Anda di halaman 1dari 14

PENANGANAN NYERI PADA INFLAMMATORY BOWEL DISEASE

Abstrak : Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD, dan memiliki konsekuensi yang signifikan terhadap kualitas hidup pasien. Evaluasi lanjut dilakukan untuk menentukan sumber nyeri yang dirasakan pasien termasuk gejala klinis, laboratorium, radiologi, dan penanganan endoskopi sesuai indikasi. Membedakan nyeri akibat inflamasi aktif, komplikasi sekunder, dan nyeri fungsional dapat membingungkan. Meskipun ketika semua penyakit aktif telah diterapi secara adekuat, klinisi seringkali luput tentang cara penanganan nyeri kronik. Jurnal ini akan menggambarkan keuntungan-keuntungan dan batasanbatasan tentang cara terapi dan masa depan terapi yang menjanjikan. Alogaritme terapi yang disarankan akan menyediakan beberapa petunjuk pada penanganan IBD. Nyeri adalah keluhan yang sering pada IBD. Nyeri merupakan suatu komponen dari beberapa indeks penyakit aktif, dan merupakan salah satu keluhan yang diutarakan pasien. Nyeri merupakan alasan menurunnya kualitas hidup pasien (Quality of life [QOL]) yang sering terlihat pada pasien IBD. Aspek nyeri yang tidak terkontrol juga dihubungkan dengan kecemasan yang mendalam. Kecemasan ini dapat mengarah pada suatu mekanisme maladaptif yang mengakibatkan nyeri lebih sulit ditangani. Jurnal ini akan mendiskusikan bagaimana cara mengintervensi dengan sebuah pendekatan multidisiplin pada penanganan nyeri yang dapat menghentikan siklus nyeri. Etiologi nyeri pada IBD Nyeri adalah sebuah adaptasi evolusioner untuk memperingatkan adanya kerusakan yang dapat mengarah pada cedera yang panjang. Pada IBD, nyeri mungkin merupakan satu-satunya tanda bahwa penyakit sedang berlangsung dan membutuhkan terapi yang lebih kuat. Inflamasi usus yang terus-menerus atau komplikasi seperti abses atau striktur, merupakan penyebab yang sering pada IBD. Obstruksi sebagian usus halus pada Crohns disease sering mengakibatkan
1

nyeri secara intermitten dan mengharuskan diet residu rendah. Malabsorbsi asam empedu dapat memicu terjadinya diare dan kram yang akan sering merespon penyerapan asam empedu. Manifestasi ekstraintestinal termasuk sendi-sendi, kulit, dan mata sering dapat mengakibatkan nyeri. Beberapa penyebab umum nyeri pada IBD terdaftar pada Tabel 1. Tabel 1. Penyebab Umum Nyeri pada Irritable Bowel Syndrome
Nyeri Akibat Inflamasi Intestinal Ekstraintestinal Gatritis Artritis perifer Enteritis Sacroiliitis Collitis Spondilitis ankilosis Abses Primary sclerosing Fistula cholangitis Fisura Erythema nodosum Irritable Bowel Pyoderma Syndrome gangrenosum Iritis Uveitis Nyeri Akibat Noninflamasi Intestinal Ekstraintestinal Striktur Nefrolithiasis Adhesi Cholelithiasis Obstruksi usus halus Narcotic bowel syndrome

Keluhan nyeri harus memicu investigasi lebih lanjut mengenai etiologietiologi potensial. Investigasi ini termasuk penanganan untuk tanda-tanda inflamasi, seperti peningkatan jumlah sel darah putih, tingkat sedimentasi, atau level C-reactive protein. Adanya leukosit pada feses atau peningkatan level calprotein dapat memberikan suatu informasi. Nyeri neuropati disarankan untuk evaluasi kekurangan vitamin B12, khususnya pada pasien yang telah dilakukan reseksi ileus yang besar. Colonoskopi atau endoskopi saluran pencernaan atas sering dibutuhkan untuk mengkonfirmasi adanya penyakit. Pemeriksaan radiologi (small-bowel, diikuti CT-scan enterografi, atau MRI enterografi) atau wireless capsule endoscopy dapat membantu mengevaluasi penyakit yang tidak terdeteksi dengan endoskopi. Pemeriksaan radiologi small-bowel sering dibutuhkan untuk mengindentifikasi adanya striktur atau adhesi yang dapat menjadi penyebab nyeri. Meskipun telah dilakukan verifikasi klinis dan remisi endoskopi, 20% pasien akan tetap merasa nyeri. Pada trial SONIC, lebih dari sepertiga pasien dengan diagnosis Crohns disease ringan sampai berat dalam studi tidak ditemukan bukti adanya proses aktif pada pemeriksaan endoskopi. Satu alasan untuk temuan ini mungkin tingginya tingkat kejadian irritable bowel syndrome
2

(IBS) pada pasien IBD. Pada satu studi, pasien-pasien IBD dengan remisi komplit mengalami sekitar 2-3 kali gejala yang serupa IBS (IBS-like symptoms) dibandingkan dengan populasi umum. Tingginya tingkat kejadian anxietas dan depresi pada pasien IBD ikut memberi kontribusi terjadinya gejala-gejala fungsional ini. Sesungguhnya, pasien-pasien IBD dengan anxietas tinggi dan depresi lebih sering mengeluh adanya gejala-gejala IBS. Meskipun konsekuensikonsekuensi dari masalah psikologis ini, pada satu studi didapatkan hanya 40% dari pasien-pasien IBD dengan depresi yang mendapatkan terapi medis. Bukti yang mendukung hubungan langsung antara IBD dan IBS semakin banyak. Inflamasi tingkat rendah dan interaksi neuroimun sepertinya ikut berperan dalam perkembangan IBS. Demikian juga, inflamasi tersembunyi pada pasienpasien IBD yang dalam fase remisi dihubungkan gejala seperti IBS (IBS-like symptoms). Temuan ini menunjukkan mekanisme dimana residu inflamasi dalam IBD yang tenang memicu terjadinya gejala seperti IBS dimana hal serupa didapatkan pada infeksi gastrointestinal dapat menyebabkan IBS post infeksi. Kekaburan batasan antara IBD dan IBS menyebabkan beberapa peneliti dan klinisi mempertanyakan model dari sebuah dichotomi organik fungsional. Mekanisme Nyeri Nyeri pada IBD dimulai ketika produksi nyeri, atau nosiseptif, stimulusstimulus terdeteksi oleh saraf-saraf aferen primer khusus disebut nosiseptor (Gambar 1). Ikatan membran reseptor pada nosiseptor mampu merespon beragam modalitas stimulus, termasuk stimulus kimia, suhu, dan atau mekanik. Aktivasi nosiseptor diikuti stimulasi perintah neuron tingkat kedua di saraf spinal via eksitasi sinaps glutamatergic. Sinyal neural kemudian ditransmisi ke saraf spinal menuju batang otak dan thalamus, yang mana menghubungkan berbagai area korteks serebral, termasuk korteks somatosensori, insula, dan korteks cingulatum anterior. Ketika sinyal saraf ini mencapai pusat yang lebih tinggi dari batang otak dan otak, sinyal tersebut mengakibatkan peningkatan sensasi nyeri. Jalur-jalur sensoris ini merupakan suatu sistem yang kuat dalam mengatur informasi yang masuk. Beberapa nosiseptor dapat melepaskan substansi-subtansi yang dapat mengubah fungsi keduanya baik fungsi sendiri maupun fungsi saraf
3

sekitarnya. Modulasi komunikasi sinaps antara nosiseptor dan neuron tingkat kedua pada saraf spinal dapat juga mengarah pada hyperlagesia. Aktivasi struktur-struktur dalam batang otak, secara spesifik pada periaquaductal grey matter dan medulla rostroventromedial, dapat melakukan inhibisi atau memfasilitasi transmisi masuk dari informasi sensoris. Pada akhirnya berbagai pusat dalam otak dapat memodulasi persepsi dan berespon terhadap stimuli nosiseptif yang mengarah pada sensari nyeri. Semua mekanisme modulasi ini berhubungan dengan keadaan nyeri kronik. Ada beberapa cara dimana nyeri organ viseral secara unik dibandingkan dengan nyeri somatic. Mayoritas aferen viseral primer berupa polimodal dapat mensensor stimuli mekanik, termal, dan kimia yang memungkinkan untuk mengirim beragam sinyal dari lingkungan. Kebanyakan dari aferen-aferen sensoris ini juga dapat merespon stimuli pada jarak noxius; sedikit banyak, hampir semua aferen-aferen sensoris mampu menghasilkan nyeri. Ketika di saraf spinal, aferen-aferen viseral menghasilkan berbagai informasi ke dalam jaringan-jaringan yang tersebar ke saraf spinal dan saling tumpang tindih dengan neuron aferen primer lain. Kontrasnya, aferen-aferen cutaneus sensoris membuat koneksi berupa lingkaran pada saraf spinal yang menghasilkan pola dermatom khas. Oleh karena itu, stimuli viseral termasuk nosiseptif stimuli dapat melibatkan bagian-bagian besar dari sistem saraf pusat, menghasilkan nyeri difuse, sulit dilokalisasi, dan sering mengarah pada nyeri viseral.

Gambar 1. Mekanisme Nyeri pada IBD. Stimulasi nosiseptif dapat dideteksi oleh aferen somatik primer (merah) atau aferen viseral primer (biru)
4

Pilihan Terapi Ketika nyeri dihubungkan dengan IBD aktif, terapi utama seringkali meningkat pada terapi IBD. Bagaimanapun, nyeri dapat menetap meskipun terapi IBD adekuat, atau nyeri dapat timbul dari penyebab non-IBD. Pada situasi ini, penggunaan analgesik lain mungkin dibutuhkan (Tabel 2). Obat-Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid Penggunaan obat-obat anti-inflamasi nonsteroid pada IBD biasa juga digunakan pada penanganan arthritis. Penggunaan OAINS sangat efektif pada kasus inflamasi arthtopati lain dan sering direkomendasikan sebagai terapi lini pertama. Acetaminofen dapat digunakan sebagai pengganti OAINS untuk mengurangi efek samping, tetapi acetaminofen kurang efektif. OAINS berperan sebagai analgesik anti-inflamasi dengan menghambat produksi prostaglandin oleh enzim cyclooxygenase (COX). Pada kondisi inflamasi, efek analgesik OAINS terjadi dengan penghambatan pembentukan enzim, COX-2. Non-selektif OAINS juga menghambat pembetukan enzim COX1, yang mana berperan dalam mempertahankan integritas usus. Kombinasi pengurangan produksi prostaglandin dan sebagai efek samping OAINS. Beberapa laporan kasus-kasus terkini menimbulkan pertanyaan tentang potensi OAINS dalam memperberat IBD. Studi case-control dari pasien-pasien IBD tercatat tingginya tingkat penggunaan OAINS, meskipun hanya pasien dalam perawatan rumah sakit yang lebih membutuhkan analgesik. Tidak ada hubungan antara penggunaan OAINS dan penyakit ruam terlihat pada pasien klinik. Studi terbesar untuk mengevaluasi hubungan ini memeriksa lebih dari 500 pasien IBD yang di follow up selama 1 tahun. Pada studi ini didapatkan tidak adanya hubungan antara penggunaan OAINS dan ruam-ruam (odds ratio [OR], 0,99; 95% confidence interval [CI], 0,61-1,60), bahkan pada penggunaan OAINS sehari-hari. toksinitas langsung gastrointestinal

Kontrol trial OAINS pada IBD telah berkurang. Sebuah studi kecil menunjukkan peningkatan resiko timbulnya ruam 20-30% pada pasien yang memulai terapi dengan OAINS dibandingkan dengan pasien yang memulai terapi dengan acetaminofen. Semua pasien yang diterapi OAINS timbul ruam dalam 9 hari setelah terapi, tapi kebanyakan dapat mengalami remisi dengan penghentian OAINS. Memiliki potensi dalam mengurangi resiko terjadinya toksisitas gastrointestinal dengan penghambat COX-2 selektif, obat-obat ini dapat digunakan sebagai terapi alternatif pada IBD. Grafik retrospektif menunjukkan bahwa hanya 7% dari pasien IBD mengalami ruam setelah diterapi dengan penghambat COX-2, dan lebih dari 80% pasien mengalami perbaikan dalam nyeri. Berikutnya secara acak, trial kontrol-placebo pada lebih dari 200 pasien dengan IBD didapatkan angka yang serupa dari pasien dengan eksaserbasi yang diterapi dengan celecoxib atau placebo (3% vs 4%). Klinisi harus mengingat bahwa OAINS tersedia dalam berbagai formulasi, sudah banyak pasien IBD menggunakan obat ini untuk penanganan nyeri. Beberapa studi telah menunjukkan penggunaan OAINS pada 50-75% pasien IBD, dibandingkan dengan 10% diantara pasien rawat jalan gastroenterologi lain. Sejak didapatkan adanya ruam pada kebanyakan pasien yang menggunakan OAINS dan membaik dengan penghentian obat, maka disarankan untuk segera menghentikan obat ini jika timbul ruam. Penghambat COX-2 selektif lebih aman, meskipun didapatkan adanya resiko terhadap jantung yang membatasi penggunaan obat ini. Dengan keterbatasan data, maka menghindari penggunaan OAINS pada sebagian besar kasus merupakan hal yang bijaksana. Pasien dengan arthritis berat yang tidak dapat dikontrol dengan obat lain, maka penghambat COX-2 diberikan dengan hati-hati. Studi lanjutan kontrol acak akan membantu mengklarifikasi aspek kontroversial pada penanganan nyeri. Tabel 2. Medikasi yang Digunakan pada Nyeri Viseral
Golongan Anti spasmodik Medikasi Hyoscyamin XR Dosis Awal 0,125-0,25 mg setiap 4-6 jam atau 0,3750,75 mg dua kali sehari Dosis Maksimal 1,5 mg/hari Efek Samping Konstipasi, pusing, mulut kering, sedasi, retensi urin

Docyclomine Amitriptyline Anti depresan trisiklik Despiramine Nortriptyline Escitalopram*,** Fluoxetine*,** SSRI Paroxetine*,** Sertraline* Citalopram** Venlafaxine*,** SNRI Duloxetine*,** Bupropion*,** Anti depresan atipikal Bupropion XR*,** Tramadol**,

20 mg empat kali sehari 25-50 mg sebelum tidur 10-25 mg sebelum tidur 10 mg sebelum tidur 10 mg dosis tunggal 20 mg dosis tunggal 20 mg dosis tunggal 25-50 mg dosis tunggal 20 mg dosis tunggal 37,5 mg dosis tunggal 20-60 mg dosis tunggal 100 mg dua kali sehari 150 mg dosis tunggal 50 mg dosis tunggal 300 mg sebelum tidur

160 mg/hari 150 mg/hari 200 mg/hari 150 mg/hari 20 mg/hari 80 mg/hari 50 mg/hari 200 mg/hari 60 mg/hari 150 mg/hari 120 mg/hari 450 mg/hari 400-450 mg/hari 400 mg/hari Sakit kepala, insomnia, mual Pusing, insomnia, sedasi, mual Sakit kepala, insomnia, risiko kejang, penurunan berat badan Konstipasi, diaforesis, mual, risiko kejang Sulit berkonsentrasi, mual, sedasi, peningkatan berat badan Kebingungan, pusing, sedasi, peningkatan berat badan Mulut kering, pusing, sedasi, peningkatan berat badan Mulut kering, konstipasi, hipotensi, sedasi, penigkatan berat badan Anoreksia, diare, sakit kepala, insomnia, mual, sedasi, penurunan berat badan

Opiat atipikal

Gabapentin Anti konvulsan Pregabalin**

3600 mg.hari

75 mg dua kali sehari

450 mg/hari

* Mungkin membutuhkan dosis adjustment pada penderita dengan insufisiensi hepatik ** Mungkin membutuhkan dosis adjustment pada penderita dengan insufisiensi renal Jangan berikan pada pasien yang sedang mengkonsumsi Monoamine Oxidase Inhibitor

Opiat
7

Opiat sering digunakan untuk terapi nyeri berat akut. Peran obat ini pada kasus nyeri kronik non-kanker (CNCP) masih belum jelas, termasuk efek samping, penyalahgunaan, dan penyimpangan pada individu lain. Meskipun hal ini mengkhawatirkan, namun penggunaan jangka panjang terapi opiat pada CNCP meningkat secara dramatis. Ketika terbukti nyeri membaik dalam demonstrasi penggunaan jangka pendek opiat, keuntungan ini tidak berarti meningkat pada penggunaan opiat jangka panjang. Beberapa studi tentang penggunaan opiat pada CNCP menunjukkan keuntungan kecil sampai nihil, sehingga terapi jangka panjang dengan opiat banyak mengecewakan. Adapun sedikit informasi yang mengejutkan tentang prevalensi penggunaan opiat pada IBD. Studi terkini melaporkan penggunaan kronik opiat pada 30% pasien IBD, meskipun pada studi ini hanya termasuk pasien dengan evaluasi psikiatrik. Pada semua pasien yang menunjukkan klinis IBD, frekuensi penggunaan opiat berkisar 3-13%. Penggunaan opiat mungkin merupakan sebuah marker untuk kasus IBD yang lebih berat, sebagaimana dalam studi didapatkan pasien yang diterapi dengan opiat memiliki perjalanan penyakit yang lebih buruk dan nyeri dan hampir dua kali lebih mungkin memerlukan intervensi bedah. Namun, lebih dari setengah pasien IBD yang kembali untuk perawatan follow up mampu menghentikan candu terhadap opiat. Pasien-pasien ini memilih untuk melakukan terapi medis dan memiliki perjalanan penyakit dan nyeri yang terkontrol. Temuan ini menyatakan bahwa kebanyakan pasien dengan IBD dapat sukses menghentikan candu dari opiat jika penyakit mereka teratasi dan nyeri mereka ditangani dengan strategi alternatif. Komplikasi Penggunaan Opiat Banyak efek samping opiat yang terjadi, seperti seperti mual, depresi nafas, sedasi, dan euforia/disforia, namun akan berkurang seiring dengan berjalannya waktu. Konstipasi merupakan suatu pengecualian pada pernyataan ini, dan penggunaan bowel regimen secara rutin dianjurkan ketika memulai terapi opiat. Ketika konstipasi mulai dialami pada kebanyakan pasien IBD, hal ini menyebabkan pasien beresiko terkena toksik megacolon. Sindrom narkotik bowel merupakan komplikasi lain yang dikhawatirkan pada penggunaan opiat jangka panjang. Sindrom ini ditandai dengan nyeri abdominal kronik dengan penyebab
8

yang tidak jelas atau intensitas penyakit yang memburuk dengan peningkatan dosis opiat. Sindrom ini dapat memicu siklus yang buruk dimana klinisi secara terus-menerus meningkatkan dosis opiat dengan tujuan untuk mengontrol nyeri pasien. Hal yang penting saat ini mengenai penggunaan secara aman opiat pada pasien IBD ditingkatkan dengan analisa data dari buku catatan TREAT, prospektif, registrasi jangka panjang pasien dengan Crohns disease. Pada catatan ini, penggunaan opiat dihubungkan dengan peningkatan angka mortalitas (OR, 1,84; P=0,44), meskipun demikian hubungan ini tidak signifikan ketika analisa diatur untuk faktor resiko lain. Penggunaan opiat merupakan satu faktor resiko untuk terjadinya infeksi serius (OR, 2,38; P<0,01), bahkan setelah pengaturan untuk beratnya penyakit dan penggunaan agen imunosupresif. Penulis memperkirakan temuan ini mungkin dikarenakan tanda dan gejala awal infeksi akibat opiat. Kemungkinan lain adalah bahwa opiat memiliki efek langsung pada infeksi akibat penurunan motilitas usus dan translokasi bakteri melewati mukosa usus yang rusak yang mengalami inflamasi. Poin penting lain menggambarkan adiksi dan penyalahgunaan opiat. Ketika tidak ada penyelesaian yang tepat dalam masalah ini, ada berbagai cara yang klinisi dapat lakukan dalam membantu mengidentifikasi individu yang beresiko menyalahgunakan opiat. Metode yang kami terapkan dalam institusi kami adalah alat risiko opiat. Alat skrining ini mudah digunakan dan merupakan indikator primer kapan dilakukan pendekatan yang lebih hati-hati dan menentukan penanganan selanjutnya. Sebagai tambahan, alat-alat yang dapat mendeteksi obatobat terlarang seperti tertulis pada Controlled Substance Utilization Review And Evaluation System, registrasi online Schedule II-IV prescriptions yang ditulis di California merupakan sumber yang berharga untuk dokumentasi tingkah laku pasien. Pasien dianggap berisiko tinggi menyalahgunakan opiat pada terapi opiat jangka panjang dimana mungkin diperlukan evaluasi psikis secara hati-hati dan pemantauan ketat dari klinisi. Pasien yang memiliki kesulitan terhadap terapi opiat sering mengalami depresi. Kebanyakan program multidisiplin obat anti nyeri diatur oleh ahli psikologi yang telah terlatih mengevaluasi nyeri kronik pasien.
9

Sebagai tambahan, semua klinisi harus berhati-hati adanya tanda yang mengkhawatirkan pasien yang mendapat terapi opiat; tanda-tanda ini tercantum dalam Tabel 3. Pada waktu yang bersamaan, klinisi harus dapat membedakan tanda adiksi dari gejala dan tingkah laku dari analgesik yang inadekuat (pseudoadiksi) atau anxietas nyeri. Konsultasi dengan ahli psikologi dapat berguna pada situasi ini. Tabel 3. Ciri-ciri Tipikal pada Penyalahgunaan Terapi Opioid Antidepresan Antidepresan sering direkomendasikan sebagai analgesik tambahan untuk mengurangi kebutuhan terapi opiat jangka panjang. Kebanyakan dasar penggunaan antidepresan pada IBD berasal dari studi IBS. Dua trial meta-analisis yang menonjol yang digunakan adalah antidepresan trisiklik (TCAs) untuk terapi IBS menunjukkan hasil yang menguntungkan. Sementara studi lain menyatakan tidak selalu menguntungkan, TCAs masih merupakan terapi utama pada IBS. Studi tentang selektif serotonin reuptake inhibitor (SSRIs) pada IBS kurang menjanjikan. Beberapa studi menunjukkan bahwa SSRI tidak berefek pada nyeri perut pasien IBS, meskipun sebuah meta-analisis sebelumnya menunjukkan pengurangan resiko dari gejala-gejala dibandingkan dengan placebo (OR, 0,62; 95% CI, 0,45-0,87). Sudah ada beberapa studi penggunaan antidepresan pada IBD. Uji klinis sampai saat ini adalah non-randomize, studi open-label dari paroxetine (Paxil, GlaxoSmithKline) yang menunjukkan peningkatan signifikan pada beberapa komponen kualitas hidup, meskipun studi ini hanya termasuk pasien yang telah didiagnosa dengan depresi. Studi terkini mereview 12 studi, kebanyakan dari studi
10

Hasil yang tidak terduga pada skrining toksikologi Permintaan rutin untuk peningkatan dosis Penggunaan opiat secara bebas Minum obat secara tidak teratur Kehilangan resep atau obat Mengunjungi IRD untuk mendapatkan terapi opioid Absen saat visite follow-up Resep obat diperoleh dari second provider Menyogok untuk mendapatkan resep

adalah laporan kasus, juga didapatkan peningkatan pada pasien dengan anxietas dan depresi. Ada hal penting pada laporan sebelumnya pada penggunaan bupropion pada IBD. Laporan kasus melibatkan 6 pasien Crohns disease yang diterapi untuk berhenti merokok atau depresi menunjukkan peningkatan pada perjalanan penyakit bahkan ketika pasien tidak berhenti merokok. Satu mekanisme yang mungkin untuk efek ini mungkin atenuasi dari level tumor necrosis faktor oleh bupropion via reseptor dopaminergic. Penelitian lebih lanjut temuan menarik ini dibenarkan. Anticonvulsan Anticonvulsan, khususnya gabapentin dan pregabalin (Lyrica, Pfizer), sering digunakan untuk terapi nyeri neuropati, dan akhir-akhir ini telah digunakan untuk terapi nyeri visceral. Beberapa studi kecil dari 2 obat ini menunjukkkan efek benefit pada hipersensitivitas viseral pada pasien dengan IBS. Trial klinis lanjutan untuk nyeri viseral dibutuhkan. Psikoterapi Tingkah laku dan psikoterapi kognitif dapat efektif sebagai terapi komplementer untuk menolong pasien mengatasi nyeri yang tidak dapat dieradikasi total. Beberapa bentuk intervensi psikoterapi direkomendasikan secara rutin ketika menggunakan terapi opiat jangka panjang. Terapi kognitif behaviour adalah satu dari teknik psikoterapi yang sering digunakan, dengan studi menunjukkan peningkatan kualitas hidup dan fungsional pada pasien dengan IBS. Dua meta-analisis menunjukkan keuntungan sederhana tapi signifikan dengan terapi kognitif behaviour, khususnya pada pasien-pasien yang tidak berespon dengan terapi medis. Ketika psikoterapi dianggap sebagai terapi primer untuk IBD telah berlalu, adanya peningkatan psikologi dan bukti klinis bahwa stres dapat memicu terjadinya ruam. Intervensi psikoterapi pada IBD meghasilkan peningkatan yang tidak terlalu tinggi dalam anxietas, depresi, dan mekanisme coping; meskipun

11

peningkatan ini terjadi tanpa berefek pada perjalanan penyakit, mereka menyebabkan penurunan dalam pelayanan kesehatan. Terapi Masa Depan Transient Receptor Potential Vanilloid Receptor Subtype 1 Antagonist Transient Receptor Potential Vanilloid Receptor Subtype 1 Antagonist (TRPV1) adalah sebuah ikatan membran ion chanel didapatkan sepanjang sistem saraf yang telah terlibat dalam tingkat nyeri akut dan kronik. TRPV1 telah menunjukkan kontribusi pada hipersensitivitas viseral dan mekanosensitiviti yang dihasilkan oleh mediator radang. Ekspresi level TRPV1 intestinal telah menunjukkan hubungan dengan nyeri kronik pada IBD. Dibandingkan dengan kontrol yang tidak bergerak, pasien IBD dengan gejala IBS-like symptom meningkat 5-fold dalam jumlah fiber TRPV1 dalam biopsi mukosa. Beberapa antagonis TRPV1 telah dievaluasi sebagai terapi untuk nyeri kronik, dan studi klinis terkini telah membuktikan. Nerve Growth Factor Antagonist Peningkatan ekspersi dari TRPV1 dan hipersensitivitas viseral dianggap sebagian dikontrol oleh peningkatan sinyal nerve growth factor (NGF). NGF adalah satu ligan reseptor tyrosine kinase A (TrkA) yang terdapat pada neuron sensori. Akibat inflamasi pada peningkatan level NGF, yang mana menstimulasi reseptor TrkA; stimulasi TrkA menyebabkan peningkatan mediator radang dan sensitivitas nyeri. NGF diregulasi dari biopsi pasien dengan nyeri viseral kronis. Sebuah antibodi monoklonal diarahkan melawan NGF terlihat efektif dalam osteoartritis, dan trial klinik dari antagonis NGF dalam nyeri viseral masih berlanjut. Kappa Opioid Receptor Agonists Kappa Opioid Receptor Agonists (KORAs) juga membuktikan bagaimana KORAs hadir untuk memodulasi fungsi aferen viseral pada kedua tingkat naif dan hipersensitivitas. Asimadoline, sebuah restriksi perifer KORA, telah menunjukkan pengurangan gejala dari pasien IBS, tapi obat ini belum tersedia secara komersial.
12

Rekomendasi Terapi Saat ini, tidak ada terapi spesifik untuk mengobati nyeri viseral. Oleh karena itu, kami merekomendasikan satu pendekatan multidisiplin yang serupa dengan yang digunakan pada pasien-pasien lain yang mengalami nyeri kronik. Pendekatan ini melibatkan kombinasi non-invasif seperti latihan aerobik, terapi psikis, medikasi, dan psikoterapi. Pendekatan ini telah tebukti efektif pada nyeri abominal kronik. Algoritma terapi yang disarankan diilustrasikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Algoritma Penanganan Nyeri pada IBD Langkah pertama dalam terapi nyeri pada IBD yaitu selalu mengevaluasi pasien untuk penyakit aktif. Jika peningkatan terapi IBD tidak mengurangi gejala, maka pemberian analgesik boleh dimulai. Perawatan diperlukan untuk menghindari komplikasi seperti striktur atau adhesi yang hanya dapat diterapi
13

dengan operasi. Adanya anxietas dan depresi menigkatkan komorbiditas dari IBD, evaluasi dan terapi psikiatrik formal dapat menolong. Penggunaan antidepresan, khususnya TCA, dapat membantu mengurangi nyeri walaupun tidak disertai diagnosis psikiatrik. Opiat dapat digunakan secara hati-hati pada pasien IBD, sebaiknya dengan interval yang jelas seperti sewaktu induksi remisi atau selama periode post operasi. Jika menggunakan opiat, pasien harus diberikan perjanjian opiat yang menjelaskan semua harapan dan kebutuhan, dan seorang klinisi harus mencatat semua obat nyeri. Kesimpulan Memvalidasi nyeri pasien dan memberi dukungan bahwa pasien dapat berjalan jauh menghadapi sakit seringkali dapat membantu mengobati nyeri dan kecemasan pasien. Menghilangkan penderitaan pasien merupakan salah satu tugas penting dari seorang klinisi, dan merupakan salah satu hal yang paling menantang. Mengetahui penyebab nyeri dan bagaimana penanganannya merupakan keahlian yang dibutuhkan oleh seorang klinisi dalam merawat pasien dengan IBD. Jurnal ini telah menjelaskan sumber dan mekanisme nyeri pada IBD dan telah menyediakan petunjuk penatalaksaan dalam terapi nyeri secara aman dan efektif. Diharapkan jurnal ini akan mengurangi penderitaan setiap orang yang terlibat dalam hal ini khususnya masalah frustasi.

14

Anda mungkin juga menyukai