Anda di halaman 1dari 7

Isu Isu Kontemporer Budaya Politik dan Konstruksi Media Massa Peran Media sebagai Pembentuk Citra Politik

k Instan
Oleh : Miftah Faridl Widhagdha (D0210074)

Latar Belakang Menguatnya peran media massa sebagai pembentuk opini publik semakin dimanfaatkan berbagai pihak untuk mengkontruksi citra politik seseorang. Realitas politik di Indonesia dengan Otonomi daerah dan Pemilihan langsung menyuburkan peran media sebagai alat kontruksi citra seseorang secara instan, terutama menjelang pilkada. Undang Undang Republik Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemilihan Kepala Daerah yang menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan pilkada di tingkat lokal sampai sekarang masih perlu dikaji efektifitas dan efisiensinya bagi pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Buktinya, di banyak daerah di Indonesia, Pilkada selain menelan biaya yang sangat banyak, juga tak sedikit yang berakhir dengan polemik tak berkesudahan. Diluar itu, sistem pemilihan langsung yang diatur sedemikian rupa ternyata belum mampu menghasilkan pemimpin pilihan rakyat yang benar benar mampu melaksanakan amanah otonomi daerah untuk membangun potensi daerahnya untuk mensejahterakan rakyatnya. Banyak dari kepala daerah setelah terpilih lewat pemilihan langsung kemudian tersandung kasus korupsi untuk memperkaya diri sendiri maupun kelompoknya. Banyak juga yang terjebak di arus birokrasi yang lamban dan kaku sehingga daerah yang dikepalainya tidak berkembang secara signifikan walaupun wewenang pengaturannya sudah berada di tangan kepala daerah. Sistem pemilihan langsung kita yang saat ini menjadi wewenang Komisi Pemilihan Umum (KPU) oleh banyak kalangan dinilai terlau cepat, sehingga mendorong figur figur yang mencalonkan diri menjadi kandidat kepala daerah menggunakan berbagai cara untuk meningkatkan popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas dalam waktu sesingkat singkatnya. Karena itu, kandidat kandidat yang sering kita temui di berbagai media kadang terkesan dangkal visi dan misinya dalam membangun suatu daerah. Pengolahan citra secara instan untuk mempersiapkan figur dalam kandidasi pilkada oleh penulis disebut sebagai budaya pop-mie. Sebagai deskripsi atas anomali figur figur yang selama ini belum terlihat perannya di depan publik, lalu ketika mendekati pilkada mendadak muncul diberbagai media dengan pemberitaan yang sudah di skenario sedemikian rupa sesuai citra yang diinginkan.

Isu Isu Kontemporer | Miftah Faridl Widhagdha (D0210074)

Persoalan pembentukan citra ini tentu menjadi hangat dibicarakan oleh praktisi komunikasi politik, entah itu sebagai pengamatan sosial budaya atau malah sebagai sebuah proyek proyek untuk mendatangkan keuntungan pribadi. Penggunaan media massa sebagai saluran komunikasi tentu merupakan pilihan utama banyak praktisi komunikasi politik untuk melanggengkan budaya pop-mie ini. Jika kita tarik mundur ke beberapa tahun silam, pemilihan langsung pertama tahun 2004 untuk memilih presiden dan wakil presiden. saat itu, penggunaan media sebagai alat komunikasi politik sudah mulai marak. Iklan iklan di televisi, radio, hingga media cetak memenuhi hari hari masyarakat Indonesia menjelang pemilu. Pada masa itu, penggunaan media masih konvensional, namun sudah dirancang secara masif sehingga banyak kita jumpai di berbagai media, terutama televisi. Variasi komunikasi politik yang muncul tahun 2004 telah berhasil membentuk opini publik tentang figur Susilo Bambang Yudhoyono sebagai sosok yang tegas, disukai rakyat, dan cerdas. Ketika saat itu publik Indonesia mencari figur pemimpin nasional yang demikian, Susilo Bambang Yudhoyono hadir dengan segenap strategi komunikasi politiknya untuk menjawab kebutuhan rakyat. Subiakto (2012) mengatakan bahwa pembentukan citra politik bisa dilakukan dengan skenario sedemikian rupa sehingga apa yang sampai di hadapan publik adalah citra olahan yang disesuaikan dengan ekspektasi publik. Hal ini menunjukkan bahwa kuatnya peran komunikasi politik sebagai pembentuk citra figur menjadi seperti apa yang rakyat harapkan. Menjadi seperti berbeda dengan seperti yang rakyat harapkan sebenarnya. Jadi pada titik ini, terjadi rekayasa citra untuk menyesuaikan dengan yang publik harapkan. Pakar komunikasi politik tentu mempunyai banyak strategi untuk menyesuaikan citra yang sesuai dengan figur tertentu dalam suatu ajang pemilu. Untuk menarik simpati pemilih, kadang kadang kita melihat sosok yang benar benar baru, jauh dari apa yang selama ini tampak dari seorang figur hanya karena dipersiapkan dalam kepentingan politik, dalam hal ini pemenangan pemilu. Lantas, lewat jalur apa pakar komunikasi politik ini mampu menyampaikan pesan dan terbentuknya citra secara kuat kepada khalayak dengan baik ? Kita sadari bersama bahwa sebaik apapun strategi komunikasi politik tidak akan bisa diimplementasikan dengan sukses tanpa pemilihan saluran yang tepat pula. Dalam hal ini, media sebagai penyedia informasi publik menjadi saluran paling dominan menjadi alat pembentuk citra. Media melalui kemampuannya untuk mengkontruksi pesan mampu menggiring opini masyarakat kepada suatu pemahaman yang telah diagendakan. Melalui agenda setting dalam buku Everett M

Isu Isu Kontemporer | Miftah Faridl Widhagdha (D0210074)

Rogers, disebutkan bahwa Media mempunyai kekuatan untuk membentuk agenda setting yang itu dipercaya mampu mempengaruhi opini publik terhadap suatu isu tertentu. Kontruksi media yang begitu kuat membuat media menjadi barang rebutan baik itu individu atau korporasi, khususnya di Indonesia. Inventasi di bidang Media dianggap mampu memuluskan jalan menuju panggung politik, karena lewat media, pesan bisa dikontruksi dan dipaparkan kepada masyarakat secara terus menerus. Paparan informasi yang masif dan kontinyu dipercaya akan mampu merubah, memperkuat, atau membelokkan persepsi publik, bergantung pada isu apa yang hendak diangkat. Di Indonesia, media massa juga telah menjadi investasi bagi swasta untuk kepentingan kepentingan kelompoknya, entah itu bisnis, atau politik kepentingan. Dari situ, terdapat beberapa korporasi yang memiliki lebih dari satu media. Itu artinya, saluran saluran publik dikuasai oleh sekelompok orang saja. Dikuasainya saluran publik oleh beberapa kelompok saja menimbulkan potensi polemik yang cukup pelik terkait arus informasi publik yang jika dikaitkan dengan jurnalistik haruslah jujur dan berimbang. Polemik yang sering muncul akibat korporasi media adalah tidak bisa dilepaskannya media dari kepentingan industri media yang itu merupakan sebuah langkah langkah bisnis. Media di Indonesia berdiri di dua sisi yang berbeda, baik sebagai saluran publik yang berkewajiban menyampaikan sesuatu yang berkualitas kepada publik, juga sebagai institusi bisnis yang mampu menggerakkan perekonomian institusi bisnis tersebut. Media kini Perkembangan teknologi yang begitu pesat mau tak mau membuat media berbenah. Lansekap media berubah sedemikian cepat. Media media konvensional bertransformasi atau melengkapi dirinya dengan kemampuan digital dengan teknologi tinggi. Kemudahan mengakses internet di berbagai belahan dunia menjadi titik tolak perkembangan media baru masa kini. Saat ini, selain media konvensional seperti televisi, surat kabar, radio, majalah, tabloid, kita juga mengenal dengan datangnya media berbasis internet. Situs situs seperti Facebook, Twitter, Microblog, Blog, Forum Online benar benar mengacaukan lansekap media selama ini. Terutama facebook dan twitter yang saat ini memiliki pengaruh sangat kuat di penyebaran informasi. Walaupun media media baru ini bisa menyamai pencapaian televisi dalam hal pemasukan, rating, dan exposure media, namun setidaknya media sosial seperti facebook dan twitter menjadi sesuatu yang wajib mendapat perhatian oleh berbagai pihak, terutama figur figur yang hendak melakukan kandidasi terhadap dirinya atau klien.

Isu Isu Kontemporer | Miftah Faridl Widhagdha (D0210074)

Secara media share, televisi memang masih memegang dominasi pembentuk opini publik sampai 96% (data YouthLab). Namun, pertumbuhan jumlah pengguna media sosial seperti Facebook di Indonesia yang mencapai 125 juta atau separuh masyarakat Indonesia mempunyai akun Facebook dan lebih dari 40 juta masyarakat Indonesia mengakses twitter sebagai sarana microblogging bagi mereka membuat media ini layak diperhitungkan. Berbagai strategi pun kini dirancang untuk dapat memasukkan materi komunikasi politik dalam setiap kegiatan mereka. Kini, seperti tradisi yang sudah terbangun di Indonesia sejak beberapa tahun silam, mendekati pemilu, berbagai saluran media mulai ramai digunakan sebagai alat komunikasi kandidat kepada konstituen dengan harapan dapat menyentuh dan merebut hati konstituen dengan cara mereka masing masing.

Perumusan Masalah Bagaimana strategi komunikasi politik di masa kini dengan semakin berkembangnya saluran media digital dan masih kuatnya pengaruh media konvensional sebagai pembentuk kontruksi budaya massa menjelang pemilu di indonesia ?

Pembahasan Berkembangnya media digital dekade ini benar benar mengubah lansekap komunikasi bayak orang. Semakin menjamurnya penggunaan teknologi oleh masyarakat juga menjadi faktor penyubur tumbuhnya pengguna media digital di berbagai kalangan. Jika dulu pengguna teknologi tinggi selalu identik dengan orang orang kelas atas, kini, cepatnya arus informasi yang dimoderasi oleh peran teknologi yang sedemikian hebat membuat setiap orang yang terhubung dengan internet mampu mengakses perkembangan teknologi terkini dengan cepat. Komunikasi komunikasi konvensional seperti bertutur kata dan bertatap muka kini tersaingi oleh komunikasi tekstual baik itu melalui surat elektronik, pesan singkat, atau jejaring sosial. Komunikasi tatap muka secara fisik pun kini mempunyai tekanan dari munculnya teknoligi video panggil dengan memanfaatkan fitur Skype yang begitu mudah diakses. Penggunaan komunikasi dalam bentuk bentuk baru melalui media digital kini digunakan oleh sebagian besar penduduk bumi. Di Amerika, hampir seluruh penduduk amerika serikat mampu mengakses internet, dan lebih dari 80 persen diantaranya senantiasa terhubung di internet. Di Indonesia sendiri, perkembangan internet yang sedemikian cepat saat ini mampu diakses oleh 60 persen masyarakat Isu Isu Kontemporer | Miftah Faridl Widhagdha (D0210074) 4

Indonesia. Kendati insfrastruktur internet di Indonesia bisa dibilang cukup lambat dari pada beberapa negara lain termasuk negara tetangga Singapura dan Malaysia, pengguna internet kita bisa dibilang cukup tinggi di wilayah Asia dan bahkan menjadi yang tertinggi di Asia Tenggara. Indikasi itu membuat media digital dilirik oleh banyak pakar komunikasi politik untuk merekayasa citra politik figur menjelang pemilu. Dimulai sejak tahun 2008 ketika media sosial digital sudah mulai diminati dan banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia sebagai salah satu alat komunikasi paling vital. Bentuk komunikasi ini lantas berkembang ke banyak aspek di kehidupan masyarakat, mulai dari bisnis hingga berbagai kebutuhan masyarakat sehari hari secara instan tersedia di media digital. Di bidang komunikasi politik, penggunaan media digital untuk keperluan pembentukan citra terlihat cukup jelas di kasus Pilkada DKI Jakarta tahun 2012 lalu. Ketika itu, kandidat kandidat yang muncul semuanya menggunakan media digital untuk sarana kampanye maupun provokasi kompetitor mereka. Perang di media sosial terlihat cukup sengit dan tajam, bahkan menjurus ke isu isu SARA ketika salah satu pasangan calon diindikasi menggunakan jasa komunikasi politik yang menjalankan pola komunikasi politiknya dengan tidak etis. Dari kelima pasangan calon, empat pasangan memanfaatkan media digital sebagai pembentuk opini publik utama mereka. Hasilnya, keempat pasangan ini mendapat suara yang cukup tinggi. Dan satu pasangan yang tidak memanfaatkan media digital mendapat suara yang sangat sedikit. Media digital seolah mampu secara instan mengubah persepsi publik terhadap kandidat sehingga apa yang dilakukan banyak pakar komunikasi politik terkesan memaksakan. Budaya kita yang sudah meyakini apa yang penulis sebut diatas sebagai budaya pop-mie dalam melakukan berbagai hal, mulai dari ajang pencarian bakat, menular ke ajang pilkada. Kegiatan pilkada untuk menentukan pemimpin daerah seolah diposisikan seperti ajang pencarian bakat yang kandidasinya dapat diolah dan dipoles secara instan dengan menggunakan media digital. Namun faktanya, kendati masyarakat kita merupakan masyarakat yang latah terhadap pemberitaan media, baik itu media digital dan media konvensional. Upaya upaya pembentukan citra tersebut masih sering menemui jalan buntu alias tidak berhasil menjaring konstituen seperti yang mereka harapkan. Eksposure yang begitu tinggi di media digital ternyata tidak mampu mendorong tingkat elektabilitas kandidat naik secara instan. Disini penulis berhipotesis bahwa walaupun terpaan media digital sudah sedemikian tinggi, namun tingakt kepercayaan publik kepada informasi yang disediakan media digital masih rendah dibandingkan dengan media konvensional seperti koran dan televisi. Isu Isu Kontemporer | Miftah Faridl Widhagdha (D0210074) 5

Untuk itu, kampanye kampanye komunikasi politik yang hanya fokus pada pendekatan media digital saja tidak mampu menghadirkan solusi bagi kandidat yang mengharap secara instan tingkat popularitasnya naik tajam. Kesimpulan Kendati perkembangan media digital di Indonesia menunjukkan nilai positif dan tinggi, namun itu tida serta merta mempengaruhi tingkat kepercayaan publik atas informasi yang disediakan oleh media digital. Terutama dalam hal pilihan politik, masih banyak yang perlu dikaji dan dianalisis lebih dalam terkait bagaimana seseorang menjatuhkan pilihan politiknya kepada salah satu kandidat. Media konvensional di Indonesia diyakini masih memegang peran penting dan krusial dalam pembentukan opini publik terhadap citra kandidat jika itu dilakukan secara berkala, masif dan terintegrasi. Tingkat kepercayaan publik yang cukup tinggi atas apa yang diberitakan oleh media konvensional tidak bisa dihiraukan begitu saja berkat munculnya fenomena media digital yang pesat. pembentukan citra kandidat melalui pemberitaan pemberitaan di media konvensional masih menjadi budaya yang banyak dilakukan masyarakat kita menjelang pemilu. Karena efeknya yang begitu besar, kandidat kandidat di daerah pun tak jarang rela membayar mahal untuk dapat beriklan di jaringan media konvensional nasional. Tentunya, biaya politik yang tinggi untuk proses pembentukan citra ini menjadikan masyarakat kita tidak terdidik karena terus menerus dipapar informasi dari media konvensional yang itu itu saja. Artinya, kandidat hanya masuk ke jaringan nasional media konvensional tanpa cara cara inovatif dan kreatif sehingga masyarakat tidak mendapatkan pendidikan politik yang baik untuk pemilu. Munculnya fenomena media digital untuk pembentukan opini publik seharusnya dimanfaatkan oleh pakar komunikasi politik sebagai bagian dari integrasi kampanye politik kandidat dengan juga memanfaatkan media konvensional dan pendekatan pendekatan public relations lainnya untuk lebih menyentuh hati rakyat. Proses pencitraan kandidat politik memang sangat menarik dibicarakan dan diulas akhir akhir ini karena sistem politik kita yang meregenerasi sistem pemilihan umum. Sehingga tiap tahunnya akan muncul figur figur baru yang patut untuk diangkat ke muka publik sebagai calon pemimpin. Jika saja, sejak awal kontruksi citra sudah dilakukan dengan benar dan tidak mengada ada, boleh jadi masyarakat kita akan lebih terdidik dalam menentukan hak politiknya, menjalankan hak berdemokrasinya yang diatur dan dilindungi oleh hukum di negara ini. Hal itu menjadi tanggung

Isu Isu Kontemporer | Miftah Faridl Widhagdha (D0210074)

jawab pakar komunikasi politik atau kandidat itu sendiri untuk mampu mengolah ekspektasi publik sedemikian rupa sehingga publik merasa tidak dibohongi. Integrasi antara media konvensional dan media digital memang diyakini mampu memberikan efek kepercayaan yang tinggi di masyarakat. Namun dalam sebuah sistem demokrasi yang baik dan berorientasi pada kesejahteraan rakyat, masyarakat juga harus sadar bahwa pemimpin tidak bisa dibentuk hanya lewat citra di media konvensional dan mediaa digital saja. Melainkan perlu langkah langkah konkret dan aksi nyata dari calon pemimpin untuk turun kejalan, menyapa hidup masyarakat tanpa sekat dan berkomitmen untuk mensejahterakan rakyatnya tanpa mementingkan kepentingan pribadi. Sekali lagi, pembentukan budaya massa lewat konstruksi media memang cukup efektif. Namun untuk mendidik masyarakat kita supaya lebih cerdas dan menghargai hak demokrasinya, semua dari kita mesti berbenah diri, terutama tentang penerimaan kita terhadap apa yang disampaikan media didalamnya.

Referensi Fiske, John. 2010. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta. Jalasutra Ibrahim, Idi Subandy. 2011. Kritik Budaya Komunikasi. Yogyakarta. Jalasutra Jalaludin Rakhmat, M. 2004. Psikologi Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya Krug, G. 2005. Communication Technology and Cultural Change. London. Sage Publication www.politicawave.com

Isu Isu Kontemporer | Miftah Faridl Widhagdha (D0210074)

Anda mungkin juga menyukai