Anda di halaman 1dari 5

1

Sejarah

Ordonantie Regie (1872). Pada masa peraturan ini berlaku, setiap wilayah mempunyai ordonantie regie sendiri-sendiri, diantaranya: Bali Regie Ordonantie; Jawa Regie Ordonantie; Riau Regie Ordonantie; Aceh Regie Ordonantie; Borneo Regie Ordonantie; Celebes Regie Ordonantie; Tapanuli Regie Ordonantie; dll. Verdovende Midellen Ordonantie (Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536). Pembentukan peraturan ini disesuaikan berdasar asas konkordansi, dengan tujuan unifikasi hukum menyatukan seluruh peraturan dibidang narkotika yang ada sebelumnya. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Perubahan yang terjadi dalam peraturan ini adalah dalam hal pengaturan yang lebih luas cakupannya, lebih lengkap serta lebih berat ancaman pidananya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Yang melatarbelakangi diundangkannya peraturan ini adalah untuk meningkatkan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Alasan yang perlu diperhatikan dalam peraturan ini adalah bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama dikalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.

Periculum In Mora (PIM)

Industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib menyimpan Narkotika secara khusus; serta wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/ atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya. Dokter dengan alasan menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek, hanya dapat memperole Narkotika tersebut melalui Apotek. Untuk pertama kali diatur mengenai Prekursor Narkotika, yaitu pengaturan mengenai zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel lampiran UU 35/ 2009. Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika, dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) yang berkedudukan dibawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden serta berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Dimana dapat melakukan penyadapan yang terkait setelah ada bukti awal yang cukup dan melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan. Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika.

Sanksi

Pelanggaran terhadap ketentuan penyimpanan dan/ atau ketentuan pelaporan dikenai sanksi administrative oleh menteri atas rekomendasi dari Kepala B.POM berupa: teguran; peringatan; denda administrative; penghentian sementara kegiatan; atau pencabutan izin. Dipidana dengan pidana penjaea paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00, bagi: 1. Pimpinan rumah sakit, puskemas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan; 2. Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; 3. Pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau 4. Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.

Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/ atau tindak pidana Prekursor Narkotika dimuka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00. Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00. Dalam hal tindak pidana Narkotika dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 kali dari pidana denda dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/ atau status badan hukum.

3 UU narkotika yang disahkan pada 14 September 2009 merupakan revisi dari UU No. 22/1997 tentang narkotika. Pemerintah menilai UU No. 22/1997 tidak dapat mencegah tindak pidana narkotika yang semakin meningkat secara kuantitatif maupun kualitatif serta bentuk kejahatannya yang terorganisir. Namun secara substansial, UU Narkotika yang baru tidak mengalami perubahan yang signifikan dibandingkan dengan UU terdahulu, kecuali penekanan pada ketentuan kewajiban rehabilitasi, penggunaan pidana yang berlebihan, dan kewenangan BNN yang sangat besar. I. Adanya Pembatasan Penyimpanan Narkotika Masyarakat tidak diperbolehkan menyimpan narkotika untuk jenis dan golongan apapun. Pihak yang diperbolehkan melakukan penyimpanan hanya terbatas pada industri farmasi, pedagang besar farmasi, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter dan lembaga ilmu pengetahuaan. Hal ini sangat menyulitkan pengguna narkotika yang sedang melakukan pemulihan, dimana para pengguna harus mengunjungi tempat-tempat tertentu. Pembatasan ini memungkinkan para pengguna narkotika untuk mendapatkan narktotika secara ilegal. II. Pengobatan dan Rehabiltasi Pasien dapat memiliki, menyimpan, dan/atau membawa narkotika yang digunakan untuk dirinya sendiri yang diperoleh dari dokter dan dilengkapi dengan bukti yang sah . Melalui UU No. 35/2009, para pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika tidak lagi diberikan kebebasan dan atas kehendak sendiri untuk sembuh. Rehabilitasi medis dan rehabilitasi social menjadi kewajiban bagi para pecandu. UU No. 35/2009 juga mewajibkan pecandu narkotika untuk melaporkan diri mereka kepada pusat kesehatan masyarakat, rumah sakit, dan/atau lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Kewajiban tersebut juga menjadi tanggung jawab orang tua dan keluarga. Rehabiltasi medis dan sosial selain dapat diselenggarakan oleh instansi pemerintah ataupun masyarakat yang akan diatur dalam peraturan menteri . Pertanyaannya, apakah lembaga-lembaga yang memberikan pendampingan terhadap pecandu dapat dikategorikan sebagai tempat pihak yang melakukan rehabiltasi medis dan sosial III. Kewenangan BNN dan Penyelidikan UU No. 35/2009 memberikan porsi besar bagi BNN. Salah satu kewenangan BNN adalah mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran nakotika dan prusukor narkotika. Selain itu BNN dapat mempergunakan masyarakat dengan cara memantau, mengarahkan dan meningkatkan kapasitas mereka untuk melakukan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika dengan cara memberdayakan anggota masyarakat. Dalam hal melakukan pemberantasan narkotika, BNN diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap penyalahgunaan, peredaran narkotika, dan prekusor narkotika beserta dengan kewenangan yang dimilki penyelidik dan penyidik seperti penangkapan selama 3 x 24 jam dan dapat diperpanjang 324 jam ditambah penyadapan. Pemberiaan kewenagan yang besar terhadap BNN, khususnya menjadikan BNN sebagai penyidik menimbulkan pertanyaan, apakah karena pihak kepolisiaan dinilai tidak bisa melakukan pengusutan terhadap tindak pidana narkotika dengan baik, kemudian kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan diberikan kepada BNN?

4 Porsi kewenangan BNN yang terlalu besar seperti dalam penahanan dan penggeledahan yang tidak dimiliki oleh penyidik kepolisiaan akan menimbulkan permasalahan secara kelembagaan, dan rasa persamaan hukum bagi tersangka yang diperiksa di BNN dan kepolisian. IV. Putusan Rehabiltasi bagi para pecandu Narkotika Walaupun prinsip dalam UU No. 35/2009 adalah melakukan rehabilitasi bagi para pecandu narkotika, tetapi dalam UU ini masih menggunakan kata dapat untuk menempatkan para pengguna narkotika baik yang bersalah maupun yang tidak bersalah untuk menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabiltasi. Hakim juga diberikan wewenang kepada pecandu yang tidak bermasalah melakukan tidak pidana narkotika untuk ditetapkan menjalani pengobatan dan rehabiltasi. Ketentuan tersebut menimbulkan pertanyaan: - Apakah penggunaan kata dapat menjadi suatu acuan mutlak agar hakim untuk memutus atau menetapkan pecandu narkotika menjalani proses rehabilitasi? - Apakah penerapan penjalanan pengobatan dan rehabiltasi juga diterapkan di tingkatan penyidikan dan penuntutan? V. Peran Serta Masyarakat Selain memberikan kewengan yang besar terhadap penegak hukum, khususnya BNN, UU No. 35/2009 juga mewajibkan masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan dan pemberantasan narkotika. Masyarakat dijadikan seperti penyelidik dengan cara mencari, memperoleh, dan memberikan informasi dan mendapatkan pelayanan dalam hal-hal tersebut. Dalam UU ini masyarakat tidak diberikan hak untuk melakukan penyuluhan, pendampingan dan penguatan terhadap pecandu narkotika. Peran serta masyarakat yang dikumpulkan dalam suatu wadah oleh BNN dapat menjadi suatu ketakutan tersendiri karena masyarakat mempunyai legitimasi untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan narkotika tanpa adanya hak yang ditentukan oleh Undang-Undang. VI. Ketentuan Pidana UU No. 35/2009 memiliki kencederuangan mengkriminalisasi orang, baik produsen, distributor, konsumen dan masyarakat dengan mencantumkan ketentuan pidana sebanyak 39 pasal dari 150 pasal yang diatur dalam UU tersebut. UU No. 35/2009 menggunakan pendekatan pidana untuk melakukan pengawasan dan pencegahan terhadap penyalahgunaan narkotika. Penggunaan pidana masih dianggap sebagai suatu upaya untuk menakut-nakuti agar tidak terjadinya penggunaan narkotika. Hal tersebut didukung dengan diberikannya suatu keweangan yang besar bagi BNN yang bermetafora menjadi institusi yang berwenang untuk melakukan penyadaran kepda masyarakat, melakukan penyelidikan, penyidikan, serta penuntutan dalam tindak pidana narkotika. Lebih jauh, menilai ketentuan pidana yang diatur di dalam UU No. 35/2009 sebagai berikut: a. Tidak mementingkan unsur kesengajaan dalam Tindak Pidana narkotika Penggunaan kata Setiap orang tanpa hak dan melawan hukum dalam beberapa pasal UU No. 35/2009 dengan tidak memperdulikan unsur kesengajaan, dapat menjerat orang-orang yang memang sebenarnya tidak mempunyai niatan melakukan tindak pidana narkotika, baik karena adanya paksaan, desakan, ataupun ketidaktahuaan. b. Penggunaan sistem pidana minimal Penggunaan sistem pidana minimal dalam UU No. 35/2009 memperkuat asumsi bahwa UU tersebut memang diberlakukan untuk memidanakan masyarakat yang berhubungan dengan narkotika. Penggunaan pidana minimal juga akan menutup hakim dalam menjatuhkan putusan walaupun di dalam prakteknya,

5 hakim dapat menjatuhkan putusan kurang dari pidana minimal dan hal tersebut diperbolehkan oleh Ketua Mahkamah Agung. c. Kriminalisasi Bagi orang tua dan masyarakat UU No. 35/2009 memberikan ancaman hukuman pidana (6 bulan kurungan) bagi orang tua yang sengaja tidak melaporkan anaknya yang menggunakan narkotika untuk mendapatkan rehabilitasi. Meskipun unsur kesengajaan tidak melapor tersebut harus dibuktikan terlebih dahulu, unsur tersebut tidak mengecualikan orang tua yang tidak mengetahui bahwa zat yang dikonsumsi anaknya adalah narkotika. UU No. 35/2009 juga menuntut agar setiap orang melaporkan tindak pidana narkotika. UU ini memberikan ancaman pidana maksimal 1 tahun bagi orang yang tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika. Penerapan pasal ini akan sangat sulit diterapkan karena biasanya pasal ini digunakan bagi pihak-pihak yang ditangkap ketika berkumpul dengan para pengguna narkotika. Orang tersebut juga dapat dipergunakan sebagai saksi mahkota untuk memberatkan suatu tindak pidana narkotika. Pasal ini juga mengancam para pihak yang mendampingi komunitas pecandu narkotika. Pada ketentuaan peran serta masyarakat dalam BAB XIII masyarakat tidak diwajibkan untuk melaporkan jika mengetahui adanya penyalahgunaan narkotika atau peredaran gelap narkotika. Ketentuan ini menunjukan ketidak singkronan antara delik formal dengan delik materiil. d. Persamaan hukuman bagi percobaan dan tindak pidana selesai UU No. 35/2009 menyamakan hukuman pidana bagi pelaku tidak pidana selesai dengan pelaku tidak pidana percobaan. Tindak Pidana Narkotika adalah suatu kejahatan karena perbuatan tersebut memiliki efek yang buruk. Delik percobaan mensyaratkan suatu tindak pidana tersebjut terjadi, sehingga akibat tindak pidana tersebut tidak selesai, sehingga seharusnya pemidanaan antara pelaku tidak pidana percobaan dan pelaku tidak pidana selesai harus dibedakan.

Anda mungkin juga menyukai