESUAI

Karang Lamun Daratan Laut

' 2 1 9 1 1

' 4 1 9 1 1

' 6 1 9 1 1

' 8 1 9 1 1

' 0 2 9 1 1

Ambo Tuwo, at al.

ISSN 1411-4674

ekowisata mangrove di Kepulauan Tanakeke adalah peningkatan kualitas kelembagaan pemerinatah dan masyarakat; pengembangan kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat; pengembangan potensi ekosistem pesisir dan laut; dan pengembangan infrastruktur wilayah yang menunjang pengembangan ekowisata mangrove. DAFTAR PUSTAKA Rahardjo, 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Rangkuty, F. 2000. Analisis SWOT Membedah Kasus Bisnis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Saaty, T. L. 1993. Pengembilan Keputusan bagi Para Pemimpin. Proses Hirarki Analitik untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi yang Kompleks. PT. Pustaka Binaman Pressindo. Jakarta.

Recruitment of Fry and Larvae of Finfishes and Srustaceans along the East Coastal of India, Particularly the Sunderbans. Report on the Workshop on the Convension of Mangrove Areas to Aquaculture, Visayas, Philippines, p.19-34. Tuwo, A., A. Faizal, Amiluddin, M. Yunus, M. Alimin. 2005. Potensi/Prospek Pengembangan Pulau-Pulau Kecil dan Pesisir di Pantai Barat Sulawesi Selatan. Balitbangda Sulawesi Selatan. Makassar. Tuwo, A., A. Faizal, Amiluddin, M. Yunus, M. Alimin. 2006. Potensi dan Prospek Pengembangan Pulau-Pulau Kecil dan Pesisir di Pantai Timur Sulawesi Selatan. Balitbangda Sulawesi Selatan. Makassar. Tuwo, A, Supriadi & Amiluddin. 2007. Optimalisasi Pemanfaatan Sumberdaya Alam dan Kelautan Dalam Pengembangan Ekowisata Di Sulawesi Selatan. Makassar. Zamora, P. M. 1987. The role of Mangrove forest as a life support systemm. Repport on the workshop on the convension of mangrove areas to aquaculture, Visayas, Philippines, p.7-13.

Seow, R. C. W. 1987. Mangrove Waters as a Habitat of Different Species and their Development Stage. Report on the Workshop on the Convension of Mangrove Areas to Aquaculture, Visayas, Philippines, p.14-18. Silas E. G. 1987. Significance of the Mangrove Ecosystem in the

225

Anda mungkin juga menyukai