NASIONAL
MedanBisnis Yogyakarta
Pola pendidikan anak usia dini masih terfokus pada upaya untuk menumbuhkan kecerdasan kognitif, sehingga nilai-nilai Pancasila diajarkan dengan setengah hati dan tanpa keteladanan, kata peneliti Pusat Studi Pancasila Universitas Gadjah Mada Surono. "Penanaman nilai-nilai Pancasila masih dalam tataran kognisi belum sepenuhnya mampu menyentuh tingkatan afeksi maupun psikomotorik. Hal itu menunjukkan telah terjadi inkosistensi dalam proses internalisasi nilai-nilai Pancasila pada anakanak," katanya di Yogyakarta, Sabtu akhir pekan lalu. Menurut dia, berdasarkan penelitiannya, hal itu dipengaruhi banyak faktor, di antaranya adalah faktor kualitas sumber daya manusia yang dalam hal ini tenaga pengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar, para pengajar cenderung bertindak sesuka hati, asal memenuhi kewajiban saja. "Hal itu memang tidak dapat disalahkan, karena mereka hanya diberi honor Rp5.000 sekali datang. Namun, yang menjadi persoalan berikutnya adalah untuk urusan pembangunan karakter bangsa hanya dihargai Rp5.000," katanya. Dia mengatakan, satu kasus ditemukan pada sebuah lembaga pendidikan anak usia dini (PAUD) nonformal yang sedang melakukan upaya internalisasi nilai-nilai religiusitas. Ketika salah seorang guru PAUD memimpin doa, pada saat yang bersamaan, guru-guru yang lain justru sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. "Hal seperti itu jelas sekali menunjukkan sebuah kontradiksi. Pada satu sisi, para guru ingin menanamkan nilai-nilai religiusitas,
XII
SEMINAR
Dharma Indra Siregar, seorang tokoh eksponen 66, selalu ketua panitia seminar nasional tentang pertempuran di Sipirok tahu 1949 silam, berpose bersama Muhammad TWH dan Sofyan Pakpahan, adik dari Mamang Pakpahan,seorang gerilyawan yang tewas dalam pertempuran Sipirok tersebut. rizanul
MedanBisnis Medan Sejarah terkadang perlu dikaji ulang dan diluruskan sesuai dengan fungsinya, yakni sejarah. Hal itu menurut Dharma Indra Siregar, seorang tokoh eksponen 66 mengingat tidak jarang sejarah dilarikan demi kepentingan politik penguasa. Untuk itu dia selaku ketua panitia seminar nasional tentang pertempuran di Sipirok tahun 1949 silam, merasa perlu menguak sejumput sejarah anak bangsa.
Hal itu dikatakan Indra kepada wartawan di Medan, Sabtu lalu, dalam rangka mempersiapkan seminar tersebut. Ada hal penting yang terlupakan pada pertempuran tersebut, sehingga dari beberapa buku yang ada, terjadi perbedaan tafsir dan data. "Padahal di sana terjadi sebuah sejarah," ujar Indra yang didampingi Gandi Parapat, seorang tokoh muda Sumatera Utara. Pada pertempuran tersebut, menurut Indra, sampai menewaskan seorang jenderal besar Belanda, yaitu Simon H Spoor. Jenderal tersebut tewas di Tor Simago-mago, Aek Mandiri. Menariknya, jenderal itu tewas bukan di tangan seorang prajurit profesional. Dia tewas di tangan seorang gerilyawan bernama Sahala Muda Pakpahan alias Mamang Pakpahan. Pemuda 23 tahun itu ikut dalam pertempuran yang menurut Indra memiliki arti penting bagi Belanda, sebab sampai menurunkan seorang jenderal. Namun, dijelaskan Indra, dalam catatan sejarah yang ada, nama Mamang Pakpahan, yang akhirnya tewas digorok Belanda tiga bulan setelah tewasnya sang jenderal, tak pernah muncul. Bahkan kematian jenderal Spoor yang tercatat wafat 25 Mei 1949 di Sipirok, pun digelapkan Belanda, karena malu, sebab Belanda malu karena sang jenderal tewas di tangan se-
CAGAR BUDAYA
Sejumlah umat berdoa di samping salah satu benda cagar budaya, saat prosesi pemberkatan di Graha Total Quality, Surabaya, Sabtu (4/2). Pemberkatan jelang perayaan Cap Go Meh yang dipimpin oleh Rm Petromualdus Charly Krowa,
antara/eric ireng
Pr yang merupakan Imam Diosesan Keuskupan Ruteng Flores NTT tersebut, bertujuan mengajak masyarakat untuk menjaga kelestarian benda cagar budaya Indonesia.