Anda di halaman 1dari 5

Indonesia Menganut Birokratif Law Apa Responsif Law?

BIROKRATIF LAW Kemerdekaan kekuasaan kehakiman adalah paling sentral untuk menentukan apakah suatu negara dapat dikatakan layak menyandang gelar negara hukum. Tanpa adanya kekuasaan kehakiman yang merdeka dan mandiri, maka bisa dipastikan bahwa suatu negara hanya berdasarkan kekuasaan dan selera politik dari penguasa resmi negara tersebut. Kekuasaan kehakiman yang Merdeka dan Mandiri ini tidak bisa juga diartikan bahwa hakim sangat bebas dalam memutus perkara akan tetapi dalam memutus perkara hakim harus dapat melihat dengan jernih dalam memberikan pertimbangan dalam putusan-putusannya sehingga layak untuk dipertanggung jawabkan kepada Tuhan YME, layak juga secara akademis, dan layak untuk masyarakat dapat menemukan kepastian dan keadilan. RESPONSIVE LAW Hukum yang responsive merupakan produk hukum yang lahir dari strategi pembangunan hukum yang memberikan peranan besar dan mengundang partisipasi secara penuh kelompok-kelompok masyarakat sehingga isinya mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat pada umumnya. PENDAPAT SAYA Menurut saya apa yang telah diuraikan tersebut, maka seharusnya peraturan perundangundangan dapat diformulasikan sedemikian rupa yaitu sedapat mungkin menampung berbagai pemikiran dan partisipasi berbagai lapisan masyarakat, sehingga hukum yang dihasilkan dapat diterima oleh masyarakat. Pemahaman mengenai hal ini sangat penting karena dapat menghindari benturan pemahaman antara masyarakat dan pemerintah atau negara yang akan terjebak ke dalam tindakan yang dijalankan diluar jalur atau landasan hukum.Produk hukum responsif adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat. Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompok-kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Hasilnya akan bersifat respon terhadap kepentingan seluruh elemen, baik dari segi masyarakat ataupun dari segi penegak hukum. Hasil dari produk hukum tersebut mengakomodir kepentingan rakyat dan penguasanya. Prinsip check and balance akan selalu tumbuh terhadap dinamika kehidupan masyarakat. Bila hukum yang dihasilkan adalah hukum yang responsif, maka tidak akan ada lagi hukum siapa yang kuat (punya kekuasaan) akan menguasai yang lemah atau anggapan rakyat selalu menjadi korban, karena lahirnya hukum tersebut sudah melalui proses pendekatan dan formulasi materi muatannya telah menampung berbagai aspirasi masyarakat. Pada dasarnya penerimaan (resepsi) dan apresiasi masyarakat terhadap hukum sangat ditentukan pula oleh nilai, keyakinan, atau sistem sosial politik yang hidup dalam masyarakat itu sendiri. Produk hukum yang konservatif mempunyai makna: Produk hukum konservatif/ortodoks/elitis adalah produk hukum yang isinya lebih mencerminkan visi sosial elit politik, keinginan pemerintah, dan bersifat positivis-instrumentalis, yakni menjadi alat pelaksanaan ideologi dan program negara.Dalam pembuatannya, peranan dan partisipasi masyarakat relatif kecil. Sedangkan produk hukum responsif/populistik adalah produk hukum yang mencerminkan rasa keadilan dan memenuhi harapan masyarakat.

Dalam proses pembuatannya memberikan peranan besar dan partisipasi penuh kelompokkelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hasilnya bersifat responsif terhadap tuntutan-tuntutan kelompok-kelompok sosial atau individu-individu dalam masyarakat. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuan-tujuan yang akan dicapai di luar hukum. Hukum tidak hanya rules (logic&rules) tetapi juga ada logika-logika yag lain. Bahwa memberlakukan yurisprudence saja tidak cukup, tetapi penegakan hukum harus diperkaya dengan ilmu-ilmu sosial. Dan ini merupakan tantangan bagi seluruh pihak yang terlibat langsung dalam proses penegakan hukum, mulai dari Polisi, Jaksa, Hakim, dan Advokat untuk bisa membebaskan diri dari belenggu hukum murni yang kakuh dan analistis. Produk hukum yang berkarekter responsif proses pembuatannya bersifat partisipasif, yakni mengundang sebanyak-banyaknya partsipasi semua elemen masyarakat, baik ari segi individu, ataupun kelompok masyarakat dan juga harus bersifat aspiratif yang bersumber dari keinginan atau kehendak dari masyarakat. Artinya produk hukum tersebut bukan dari penguasa untuk melegitimasikan kekuasaannya. Bagi tatanan hukum responsif, hukum merupakan institusi sosial. Oleh karena itu, hukum dilihat dari sekedar suatu sistem peraturan belaka, melainkan juga bagaimana hukum menjalankan fungsi-fungsi sosial dalam dan untuk masyarakatnya. Melihat hukum sebagai institusi sosial, berarti melihat hukum itu dalam kerangka yang luas, yaitu yang melibatkan berbagai proses dan kekuatan dalam masyarakat. Setiap orang mempunyai pandangan dan pendapat serta cara sendirisendiri yang pada intinya memiliki tujuan dan fungsi yang sama, yaitu membawa perubahan yang lebih baik. Namun karena perbedaan pandangan dan penaf siran sehingga sangat mungkin akan terjadinya gesekan satu sama lain. Dalam hal ini pemerintahpun juga belum mampu mengendalikan situasi, karena mereka yang ada di dalamnya juga sering silang pendapat bahkan tak jarang terjadi adu mulut atau baku hantam antar anggota legeslatif. Dari konsepsi hukum yang disampaikan kedua pemikir hukum ini dapatlah dilihat bahwa konsepsi hukum responsif dikontruksi oleh dua mazhab hukum yang belakangan cukup dikenal perkembangannya. Pemikiran Satjipto Rahardjo dengan konsep hukum progresifnya yang menyatakan bahwa hukum hendaknya mampu mengikuti perkembangan zaman, mampu menjawab perubahan dengan segala dasar didalamnya, serta mampu melayani masyarakat dengan menyandarkan pada aspek moralitas dari sumber daya manusia penegak hukum itu sendiri. Keyakinan beliau terhadap sosiologi hukum sebagai alat bantu dalam mendekontruksi pemikiran hukum semakin mengkristalkan pemikiran bahwa konsepsi hukum responsif yang digagas Philippe Nonet dan Selznick memang didukung oleh madzhab sociological jurisprudence yang memberi kemampuan bagi institusi hukum untuk secara lebih menyeluruh dan cerdas mempertimbangkan fakta-fakta sosial dimana hukum itu berproses dan diaplikasikan. Hukum responsif, hukum otonom dan hukum repressif dapat dipahami sebagai tiga respon terhadap dilemma yang ada antara integritas dan keterbukaan. Tanda-tanda dari hukum yang represif adalah adaptasi pasif dan oportunistik dari institusi-institusi hukum terhadap social dan politik. Hukum otonom merupakan reaksi yang menentang terhadap keterbukaan yang serampangan. Kegiatan atau perhatian utamanya adalah bagaimana untuk mencapai tujuan tersebut. Tipe hukum yang ketiga berusaha untuk mengatasi ketegangan tersebut. Ini disebut responsive, bukan terbuka atau adaptif, untuk menunjukkan suatu kapasitas beradaptasi yang bertanggungjawab, dan dengan demikian adaptasi yang selektif. Suatu institusi yang responsif mempertahanan secara kuat hal-hal yang esensial bagi integritasnya sembari tetap memperhatikan keberadaan, kekuatan-kekuatan baru di dalam lingkungannya. Untuk melakukan hal itu, hukum responsive memperkuat cara-cara bagaimana keterbukaan dan integritas dapat saling menopang walaupun terdapat pertentangan di antara keduanya. Lembaga yang responsive menganggap tekanan-tekanan social sebagai sumber pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan koreksi-diri. Agar mendapatkan sosok seperti itu, sebuah institusi memerlukan panduan ke rah tujuan.Tujuan menetapkan standar untuk membuka jalan melakukan perubahan. Pada saat yang bersamaan, jika benar-benar digunakan, tujuan dapat mengontrol diskresi administrative, dan dengan demikian dapat mengurangi risiko terjadinya pelepasan institusional. Sebaliknya, ketiadaan tujuan berakar pada kelakukan serta opportuninisme.

Praktisi Hukum Pada Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM), Sumbardalam hubungan ini, bahwa sesungguhnya pada pembukaan UUD 1945 dalam konteksnya dengan hukum mengandung empat nilai dasar yang merupakan law frame yang harus diperhatikan dalam pembangunan hukum di Indonesia. Pertama Hukum itu berwatak melindungi (mengayomi) dan bukan sekedar berisi muatan norma imperatif (memerintah) begitu saja. Kedua Hukum itu mewujudkan kadilan sosial bagi seluruh rakyat. Keadilan sosial disini bukan semata-mata sebagai tujuan, akan tetapi sekaligus sebagai pegangan yang konkrit dalam membuat peraturan hukum. Ketiga Hukum itu adalah dari rakyat dan mengandung sifat kerakyatan. Keempat Hukum adalah pernyataan kesusilaan dan moralitas yang tinggi baik dalam peraturan maupun dalam pelaksanaanya sebagaimana diajarkan didalam ajaran agama dan adat rakyat kita (M. Abdul Kholik). Keseiringan antara nilai hukum dengan keadaan masyarakat menjadikan hukum tersebut berpihak serta melindungi masyarakat. Maka untuk tercapainya sebuah keadilan akan lebih mudah. TEORI HUKUM RESPONSIF Sejarah Pemikiran Teori Responsif Lahirnya teori hukum ini dilatararbelakangi dengan munculnya masalah-masalah sosial seperti protes massal, kemiskinan, kejahatan, pencemaran lingkungan, kerusuhan kaum urban, dan penyagunaan kekuasaan yang melanda Amerika Serikat pada tahun 1950-an. Hukum yang ada pada saat itu ternyata tidak cukup untuk mengatasi keadaan tersebut. Di tengah rangkaian kritik atas realitas krisis otooritas hukum itulah, Nonet-Zelnick mengajukan model hukum responsif. Perubahan sosial dan keadilan sosial membutuhkan tatanan hukum yang responsif. kebutuhan ini sesungguhnya telah menjadi tema utama dari semua ahli yang sepaham dengan semangat fungsional, pragmatis, dan semangat purposif (berorientasikan tujuan), sepertinya Roscou Pound, para penganut paham realisme hukum dan kritikuskritikus kontemporer. Sebelum melangkah ke pemikiran hukum responsif, Nonet dan Zelnick membedakan tiga klasifikasi dasar dari hukum dalam masyarakat, yaitu hukum sebagai pelayan kekuasaan represif (hukum represif), hukum sebagai institusi tersendiri yang mampu menjinakan represif dan melindungi integritas dirinya (hukum otonom), dan hukum sebagai fasilitator dari berbagai respon terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial (hukum responsif). diantara ketiga tipe tersebut, Nonet dan Zelnick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan terteb kelembagaan yang langgeng dan stabil. Nonet dan Zelnick lewat hukum Responsif, menempatkan hukum sebagai sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan

sosial dan aspirasi publik. Sesuai dengan sifatnya yang terbuka, maka tipe hukum ini mengedepankan akomodasi untuk menerima perubahan-perubahan sosial demi mencapai keadilan dan emansipasi publik. Kepedulian pada akomodasi sosial. Menyebabkan teori ini tergolong dalam wilayah sosiological juurisprudence dan realist jurisprudence. Dua aliran tersebut pada intinya menyatakan kajian hukum yang lebih empirik melampaui batas-batas formalisme, perluasaan pengetahuan hukum, dan peran kebijakan dalam putusan hukum. Hukum responsif berorientasi pada hasil, pada tujuantujuan yang akan dicapai di luar hukum. Dalam hukum responsif tatanan hukum dinegosiasikan, bukan dimenangkan melalui subordinasi. Apa yang dipikrkan oleh Nonet dan Zelnick, menurut Prof. Satjipto Raharjo, sebetulnya bisa dikembalikan kepada pertentangan antara analitical jurisprudence di satu pihak dan sociological jurisprudence di pihak lain. Hukum responsif merupakan teori tentang profil hukum yang dibutuhkan dalam masa transisi. Karena harus peka terhadap situasi transisi di sekitarnya, maka hukum responsif tidak saja dituntut menjadi sistem yang terbuka, tetapi juga harus mengandalkan keutamaan tujuan (the souvereignity of purpose), yaitu tujuan sosial yang ingin dicapainya serta akibatakibat yang timbul dari bekerjanya hukum itu.

TUGAS T1 PENGANTAR HUKUM SOSIOLOGI

Disusun Oleh : GURUH HIDAYAT 105010101111074 Kelas B

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS HUKUM

Anda mungkin juga menyukai