Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah Keadaan Gawat Daruratan Medis, terdapat perbedaan mendasar antara istilah gawat dan darurat, namun umumnya dipahami oleh masyarakat sebagai satu-kesatuan. Dalam dunia medis, suatu keadaan disebut gawat a p a b i l a s i f a t n ya m e n g a n c a m n ya w a n a m u n t i d a k memerlukan penanganan yang segera. Biasanya keadaan gawat dapat dijumpai pada penyakit-penyakit yang sifatnya kronis. Suatu keadaan disebut darurat apabila sifatnya memerlukan penanganan yang segera.Meskipun keadaan darurat tidak selalu mengancam nyawa, namun penanganan yang lambat bisa saja berdampak pada terancamnya nyawa seseorang. Biasanya keadaan darurat dapat dijumpai pada penyakit-penyakit yang sifatnya akut. Keadaan gawat dan darurat dapat juga terjadi bersamaan. Dalam hal ini, nyawa pasien benar-benar dalam keadaan yang mengkhawatirkan dan diperlukan penanganan yang segera terhadapnya. Contoh untuk kasus ini adalah seseorang yang telah menderita penyakit jantung dalam waktu yang lama dan tiba-tiba saja mendapatkan serangan jantung (heart attack ). Pada keadaan gawat darurat medik didapati beberapa masalah utama, yaitu: 1.Periode waktu pengamatan/pelayanan relatif singkat 2.Perubahan klinis yang mendadak 3 . D i p e r l u k a n n ya m o b i l i t a s p e t u g a s ya n g t i n g g i . Hal-hal di atas menyebabkan tindakan dalam keadaan gawat darurat memiliki risiko tinggi bagi pasien berupa kecacatan bahkan kematian.

Keadaan medis yang mengancam jiwa seperti fainting (syncope) , Pendarahan, Hypoglicemia, hyperventilation, aspiration, respiratory distress, bronchospasme, airway obstruction, cardiac arest, anaphilaxix, drug overdosis, local anestesi overdose. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai aspirasi

1.2 Rumusan masalah

1. Definisi aspirasi 2. Penatalaksanaan aspirasi benda asing 3. Penatalaksanaan aspirasi isi lambung

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui prosedur dan penatalaksanaan aspirasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi 2.1.1 Aspirasi benda asing Aspirasi benda asing adalah tersangkutnya sebuah objek atau substansi di jalan nafas. Benda asing di dalam suatu organ adalah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing pada saluran napas dapat terjadi pada semua umur terutama anak-anak karena anak-anak sering memasukkan benda ke dalam mulutnya bahkan sering bermain atau menangis pada waktu makan.

2.1.2 Klasifikasi benda asing

Benda asing yang berasal dari luar tubuh disebut benda asing eksogen sedangkan yang berasal dari dalam tubuh disebut benda asing endogen. Benda asing eksogen biasanya masuk melalui hidung atau mulut. Benda asing eksogen terdiri dari benda padat, cair atau gas. Benda asing eksogen padat dapat berupa zat organik seperti kacang-kacangan dan tulang, ataupun zat anorganik seperti paku, jarum, peniti, batu dan lain sebagainya. Benda asing eksogen cair dapat berupa benda cair yang bersifat iritatif, yaitu cairan dengan pH 7,4. Benda asing endogen dapat berupa secret kental, darah atau bekuan darah, nanah, krusta, cairan amnion, atau mekonium yang dapat masuk ke dalam saluran nafas bayi pada saat persalinan.

2.2 Aspirasi Lambung Aspirasi isi lambung yang terdiri dari asam lambung dan sisa makanan (Mendelsons syndrome) merupakan salah satu penyulit anestesi yang dapat dihindari. Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anesthesia yang dapat terjadi pada saat intubasi, pasca intubasi, selama anestesi dan pasca bedah. Walaupun angka kematiannya relatif rendah, namun ketidak tepatan penanganan akan menambah morbiditas.
3

Volume dan derajat keasaman asam lambung menentukan keparahan akibat aspirasi. Aspirasi dapat dicegah dengan puasa pra pembedahan, pemberian obat-obatan untuk mengurangi volume dan keasaman lambung dan melakukan teknik anestesi yang tepat. Tindakan segera yang dilakukan setelah diduga terjadi aspirasi adalah tindakan suportif dengan head down, pembersihan jalan napas, diberikan oksigen 100% dengan PPV. Dengan melakukan obervasi keadaan klinis dalam 2 jam setelah aspirasi, ditentukan apakah pasien perlu dilakukan tindakan lanjutan di ruang perawatan intensif. Terapi oksigen dan pemberian bronchodilator disesuaikan dengan keadaan klinis dari pasien tersebut. Pemberian antibiotika dilakukan apabila pasien sudah dinyatakan pneumonia. Pemberian korticosteroid hanya bermanfaat apabila aspirat asam lambung pHnya berkisar antara 1,5-2,5. Salah satu penyulit selama tindakan pembedahan dengan pembiusan umum adalah terjadinya aspirasi. Dalam konteks ini yang dimaksud dengan aspirasi adalah masuknya benda asing melalui trakhea ke paru. Benda asing tersebut dapat berasal dari lambung, esophagus, mulut dan hidung, serta dapat berupa makanan, darah, air ludah atau cairan lambung. Masuknya cairan lambung ke saluran napas dapat terjadi akibat muntah atau regurgitasi. Aspirasi isi lambung yang terdiri dari asam lambung dan sisa makanan (Mendelsons syndrome) merupakan kejadian yang sangat dikhawatirkan oleh anestesiologis karena dapat mengancam jiwa pasien. Hal ini dibuktikan dari hasil penelitian Warner et al.3 bahwa dari 215.488 tindakan pembiusan umum, angka kejadian aspirasinya adalah 1:3886 untuk pembedahan elektif, dan 1:895 untuk pembedahan darurat. Enam puluh empat persen pasien yang mengalami aspirasi dalam waktu 2 jam tidak tampak gejala pada proses pernapasan, akan tetapi terjadi kematian pada tiga pasien dari enam pasien yang dilakukan pemasangan alat bantu napas (respirator) dalam 24 jam. Pasien yang mengalami aspirasi harus didiagnosis dengan tepat dan cepat agar dapat dilakukan penanganan yang adekuat sesegera mungkin. Gejala terjadinya aspirasi harus dapat cepat diidentifikasi. Mendelson mengklasifikasikan 2 kelompok gejala akibat aspirasi dari isi lambung. Kelompok pertama adalah gejala akibat dari bahan padat isi lambung yang mempunyai tanda dan gejala sianosis, wheezing, coughing, takhipneu, hipotensi dan mediastinal shift dan konsolidasi jaringan paru. Kelompok kedua adalah gejala dikenal dengan sindroma Mendelson yang klasik, adalah akibat dari aspirasi asam dengan gejala spasme bronchus, takhipneu, wheezing, sianosis dan panas.

Berikutnya sejak diketahui bahwa aspirasi lebih mudah terjadi pasien obstetri, Mendelson menyatakan bahwa penyebab aspirasi antara lain adanya perubahan anatomi dan fisiologi pada ibu kehamilan, pengosongan lambung yang memanjang dan penurunan kekuatan otot sphincter-esophagus. Aspirasi isi lambung dapat dan harus dihindari oleh tim pembedahan, oleh karena itu sebagai anggota tim seorang anestesiologis memerlukan penguasaan pengetahuan tentang apirasi ini dan ketrampilan teknik mengatasinya.

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Aspirasi Benda Asing Aspirasi benda asing adalah tersangkutnya sebuah objek atau substansi di jalan nafas. Benda asing di dalam suatu organ adalah benda yang berasal dari luar tubuh atau dari dalam tubuh, yang dalam keadaan normal tidak ada. Benda asing pada saluran napas dapat terjadi pada semua umur terutama anak-anak karena anak-anak sering memasukkan benda ke dalam mulutnya bahkan sering bermain atau menangis pada waktu makan.

3.1.1 Insiden Aspirasi benda asing paling sering terjadi pada anak-anak berusia 6 bulan sampai 6 tahun.90% kasus terjadi pada anak yang berusia kurang dari 5 tahun, 65 % diantaranya adalah bayi.Aspirasi benda asing adalah penyebab utama kematian akibat kecelakaan pada anak-anak yang berusia kurang dari 1 tahun. Kacang tanah dan kacang lainnya menyebabkan kira-kira separuh dari aspirasi benda asing, serpihan sayuran, biji-bijian, dan kismis, juga sering menjadi penyebab aspirasitersebut. Objek yang lebih besar seperti hot dog, anggur, pecahan balon, dan pop corn, dapat menyumbat glottis dan mengarah pada henti napas.

3.1.2 terjadi :

Manifestasi Klinik Manifestasi klinis bervariasi sesuai tempat tersangkutnya benda asing dan derajat obstruksi yang 1. Batuk 2. Dispnoe 3. Epitaksis (mimisan hidung) 4. Sianosis (warna kebiruan pada kulit dan selaput lendir pada wajah,bibir cuping karena kekurangan oksigen dalam darah atau jaringan ) 5. Bunyi napas menurun di atas area yang terkena 6. Mungkin ada periode tenang atau periode tanpa gejala 7. Demam 8. Suara serak 9. Stridor (kondisi abnormal, di mana suara pernapasan bernada tinggi yang disebabkan oleh sumbatan di tenggorokan atau kotak suara (laring). Biasanya dengar saat mengambil napas)/ suara nafas kasar yang disebabkan karena adanya turbulensi aliranudara karena adanya sumbatan di saluran nafas bagian atas. 10. Afonia (hilangnya suara)

11. Bunyi benda jatuh pada saat batuk karena benda asing itu bergerak-gerak (di dalam trakea) 12.Kesulitan menelan, mengeluarkan liur berlebih 13.Tuli konduktif (kelainan di telinga luar dan tengah)

3.1.3 Komplikasi Komplikasi paling sering muncul karena diagnosis dan pengeluaran benda asing yang terlambat 1. Bronkospasme 2. Atelektasis 3. Bronchitis 4. Bronkiektasis 5. Pneumonia 6. Pneumotoraks 7. Abses paru 8. Fistula bronkopulmonal 9. Kematian 3.1.4 Test Diagnostik 1. Foto toraks Bidang anterior, posterior, latelar, dan miring, untuk mengevaluasi lokasi benda asing yang tidak tembus cahaya , untuk benda asing yang tembus cahaya, mengkaji filmsinar-x untuk adanya daerah atelektasis, atau dengan film sinar-x inspiratori danekspiratori, untuk mengkaji udara yang terperangkap. 2. Laringoskopi dan bronkoskopi. Dilakukan dengan anestesi umum di kamar operasi, member visualisasi langsung kedalam trakea bagian atas (sebuah teleskop dapat digunakan untuk menentukan lokasibenda asing dan penarikannya disertai dengan memasukkan sebuah foseps optikal). 3. Flouroskopi Member gambaran struktur-struktur yang bergerak dinamis di bawah pemeriksaansinar-x, lebih bermanfaat dari pemeriksaan sinar-x saja dalam hal menunjukkan udarayang terperangkap di bagian distal letak benda asing. 4. Xeroradiografi Teknik sinar-x dengan menggunakan film sinar-x khusus, untuk memberi r esolusigambar yang lebih tinggi, seperti benda asing non-metalik. 5. Oksimetri nadi Untuk mengukur saturasi oksigen

3.1.5 Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan darurat terhadap aspirasi benda asing melalui maneuver Heimlich atau pukulan di punggung. Setelah dicurigai adanya aspirasi benda asing, beri perhatian segera dengan langsung melakukan tindakan diagnostic yang agresif seperti bronkoskopi untuk mengidentifikasikan dan mengeluarkan benda asing untuk mencegah komplikasi. Obat yang dapat digunakan adalah sebagai berikut : 1. Bronkodilator inhalasi untuk laringospasme atau bronkospasme 2. Kortikosteroid untuk mengurangi edema jalan nafas. 3. Antibiotic sistemik untuk kasus-kasus yang didalamnya terdapat kecurigaan adanya frgamen sisa yang tertinggal, adanya secret purulent di jalan nafas, atau tanda dan gejala pneumonia

3.1.6 Intervensi

1.Tindakan Kedaruratan Pada kasus obstruksi jalan nafas total atau pembersihan jalan nafas tidak efektif maka jalan nafas tersebut harus dibuka. Pukul punggungnya beberapa kali diikuti sentakan pada dada untuk bayi berusia 1 tahun atau kurang. Lakukan maneuver Heimlich (sentakan abdomen) pada anak di atas 1 tahun..

2. Perawatan Praoperasi Lakukan pemantauan pernafasan yang terus-menerus, bersiaplah untuk membantu penatalaksanaan jalan nafas darurat jika obstuksi parsial terjadiobstruksi total. Pantau TTV dan saturasi oksigen. Berikan posisi (yang nyaman) untuk menjamin jalan napas yang adekuat Puasakan anak sebelum pembedahan Siapkan anak untuk bronkoskopi dan atau torakotomi Berikan asuhan keperawatan yang konsisten untuk meningkatkan kepercayaandan untuk mengurangi ansietas anak.

3. Perawatan Pascaoperasi - Lakukan pengkajian pernapasan yang sering untuk mendeteksi tanda dan gejala gawat pernafasan karena edema sekunder jalan nafas. - Kaji efek pemberian obat.

4. Perencanaan Pulang dan Perawatan di Rumah - Ajarkan orang tua untuk mengobservasi dan melaporkan dengan segeraadanya tanda-tanda gawat pernafasan. Berikan daftar sumber-sumber bagi orang tua yang dapat dihubungkan jikaterjadi kasus darurat Ajarkan kepada orang tua tentang cara mengeluarkan benda asing dari jalan napas yang tersumbat dan resusitasi jantung-paru (RJP) Ajarkan kepada orang tua tentang tindakan pencegahan aspirasi benda asing. Berikan jenis dan ukuran atau porsi makanan yang sesuai dengan usia anak Anjurkan anak untuk tidak makan selama beraktivitas Batasi akses anak ke benda-benda atau mainan yang kecil-kecil yang dapat membuat tersedak Berikan bimbingan terantisipasi untuk orang tua berkaitan denganinspeksi mainan secara langsung dan baca label peringatan untuk meyakinkan bahwa mainan tersebut sesuai usia anak. Buat rujukan untuk pengkajian keamanan di rumah jika perlu

3.1.7 Hasil yang diharapkan 1. Anak akan mencapai dan mempertahankan jalan nafas yang paten 2. Anak akan kembali ke lingkungan rumah yang aman

3.2 Aspirasi Isi lambung Aspirasi isi lambung yang terdiri dari asam lambung dan sisa makanan (Mendelsons syndrome) merupakan salah satu penyulit anestesi yang dapat dihindari. Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anesthesia yang dapat terjadi pada saat intubasi, pasca intubasi, selama anestesi dan pasca bedah. Walaupun angka kematiannya relatif rendah, namun ketidak tepatan penanganan akan menambah morbiditas.

3.2.1 Patofisiologi Aspirasi isi lambung, penyebab, akibat dan gejalanya dapat dibedakan oleh 3 bahan aspirat yaitu berupa asam, partikel (sisa makanan) dan bakteri. Secara umum aspirasi dapat dicegah dengan menjaga isi lambung agar tidak masuk ke esophagus dan faring, aspirat yang di faring dijaga tidak masuk trakhea dan paru. Selain bahan aspirat, volume isi lambung menentukan keparahan akibat aspirasi sehingga jumlah yang cairan masuk paru diupayakan menjadi lebih sedikit. Timbulnya reaksi akibat aspirasi asam dapat terlihat segera setelah kejadian atau gejala yang timbulnya lambat. Aspirasi asam lambung terjadi 2 fase yaitu trauma pada jaringan dan reaksi keradangan. Dalam waktu 5 detik, asam akan bereaksi dengan mukosa trakhea dan alveoli, dan dalam waktu 15 detik telah terjadi netralisasi. Enam jam kemudian akan kehilangan lapisan sel superfisial yang bersilia dan yang tidak bersilia. Regenerasi terjadi dalam waktu 3 hari, dan dalam waktu 7 hari terjadi regenerasi yang sempurna pada sel yang mengalami kerusakan. Sel alveolar tipe II sangat peka terhadap asam hidroklorid dan mengalami kerusakan dalam waktu 4 jam setelah terjadinya aspirasi. Peningkatan yang cepat lisophophosphatidyle choline dalam 4 jam setelah aspirasi asam mengakibatkan peningkatan permiabilitas alveolar dan cairan paru (lung water). Peningkatan cairan paru mengakibatkan menurunkan compliance paru, meningkatkan ventilation-perfusion mismatching dan meningkatkan alveolar-arterial oxygen tension difference. Pada fase kedua, ditandai dengan acid-mediated induction dan pelepasan pro-inflamatory cytokine seperti TNF dan interleukin-8. Hal ini akan merangsang
10

ekpresi sel adhesion molecule L-selectin dan beta-2 integrins pada neutrofil, and intercellular adhesion molecules (ICAM) pada endothel paru yang selanjutnya merangsang reaksi keradangan (neutrophilic inflammatory response). Aspirasi lokal memicu reaksi keradangan yang menyeluruh yang memungkinan terjadinya kegagalan kardiopulmoner. Aspirasi isi lambung secara bersama dengan adanya akibat partikel, menyebabkan terjadi fokus keradangan dan reaksi tubuh terhadap benda asing dengan kerusakan jaringan secara menyeluruh akibat asam. Partikel dan asam lambung bekerja sama secara sinergis menyebabkan kebocoran kapiler alveolar. Aspirasi partikel besar dari isi lambung, akan menimbulkan gejala obstruksi jalan napas, dan dalam waktu pendek dapat terjadi kematian pasien, oleh karena itu partikel tersebut harus segera dikeluarkan, dan dilakukan oksigenasi dan ventilasi untuk menghindari hipoksia, dan segera dilakukan intubasi untuk mencegah aspirasi selanjutnya.

Isi lambung tidak steril sehingga aspirasi yang terjadi dapat disertai bakteri. Enam puluh sampai 100% terdiri dari kuman anaerob. Gabungan kuman aerob dan anaerob sering dijumpai pada aspirasi pneumoni yang terjadi di rumah sakit. Pseudomonas aeroginosa, Klebsiella dan Escheresia colli merupakan kuman gram negatif yang banyak dijumpai sebagai penyebab pneumonia nosokomial. Staphylococcus aureus merupakan kuman gram positif yang patogen. Kuman gram negatif yang dijumpai pada pemakaian ventilator, 34% berasal dari aspirasi isi lambung dan sekret orofaring, dan diduga merupakan penyebab kematian pneumonia pasca bedah.

3.2.2 Faktor Predisposisi Meningkatnya kejadian aspirasi, disebabkan oleh adanya faktor pasien, faktor pembedahan, faktor anestesi. a. Faktor pasien. Adanya peningkatan isi lambung, seperti yang terjadi pada: pasien dengan hipersekresi lambung pada kehamilan dan obesitas, pembedahan emergensi yang waktu puasanya belum cukup, pengosongan lambung yang memanjang terjadi pada kehamilan, obesitas, trauma, pemberian opioid, kelainan gastro intestinal (obstruksi usus, hambatan pada proses pengeluaran dari lambung dan pada perdarahan saluran pencernakan atas), neuropati anatomi karena diabet dan kegagalan ginjal meningkatkan kemungkinan aspirasi. Selain itu kondisi seperti:
11

meningkatnya kecenderungan terjadinya regugurgitasi terjadi pada pasien dengan tonus sphincter esophagus yang menurun, misalnya pada kehamilan, obesitas dan hiatus hernia, adanya reflek gastro esophageal yang terjadi pada hiatus hernia dan kelainan GIT, kelainan esophagus misalnya penyempitan dan carcinoma esophagus dan pada usia lanjut;

inkompenten dari laring misalnya pasien yang tidak sadar, kelainan anatomi laring dan neuro muscular disorder akibat bulbar atau pseudobulbar palsy juga dapat meningkatkan kemungkinan aspirasi

b. Faktor pembedahan Tehnik pembedahan yang harus diperhatikan berkaitan dengan kemungkinan terjadinya aspirasi diantaranya adalah: 1) manipulasi usus pada pembedahan abdomen atas dapat terjadi reflux dari lambung, 2) kenaikan tekanan intra-abdominal akibat pneumoperitoneum pada pembedahan laparoscopi, 3) posisi lithotomy dan trendelenburg mendesak gaster ke arah proksimal menyebabkan terjadi regurgitasi.

c. Faktor anestesi Hal yang dapat menyebabkan kemungkinan terjadinya aspirasi sewaktu melakukan anestesi yang perlu diantisipasi adalah: (1) pemberian obat anestesi lokal disekitar trakhea pada saat intubasi, (2) belum kembalinya kemampuan batuk akibat pemberian obat pelumpuh otot (neuroblocking agent), (3) tehnik anestesi yang tidak sesuai misalnya: - a) laringoskopi yang dilakukan pada tahap anestesi yang dangkal dan sudah diberikan obat pelumpuh otot menyebabkan timbulnya batuk, regurgitasi dan muntah,. - b) dilakukan ekstubasi sebelum kembalinya reflek untuk melindungi jalan napas dari muntah dan regurgitasi - c) pemakaian laryngeal mask atau alat pembebas jalan napas yang berada didepan supraglotik menyebabkan penurunan tonus spincter esofagus distal - 4) kesulitan manajemen jalan napas, misalnya kesulitan melakukan intubasi sehingga harus memberikan positif pressure ventilation dengan masker, criccoid
12

pressure yang tidak sempurna atau melepaskan tekanan sebelum endotracheal tube nya masuk dan pemasangan endotracheal tube yang masuk ke esophagus pada pasien dengan lambung penuh .

3.2.3 Pencegahan Aspirasi Aspirasi dapat terjadi setiap saat, sebelum, selama dan sesudah pemberian anestesia. Aspirasi isi lambung tanpa gejala terjadi pada 45% pasien tidur dan 75% pada pasien tidak sadar. Kecurigaan terjadi aspirasi apabila terdengar suara tambahan, terjadi kenaikan airway pressure atau pengeluaran sekret yang berlebih. Adanya suara napas tambahan berupa wheezing, rales yang menyeluruh, takhipneu, takhikardia, dan panas yang tidak tinggi merupakan gejala dari aspirasi isi lambung. Untuk diagnosa pasti dapat dilakukan dengan pemeriksaan invasif misalnya fibreoptic bronchoscopy, bronchoalveolar lavage. Aspirasi dapat terjadi pada keadaan peningkatan tekanan lambung, meningkatnya kecenderungan terjadinya regurgitasi dan adanya penurunan kompetensi laring. Pencegahan dilakukan dengan mengurangi produksi asam lambung dan keasaman lambung. Produksi asam lambung yang lebih dari 25ml(0,4 ml/kg) dan pH kurang dari 2,5 mempunyai resiko yang lebih besar. Apabila pH asam lambung kurang dari 1,5, kerusakan yang terjadi pada paru sangat hebat. Aspirasi dapat dicegah melalui: puasa pra pembedahan, pemberian obat-obatan untuk mengurangi volume dan keasaman lambung dan melakukan dengan teknik anestesi yang tepat
a. Puasa pra pembedahan

Puasa merupakan salah satu cara dari pengurangan isi lambung yang berupa padat dan cair. Berkurangnya jumlah asam lambung akan meminimalkan efek terjadinya aspirasi pneumonitis. Tujuan utama puasa adalah mengurangi volume isi lambung dibawah 25 ml. Puasa pra bedah menyebabkan mulut kering, haus, meningkatkan resiko PONV dan terjadinya hipovolemi. Pengosongan cairan lambung dikendalikan oleh bagian proksimal dari gaster dan berkaitan langsung perbedaan tekanan dari gastroduodenal, kecuali kalau ada hal yang patologi dari pyloric dan terjadi perubahan anatomi akibat pembedahan.

Jumlah isi lambung tergantung dari dimulainya waktu puasa. Puasa dengan minum air putih 2 jam sebelum pembedahan tidak meningkatkan volume cairan lambung dan keasaman lambung, karena dalam 2 jam sudah terjadi pengosongan
13

lambung, tetapi apabila minum ASI pengosongan lambung baru terjadi setelah 4 jam. Untuk susu formula, makanan ringan pasien dipuasakan dalam waktu 6 jam. Makanan berat pengosongan lambung terjadi dalam waktu 9 jam.

b. Pemberian obat-obatan untuk mengurangi volume dan keasaman lambung

Derajat keasaman lambung sangat berpengaruh terhadap derajat kerusakan dan kegawatan dari aspirasi paru. Pemberian Na citrate akan meningkatkan pH asam lambung. Sucralfate akan mengikat empedu dan asam lambung, mempunyai efek untuk perdarahan lambung, tetapi apabila terjadi aspirasi akan menyebabkan pneumonitis akut dan perdarahan paru. H2 reseptor antagonis yang diberikan 90120 menit akan mengurangi produksi dan menaikkan pH asam lambung. Apabila pasien sudah memakai obat H2 reseptor antagonis untuk beberapa waktu efektivitas untuk mengurangi produksi dan menaikan pH asam lambung berkurang sehingga akan meningkatan resiko akibat terjadi aspirasi paru. Proton pump inhibitors (PPls) mengikat residu cisteine dari H+/K+ ATPase pump mukosa gaster. PPls menurunkan produksi dan meningkatkan pH asam lambung, namun efek tersebut tidak tampak menurunkan kejadian dan keparahan dari paru akibat aspirasi. Obat prokinetic yang dikenal dengan metoclopramide menurunkan resiko aspirasi dengan menurunkan volume isi lambung. Efek obat prokinetic akan dihambat oleh atropin (10g/kg), pemberian opiat yang menyebabkan perpanjangan

pengosongan lambung dan meningkatkan tonus dinding lambung.

c.

Teknik anestesi. Aspirasi paling sering terjadi pada saat induksi dan laringoskopi. Kemungkinan terjadinya aspirasi ini dapat dikurangi dengan mengisolasi jalan napas dengan tractus gastrointestinal. Pemasangan endotrakheal secara sadar atau dilakukan rapid sequence induction dengan cricoid pressure akan mengurangi terjadinya aspirasi. Sellick mengemukakan dengan dilakukan penekanan pada cricoid pada pasien yang telentang dan kepala lebih rendah(slight head down) akan mengakibatkan isi lambung yang keluar tidak dapat masuk dalam jalan napas. Posisi head up 450 pada saat intubasi untuk menghindari terjadinya aspirasi. Laringokopi yang dilakukan dengan kedalaman anestesi yang tidak cukup akan
14

mengakibatkan batuk, bucking, muntah dan spasme laring. Keadaan ini akan menyulitkan intubasi sehingga akan memperbesar kemungkinan terjadi aspirasi. Pemakaian LMA tidak mengisolasi jalan napas dengan tractus gastrointestinal. Hasil meta analisis menunjukkkan bahwa 2 dari 10.000 yang dilakukan dengan LMA mengalami aspirasi 3.2.4 Manajemen Aspirasi Aspirasi merupakan resiko dari tindakan anesthesia dan pemberian obat-obatan yang mengurangi reflek proteksi jalan napas. Aspirasi dapat menyebabkan pneumonitis, meningkatkan kejadian pneumonia dan adult respiratory distress syndrome (ARDS). Tindakan segera setelah diketahui terjadi aspirasi adalah 1. terapi suportif dengan, pasien diposisikan head down untuk meminimalkan kontaminasi isi lambung dengan paru. Mulut dan faring segera dibersihkan dengan menekan cricoid. Pembersihan jalan napas melalui endotrakheal dapat dilakukan dengan mengisap intratrakheal yang sebelumnya diberikan oksigen 100% dengan PPV. Tindakan selanjutnya adalah melakukan bronhoscopy untuk membuang partikel dari aspirat. Pemasangan oro/nasogastro ditujukan untuk mengosongkan lambung dan mengukur derajat keasaman lambung. Terapi oksigen dan bronchodilator diberikan sesuai dengan keadaan klinis dari pasien tersebut. 2. Setelah diagnosis aspirasi ditegakkan kelanjutan dari tindakan pembedahan dapat dibicarakan dan disesuaikan dengan keadaan pasien. Setelah pembedahan berakhir dilihat keadaan klinik dalam 2 jam setelah aspirasi, apakah pasien perlu dilakukan tindakan lanjutan di ruang perawatan intensif. Pertimbangan ini perlu dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien. Warner melakukan studi retrospektif pada 66 pasien yang mengalami aspirasi. 3. Pemberian antibiotika dilakukan bila pasien sudah dinyatakan pneumonia. Pemeriksaan mikrobiologi dari pasien aspirasi diperlukan untuk memastikan pemberian obat-obatan. Bahan aspirat membawa kuman masuk kedalam jaringan paru. Dari penelitian bahan aspirat pada kasus aspirasi berat, didapatkan kuman basili gram negatif 49%, bakteri anaerob 16% dan stafilokokus 12%. Keberadaan kuman basili gram negatif menunjukan bahwa pasien tersebut mengalami aspirasi dari bahan tractus gatrointestinal. 4. Pemberian corticosteroid masih kontroversi. Pertimbangan penggunaannya adalah untuk mengurangi keradangan dan stabilisasi membrane lysosom. Selain itu
15

diduga dapat mencegah kerusakan sel paru dengan cara melindungi pneumosit alveolar tipe II dan mengurangi aglutinasi leukosit dan platelet. Hasil penelitian eksperimental oleh Downs JB et al menunjukan efektivitas pemberian kortikosteroid ada hubungannya dengan nilai pH Aspirat, jika pH aspirat berada pada 1,5-2,5 terapi corticosteroid berperan untuk membantu proses kesembuhan acid aspiration pneumonitis. Dexamethasone diberikan 0,8 mg/kg BB tiap 6 jam menurunkan cairan paru (lung water) secara bermakna mulai 24jam, dan kembali kekeadaan normal setelah 72 jam. Bila pH aspirat lebih kecil dari 1,5 akan terjadi kerusakan parensim paru yang hebat dan luas, oleh karena itu terapi steroid tidak efektif. Apabila pH aspirat lebih besar dari 2,5 pemberian corticosteroid tidak ada artinya

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Ali,Naim, 2009 bagaimana mencegah dan mengelola. [On Line]. Dari: http: //penatabius.blogspot.com/2009/05/ [13 November 2012] 2. W.Multianugrah
,2011

Aspirasi

Benda

Asing

[On

Line]

Dari:

http://www.scribd.com/doc/96791036/ 3. Natamulyo
,2011 pneumonia aspirasi.html [On Line] Dari:

http://calvariatmc.blogspot.com/2011/01/ 4. S.Okta
,2009 Kegawatdaruratan-Medis [On Line] Dari:

http://www.scribd.com/doc/106918090/ 5. Kugelman A, Shaoul R et al. Persistent Cough and Failure to Thrive: A Presentation of
Foreign Body Aspiration in a Child With Asthma. 2006. Pediatrics.;117;e1057-e1060

6. Rovin DJ, Rodgers MD. Pediatric Foreign Body Aspiration. 2000. Pediatr. Rev : 21;86 7. Rahbarimanesh A, et al. Foreign Body Aspiration: A five-year Report in a Childrens Hospital.
2008.

17

18

Anda mungkin juga menyukai