Anda di halaman 1dari 7

Pradipa P Rasidi 0806468612

Kekuatan Jaringan Informasi Global Semester Genap 2013

Review: The Power of Social Media in Developing Nations: New Tools for Closing the Global Digital Divide and Beyond 1

Dalam The Power of Social Media in Developing Nations: New Tools for Closing the Global Digital Divide and Beyond, Amir Hatem Ali membahas topik yang cukup luas yang mana bagian-bagiannya pantas mendapatkan jatahnya dalam pembahasan tersendiri. Secara umum, Ali bicara tentang bagaimana information communication technologydalam hal ini lebih spesifik merujuk pada internetdapat dimanfaatkan untuk perkembangan negara-negara dunia ketiga. Pembahasan Ali dapat dibagi menjadi tiga segmen: permasalahan mengenai digital divide, contoh penggunaan internet di empat negara (Srilanka, Brazil dan Peru, serta Mesir), dan kapasitas media sosial sebagai bagian dari jaringan internet. Segmen ketiga ini tampaknya yang secara konsisten menjadi kunci pembahasan Ali dalam awal tulisan hingga akhir. Segmen pertama Ali bicara tentang digital divide, yaitu jurang pemisah antara masyarakat yang memiliki akses ke internet, dengan masyarakat yang tidak memiliki akses ke internet. Internet, seperti disebutkan Ali, dipahami sebagai alat yang sangat bermanfaat untuk mendorong kemajuan di suatu masyarakat. Dengan menjembatani digital divide ini, kemajuan dapat dicapai dari masyarakat yang belum sepenuhnya memiliki akses ke internet di dunia yang semakin berkembang. Beberapa di antara manfaatnya, Ali menyoroti, adalah bagaimana kelompok-kelompok hak asasi manusia dapat lebih memantau dan menjaga penegakkan hak asasi di berbagai belahan dunia. Akses terhadap internet adalah rights to development. Begitu juga, kemiskinan dan akses pada kesehatan bisa juga dicari solusinyamelalui internet, masyarakat di negara dunia ketiga bisa memperoleh akses pengetahuan yang sama dengan masyarakat di negara dunia pertama. Internet berguna untuk mengumpulkan, menginterpretasi, dan mendiseminasi informasi untuk mendorong tindakan yang perlu dilakukan.
1

Ulasan dari tulisan Amir Hatem Ali, The Power of Social Media in Developing Nations: New Tools for Closing the Global Digital Divide and Beyond, dalam Harvard Human Rights Journal I Vol. 24 (2011): 185219

Selain menampilkan apa masalah dari digital divide, Ali juga menunjukkan beberapa kritik terhadap pengistilahan ini. Beberapa kritik datang dari figur yang dikenal di dunia teknologi, seperti Bill Gates dan Steve Jobs. Tiga kritik yang disoroti Ali adalah: bahwa digital divide hanya merupakan gejala dari masalah yang lebih besar, yaitu kemiskinan; bahwa digital divide hanya memiliki signifikansi relatif karena ada masalah lain yang dihadapi negara dunia ketiga seperti masalah gizi, akses air, dan edukasi; dan bahwa digital divide adalah fenomena sementara yang akan hilang dengan sendirinya, seiring dengan semakin murahnya akses internet. Entah disengaja atau pun tidak, tiga kritik yang ditampilkan Ali agak cenderung bernada strawman fallacy. Ali kemudian melanjutkan pembahasan yang mengesankan bahwa kritikkritik tersebut tidak begitu relevan, karena meski benar ada masalah lain yang dihadapi dunia ketiga, digital divide tidak menurunkan signifikansi masalah itu. Selain itu, menurut Ali, masalah dari digital divide bukan hanya sekedar masalah apakah infrastruktur internet tersedia atau tidak di suatu masyarakat. Namun juga apakah masyarakat memiliki keinginan untuk memanfaatkan internetapakah ada konten yang sesuai dengan kebutuhannya atau tidak. Ali menyoroti dua masalah kunci dalam hal ini, yaitu: 1) masalah ketiadaannya bahasa yang sesuai dengan pengguna lokal; 2) konten dan budaya yang tidak relevan dengan pengguna lokal. Untuk menjabarkan hal ini, Ali mengambil contoh penggunaan internet di empat negara (Srilanka, Brazil dan Peru, serta Mesir). Ini menandakan masuknya kepada segmen kedua pembahasan Ali. Di Srilanka, pemerintah memegang peranan penting dalam mendistribusikan akses internet. Di daerah-daerah pedesaan, terdapat pusat-pusat internet di mana petani-petani bisa mengakses internet untuk mengetahui informasi yang relevan dengan kegiatan pertanian mereka. Proyek-proyek ini didanai oleh pemerintah, dan bukan hanya di daerah pedesaan saja. Untuk menanggapi masalah kunci yang disebutkan Ali, pemerintah juga menyediakan konten dalam bahasa Tamil, Sinhal, dan Inggris bagi penggunanya. Selanjutnya Ali membahas mengenai internet di Peru dan Brazil. Berkebalikan dengan Srilanka, model pengembangan internet di Peru dan Brazil lebih digerakkan oleh swasta ketimbang pemerintah. Internet di Peru dan Brazil lebih banyak berkembang dalam bentuk warnet (cybercafe). Menurut pemaparan Ali, pengguna di Peru dan Brazil banyak menggunakan internet untuk mengakses situs-situs media sosial seperti Orkut dan bermain game online seperti World of Warcraft.

Pemerintah Peru termasuk lambat dalam memonitor pergerakan ini menurut Ali; baru pada tahun 2005 pemerintah memastikan akses internet bagi difabel. Sementara pemerintah Brazil, meski tidak detrimental, bergerak lebih cepat. Brazil mewajibkan tiap pengguna internet di warnetnya menyediakan data nama dan alamat tempat tinggal, serta mewajibkan fungsi parental control bagi pengguna yang masih di bawah umur. Negara keempat yang dibahas Ali adalah Mesir, yang juga dibahas di awal tulisan sebagai pembuka. Ali banyak membahas aktivitas pengguna internet Mesir dalam kaitannya dengan partisipasi politik. Di Mesir, penggunaan internet baru meningkat drastis sejak tahun 2000. Saat itu, banyak blog-blog yang berkembang. Di bawah pengaruh rezim Hosni Mubarak yang otoriter, internetmelalui blogmenjadi sarana bagi para penggunanya untuk menyalurkan aspirasi politik masing-masing. Internet menjadi wadah bagi diskursus mengenai wacanawacana politik yang tidak bisa disalurkan di tempat umum karena rezim otoriter. Dalam istilah Castells, internet di Mesir menjadi public sphere yang baru. Selain itu, para pengguna juga aktif merekam dan mengunggah kekerasan-kekerasan dan berbagai pelanggaran yang dilakukan oleh aparat negara seperti polisi. Menurut Ali, kegiatan internet di Mesir sudah sangat sinonim dengan aktivisme politik. Bahkan Esraa Abdel Fatah Ahmed Rashid, seorang perempuan yang tadinya menggunakan Facebook hanya untuk bergaul dengan temantemannya, akhirnya juga terlibat dalam demonstrasi di tahun 2008 setelah mendengar kabar soal rencana protes Gerakan 6 April. Pembahasan mengenai Mesir akhirnya membawa pada segmen ketiga. Yaitu bagaimana media sosial, sebagai bagian dari internet, memiliki kapasitas yang signifikan dalam perkembangan negara dunia ketiga. Dalam mendefinisikan media sosial, Ali menyebutkan tiga macam bentuk: situs jejaring sosial (social network sites), blog, dan multimedia-centered sites di mana orang bisa mengunggah foto dan video. Ali menyebutkan bahwa kadang tiga bentuk itu bisa bercampur di satu situs yang sama, seperti Facebook misalnya yang juga menyediakan blog dan fasilitas mengunggah video dan foto. Dari pemahaman mengenai bentuk media sosial, Ali menyoroti ada empat kapasitas: kapasitas 1) untuk menjangkau audiens yang luas; 2) kemampuan pengguna untuk membuat kontennya sendiri, berbeda dengan situs-situs lain di mana konten tersentralisasi; 3) membiasakan pengguna untuk memiliki kemampuan dasar teknologi informasi melalui seringnya menggunakan situs media sosial; serta 4) mendukung partisipasi politik dan demokratisasi yang agaknya diukur dari

terbukanya ruang publik untuk diskursus-diskursus politik dalam artian Castells yang disebutkan sebelumnya. Ulasan dan Kritik Pembahasan Ali ini sangat mengingatkan pada beberapa sarjana seperti Clay Shirky, advokat penggunaan internet untuk kemajuan politik negarayang dalam istilah Evgeny Morozov akan disebut sebagai technology solutionist. Mungkin memang terlalu jauhdan tidak perluuntuk menyebut Ali sebagai technology solutionist dari uraiannya yang memiliki topik cakupan sangat luas namun hanya bisa dilakukan dalam beberapa halaman saja. Namun jelas ada beberapa poin yang bisa dikritisi dari tulisan Ali yang cukup berat dalam penyediaan data dan informasi. Pertama-tama, ada satu poin yang sempat disinggung Ali namun tidak dibahasnya lebih lanjut: masalah budaya. Bagaimana reaksi yang ditampilkan budaya lokal budaya setempatketika bersinggungan dengan internet yang menawarkan keterbukaan dan nilainilai eksternal? Ali sempat menyinggung bahwa salah satu alasan mengapa internet tidak banyak berkembang di negara-negara Arab, adalah karena ketakutan masyarakatnya terhadap budaya-budaya yang tidak Islami yang ditawarkan oleh internet. Begitu juga masalah reaksi budaya lokal yang dihadapi oleh masyarakat pedesaan ketika berinteraksi dengan internet. Tapi poin ini tidak dibahas lebih dalam lagi. Pertanyaan yang dapat diangkat dalam membahas poin ini adalah: sejauh mana masyarakat terkait membutuhkan internetakses terhadap informasi yang berada di luar wilayah mereka? Perlu dipahami bahwa pada pengembangan teknologi informasi di satu negara sendiri sudah terdapat disparitas antar wilayahnya. Misalnya pada contoh negara yang diambil Ali, tampak terlihat bahwa pengembangan internet di Srilanka menyentuh sampai ke kawasan rural. Namun ketika membahas Peru dan Brazil, yang dibahas Ali sebagian besar mungkin juga karena ia hanya mengambil general outlineadalah aktivitas internet yang digunakan oleh pengguna internet di kawasan urban. Lebih dispesifikasikan lagi, bisa jadilah kelas menengah di kawasan urban. Kelihatannya sulit dipercaya bila masyarakat rural Brazil menggunakan internet dengan cara yang sama seperti rekan-rekannya di kawasan urban, yaitu untuk bermain game online. Begitu pula ketika Ali membahas penggunaan internet di Mesir, apakah itu yang digunakan oleh masyarakat urban atau rural?

Yang mungkin juga penting untuk disinggung adalah bahwa pengembangan infrastuktur teknologi informasi membawa asumsi modernisasi. Bahwa daerah-daerah yang belum mendapat akses terhadap teknologi berada dalam posisi yang kurang moderndengan terma-terma yang lebih halus seperti daerah tertinggal atau memiliki keterbatasan informasiketimbang daerah-daerah modern yang sudah memiliki keterbukaan akses terhadap teknologi. Asumsi modernisasi ini, yang membawa daerah-daerah kurang modern ke tahapan yang sama dengan daerah modern, seperti diimplisitkan Ali pada segmen pertama tulisannya, sering dikritik dalam literatur karena menempatkan model

pengembangan berdasarkan tangga. Yang perlu ditanyakan kembali adalah apakah daerah tersebut memang membutuhkannya. Ide mengenai kebutuhan ini menjadi lebih relevan ketika mengambil kasus di negara dengan kawasan besar, atau negara yang perbedaan antara daerah urban dan ruralnya cukup ketara. Misalnya seperti Indonesia. Ada satu kasus di Indonesia, di pinggiran Nunukan, Kalimantan Timur yang dilabelkan sebagai daerah tertinggal dan berada dalam target daerah masterplan pengembangan ekonomi Indonesia (MP3EI). Sebelum dijadikan proyek modernisasi, daerah tersebut merupakan daerah yang berpola self-sufficient economy. Di mana kebutuhan ekonomi bisa berjalan lancar tanpa perlu berinteraksi dengan daerah perkotaan lain yang lebih modern. Namun setelah dilakukan proyek modernisasi, terjadi perubahan. Daerah desa itu menjadi daerah satelit penyedia kebutuhan kota yang berada di dekatnya. Dengan adanya perubahan model yang seperti ini, daerah yang tadinya selfsufficient terpaksa bergantung dengan kebutuhan kota. Ilustrasi mengenai kawasan Kalimantan Timur ini dimaksudkan untuk mempertanyakan gagasan Ali tentang memodernisasi daerah-daerah rural yang barangkali aslinya tidak membutuhkan infrastruktur seperti internet. Alih-alih pengembangan, yang terjadi bisa-bisa adalah alienasi budaya. Kritik selanjutnya adalah gagasan mengenai demokratisasi yang disinggung Ali dengan adanya kemajuan internet. Ali tidak menawarkan pemahaman yang jelas mengenai demokratisasi yang dimaksud, selain mengenai terbukanya ruang publik di internet. Ide mengenai partisipasi politik seperti bagaimana Rashid yang tadinya hanya menggunakan Facebook untuk bergaul akhirnya bisa terlibat dalam demonstrasi, juga meleset dalam menjelaskan faktor-faktor lain yang lebih determinan sebagai kunci partisipasi politik.

Mengenai kasus Rashid yang bisa terlibat dengan demonstrasi politik, kiranya yang determinan di sini bukanlah media sosial. Namun apa yang mendasari konsep situs-situs media sosial itu sendiri, yaitu jaringan sosial. Yang perlu diingat dalam konteks Mesir adalah bahwa di bawah pemerintahan yang otoriter, resiko terlibat dalam aktivisme politik juga semakin besar. Tidak seperti pemerintahan yang demokratisdalam artian, pemerintahan yang memberikan akses terhadap publik untuk memberikan output terhadap proses politik melalui, misalnya, demonstrasirezim Mubarak memberikan konsekuensi yang serius bagi pihak-pihak yang berupaya menentang otoritasnya. Seperti digambarkan oleh Ali sendiri, tiga orang tewas dalam demonstrasi di mana Rashid terlibat. Ada resiko besar dalam keterlibatan di aktivisme politik Mesir. Dalam hal ini, penting untuk mengingat paradigma struktural social network analysis: bahwasanya aktivisme yang mengekspos resiko besar pada penggunanya membutuhkan dorongan yang lebih kuat untuk terlibat. Keterlibatan yang mudah pada individu hanya akan relevan pada konteks gerakan yang memiliki resiko rendah. Namun partisipasi pada gerakan yang beresiko tinggi, membutuhkan motivasi yang lebih kuat: identifikasi pada gerakan dan ideologi. Meski memang penting, tapi motivasi saja tidaklah cukup. Jadi untuk hal ini, diperlukan adanya pembangunan identitas itu sendiri. Penelitian McAdam mengungkapkan hal menarik: bahwa dalam suatu aktivitas besar, sebelumnya pastilah ada aktivitas-aktivitas kecil yang lebih aman. Melalui aktivitas-aktivitas kecil ini, identifikasi diri terhadap gerakan, serta ideologi, dibangun. Jaringan sosial membangun identitas kolektif sebagai insentif yang kuat. Jadi dapat dikatakan bahwa bagaimana Rashid dapat terlibat dalam demonstrasi tersebut, bukan sekedar karena ia bermain Facebook. Namun karena ia memiliki jaringan teman-teman yang menyediakan basis identitas yang kuat. Untuk mengetahui bagaimana jaringan teman itu terbentuk, tentu tidak cukup bila menilai dari Facebook semata.

Bahan Pembanding
Dave Lumenta, The Economization of Tradition, disampaikan dalam seminar Memories from Borneo Departemen Antropologi Universitas Indonesia (3 Maret 2013) Mustafa Emirbayer dan Jeff Goodwin, Network Analysis, Culture, and the Problem of Agency, dalam AJS 99, No. 6 (Mei 1994): 1411-1454 Ted C. Lewellen, Political Anthropology: An Introduction, Third Edition (Westport: Greenwood Publishing, 2003)

Anda mungkin juga menyukai