Anda di halaman 1dari 11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA .

Definisi Epistaksis atau perdarahan dari hidung adalah keluhan umum yang dijumpai sehari-hari baik pada anak maupun usia lanjut. Epistaksis seringkali merupakan gejala atau manifestasi penyakit lain. Kebanyakan ringan dan sering dapat berhenti sendiri tanpa memerlukan bantuan medis, tetapi epistaksis berat walaupun jarang, merupakan masalah kedaruratan yang berakibat fatal bila tidak segera ditangani. Epistaksis dapat dibagi menjadi 2 kategori, perdarah anterior dan perdarahan posterior, berdasarkan letak di mana perdarahan berasal Anatomi Hidung memiliki pasokan vaskuler yang kaya, dengan kontribusi besar dari arteri karotis interna dan arteri karotid eksternal . Sistem arteri karotid eksternal memasokan darah ke hidung melalui wajah dan arteri maksilaris internal. Arteri labialis superior adalah salah satu cabang terminal dari arteri facialis. Arteri ini selanjutnya memberikan kontribusi untuk pasokan darah di dasar hidung anterior dan septum anterior melalui cabang septum. Arteri maksilaris internal yang memasuk fossa pterygomaxillary dan terbagi menjadi 6 cabang, yaitu alveolar superior posterior, palatina decsenden, infraorbital, sphenopalatina, Kanalis pterygoideus, dan faring. Arteri palatine descenden turun melalui kanalis palatina yang lebih besar dan mensulpai dinding hidung lateral. Kemudian kembali ke hidung melalui cabang di foramen incisivus untuk menyediakan darah ke septum anterior. Arteri sphenopalatina masuk hidung dekat posterior turbinate untuk memasok dinding hidung lateral. Hal ini juga memberikan percabangan untuk menyediakan pasokan darah ke septum. Arteri karotis interna memberikan kontribusi untuk vaskularisasi hidung melalui arteri Oftalmica. Arteri ini memasuki tulang orbita melalui fisura orbital superior dan terbagi menjadi beberapa cabang. Arteri ethmoid posterior keluar dari area orbita melalui foramen ethmoid posterior, terletak 2-9 mm anterior ke saluran 1

optik. Arteri ethmoid anterior yang lebih besar meninggalkan orbita melalui foramen ethmoid anterior. Arteri ethmoidalis anterior dan posterior menyilangi langit-langit etmoid untuk memasuki fossa cranial anterior dan turun hingga cavitas nasal melalui palatum cribriformis. Di sini, mereka membagi menjadi cabang-cabang lateral dan septal untuk memasok dinding lateral hidung dan septum. Pleksus kiesselbach, adalah sebuah jaringan anastomosis pembuluh terletak di septum anterior tulang rawan. Pleksus menerima pasokan darah dari arteri karotis interna dan arteri karotid eksternal. Banyak dari arteri memasok septum memiliki koneksi anastomosis di area ini.

Gambar 1: Anatomi Hidung

Patofisiologi Perdarahan biasanya terjadi ketika mukosa terkikis dan pembuluh darah terkena dan kemudian berhenti. Lebih dari 90% dari pendarahan terjadi anterior dan timbul dari daerah Little, dimana pleksus kiesselbach bentuk pada septum. Pleksus kiesselbach adalah di mana kapal dari kedua ICA (arteri ethmoid anterior dan posterior) dan ECA (sphenopalatina dan cabang-cabang dari arteri maksilaris internal) konvergen. Ini kapiler atau vena berdarah memberikan cairan konstan, bukan sedalam memompa darah diamati dari asal arteri.

Perdarahan

anterior

juga

dapat

berasal

anterior

turbinate

inferior.

Berdarah posterior muncul jauh ke belakang rongga hidung, biasanya lebih banyak, dan sering asal arteri (misalnya, dari cabang-cabang dari arteri sphenopalatina di rongga hidung posterior atau nasofaring). Sebuah sumber posterior menyajikan risiko lebih besar kompromi saluran napas, aspirasi darah, dan kesulitan yang lebih besar mengendalikan perdarahan. Lebih dari 90% dari pendarahan terjadi anterior dan timbul dari Little area(plexus kiesselbach), dimana pleksus kiesselbach terletak pada septum. Pleksus kiesselbach adalah dimana pembuluh darah dari kedua ICA (arteri ethmoid anterior dan posterior) dan ECA (sphenopalatina dan cabang-cabang dari arteri maksilaris internal) konvergen. Kapiler ini atau vena berdarah memberikan cairan konstan, bukan sedalam memompa darah diamati dari asal arteri. Perdarahan anterior juga dapat berasal anterior turbinate inferior. Perdarah posterior muncul jauh ke belakang rongga hidung, biasanya lebih banyak, dan sering berasal dari arteri (misalnya, dari cabang-cabang dari arteri sphenopalatina di rongga hidung posterior atau nasofaring). Sebuah sumber perdarahan posterior memberikan risiko lebih besar pada gangguan saluran napas, aspirasi darah, dan kesulitan yang lebih besar dalam mengendalikan perdarahan. Etiologi Penyebab epistaksis dapat dibagi menjadi penyebab lokal (misalnya, trauma, iritasi mukosa, abnormalitas septum, penyakit inflamasi, tumor), dan penyebab sistemik (misalnya, darah diskrasia, arteriosklerosis, herediter telangiectasia hemoragik), dan penyebab idiopatik. Trauma lokal adalah penyebab paling umum, diikuti oleh trauma wajah, benda asing, infeksi hidung atau sinus, dan menghirup udara kering berkepanjangan. Anak-anak biasanya hadir dengan epistaksis karena iritasi lokal atau infeksi saluran pernapasan atas. 1. penyebab local : - Idopatik: (85% kasus) biasanya merupakan epistaksis ringan dan berulang pada anak dan remaja.

- Trauma : epistaksis dapat terjadi setelah trauma ringan misalnya mengorek hidung, bersin, mengeluarkan ingus dengan kuat, atau sebagai akibat trauma yang hebat seperti terpukul, jatuh, kecelakaan lalu lintas. - Iritasi : epistaksis juga timbul akibat iritasi gas yang merangsang, zat kimia, udara panas pada mukosa hidung. - Pengaruh lingkungan, misalnya tinggal di daerah yang sangat tinggi, tekanan udara rendah atau lingkungan udaranya sangat kering. - Benda asing dan rinolit, dapat menyebabkan epistaksis ringan unilateral disertai ingus yang berbau busuk. - Infeksi, misalnya pada rhinitis, sinusitis akut maupun kronis serta vestibulitis. - Tumor, baik jinak maupun ganas yang terjadi di hidung, sinus paranasal maupun nasofaring. - Iatrogenic, akibat pembedahan atau pemakaian semprot hidung steroid jangka lama. 2. penyebab sistemik : - Penyakit kardiovaskular, misalnya hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti yang dijumpai pada arteriosclerosis, nefritis kronis, sirosis hepatic, sifilis dan diabetes mellitus. Epistaksis juga dapat terjadi akibat peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronchitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung. Epistaksis juga dapat terjadi pada pasien yang mendapat obat anti koagulan (aspirin, walfarin, dll). - Infeksi, biasanya infeksi akut pada demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid. - Kelainan endokrin misalnya pada kehamilan, menarche, menopause. - Kelainan congenital, biasanya yang sering menimbulkan epistaksis adalah hereditary haemorrhagic teleangiectasis atau penyakit Osler-Weber-Rendu. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang bertujuan untuk menilai keadaan umum penderita, sehingga pengobatan dapat cepat dan untuk mencari etiologi. Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan adalah pemeriksaan darah tepi lengkap, fungsi hemostatis, uji faal hati dan faal ginjal. Jika diperlukan pemeriksaan radiologik

hidung, sinus paranasal dan nasofaring dapat dilakukan setelah keadaan akut dapat diatasi. Penatalaksanaan Pertama-tama keadaan umum dan tanda vital harus diperiksa. Anamnesis singkat sambil mempersiapkan alat, kemudian yang lengkap setelah perdarahan berhenti untuk membantu menentukan sebab perdarahan. Penanganan epistaksis yang tepat akan bergantung pada suatu anamnesis yang cermat. Hal-hal penting adalah sebagai berikut : 1. riwayat perdarahan sebelumnya 2. lokasi perdarahan 3. apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak 4. lama perdarahan dan frekuensinya 5. kecenderungan perdarahan 6. riwayat gangguan perdarahan dalam keluarga 7. hipertensi 8. diabetes mellitus 9. penyakit hati 10. gangguan anti koagulan 11. trauma hidung yang belum lama 12. obat-obatan misalnya aspirin, fenilbutazon (butazolidin). Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien. Dampak hilangnya darah harus ditentukan terlebih dahulu sebelum melakukan usaha mencari sumber perdarahan dan menghentikannya. Walaupun sudah dihentikan, kemungkinan fatal untuk beberapa jam kemudian untuk seorang pasien tua yang mengalami perdarahan banyak akibat efek kehilangan darahnya adalah lebih besar jika dibanding dengan akibat perdarahan (yang terus berlangsung) itu sendiri. Penilaian klinis termasuk pengukuran nadi dan tekanan darah akan menunjukkan

apakah pasien berada dalam keadaan syok. Bila ada tanda-tanda syok segera infuse plasma expander. Menghentikan Perdarahan Menghentikan perdarahan secara aktif, seperti kaustik dan pemasangan tampon, lebih baik daripada pemberian obat hemostatik sambil menunggu epistaksis berhenti dengan sendirinya. Posisi penderita sangat penting, sering terjadi pasien dengan perdarahan hidung harus dirawat dengan posisi tegak agar tekanan vena turun. Sedangkan kalau sudah terlalu lemah, dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggungnya, kecuali sudah dalam keadaan syok.

Gambar 2. Posisi Pasien dengan epistaksis Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk membersihkan hidung dari bekuan darah. Kemudian tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/10.000 dan lidocain atau pantocain 2 % dimasukkan ke dalam rongga hidung, untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada waktu tindakan-tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3-5 menit. Dengan cara ini dapatlah ditentukan apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior. Perdarahan anterior seringkali berasal dari septum bagian depan. Bila sumbernya terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti 20-30%, atau dengan larutan Asam Trikloroasetat 10%, atau dapat juga dengan elektrokauter. 6

Bila dengan cara ini perdarahan masih terus berlangsung, maka diperlukan pemasangan tampon anterior, dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin atau salep antibiotik. Pemakaian vaselin atau salep pada tampon berguna agar tampon tidak melekat, untuk menghindari berulangnya perdarahan ketika tampon dicabut. Tampon dimasukkan melalui nares anterior dan harus dapat menekan tempat asal perdarahan. Tampon ini dapat dipertahankan selama 1-2 hari. Bila hanya memerlukan tampon hidung anterior dan tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala sedikit ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit. Perdarahan posterior lebih sulit diatasi sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior, yang disebut tampon Bellocq. Tampon ini terbuat dari kasa padat berbentuk bulat atau kubus berdiameter kira-kira 3 cm. Pada tampon ini terdapat 3 buah benang, yaitu 2 buah pada satu sisi dan sebuah pada sisi lainnya. Tampon harus dapat menutupi koana (nares posterior). Untuk memasang tampon posterior ini kateter karet dimasukkan melalui kedua nares anterior sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar melalui mulut. Kedua ujung kateter kemudian dikaitkan masing-masing pada 2 buah benang pada tampon Bellocq, kemudian kateter itu ditarik kembali melalui hidung. Kedua ujung benang yang sudah keluar melalui nares anterior kemudian ditarik dan dengan bantuan jari telunjuk, tampon ini didorong ke nasofaring. Jika dianggap perlu, jika masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan tampon anterior ke dalam cavum nasi. Kedua benang yang keluar dari anres anterior itu kemudian diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak bergerak. Benang yang terdapat di rongga mulut terikat pada sisi lain dari tampon Bellocq, dilakatkan pada pipi pasien. Gunanya adalah untuk menarik tampon ke luar melalui mulut setelah 2-3 hari. Obat hemostatik diberikan juga di samping tindakan penghentian perdarahan itu.

Gambar 3. Tampon dengan Kateter. Pada epistaksis berat dan berulang yang tidak dapat diatasi dengan pemasangan tampon anterior maupun posterior, dilakukan ligasi arteri. Arteri tersebut antara lain arteri karotis interna, arteri maksilaris interna, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior dan anterior. Mencegah Komplikasi Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat langsung dari epistaksis sendiri atau sebagai akibat usaha penanggulangan epistaksis. Sebagai akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi syok dan anemia. Turunnya tekanan darah mendadak dapat menimbulkan iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard, sehingga dapat menyebabkan kematian. Dalam hal ini pemberian infusi atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya. Pemasangan tampon dapat menyebabkan sinusitis, otitis media dan bahkan septikemia. Oleh karena itu antibiotik haruslah selalu diberikan pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut, meskipun akan dipasang tampon baru, bila masih ada perdarahan. Selain itu dapat juga terjadi hemotimpanum, sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata yang berdarah (bloody tears), sebagai akbat mengalirnya darah secara retrograde melalui duktus nasolakrimalis. Laserasi palatum mole dan sudut bibir terjadi pada pemasangan tampon posterior, disebabkan oleh benang yang keluar melalui mulut terlalu ketat dilakatkan di pipi.

Mencegah epistaksis minor berulang Saat pertama kali datang, pasien mungkin tidak dalam keadaan perdarahan aktif, namun mempunyai riwayat epistaksis berulang dalam beberapa minggu terakhir. Biasanya berupa serangan epistaksis ringan yang berulang beberapa kali. Pemeriksaan hidung dalam keadaan ini dapat mengungkap adanya pembuluhpembuluh yang menonjol melewati septum anterior, dengan sedikit bekuan darah. Pembuluh tersebut dapat dikauterisasi secara kimia atau listrik. Penggunaan anestetik topical dan agen vasokonstriktor, misalnya larutan kokain 4% atau Xilokain dengan epinefrin, selanjutkan lakukan kauterisasi, misalnya dengan larutan asam trikloroasetat 50% pada pembuluh tersebut. Perdarahan berulang dari suatu pembuluh darah septum dapat diatasi dengan meninggikan mukosa setempat dan kemudian membiarkan jaringan menata dirinya sendiri, atau dengan merekonstruksi deformitas septum dasar, untuk menghilangkan daerah-daerah atrofi setempat dan lokasi tegangan mukosa. Pada perdarahan hidung ringan yang berulang dengan asal yang tidak diketahui, dokter harus menyingkirkan tumor nasofaring atau sinus paranasalis yang mengikis pembuluh darah. Sinusitis kronik merupakan penyebab lain yang mungkin. Akhirnya pemeriksa harus mencari gangguan patologik yang terletak jauh seperti penyakit ginjal dan uremia, atau penyakit sistemik seperti gangguan koagulasi. Agar epistaksis tidak berulang, haruslah dicari dan diatasi etiologi dari epistaksis.

BAB.III KESIMPULAN 1. Epistaksis atau perdarahan hidung sering ditemukan sehari-hari dan bukan merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. 2. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab lokal dan sistemik. Sebab local antara lain : idiopati, trauma, infeksi hidung dan sinus paranasal, tumor, pengaruh lingkungan, benda asing dan rinolit. Sebab sistemik yaitu penyakit kardiovaskular, kelainan darah, infeksi sistemik, gangguan endokrin, kelainan congenital. 3. Pada epistaksis anterior, perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach (yang paling sering terjadi dan biasanya pada anak-anak). Pada epistaksis posterior, perdarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior, sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosclerosis, atau penyakit kardiovaskuler dan perdarahan biasanya hebat dan jarang berhenti spontan. 4. Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis, yaitu menghentikan perdarahan secara aktif seperti dengan cara kaustik dan pemasangan tampon, mencegah komplikasi baik sebagai akibat langsung epistaksis atau akibat usaha penanggulangan epistaksis dan mencegah berulangnya epistaksis. Kalau ada syok, perbaiki dulu keadaan umum pasien.

10

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G. L., 1997, Boeis: Buku Ajar Penyakit THT, EGC, Jakarta. Kepala & Soepardi, Efiaty Arsyad dkk. Buku Ajar Ilmu Kedokteran Telinga Hidung Tenggorok Leher. Edisi keenam. Jakarta: 2007, FKUI. Ola Bamimore, MD. Management of Acute Epistaxis. Resident Physician, Department of Emergency Medicine, State University of New York Downstate Medical Center, Kings County Hospital Center Quoc A Nguyen, MD. Epistaxis. Associate Clinical Professor, Director, Sinus and Allergy Center, Department of Otolaryngology-Head and Neck Surgery, University of California, Irvine, Medical Center

11

Anda mungkin juga menyukai