Anda di halaman 1dari 7

Rabu, 30 Januari 2013

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERBICARA SISWA PADA MATERI HIWAR PELAJARAN BAHASA ARAB DENGAN METODE LANGSUNG
16.06 Fauzan Aziz No comments

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam era globalisasi, perkembangan teknologi komunikasi yang sangat cepat menjadikan jarak bukan suatu hambatan untuk mendapatkan informasi dari berbagai penjuru dunia. Oleh karena itu bahasa asing selain bahasa Inggris menjadi penting. Dengan demikian semakin jelas dahwa penguasaan bahasa asing selain bahasa Inggris, dalam hal ini bahasa Arab, merupakan hal yang sangat mendesak. Banyak informasi ilmu pengetahuan baik di bidang teknik, ilmu-ilmu murni, ekonomi, psikologi maupun seni yang bersumber dari buku-buku berbahasa Arab. Selain itu bahasa Arab merupakan sarana komunikasi dalam pengembangan dunia pariwisata dan bisnis. Bahasa bukan hanya sebagai suatu bidang kajian, melainkan sebagai faktor sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, dan emosional peserta didik. Pengusaan Bahasa Arab menjadi persyaratan penting bagi keberasilan individu dalam menjawab tantangan zaman di era globalisasi. Pembelajaran Bahasa Arab secara formal di madrasah dan sekolah dasar maarif merupakan sarana utama bagi peserta didik untuk menguasai Bahasa Arab. Hal ini dimaksudkan agar peserta didik dapat merespon berbagai perkembangan informasi, ilmu pengetahuan dan teknologi. Melalui pembelajaran Bahasa Arab dikembangkan keterampilan peserta didik dalam berkomuniksi lisan dan tulisan untuk memahami dan menampaikan informasi, pikiran dan perasaan. Dengan demikian mata pelajaran Bahasa Arab diperlukan untuk pengembangan diri peserta didik agar mereka dapat tumbuh dan berkembang menjadi warga Negara yang cerdas, terampil, berakhlak mulia, dapat mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya. Mata pelajaran Bahasa Arab merupakan suatu mata pelajaran yang diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan dan membina kemampuan serta menumbuhkan sikap positif terhadap Bahasa Arab baik reseptif maupu produktif. Kemampuan reseptif yaitu kemampuan untuk memahami pembicaraan orang lain dan memahami bacaan. Kemampuan produktif yaitu kemampuan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun secara tertulis. Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap bahasa Arab tersebut sangat penting dalam membantu memahami sumber ajaran Islam yaitu Al-quran dan Hadits, serta kitab-kitab berbahasa Arab yang berkenan dengan Islam bagi peserta didik. Tujuan mata pelajaran Bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah adalah 1. mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik lisan maupun tulisan, yang mencakup empat kecakapan berbahasa, yakni menyimak (istima), berbicara (kalam), membaca (qiraah) dan menulis (kitabah). 2. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya Bahasa Arab sebagai salah satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam mengkaji sumbersumber ajaran Islam. 3. Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antara bahasa dan budaya serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian peserta didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.[1] Memperhatikan tujuan yang terkandung dalam mata pelajaran Bahasa Arab di atas, seharusnya semangat belajar dan motivasi siswa lebih tinggi karena pada dasarnya setiap anak mempunyai kemampuan untuk menguasai suatu Bahasa. Pada masa anak-anak inilah pemahaman dalam mengingat arti suatu kata atau istilah baru masih mudah dilakukan karena pada masa ini memory anak masih kuat. Menurut Kus Irsyanto pembelajaran merupakan upaya membelajarkan sisiwa untuk belajar. Dalam pembelajaran menunjukkan adanya interaksi guru dengan siswa, disatu pihak guru melakukan kegiatan atau

perbuatan yang membawa kearah tujuan, lebih dari itu siswa dapat melakukan serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh seorang guru yaitu kegiatan yang terarah pada tujuan yang ingin dicapai. Sedangkan menurut Suryosubroto kemampuan mengelola proses belajar mengajar adalah kesanggupan atau kecakapan para guru yang mencakup segi kognitif, afektif dan psikomotor, sebagai upaya mempelajari sesuatu dalam perencanaan sampai dengan tahap evaluasi dan tindak lanjut hingga tercapai tujuan pengajaran[2]. Namun pada kenyataannya sebagian besar para guru saat ini menguasai materi pelajaran dengan baik tetapi belum melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, tebukti pada kegiatan pembelajaran Bahasa Arab guru masih menggunakan metode tradisional seperti metode ceramah, dekte, dan hafalan. Sehingga motifasi siswa dalam menerima pelajaran kurang, yang akhirnya meyebabkan suasana belajar mengajar kurang kondusif, banyak siswa yang ramai, ngantuk dan kurang memperhatikan penjelasan guru. Selain adanya masalah diatas yang terkait dengan guru, dari sudut pandang siswanya juga ada kendala misalnya setiap siswa mempunyai gaya belajar yang berbeda. Ada siswa yang senang membaca, ada yang senang berdiskusi dan dan ada juga yang senang praktek secara langsung. Berkaitan dengan pelajaran Bahasa Arab biasanya siswa dituntut untuk bisa melakukan percakapan (hiwar) baik secara aktif maupun pasif, disini biasanya terdapat siswa yang daya hafalannya cepat dan ada juga yang sulit atau lama dalam mengghafal materi hiwar, siswa kurang berani mengungkapan pikiran atau gagasannya dalam bahasa arab, kesulitankesulitan yang dihadapi siswa biasanya juga karena kurangnya penggunaan atau penerapan Bahasa Arab dalam kegiatan belajar mengajar dan dalam kehidupan sehari-hari. Hasil pengamatan yang dilakukan oleh peneliti pada siswa kelas V MIM Kalibening pada mata pelajaran Bahasa Arab, kompetensi dasar berbicara pada materi melakukan percakapan (hiwar) terdapat bahwa kelas V masih terdapat kesulitan dalam pelajaran tersebut. Hal tersebut dapat dilihat dari hasil ulangan atau evaluasi lainnya sebelum dilakukan penelitian masih kurang memuaskan. Hal ini ditunjukkan oleh rendahnya hasil ulangan harian yang dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 1 Rata-rata nilai Bahasa Arab siswa kelas V MIM Kalibening Tahun Pelajaran 2012/2013 Nilai Jumlah siswa Persentase (%) < 60 25 73,53 % 60 9 26,67% Jumlah 34 100% Kreteria Ketuntasan Minimal (KKM) = 65 Prosentase Ketuntasan Kelas 75% Dari data tersebut dapat diketahui bahwa siswa yang memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) sebesar 65 hanya sebesar 26,67%. Sementara itu guru menginginkan nilai yang memuaskan dengan target semua siswa dapat menyelesaikan dan memenuhi standar ketuntasan minimal mata pelajaran Bahasa Arab yaitu 65 dengan prosentase 75%, oleh karena itu guru harus berusaha agar harapan dapat terwujud. Dalam rangka mewujudkan harapan itu maka perlu dilakukan upaya secara terpadu dengan melakukan beberapa teknik dan metode yang dianggap tepat, dalam penelitian ini penulis mencoba menerapkan model pembelajaran langsung dalam upaya peningkatan hasil belajar bahasa arab pada siswa kelas V MIM Kalibening Tahun Pelajaran 2012/2013. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan diatas maka peneliti tertarik untuk melaksanakan penelitian tindakan kelas (PTK) dengan judul Peningkatan Keterampilan Berbicara Siswa Pada Materi Hiwar Pelajaran Bahasa Arab Dengan Metode Langsung Di Kelas V MI Muhammadiyah Kalibening Tahun Pelajaran 2012/2013. B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas identifikasi masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Rendahnya keterampilan berbicara bahasa arab siwa Kelas V MIM Kalibening. 2. Metode Pembelajaran yang disampaikan guru masih konvensional. 3. Metode Pembelajaran yang disampaikan oleh guru kurang bervariasi, sehingga siswa merasa jenuh pada saat proses pembelajaran 4. Kurangnya motivasi siswa dalam belajar C. Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi hanya pada : 1. Keterampilan berbicara pada materi hiwar 2. Metode Pembelajaran Langsung

D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana penggunaan metode langsung dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa materi percakapan (hiwar) pelajaran Bahasa Arab di kelas V MIM Kalibening? 2. Bagaimana peningkatkan keterampilan berbicara siswa materi percakapan (hiwar) pelajaran Bahasa Arab di kelas V MIM Kalibening setelah menggunakan metode langsung? E. TujuanPenelitian Adapun tujuan dari penlitian ini antara lain: 1. Untuk mendeskripsikan penggunaan metode pembelajaran langsung dalam meningkatkan keterampilan berbicara siswa materi percakapan (hiwar) pelajaran Bahasa Arab di kelas V MIM Kalibening. 2. Untuk mendeskripsikan peningkatkan keterampilan berbicara siswa pada materi percakapan (hiwar) mata pelajaran Bahasa Arab di kelas V MIM Kalibening. F. Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan diatas, manfaat yang ingin dicapai adalah sebagai berikut: 1. Bagi Guru Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengalaman dalam melakukan pembelajaran Bahasa Arab menggunakan metode langsung. 2. Bagi Siswa Diharapkan bagi siswa bias lebih aktif dalam menerima pelajaran dan bisa mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga prestasi belajarnya lebih meningkat. 3. Bagi Sekolah Diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembelajaran di sekolah, sehingga nantinya sekolah ini bisa menerapkan pembelajaran dengan system bilingual (dua bahasa). versi lengkap : http://www.ziddu.com/download/21470931/web.docx.html
[1] Permenag No. 2 Tahun 2008, Lampiran 3a, Bab VI, Tentang Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam dan Bahas a Arab Di MI [2] Suryosubroto.B, Proses Belajar Mengajar di Sekolah, Rineka Cipta, Jakarta, 2002, h.

13

Cara Islam Mengatasi Kriminalitas Remaja


Kekerasan dan pergaulan bebas menjadi potret buram kehidupan remaja saat ini. tawuran antarpelajar, seks bebas, hamil di luar nikah, aborsi, perkosaan, pelecehan seksual dan peredaran VCD porno, narkoba dan HIV/AIDS menjadi perkara yang lumrah di kalangan remaja saat ini. Padahal remaja merupakan generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet kebangkitan umat. Kapiltalisme: Biang Kerok Sederet potret buram remaja menjadi bukti kegagalan sistem Kapitalisme yang diterapkan, di antaranya melalui sistem pendidikan generasi saat ini. Sistem pendidikan sekular kapitalis telah menyita sebagian besar waktu dan tenaga siswa untuk mengabaikan aspek pembentukan kepribadian yang kuat. Sekolah sebagai institusi pendidikan alih-alih mencetak remaja yang berkualitas yang memiliki kepribadian yang kuat sesuai dengan tujuan pendidikan, namun justru menghasilkan remaja yang menciptakan banyak masalah. Sekolah yang baik seharusnya mampu membentuk kepribadian yang baik. Sebaliknya, sekolah yang buruk adalah yang abai terhadap hal-hal tersebut. Inilah realita yang terjadi kini. Sebenarnya Pemerintah telah menetapkan tujuan pendidikan nasional, yaitu mewujudkan manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa serta berkembangnya potensi diri secara optimal. Tentu, ini adalah sebuah tujuan yang sangat ideal, dan memang itulah yang diharapkan dari

sebuah proses pendidikan. Pendidikan harus melahirkan sosok manusia yang mempunyai kepribadian khas yang muncul dari keimanan dan ketawaan yang tinggi serta memiliki kemampuan berbasis kompetensi yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pendidikan diarahkan untuk menempa kepribadian siswa yang kuat dan mengembangkan potensi keterampilan secara optimal. Hanya saja, apabila kita menengok realita kehidupan para pelajar saat ini, tujuan ini terasa sangat klise. Kalangan remaja sebagai output pendidikan saat ini jauh dari sosok manusia muttaqin dalam makna hakikinya. Kini, alih-alih ada rasa bangga bila bertemu dengan gerombolan remaja berseragam sekolah, yang ada adalah rasa was-was, khawatir menjadi korban tingkah polahnya yang buruk, bak preman jalanan. Dengan kurikulum sekular kapitalistik, para pelajar kian terbentuk menjadi pribadi yang kering jiwanya, keras mentalnya, bahkan jumud dari mencari solusi berbagai persoalan yang menimpanya. Kata iman dan takwa tidak lebih dari lips service. Kata iman dan takwa tidak mewujud dalam kenyataan. Padahal sejatinya, apabila strategi pendidikan seiring dengan tujuannya, maka akan dihasilkan target optimal, yaitu terbentuknya sosok generasi ideal. Namun, fakta menunjukkan bahwa ada perbedaan antara konsep dan metode pelaksanaannya. Dalam Undang-Undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003, nilai-nilai demokrasi dan HAM menjadi acuan dalam proses pendidikan sehingga proses pembelajaran mengacu pada target tercapainya nilai-nilai tersebut. Inilah fakta yang menunjukkan ada ketidaksesuaian antara visi dan misi pendidikan. Visinya menjadi insan mumin dan muttaqin, namun misinya melalui penanaman nilai HAM dan demokratisasi. Akankah misi ini dapat mewujudkan visi pendidikan? Ataukah memang visi pendidikan nasional sudah mengalami disorientasi? Bila benar, tentu tidak salah jika kita mengatakan bahwa tujuan pendidikan nasional yang dicanangkan tersebut hanyalah lips service saja. Bila memang yang diinginkan adalah terbentuknya insan yang mumin-muttaqin, relevankah bila ditempuh dengan cara memberikan pelajaran agama yang hanya dua jam pelajaran saja dalam satu minggu (2 jam dari 40 jam, hanya 5% dari pelajaran lainnya). Itu pun jika harinya tidak libur dan gurunya tidak bolos. Lebih dari itu penyampaian pelajaran lebih bersifat teoretis, kurang sisi implementatif, ditambah sarana praktik pendidikan agama yang sangat minim. Karena itu, wajar jika kemudian para pelajar memposisikan pelajaran agama tidaklah berbeda dengan pelajaran lainnya, yang hanya untuk dihapal karena akan keluar di soal ujian. Belum lagi berbicara tentang kualitas guru. Sistem Kapitalisme, selain membebani guru dengan setumpuk bahan ajar yang harus disampaikan kepada siswa, mereka juga dipusingkan dengan beban hidup yang kian menghimpit, seiring dengan penghargaan Pemerintah yang jauh dari nilai layak bagi insan pendidik ini. Walhasil, proses belajar mengajar hanya sekadar untuk memenuhi kewajiban saja, tidak lebih dari itu. Kondisi ini juga semakin diperparah dengan metode ajar yang hanya mengedepankan transformasi ilmu saja dan mengabaikan transformasi perilaku positif yang menjadi suri teladan. Lihat saja banyak berita tentang bagaimana perilaku guru yang tidak memberikan contoh perilaku yang baik. Kasus guru yang berbuat kasar dengan membentak, menempeleng, atau menendang terhadap muridnya adalah contoh betapa wajar jika para siswa berulah anarkis, karena gurunya pun mengajarkan perilaku seperti itu. Tidak dipungkiri pula bahwa dalam kurikulum pendidikan yang sekular kapitalistik ini, untuk membentuk sosok pelajar yang mumin-muttaqin hanya bertumpu pada materi agama. Adapun pada pelajaran lain, tidak ada penanaman nilai kepribadian untuk menjadi mumin-muttaqin. Mengapa demikian? Karena sistem pendidikan nasional kita tidak berbasis agama. Agama ditempatkan jauh dari urusan pendidikan. Pendidikan di negeri ini menganut paham pemisahan agama dari pengaturan urusan masyarakat (sekular). Akibatnya, terjadi dikotomi antara pelajaran agama dan pelajaran umum lainnya. Pelajaran umum (non agama) berada di wilayah yang bebas nilai, yang sama sekali tidak tersentuh standar nilai agama. Kalau pun ada hanyalah etik-moral yang tidak bersandar pada nilai agama. Karena itu, wajar bila pembentukan kepribadian hanya dibebankan pada pelajaran agama saja. Lemahnya Peran Keluarga

Kehidupan kapitalistik yang berlaku saat ini tidak hanya menjadi pangkal persoalan pendidikan di sekolah. Keluarga pun terkena imbasnya. Keluarga adalah basis pendidikan yang utama bagi setiap insan. Namun, sistem Kapitalisme telah memaksa para orangtua abai dalam proses pendidikan anak-anaknya. Kapitalisme telah menyebabkan beban hidup setiap keluarga terus mencekik. Keluarga pun harus memutar otak mencari penghidupan. Dengan dalih mencapai penghidupan yang layak inilah, ayah dan ibu sibuk bekerja siang dan malam. Akibatnya, anak pun terabaikan. Para ibu sebagai pendidik pertama dan utama bagi anaknya tidak sempat memberikan perhatian dan kasih sayang yang paripurna. Bahkan untuk memberikan keteladanan sehari-hari kepada anaknya pun tak ada waktu karena sibuk di luar rumah, turut membantu suami mengepulkan asap dapur. Akhirnya, para ibu banyak yang tidak lagi bisa memberikan arahan akan kehidupan yang harus dicapai anak-anaknya. Begitupun dengan sosok ayah. Ia menjadi figur yang asing bagi anak-anaknya. Tanggung jawabnya untuk menjaga keluarga dari siksa api neraka sebagaimana perintah dari Allah SWT, jelas terabaikan. Sempitnya waktu bersama anak membuat komunikasi menjadi hal yang sangat mahal dalam keluarga. Anak pun terdidik dengan televisi, internet, HP dan media eletronik lainya. Padahal dari media-media tersebutlah anak mendapatkan pengaruh buruk tentang pergaulan bebas, hidup konsumtif, kekerasan dan aktivitas kriminal lainnya. Anak tidak mengenal kasih sayang sejati dalam rumahnya. Perhatian justru didapat dari teman, geng, bahkan komunitas lain di jalanan. Solusi Tuntas Potret buram remaja sebenarnya dapat dituntaskan dengan memperbaiki sistem hidup yang mempengaruhi pemahaman dan perilaku remaja. Untuk itu dibutuhkan peran dari berbagai unsur: sekolah, keluarga, masyarakat dan negara. Keseluruhannya bertanggung jawab dalam membentuk kepribadian yang baik pada remaja, kepribadian yang dibangun di atas iman dan takwa. Semuanya harus bersinergis untuk mewujudkan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan remaja. Keluarga merupakan institusi pertama dan utama yang melakukan pendidikan dan pembinaan terhadap anak (generasi). Di sanalah pertama kali dasar-dasar keislaman ditanamkan. Anak dibimbing orangtuanya bagaimana ia mengenal Penciptanya agar kelak ia hanya mengabdi kepada Sang Pencipta, Allah SWT. Rasulullah saw. pernah bersabda: Setiap bayi dilahirkan dalam keadaan suci (fitrah-islami). Ayah dan ibunyalah kelak yang menjadikan dirinya Yahudi, Nasrani atau Majusi (penyembah api dan berhala) (HR alBukhari, Muslim, Malik, Ahmad, at-Tirmidzi, Abu Dawud dan an-Nasai). Orangtua wajib mendidik anak-anaknya tentang perilaku dan budi pekerti yang benar sesuai dengan ajaran Islam. Bagaimana anak diajarkan untuk memilih kalimat-kalimat yang baik, sikap sopan-santun, kasih-sayang terhadap saudara dan orang lain. Mereka diajarkan untuk memilih cara yang benar ketika memenuhi kebutuhan hidup dan memilih barang halal yang akan mereka gunakan. Dengan begitu, kelak terbentuk pribadi anak yang shalih dan terikat dengan aturan Islam. Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya adalah para malaikat yang kasar, keras dan tidak mendurhakai Allah atas apa yang Dia perintahkan kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan (QS at-Tahrim [66]: 6).

Masyarakatyang menjadi lingkungan remaja menjalani aktivitas sosialnyamempunyai peran yang besar juga dalam mempengaruhi baik-buruknya proses pendidikan, karena remaja merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat. Interaksi dalam lingkungan ini sangat diperlukan dan berpengaruh dalam pertumbuhan dan perkembangan remaja. Masyarakat yang terdiri dari sekumpulan orang yang mempunyai pemikiran dan perasaan yang sama, serta interaksi mereka diatur dengan aturan yang sama, tatkala masing-masing memandang betapa pentingnya menjaga suasana kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan generasi muda, maka semua orang akan sepakat memandang mana perkara-perkara yang akan membawa pengaruh positif dan mana yang membawa pengaruh negatif bagi pendidikan generasi. Perkara yang akan membentuk pengaruh negatif pada remaja tentu akan dicegah bersama. Jika ada sekelompok remaja terbiasa nongkrong dengan kegiatan yang tidak karuan, masyarakat setempat seharusnya bertindak membersihkan lingkungan dengan mengajak kelompok remaja tersebut mengalihkan kegiatan dengan hal yang lebih bermanfaat. Di sinilah peran penting masyarakat sebagai kontrol sosial. Peran paling penting dan strategis dalam membentuk kepribadian remaja ada pada negara melalui pemberlakuan sistem pendidikan. Secara paradigmatik, pendidikan harus dikembalikan pada asas akidah Islam yang akan menjadi dasar penentuan arah dan tujuan pendidikan, penyusunan kurikulum dan standar nilai ilmu pengetahuan serta proses belajar-mengajar, termasuk penentuan kualifikasi guru/dosen serta budaya sekolah/kampus tempat remaja eksis di dalamnya. Paradigma pendidikan yang berasas akidah Islam harus berlangsung secara berkesinam-bungan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi yang pada ujungnya nanti diharapkan mampu menghasilkan keluaran (output) peserta didik yang berkepribadian Islam (syakhshiyyah islamiyyah), menguasai tsaqafah Islam dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keahlian). Negara sebagai penyelenggara pendidikan yang utama haruslah menerapkan kurikulum yang menjamin tercapainya generasi berkualitas. Bukan hanya generasi yang mengejar kemajuan teknologi, tetapi juga membentuk kepribadian Islamnya. Negara juga wajib mencukupi segala sarana untuk memenuhi kebutuhan pendidikan secara layak. Atas dasar inilah negara wajib memiliki visi pendidikan yang fokus pada pembentukan generasi berkualitas dan menyediakan pendidikan bebas biaya bagi seluruh rakyatnya. Kebijakan pendidikan bebas biaya akan membuka peluang yang sebesar-besarnya bagi setiap individu rakyat untuk mengenyam pendidikan. Dengan itu pendidikan tidak hanya menyentuh kalangan tertentu (yang mampu) saja, dan tidak lagi dijadikan ajang bisnis yang bisa mengurangi mutu pendidikan itu sendiri. Negara wajib menyediakan tenaga-tenaga pendidik yang handal. Mereka ini haruslah yang memiliki kepribadian Islam yang luhur, punya semangat pengabdian yang tinggi dan mengerti filosofi pendidikan generasi serta cara-cara yang harus dilakukan. Mereka harus menjadi teladan bagi anak didiknya. Kelemahan sifat pada pendidik berpengaruh besar terhadap pola pendidikan generasi. Seorang guru tidak hanya menjadi penyampai ilmu pada muridnya, tetapi juga seorang pendidik dan pembina generasi. Agar para pendidik bersemangat dalam menjalankan tugasnya tentu saja negara harus menjamin kehidupan materi mereka. Lebih dari itu, negara juga wajib mengontrol dan menindak tegas hal-hal yang bisa merusak generasi, terutama media yang memberi pengaruh buruk dalam pendidikan dan pembinaan anak. Peran negara yang seperti ini tentu tidak akan terwujud dalam tatanan sistem yang kapitalis. Hanya negara yang menerapkan Islam secara kaffah-lah yang mampu melaksanakan peran strategis ini. Oleh karena itu, berharap menghapus potret buram remaja dalam tatanan sistem kapitalis saat ini hanyalah mimpi di siang bolong. Karena itu, sudah saatnya mencetak potret cemerlang remaja dan generasi ini dengan tatanan terbaik dari Sang Maha Pencipta, Allah SWT. Hanya tatanan Islam dalam institusi Khilafah Islamiyah-lah yang mampu menghapus potret buram remaja dan generasi ini menjadi potret cemerlang dan gemilang.

JENIS-JENIS METODE PENDIDIKAN ISLAM Menurut Abd al-Rahman al-Nahlawi

Al-Nahwali mengemukakan metode pendidikan yang berdasarkan Metode Quran dan Hadits yang dapat menyentuh perasaan yaitu: a. Metode Hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi, adalah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih mengenai suatu topik, dan sengaja diarahkan kepada suatu tujuan yang dikehendaki oleh pendidik. Jenis-jenis hiwar ini ada 5 macam, yaitu:(1) Hiwar Khitabi, merupakan dialog yang diambil dari dialog antara Tuhan dengan hamba-Nya. (2) Hiwar Washfi, yaitu dialog antara Tuhan dengan malaikat atau dengan makhluk gaib lainnya. Seperti dalam surat Ash-Shaffat ayat 27-28 [19] Allah SWT berdialog dengan malaikat tentang orang-orang zalim. (3) Hiwar Qishashi terdapat dalam al-Qur'an, yang baik bentuk maupun rangkaian ceritanya sangat jelas, merupakan bagian dari Uslub kisah dalam Al-Qur'an. Seperti Syuaib dan kaumnya yang terdapat dalam Surat Hud ayat 84-85. (4) Hiwar Jadali adalah hiwar yang bertujuan untuk memantapkan hujjah atau alasan baik dalam rangka menegakkan kebenaran maupun menolak kebatilan. Contohnya dalam alQur'an terdapat dalam Surat An-Najm ayat 1-5. (5) Hiwar Nabawi adalah hiwar yang digunakan oleh Nabi dalam mendidik sahabat-sahabatnya. b. Metode Kisah Qurani dan Nabawi, adalah penyajian bahan pembelajaran yang menampilkan cerita-cerita yang terdapat dalam al-Quran dan Hadits Nabi SAW. Kisah Qur'ani bukan sematamata karya seni yang indah, tetapi juga suatu cara mendidik umat agar beriman kepada-Nya, dan dalam pendidikan Islam, Kisah sebagai metode pendidikan yang sangat penting, karena dapat menyentuh hati manusia. c. Metode Amtsal (perumpamaan) Qurani, adalah penyajian bahan pembelajaran dengan mengangkat perumpamaan yang ada dalam al-Quran. Metode ini mempermudah peserta didik dalam memahami konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti kelemahan Tuhan orang kafir yang diumpamakan dengan sarang laba-laba, dimana sarang laba-laba itu memang lemah sekali disentuh dengan lidipun dapat rusak. Metode ini sama seperti yang disampaikan olehAbdurrahman Saleh Abdullah. d. Metode keteladanan, adalah memberikan teladan atau contoh yang baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini merupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidik. Pelajar cenderung meneladani pendidiknya, ini dilakukan oleh semua ahli pendidikan, baik di barat maupun di timur. Dasarnya karena secara psikologis pelajar memang senang meniru, tidak saja yang baik, tetapi yang tidak baik juga ditiru. e. Metode Pembiasaan, adalah membiasakan seorang peserta didik untuk melakukan sesuatu sejak dia lahir. Inti dari pembiasaan ini adalah pengulangan, jadi sesuatu yang dilakukan peserta didik hari ini akan diulang keesokan harinya dan begitu seterusnya. f. Metode Ibrah dan Mauizah. Metode Ibrah adalah penyajian bahan pembelajaran yang bertujuan melatih daya nalar pembelajar dalam menangkap makna terselubung dari suatu pernyataan atau suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan nalar. Sedangkan metode Mauizah adalah pemberian motivasi dengan menggunakan keuntungan dan kerugian dalam melakukan perbuatan g. Metode Targhib dan Tarhib. Metode Targhib adalah penyajian pembelajaran dalam konteks kebahagian hidup akhirat. Targhib berarti janji Allah terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang disertai bujukan. Tarhib adalah penyajian bahan pembelajaran dalam konteks hukuman akibat perbuatan dosa yang dilakukan. Atau ancaman Allah karena dosa yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai