Anda di halaman 1dari 35

EFEKTIFITAS BIROKRASI BIDANG KETENAGAKERJAAN DALAM PERSPEKTIF PEKERJA PEREMPUAN SEKTOR INDUSTRI DI KABUPATEN SIDOARJO

Oleh: Luluk Fauziah

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK 2010

EFEKTIFITAS BIROKRASI BIDANG KETENAGAKERJAAN DALAM PERSPEKTIF PEKERJA PEREMPUAN SEKTOR INDUSTRI DI KABUPATEN SIDOARJO Oleh : LuLuk Fauziah Abstrak Indonesian women entering the era of globalization a threat than an opportunity to improve the lives because of fierce competition led to women entering employment have no choice but to accept jobs with low wages, although it is degrading to their dignity as women. Indonesia has ratified the CEDAW Convention, as stipulated in Law No.7/1984. Other legal force of Law No.39/1999, Article 49 on Human Rights, ILO Convention also imposed. 100. Based on qualitative research. About the analysis of the implementation of manpower policy. With the focus has implemented gender mainstreaming and the factors that influence the occurrence of wage gaps industrial sector women workers in Sidoarjo. There are three kinds of data collection (1) the process of entering sites (getting in), (2) while in the study site (getting along), in this process researchers began to communicate to build trust on informants in the research, (3) data collection (logging the data). The analysis was performed to find patterns. consists of data reduction, data display verivication drawing conclusion

Abstrak Perempuan Indonesia memasuki era globalisasi suatu ancaman daripada suatu kesempatan untuk memperbaiki kehidupan karena persaingan ketat memasuki lapangan kerja menyebabkan perempuan tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima pekerjaan dengan upah rendah, meskipun akan merendahkan martabat mereka sebagai perempuan. Indonesia telah meratifikasi Konvensi CEDAW, yang tertuang dalam UU No.7/1984. Kekuatan hukum lainnya UU No.39/1999, pasal 49 tentang HAM, juga memberlakukan Konvensi ILO No. 100. Berbasis pada qualitative research. Tentang analisis implementasi kebijakan bidang ketenagakerjaan. Dengan fokus telah menerapkan pengarus utamaan gender dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya wage gap pekerja perempuan sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Pengumpulan data terdapat tiga macam (1) proses memasuki lokasi penelitian (getting in); (2) ketika berada di lokasi penelitian (getting along), dalam proses ini peneliti mulai melakukan komunikasi untuk membangun kepercayaan pada informan-informan dalam penelitian; (3) pengumpulan data (logging the data). Analisis dilakukan untuk menemukan pola. terdiri data reduction, data display conclusion drawing verivication. I. Latar Belakang Masalah Bagi perempuan Indonesia memasuki era globalisasi merupakan suatu ancaman daripada suatu kesempatan untuk memperbaiki kehidupan mereka, karena persaingan dan persyaratan yang ketat dalam memasuki lapangan kerja menyebabkan tenaga kerja perempuan tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima 2

pekerjaan-pekerjaan

tertentu

dengan

upah

yang

rendah,

meskipun

akan

merendahkan martabat mereka sebagai perempuan (Soetrisno,1998). Ditandai dengan cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berkaitan dengan kesejahteraan terdapat dua point; yaitu pemenuhan hak-hak masyarakat sebagai warga negara dan kewajiban pemerintah dalam menyejahterakan masyarakat. Sedangkan indikator kesejahteraan masyarakat sebuah negara dilihat melalui HDI (Human development index). Berdasarkan laporan tahunan 2007/2008 yang diterbitkan UNDP; Peringkat HDI Indonesia berada di urutan 107 dari 177 negara. Sehingga Indonesia tertinggal dari Negara tetangga meliputi Singapura berada peringkat ke 25, Brunei Darussalam ke-30, Malaysia ke-63, Thailand ke-78, dan Filipina ke-90. (http://www.policy.hu). Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on The Elimination of all forms of Discrimination Against Women) CEDAW, yang tertuang dalam UU No.7/1984. Kekuatan hukum lainnya yang memayungi hak dan akses perempuan atas pekerjaan tercantum pada UU No.39/1999, pasal 49 tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia juga memberlakukan Konvensi ILO No. 100, yaitu prinsip pengupahan yang sama untuk pekerjaan yang sama nilai dan posisinya tanpa membedakan jenis kelamin (T.O Ihromi, 1995). Namun, implementasinya pemberian imbalan yang berkeadilan masih sangat lemah sehingga berbagai penyimpangan, dan diskriminasi terutama dalam sistem pengupahan antara perempuan dengan laki-laki masih terjadi kesenjangan. Sudah waktunya perempuan yang jumlahnya lebih dari setengah jumlah penduduk dunia diperhitungkan dalam konteks ketenagakerjaan dan partisipasi mereka secara ekonomi, mengingat selama ini nilai kerja produktif perempuan dipinggirkan. Dikesampingkannya kerja produktif perempuan dipercaya karena masih kentalnya nilai-nilai budaya di masyarakat seperti pembagian kerja secara gender yang berujung pada anggapan bahwa tugas utama perempuan sebagai pekerja domestik berakibat pada kurang dihargainya kerja produktif perempuan. Sebagaimana disebut oleh Esther Boserup bahwa bias ideologis yang mendasari kategori statistik cenderung merendahkan nilai kerja perempuan dan aktivitas

kehidupan yang biasanya dihilangkan dari statistik produktif dan pendapatan kebanyakan adalah pekerja perempuan (H. Moore, 1988:44) Di Indonesia, perhatian terhadap peningkatan peran perempuan di sektor tenaga kerja setidaknya ditandai dengan menata berbagai regulasi dan kebijakan bidang ketenagakerjaan diperjuangkan agar perempuan memperoleh hak-haknya sebagai pekerja perempuan, antara lain mendapatkan upah yang sama dengan lakilaki, cuti hamil, biaya persalinan bagi mereka yang menggeluti pekerjaan di sektor formal dan lain-lain. Langkah yang ditempuh adalah upaya memberi kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya sebagai pekerja serta merasakan berbagai fasilitas dalam struktur lembaga ketenagakerjaan agar pekerja perempuan tidak selalu dimarginalisasikan. Perbaikan posisi perempuan bidang ketenagakerjaan melalui jalur hukum dan berbagai kebijakan diupayakan namun dalam praktiknya, legalitas hubungan kerja antara majikan dan pekerja belum semuanya diatur secara memadai meskipun bidang kerja tersebut merupakan bagian dari keseluruhan sistem produksi. Posisi perempuan dalam bidang pekerjaan baik di sektor formal maupun sistem kerja borongan memang tetap dalam posisi marjinal. Di sektor formal terutama di pabrikpabrik mereka bekerja dengan upah rendah, banyak diupah dengan sistem harian/mingguan tanpa jaminan sosial apapun. Perubahan hukum dan kebijakan dalam suatu perbaikan status dan kesejahteraan perempuan yang berfungsi sebagai penghasil pendapatan di kabupaten Sidoarjo, supaya diubah pengaturannya sehingga perempuan bekerja diperlakukan sama dengan laki-laki yang bekerja supaya kesejahteraannya terjamin, mencakup pekerjaan yang selama ini tidak diakui dan tidak kelihatan karena tidak terjangkau oleh hukum ketenagakerjaan dan tidak direkam dalam statistik. Sebagaimana disampaikan oleh Ihromi (1995:298) bahwa pengaturan hubungan kerja antara majikan dengan pekerja menunjukkan adanya pemahaman yang tepat mengenai masalah-masalah yang dihadapi perempuan yang berperan sebagai penghasil pendapatan. Perlindungan terhadap marjinalisasi dapat dicakup dalam pasal 5 dan 6. Pasal 5: Setiap tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan. Pasal 6: Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha. Pasal-pasal tersebut 4

cenderung mengasumsikan kondisi buruh laki-laki maupun perempuan adalah sama. Pasal ini mengikuti konvensi ILO tentang kesetaraan upah. Terminologi kesetaraan upah bagi laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama nilainya di dalam ILO C 100 harus dibaca dengan seksama. Buruh perempuan dan laki-laki mendapatkan pekerjaan sesuai peran-peran gender yang berlaku dalam masyarakat yang membedakan tugas dan tipe pekerjaan perempuan dan laki-laki. Jadi, kalimat work for equal value atau pekerjaan yang sama nilainya itu bisa menyelubungi diskriminasi yang sebenarnya dialami buruh perempuan. Kenyataannya, pekerjaan perempuan dinilai lebih rendah dari pada pekerjaan laki-laki. Perubahan peluang kerja perempuan diawali dengan perubahan angka kelahiran yang dapat memberikan peluang bagi perempuan untuk masuk dalam pasar kerja. Asumsinya adalah seperti yang dikatakan oleh Bongarts(1999), ketika angka kelahiran masih tinggi partisipasi bagi perempuan (bukan untuk laki-laki) dalam pasar kerja relatif rendah. Dan ketika angka kelahiran menjadi semakin rendah maka partisipasi tersebut semakin meningkat. Aspek mortalitas dan mobilitas tidak dibahas dengan pertimbangan bahwa Indonesia telah terjadi perubahan yang mendasar dari health to survival resource development. Artinya telah terjadi peningkatan derajat kesehatan yang sangat besar di Negara Indonesia khususnya Jawa-Bali (Kiki, 2003). Subordinasi perempuan dianggap kodrat memberikan pembenaran untuk memberlakukan subordinasi ekonomi. Kenyataan masih menunjukkan bahwa penghormatan terhadap perbedaan diantara jenis kelamin masih diabaikan sehingga ideologi totaliter dan penindasan yang tidak manusiawi masih sering terjadi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), berdasarkan sensus tahun 2002, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau sekitar 51% dari seluruh jumlah penduduk di Indonesia. Salah satu pemanfaatan peran penduduk dalam pembangunan yang diukur secara ekonomi adalah dengan cara melihat pada Tingkat Partisipasi Angkatan Kerjanya (TPAK). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja adalah perbandingan antara angkatan kerja dan penduduk usia kerja (Aris Ananta, 1990: 126). Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) dapat dinyatakan untuk seluruh penduduk dalam usia kerja dan dapat pula dinyatakan untuk suatu kelompok penduduk tertentu seperti kelompok laki-laki, kelompok perempuan, kelompok tenaga terdidik, kelompok umur 10-14 tahun dan lain-lain (Simanjuntak, 1985: 36). Secara singkat 5

TPAK adalah jumlah angkatan kerja dibagi dengan jumlah tenaga kerja dalam kelompok yang sama. Persentase angkatan kerja perempuan lebih kurang hanya setengah dari angkatan kerja laki-laki yang disebabkan masih ada pandangan tradisional menganggap perempuan karena kodratnya seharusnya mengurus pekerjaan rumah tangga. Sedangkan laki-laki karena dianggap lebih kuat mampu mencari nafkah untuk kepentingan seluruh anggota keluarga sehingga memungkinkan tenaga kerja perempuan sulit masuk dalam pasar. Menurut Deborah Kolb, Judith Williams, dan Frohlinger Carol (2009), bahwa perempuan lebih banyak dalam angkatan kerja di Negara/pemerintah hampir 60%, selama 16 tahun atau lebih, bekerja di luar rumah. Sebagaimana dalam gambar dibawah :

Sumber : Business Week, diunduh :http//.www.womenmedia,14 April 2009 Dalam penelitian Bank Dunia (2009), ditemukan bahwa perempuan yang bekerja sebagai pemimpin dan manajer suatu perusahaan hanya sekitar 7 persen dari seluruh perempuan yang bekerja, sebagai tenaga profesional dan teknik sebesar 41 persen dan sebagai tenaga administrasi dan penjualan sebesar 44 persen (UNDP 1997). Berdasarkan fakta-fakta tersebut dapat dikatakan bahwa dalam pemanfaatan sumber daya manusia, masih terlihat adanya lapangan pekerjaan tertentu yang sampai sekarang tidak menerima atau terbuka terhadap kehadiran perempuan untuk terlibat bekerja di dalamnya yang disebabkan karena alasan kodrat perempuan. Meskipun bekerja ditempat yang sama antara laki-laki dan perempuan penerima upah namun, perempuan sedikit dalam menerima gaji. Selama dua 6

dekade terakhir optimis bisa mempersempit kesenjangan upah. Untuk setiap dolar yang diterima oleh seorang perempuan kulit putih sekarang menghasilkan $ 0,78. Angka ini merupakan peningkatan besar sebelumnya $ 0,63 yang diperoleh pada tahun 1975. Sebagaimana dalam gambar di bawah ini. Gambar 2 : Salary Gap

Sumber : US Departement of Labour, 2009 Cara pandang negara dalam melihat masalah sosial akan berpengaruh terhadap asumsi-asumsi dalam pembuatan kebijakan untuk mengatasi masalah sosial. Paradigma pembangunan yang dominan di Indonesia adalah paradigma pembangunan yang berakar pada teori klasik dan modernisasi(Fakih, 2001). Pendekatan yang digunakan negara akan menentukan cara pandang negara terhadap persoalan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja perempuan. Ciri dari penggunaan asumsi paradigma modernisasi tercermin dari UU yang dihasilkan, yaitu UU No. 13/2003. Terdapat tiga macam model pembuatan kebijakan menurut Bacchi (1999), yaitu model rasional komprehensif (the rational comprehensive model), model rasional politik (politically rational model), dan model pilihan publik (public choice model). Model yang pertama berpendapat bahwa kebijkan merupakan proses mencari solusi bagi masalah sosial. Model ini berpendapat jika prosedur netral diikuti maka akan diperoleh kebijakan terbaik bagi pemecahan masalah dan kepentingan umum. Model kedua berpendapat bahwa kebijkan tidak pernah dapat memecahkan masalah sosial tetapi memperbaiki kondisi yang ada. Model ini berpendapat tidak ada kebijakan yang netral tetapi ada kompromi dan negosiasi dalam proses pembuatan kebijakan. Keterbukaan dalam proses pembuatan kebijakan dan partisipasi luas dari berbagai kalangan akan menghasilkan kebijakan yang 7

memuaskan. Model ketiga lebih memfokuskan pada representasi masalah. Dalam merumuskan masalah, harus disingkap kebijakan tersebut untuk kepentingan siapa. Oleh karena itu, perlu dilihat perilaku pembuat kebijakan dan peran kepentingan dalam perilaku tersebut. Model ketiga ini berusaha menyingkap motivasi sesungguhnya di balik agenda kebijakan: untuk kepentingan rakyat ataukah sekelompok elit tertentu? Model pengambilan keputusan dalam sistem politik di Indonesia (Soetjipto, 2004) adalah sebagai berikut. Gambar 3. : Model Pengambilan Keputusan

Sumber : Soetjipto, 2004. Selanjutnya fenomena yang terjadi di kabupaten Sidoarjo adalah masih adanya perusahaan yang memberikan upah kepada pekerjanya masih dilihat berdasarkan jenis kelamin artinya pekerja laki-laki mendapatkan upah lebih besar dibandingkan dengan upah yang diterima pekerja perempuan, sebagaimana dikatakan oleh safaat, bias gender dalam pengupahan terjadi karena adanya sistem pengupahan yang menggunakan standar pekerja laki-laki (Safaat, 1998). Akibat bias ini, kebutuhan khas perempuan tidak dicantumkan dalam standar Kebutuhan Hidup Minimum (KHM) dan perempuan diposisikan sebagai subordinat laki-laki dalam keluarga. Kebijakan mengenai pengupahan dalam UU No. 13/2003 terdapat dalam pasal 88-98, akan tetapi tidak terdapat pasal yang membahas persamaan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan yang sama. Selama asumsi pengupahan yang dipakai adalah laki-laki sebagai pencari nafkah dan perempuan

sebagai pencari nafkah tambahan, maka keadilan upah bagi perempuan tidak akan pernah tercapai. Berdasarkan Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Pasal 1, Tenaga Kerja adalah tiap orang yang mampu melaksanakan pekerjaan baik didalam maupun diluar hubungan kerja guna menghasilkan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Tenaga kerja adalah sebagian dari keseluruhan penduduk yang secara potensial dapat menghasilkan barang dan jasa dari penduduk (Ananta, 1986:286). Di Kabupaten Sidoarjo, jumlah angkatan kerja usia di atas 15 tahun sebanyak 924.661 orang. Dari jumlah ini penduduk yang bekerja sebanyak 110.158 orang. Dari data ini diketahui jumlah tingkat partisipasi angakatan kerja (TPAK) adalah sebesar 67.75% yang berarti dari 100 penduduk usia kerja terdapat 68 orang yang aktif dalam kegiatan ekonomi (bekerja dan mencari kerja), tingkat kesempatan kerja (TKK) sebesar 88.09% dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 11.91%. TPT 11.91% memberikan gambaran bahwa dalam 100 orang angkatan kerja 12 orang diantaranya menganggur. Adanya krisis global mempengaruhi tingkat pengangguran, karena baik langsung maupun tidak langsung krisis global mempengaruhi kelangsungan industri-industri yang ada, dan bagi perusahaan yang tidak bisa eksis akhirnya mengurangi tenaga kerja dengan PHK. Tabel 3 : Penduduk usia 15 Tahun Ke Atas menurut Kegiatan Utama di Kabupaten Sidoarjo Kegiatan Utama Jumlah
Angkatan Kerja Bekerja Mencari Pekerjaan TPAK TKK TPT 924.661 814.503 110.158 67.75 88.09 11.91

Sumber : Indeks Pembangunan Manusia Kabupaten Sidoarjo, 2009:63

Lapangan pekerjaan utama penduduk wilayah dapat mencerminkan tingkat kemajuan dari wilayah tersebut, dimana pada wilayah yang sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor industri dan jasa biasanya lebih maju dibandingkan dengan wilayah yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Tabel 4 : Penduduk Usia di atas 15 Tahun yang Bekerja Menurut Lapangan Pekerjaan yang Utama di Kabupaten Sidoarjo
Lapangan Pekerjaan Pertanian Pertambangan, penggalian Industri Listrik, gas, dan air Konstruksi Perdagangan Transportasi Keuangan Jasa Jumlah 2007 % 8,53 0,05 34,63 0,29 4,88 25,73 8,32 1,97 15,60 100,00 2008 % 9,75 0,07 30,49 0,20 6,65 25,32 8,11 2,35 17,07 100,00 Perubahan % 1,22 0,02 -4,14 -0,09 1,77 -0,41 -0,21 0,38 1,47

Sumber : Indeks Pembanagunan Jender Kabupaten Sidoarjo, 2009. Pemerintah daerah kabupaten Sidoarjo memiliki sejumlah kebijakan bidang ketenagakerjaan dan perlindungan bagi perempuan, yaitu : 1. Peraturan ketenagakerjaan dan perlindungan bagi perempuan yakni; Peraturan Daerah No. 9/2008 tentang pelayanan ketenagakerjaan pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa : Kesejahteraan pekerja adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah baik selama di dalam maupun diluar perusahaan yang secara langsung dan tidak langsung dapat mempengaruhi produktifitas kerja. 2. Peraturan daerah kabupaten Sidoarjo No. 18/2006 tentang penyelenggaraan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan dalam pasal 1 ayat 16 menyatakan bahwa, Komisi Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

10

yang selanjutnya di singkat KP3A adalah komisi yang berfungsi merumuskan kebijakan-kebijakan program pembangunan daerah dan strategi pengarusutamaan gender (PUG) dan pengarusutamaan anak (PUA). 3. Peraturan Bupati No. 2/2007 tentang petunjuk pelaksanaan penyelenggaraan perlindungan perempuan dan anak korban kekerasan dalam pasal 1 ayat 8 jelas telah merumuskan kebijakan program pembangunan daerah dengan strategi PUG dan PUA. Sedangkan kebijakan ketenagakerjaan yang ada mengacu pada kebijakan pemerintah pusat melalui Undang-undang No 13 tahun 2003 yang kurang memperhatikan kebutuhan lokal daerah, sedangkan kebijakan bidang ketenagakerjaan yang ada masih belum maksimal dalam mengimplementasikan. Kondisi yang demikian menunjukkan bahwa masih lemahnya position bargaining masyarakat dan kurang perhatian unsur pemerintah daerah untuk melakukan inovasi administrasi publik dalam bidang ketenagakerjaan. Persoalan bidang ketenagakerjaan di kabupaten Sidoarjo juga dilihat dari kurang maksimalnya peranan pemerintah dalam merumuskan penyelesaian persoalan hubungan industrial yang dihadapi warga negara. Adanya kewenangan penuh manajemen (perusahaan) dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan pekerja menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil yang memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun dalam Undang-undang ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan yang jelas. Lapangan pekerjaan utama penduduk kabupaten Sidoarjo tahun 2008 yang terbesar adalah bidang industri sebesar 30,49%. Hal ini mencerminkan keberadaan industri yang ada di Kabupaten Sidoarjo. Namun demikian jika dibandingkan dengan tahun 2007 prosentase penduduk yang bekerja pada bidang industri mengalami penurunan sebesar 4,14%. Sektor lapangan pekerjaan yang mengalami peningkatan adalah pada bidang jasa antara tahun 2007 dan 2008 naik sebesar 1,47%. Lapangan kerja utama bagi penduduk pada dasarnya dibedakan menjadi tiga sektor, yaitu sektor primer, sekunder dan tersier. Kelompok sektor primer terdiri dari sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, kelompok sektor sekunder terdiri dari industri, listrik, gas, air dan konstruksi, sedangkan sektor tersier terdiri dari sektor perdagangan, angkutan dan jasa-jasa. 11

Dilihat dari lapangan pekerjaan penduduk di Kabupaten Sidoarjo sebagian besar bekerja pada sektor tersier yaitu mencapai 52,85% sedangkan pada sektor sekunder 37,34% dan sektor primer 9,81%. Dari sini terlihat bahwa lebih dari setengah penduduk Sidoarjo bekerja pada sektor tersier (perdagangan, transportasi, komunikasi, keuangan dan jasa) hal ini memberikan gambaran kemajuan daerah. Gambar 3 memberikan gambaran tentang jenis lapangan pekerjaan penduduk kabupaten Sidoarjo tahun 2008.

Sumber : Indeks Pembangunan Gender Kabupaten Sidoarjo, 2009 Dengan melihat fenomena bidang ketenagakerjaan pelaksanaan

pengarusutamaan gender di sektor industri terkait dengan implementasinya telah terjadi kesenjangan yang menyebabkan tenaga kerja sangat dirugikan, terutama tenaga kerja harian lepas khususnya perempuan. Maka studi tentang implementasi bidang ketenagakerjaan dalam perspektif wage gap bagi pekerja perempuan sektor industri di Kabupaten Sidoarjo sangat menarik untuk diteliti.

12

II.

Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah dengan berpijak pada

theoritical problem dan empirical problem yang ada, maka rumusan permasalahan penelitian ini menyangkut persoalan sebagai berikut : 1. 2. Bagaimana Implementasi kebijakan ketenagakerjaan dalam menerapkan pengarusutamaan gender (PUG) di kabupaten Sidoarjo? Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya wage gap pada pekerja perempuan sektor industri di kabupaten Sidoarjo? III. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan merekomendasi adanya regulasi terkait dengan permasalahan ketenagakerjaan khususnya bagi pekerja perempuan sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Sedangkan secara khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah melihat beberapa kriteria diantaranya : a) proses implementasi pengarus-utamaan gender di bidang ketenagakerjaan, b) pemahaman gender mainstreaming bagi policy subsystem, dan c) faktor-faktor yang berperan dalam proses sistem putting out pekerja perempuan sektor industri di kabupaten Sidoarjo. IV. Landasan Teori 4.1. Prinsip Good Governance World Bank memberikan definisi governance adalah sarana kekuasaan Negara yang digunakan untuk mengatur sumberdaya ekonomi dan sosial dalam pembangunan masyarakat (the way state power is used in imanaging economic and social resource for development of society). Sementara UNDP mendefinisikan sebagai berikut :the exercise of political, economic and administrative authority to manage a nations affairs at al levels maksudnya governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political dan administrative. Economic governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision making process) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi, Economic governance mempunyai implikasi terhadap keadilan, kesejahteraan, dan kualitas hidup (equality, poverty, and equality of live). Political 13

governance

adalah

proses-proses

pembuatan

keputusan

untuk

formulasi/penyusunan kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga aktor utama yaitu state, (Negara); privat sector) (sektor swasta atau dunia usaha) dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing. Institusi pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hukum yang kondusif, sektor swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedang kan society berperan aktif dalam interaksi sosial, ekonomi dan politik, termasuk mengajak kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, sosial dan politik (LAN dan BPKP 2000:5) 4.2. Implementasi Kebijakan Publik Implementasi kebijakan dipandang sebagai suatu proses melaksanakan keputusan kebijakan, biasanya dalam bentuk Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Peradilan, Perintah Eksekutif atau Dekrit Presiden. Thomas R Dye (1981;1) mengatakan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa Implementasi kebijakan pada prinsipnya adalah cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Meter dan Horn (1975) dalam Wahab (2001) merumuskan proses implementasi kebijakan sebagai: Tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu atau pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan. Van Meter dan Carl Van Horn (1975) dalam Wahab (2001) menekankan bahwa tahap implementasi tidak dimulai pada saat tujuan dan sasaran kebijakan publik ditetapkan, tetapi tahap implementasi baru terjadi selama proses legitimasi dilalui dan pengalokasian sumber daya, dana yang telah disepakati. Studi implementasi kebijakan menekankan pada pengujian faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau ketidakberhasilan pencapaian sasaran kebijakan. Ada dua hal mengapa implementasi kebijakan pemerintah memiliki relevansi, yaitu: (1) memberikan masukan bagi pelaksanaan operasional program, sehingga dapat dideteksi apakah program berjalan sesuai dengan yang telah dirancang, serta

14

mendeteksi kemungkinan tujuan kebijakan negatif yang ditimbulkan, (2) memberikan alternatif model pelaksanaan program yang lebih efektif. Kebijaksanaankebijaksanaan akan sekedar berupa impian atau rencana bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau tidak diimplementasikan. Islamy (1991), menjelaskan bahwa tugas dan kewajiban pejabat dan badan-badan pemerintah bukan hanya dalam perumusan kebijakan negara, tetapi juga dalam pelaksanaan kebijakan. Keduanya sama-sama penting, tetapi dalam kenyataannya banyak pejabat dan badan-badan pemerintah lebih dominan peranannya dalam perumusan kebijakan, kurang dalam implementasi kebijakan, dan masih lemah sekali dalam menyebarluaskan kebijakankebijakan baru kepada masyarakat. Hal tersebut menyebabkan kurang efektifnya pelaksanaan kebijakan. Jeleknya proses komunikasi akan menjadi titik lemah dalam mencapai efektivitas pelaksanaan kebijaksanaan negara (1991 : 107-108). 4.3. Kesetaraan Gender dan Administrasi Publik Kebijakan untuk membangun kembali kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam organisasi publik sebenarnya sudah berawal sejak diterimanya perempuan sebagai pimpinan suatu Negara (Ihromi, 1994). Pada abad ketujuh, Mataram Hindu dipimpin oleh Dyah Pitaloka dan bergelar Rakai Kayuwangi. Di Jawa Timur ada kerajaan Mpu Sendok terbesar setelah Mataram Hindu. Dilanjutkan pada abad 13 oleh Majapahit menjadi salah satu kerajaan yang disegani yang dipimpin oleh Tribuana Tungga Dewi. Masuknya bangsa Eropa dengan membawa Kresten dan Katolik semakin meminggirkan pengaruh Hindu dan Budha. Bersamaan itu dengan kebijakankebijakan publik di nusantara mengalami pergeseran besar. VOC bangkrut digantikan oleh pemerintahan Belanda. Kebijakan yang menekan dari pemerintah kolonial pada tingkat pertama diartikan kepada pribumi dan tingkat kedua represi kepada perempuan, sejarah Kartini (Diterjemahkan Armyn Pane, 1972). Kebijakan publik Jepang kepada perempuan nusantara lebih kejam, perempuan dijadikan budak untuk melayani kebutuhan seksual prajurit. Gerakan perempuan Indonesia secara umum tidak bisa dipisahkan dari pengaruh gerakan perempuan di belahan dunia lain. Dengan adanya ide-ide emansipatif oleh Kartini dengan strategi perjuangan organisasi-organisasi perempuan berusaha mereformasi hukum. Fokus perjuangan gerakan perempuan Indonesia berkembang pada isu-isu 15

gender seperti masalah double burden , isu perkosaan, domestic, violence dan isu lainnya. Gender dalam administrasi publik dapat ditelusuri ibuisme negara yang diperkenalkan oleh Julia Suryakusumah (1991;73) menurut Julia konsep ibuisme Negara merupakan suatu konsep yang mencakup unsur-unsur ekonomis, politik dan cultural, yang menggambarkan bahwa kebijakan publik di Indonesia menjadikan perempuan Indonesia menjadi perempuan apabila ia seorang ibu. Dengan demikian stereotipikasi berjalan bukan secara kultural melainkan secara formal. Gagasan ini berkembang dengan semakin maraknya kritisi terhadap kebijakan-kebijakan yang bias gender dan implementasi kebijakan yang bias gender dikaitkan dengan partisipasi perempuan dalam dunia publik yang rendah. Alasan yang digunakan adalah ibuisme yang mensahkan posisi domestik perempuan yang sekaligus menafikan peran pubik dari perempuan termasuk peran secara langsung terlibat di dalam administrasi publik maupun proses partisipasi pembuatan kebijakan publik dalam keberadaannya sebagai warga Negara. Gender dan administrasi publik semakin menarik ketika menyimak komposisi kewarganegaraan Indonesia di banding laki-laki, maka komposisi jumlah penduduk perempuan selalu lebih banyak. Pada tahun 1971 jumlah laki-laki 58,338 perempuan 60.092; pada tahun 1980 jumlah laki-laki 72,951 dan perempuan 73,824. Pada tahun 1990 jumlah laki-laki 89,872 dan jumlah perempuan 89,872. Pada tahun 1995 jumlah laki-laki 97,38 dan perempuan 97,895. (hasil sensus penduduk 1971, diolah) Berdasarkan Human Development Index UNDP memperlihatkan bahwa Indonesia bukan 2001 yang dikeluarkan oleh saja paling rendah skor

pembangunan manusianya (HDI) diantara Negara ASEAN, melainkan juga pembangunan perempuannya (GDI, Gender Development Index) dan GEM, ( Empowerment Measure)

16

Tabel 4 : Perbandingan HDI, GDI, dan GEM No Negara Ranking HDI Ranking GDI 26 30 55 48 89 92 Ranking GEM 38 Na 38 Na Na Na 1 Singapura 26 2 Brunei 32 3 Malaysia 56 4 Thailand 66 5 Vietnam 101 6 Indonesia 102 Sumber :HDI Report 2001, UNDP

Kesemuanya menunjukkan bahwa strategi melaksanakan pembangunan perempuan yang melokalisir perempuan melalui paradigma WID tidaklah memadai, tidak memberikan hasil yang optimal maka muncul konsep pembangunan perempuan yang mengedepankan strategi relasi dan kebersamaan perempuan dan laki-laki. Isu kualitas kesetaraan gender dalam administrasi publik positif dalam arti semakin meningkatkannya kualitas kebijakan publik dan implementasinya serta meningkatnya 1. 2. 3. 4. representasi perempuan dalam administrasi publik. Kualitas kesetaraan gender dalam administrasi publik Indonesia yang dimaksudkan adalah: Dalam variabel kualitas kebijakan publik, maka indikatornya adalah undangundang. Dalam variabel organisasi, maka indikatornya adalah representasi perempuan dalam lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif. dalam variabel pendidikan, maka indikatornya adalah kurikulum pada lembaga pendidikan bagi calon dan profesional administrator publik. Dalam variabel mekanisme, maka indikatornya adalah keberadaan lembaga penyelenggara pengarusutamaan gender dalam administrasi publik dan mekanisme penyelenggaraan pengarusutamaan gender di dalam administrasi publik. (Nugroho, 2008;213) Pemilahan karakter kebijakan pubik ini dikembangkan dari konsep Naila Kabeer yang merumuskan pembagian jenis kebijakan dengan kesetaraan gender dalam rangkaian alur transformasi kebijakan dari yang bias ke sensitif gender sebagaimana gambar di bawah ini :

17

Gambar : Model Kebijakan Dari Naila Kabeer

Gender blind policy (often implicity male biased)

Rethinking assumtions Rethingkin Practices

Gender sensitive policy

Gender-neutral Interventions, intended to distributions of resourches and responsibility intact

Gender-specific (interventions intended to meet targetted needs of one of other gender within existing distribution of resources and responsibilities)

18

5. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan berbasis pada qualitative research. Sebagaimana dinyatakan oleh Lincoln and Cuba (1985) dalam Denzin and Lincoln, (1994:40) disebut sebagai naturalistic inquiry. Penelitian kualitatif terhadap administrasi publik sering menggunakan metode penelitian kasus, grounded theory, ethnography dan action research (Mc Nabb, 2002:270). Penelitian kualitatif tentang analisis implementasi kebijakan bidang ketenagakerjaan di kabupaten Sidoarjo, menggunakan metode penelitian studi kasus. Fokus penelitian ini apakah Proses Implementasi kebijakan ketenagakerjaan telah menerapkan pengarus utamaan gender (PUG) dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya wage gap pekerja perempuan sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Islamy (2001:12) mengemukakan bahwa hanya manusia yang memiliki beberapa kemampua dalam proses instrumen penelitian sebagaimana dibawah ini : 1. Kepekaan untuk berinteraksi dengan lingkungannya; 2. Kemampuan beradaptasi dengan situasi dan kondisi lingkungan penelitiannya dengan baik; 3. Kemampuan menangkap segala sesuatu secara utuh dan menyeluruh; 4. Kemampuan memproses data dengan cepat; 5. Kemampuan untuk mengembangkan dan menggunakan kesimpulan penelitiannya misalnya untuk memahami latar sosial; 6. Kemampuan untuk meringkas data; 7. Kesempatan dan kemampuan untuk mengeksplorasi respon-respon atau hal-hal yang tidak lazim atau unik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam. Pengumpulan data terdapat tiga macam kegiatan yang telah dilakukan peneliti. Lofland dan Lofland (1984): (1) proses memasuki lokasi penelitian (getting in); (2) ketika berada di lokasi penelitian (getting along), dalam proses ini peneliti mulai melakukan komunikasi untuk membangun kepercayaan pada informaninforman dalam penelitian; (3) pengumpulan data (logging the data). Analisis dilakukan untuk menemukan pola. terdiri dari tiga tahapan yaitu reduksi data (data reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau verifikasi (conclusion drawing verivication). Ketiga taahaapan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Verifikasi dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung yaitu sejak awal memasuki lokasi penelitian dan selama proses pengumpulan data. Dengan kata lain setiap kesimpulan senantiasa terus dilakukan

19

verifikasi selama penelitian berlangsung. Komponen-komponen analisis data tersebut di atas oleh Miles dan Huberman (2007) sebagai berikut: Gambar : Analisis Data Model Interaktif

Data Collection

Data Display

Data Reduction

Conclusions: Drawing/verifying

Sumber: Miles dan Huberman (2007) Keabsahan data dimaksudkan dalam rangka melihat ukuran atau derajad kepercayaan dan kebenaran hasil penelitian yang telah dieksplorasi. Menurut Lincoln & Guba dalam Moleong (2000) terdapat empat criteria yang dapat digunakan dalam mengukur keabsahan data pada sebuah penelitian yaitu derajad kepercayaan (credibility) keteralihan (transferability), ketergantungan (dependability), dan kepastian (confirmability) adalah : VI. Analisis Implementasi kebijakan ketenagakerjaan dalam menerapkan pengarus utamaan gender (PUG) Pengarusutamaan gender dalam pembangunan melalui jalur struktural dapat dilakukan dengan prasyarat dan komponen kunci sebagai berikut : Pertama, Komitemen politik (political will) dan kepemimpinan leadership dari lembagalembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Komponen kunci yang diperlukan adalah peraturan perundang-undangan yang mencakup antara lain ; Undang-undang Dasar 1945, ketetapan MPR RI, Undang-undang, Peratauran Pemerintah, Keputusan/

20

Instruksi Presiden, Surat Keutusan /Surat Edaran Menteri/kepala LPND dan Peraturan Daerah. Kedua, Kerangka kebijakan yaitu adanya kerangka kebijakan (policy framework) sebagai wujud komitmen pemerintah nasional, propinsi, dan kabupaten/ kota yang ditujukan bagi perwujudan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang pembangunan khususnya bidang ketenagakerjaan. Komponen kunci yang diperlukan adalah kebijakan, strategi, program proyek, kegiatan, kerangka kerja akuntabilitas dan kerangka pemantauan evaluasi. Struktur dan mekanisme pemerintah yang terdiri dari tingkat nasional, provinsi, kabupaten/kota yang mendukung pelaksanaan PUG. Ketiga, Sumber daya yang memadai. Keempat, System informasi dan data terpilah menurut jenis kelamin, Kelima, Alat analisis yang meliputi perencanaan, penganggaran, dan monitoring dan evaluasi pelaksanaan PUG. Keenam, Dukungan dari masyarakat madani kepada pemerintah. Implementasi pengarusutamaan gender melalui kebijakan memiliki perangkat dan alur kerja yang telah mapan. Salah satu proses penting dalam alur kerjaa pengarusutamaan gender (PUG) adalah melakukan analisis gender. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan bagian dari penegakan hak-hak asasi manusia yang menjadi pembahasan khusus dalam forum-forum internasional sejak tahun 1980-an. Perhatian dunia semakin meningkat terhadap kesetaraan gender sebagai penting dalam mencapai kesejahteraan dan keberhasilan pembangunan. Di Kabupaten Sidoarjo kesetaraan dan keadilan gender diterapkan melalui strategi gender mainstreaming atau pengarusutamaan gender (PUG) yang merupakan pematangan dari strategi gender and development. Pengarusutamaan gender dimasukkan melalui isu-isu kultural bertujuan untuk membongkar budaya patriarkhi sebagai sumber ketidakadilan. Advokasi gender dilakukan labih banyak bertumpu pada pendekatan budaya. Pengarusutamaan gender merupakan strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender di bidang ketenagakerjaan melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan, program dan kegiatan di berbagai bidang kehidupan dan pembangunan termasuk bidang ketenagakerjaan ruang lingkup PUG meliputi

21

seluruh perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi kebijakan dan program pembangunan nasional. Persoalan bidang ketenagakerjaan di kabupaten Sidoarjo juga dilihat dari kurang maksimalnya peranan pemerintah dalam merumuskan penyelesaian persoalan hubungan industrial yang dihadapi warga negara. Adanya kewenangan penuh manajemen (perusahaan) dalam memutuskan penerimaan dan pemecatan pekerja menyebabkan terjadinya PHK yang tidak adil yang memungkinkan pekerja dan serikat pekerja naik banding ke lembaga penyelesaian perselisihan industrial. Sekalipun dalam Undang-undang ketenagakerjaan keputusan dilakukannya PHK harus didasarkan pada alasan yang jelas. VII. Kesiapan aktor-aktor utama terkait dengan pelaksanaan kebijakan Selaras dengan konsep gender sebagai kontruksi sosial yang mampu beradaptasi dengan kebutuhan laki-laki dan perempuan serta budaya, PUG sebagai strategi, maka kesetaraan gender dapat diintegrasikan dalam regulasi, manajemen budaya dan norma yang berkembang di masyarakat dengan tanpa mereduksi indikator kesetaraan gender sebagai capaiannya. Karenanya kesetaraan gender akan tercapai pada pemerintah dengan kekuatan cultural pada masyarakat sipil. Pengarusutamaan merupakan konsep baru di kalangan pemerintah dan masyarakat sipil, oleh karena itu proses pelembagaan PUG masih menghadapi banyak rintangan baik dari sisi pemegang maupun pemberi mandate serta kemampuan staf dan lembaga dalam merespon kebutuhan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Masyarakat juga masih belum sepenuhnya memahami dan menerima kebijakan PUG dalam pembangunan nasional maupun daerah sebagai tanggung jawab bersama sehingga sinergitas yang seharusnya saling menguatkan satu sama lain belum berfungsi sebagaimana mestinya. Munculnya penolakan terhadap kebijakan responsif gender dikalangan struktural antara lain disebabkan oleh perubahan orientasi konsep besar tersebut yang semula bersifat fleksibel, adaptif, dan gradual kemudian berubah menjadi problematik karena teknik pengintegrasiannya melalui jalur kultural mengalami hambatan, khususnya ketika gender bersentuhan dengan interpretasi agama. Hambatan ini pada dasarnya dapat dieliminir apabila implementasi PUG dilakukan melalui interrelasi yang baik antara struktural dan cultural, misalnya dengan 22

melakukan jaringan kerjasama antara pemerintah dengan organisasi atau lembagalembaga keagamaan dengan terlebih dahulu menyamakan persepsi membangun komitmen serta menentukan formulasi dan indikator ketercapaiannya secara konkret VIII. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya wage gap pekerja perempuan sektor industri di Kabupaten Sidoarjo. Faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan adalah keadaan angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja menurut lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, status pekerjaan utama, dan jumlah jam kerja. Dari data secara makro jumlah penduduk laki-laki dan perempuan di Sidoarjo pada tahun 2007 adalah 1.781.405 orang. Terdiri dari 906.161 orang penduduk laki-laki dan 875.244 orang penduduk perempuan (BPS, 2008: 82). Jumlah angkatan kerja usia 15 tahun keatas sebanyak 924.661 orang. Dari jumlah ini penduduk yang bekerja adalah sebanyak 110.158 orang. Dari data ini diketahui jumlah tingkat partisipasi angakatan kerja (TPAK) adalah sebesar 67.75% yang berarti dari 100 penduduk usia kerja terdapat 68 orang yang aktif dalam kegiatan ekonomi (bekerja dan mencari kerja), tingkat kesempatan kerja (TKK) sebesar 88.09% dan tingkat pengangguran terbuka (TPT) sebesar 11.91%. TPT 11.91% memberikan gambaran bahwa dalam 100 orang angkatan kerja 12 orang diantaranya menganggur. Akhir-akhir ini adanya krisis global sedikit banyak mempengaruhi tingkat pengangguran, karena baik secara langsung maupun tidak langsung krisis global mempengaruhi kelangsungan industri-industri yang ada, dan bagi perusahaan yang tidak bisa eksis akhirnya mengurangi tenaga kerja dengan PHK. Penggunaan waktu terbanyak dalam kegiatan sehari-hari akan memberikan gambaran mengenai peran laki-laki dan perempuan dalam kegiatan ekonomi dan juga proporsi penghasilan dalam keluarga. Disamping itu penggunaan waktu terbanyak juga dapat digunakan untuk mengetahui peran antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Dalam konsep ketenaga kerjaan penduduk dapat dikelompokkan menjadi Angkatan Kerja (AK) dan Bukan Angkatan Kerja (BAK) sebagaimana dalam tabel berikut:

23

Tabel 5 :Penduduk Usia di atas 15 Tahun Dilihat dari Penggunaan Waktu Terbanyak di Kabupaten Sidoarjo
Laki-laki Uraian Angatan Kerjka Bekerja Mencari pekerjaan Bukan Angkatan Kerja Sekolah Mengurus rumah tangga Lainnya Jumlah Jumlah 566,595 500,602 65,993 107,451 60,844 9,874 36,733 674,046 % 84,06 74,27 9,79 15,94 9,03 1,46 5,45 100.00 Perempuan Jumlah 358,066 313,901 44,165 332,741 59,110 248,991 24,640 690,807 % 51,83 45,44 6,39 48,17 8,56 36,04 3,57 100,00

Sumber : IPJ Kabupaten Sidoarjo, 2009. Berdasarkan data di atas dapat dikatakan kegiatan yang dilakukan oleh laki-laki sebagian besar sekitar 84% dalam kelompok angkatan kerja sedangkan perempuan 52%. Dalam kelompok bukan angkatan kerja kegiatan yang paling banyak adalah mengurus rumah tangga. Laki-laki dan perempuan 36% dan 1%. Kondisi ini sedikit banyak membuktikan adanya anggapan bahwa tugas laki-laki adalah mencari nafkah sedangkan perempuan adalah mengurus rumahtangga/mengasuh anak. Kenyataan ini menunjukkan adanya ketimpangan gender, padahal seharusnya dalam konteks pemberdayaan gender tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal mengurus rumah tangga. Dengan semakin tingginya prosentase laki-laki bekerja tentu semakin besar pula porsi pendapatan terhadap penghasilan keluarga. Dilihat dari pengangguran penduduk usia 15 tahun keatas di Kabupaten Sidoarjo, perempuan tingkat pengangguran terbukanya (TPT) lebih tinggi dibandingkan laki-laki, perempuan TPT sebesar 12,33% sedangkan laki-laki sebesar 11,65%

24

Tabel 6 : Penduduk Usia di atas 15 Tahun Menurut TPAK, TPT, TKK Berdasarkan Jenis Kelamin di Kabupaten Sidoarjo
Uraian TPAK TPT TKK Laki-laki 84,06 11,65 88,35 Perempuan 51,83 12,33 87,67 Laki-laki & perempuan 67,75 11,91 88,09

Sumber : IPJ Kabupaten Sidoarjo, 2009

Dengan mengetahui lapangan pekerjaan, dapat digunakan sebagai indikator tingkat kegiatan ekonomi suatu daerah, misalnya apakah suatu daerah itu berpotensi usaha pertanian atau industri, sehingga dapat menunjukkan tingkat perkembangan ekonominya yang dominan (khususnya dalam melihat kesetaraan gender). Lapangan kerja utama penduduk suatu wilayah dapat mencerminkan tingkat kemajuan dari wilayah tersebut, dimana pada wilayah yang sebagian besar penduduknya bekerja pada sektor industri dan jasa biasanya lebih maju dibandingkan dengan wilayah yang sebagian besar penduduknya bekerja di sektor pertanian. Secara umum tenaga kerja menurut jumlah jam kerja dikelompokkan menjadi dua, yaitu:1) kurang dari 35 jam dalam seminggu yang sering dikenal sebagai pekerja tidak penuh. 2) lebih dari 35 jam kerja dalam seminggu atau disebut sebagai pekerja penuh. Dari tabel 1.4 terlihat bahwa pada umumnya penduduk Kabupaten Sidoarjo bekerja di atas jam kerja normal yaitu bekerja lebih dari 44 jam seminggu. Proporsi laki-laki yang bekerja di atas jam kerja normal lebih normal lebih tinggi dibandingkan perempuan, laki-laki sebesar 63,15% dan perempuan 49,49%. Tabel 7 : Jumlah Jam Kerja Perminggu antara Laki-laki dan Perempuan Di Kabupaten Sidoarjo
No Jumlah Jam Kerja Per Minggu Laki-laki (%) 1 2 3 4 5 < 15 Jam 16 34 Jam 35 44 Jam 45 59 Jam >60 Jam 1,61 11,42 23,82 51,45 11,70 Perempuan (%) 4,00 19,27 27,24 35,02 14,47

Sumber : IPJ Kabupaten Sidoarjo, 2009

25

Status kedudukan dalam pekerjaan memberikan gambaran kemampuan serta posisi dalam bidang pekerjaan tersebut. Seseorang yang berkedudukan sebagai pengusaha tentu berbeda dengan karyawan dan juga mereka yang berstatus sebagai pekerja dibayar juga akan bereda dengan mereka yang berstatus pekerja tak dibayar. Pada akhirnya status kedudukan dalam pekerjaan akan mencerminkan kewenangan dalam pengambilan keputusan dan juga besaran pendapatan. Dalam tabel 8 terlihat bahwa dalam bekerja status kedudukan dalam pekerjaan laki-laki lebih baik dari pada perempuan. Hal ini terlihat dari tingginya prosentase laki-laki yang berstatus sebagai pengusaha jika dibandingkan perempuan, sedangkan pada kelompok pekerja tak dibayar perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Tabel 8 : Persentase Status Kedudukan Dalam Pekerjaan Penduduk Menurut Jenis Kelamin
No. 1 2 3 4 5 6 7 Status kedudukan Dalam Pekerjaan Berusaha sendiri Berusaha dibantu buruh dibayar Berusaha dibantu buruh tak dibayar Karyawan/buruh Pekerja Bebas di Pertanian Pekerja Bebas Non Pertanian Pekerja Tak Dibayar Laki-laki 56,97 68,77 86,14 63,97 61,05 80,88 15,27 Perempuan 43,03 31,23 13,86 36,03 38,95 19,12 84,73 Total 100 100 100 100 100 100 100

Sumber : IPJ Kabupaten Sidoarjo, 2009

Dengan melihat fenomena bidang ketenagakerjaan dengan pelaksanaan pengarusutamaan gender sektor industri terkait dengan peraturan/kebijakan dan implementasinya telah terjadi kesenjangan yang menyebabkan tenaga kerja sangat dirugikan, terutama tenaga kerja harian lepas khususnya perempuan. IX. Kesimpulan dan saran 9.1. Kesimpulan Berdasarkan pada hasil pembahasan dan analisis sebelumnya, maka peneliti dapat menarik beberapa kesimpulan yakni : 1. Proses Implementasi kebijakan ketenagakerjaan di kabupaten Sidoarjo telah menerapkan pengarusutamaan gender, dengan prasyarat dan komponen: Komitmen politik (political will) dan kepemimpinan (leadership) dari lembaga-

26

lembaga eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Adanya kerangka kebijakan (policy framework) sebagai wujud komitmen pemerintah kabupaten Sidoarjo yang ditujukan bagi perwujudan kesetaraan dan keadilan gender di berbagai bidang pembangunan khususnya bidang ketenagakerjaan. Implementasi pengarusutamaan gender melalui kebijakan memiliki perangkat alur kerja yang mapan. Kesetaraan dan keadilan gender merupakan bagian dari penegakan hak-hak asasi manusia Di Kabupaten Sidoarjo kesetaraan dan keadilan gender diterapkan melalui strategi gender mainstreaming di seluruh SKPD terdapat GCSO (Gender and Cild Sensitive Officer) yang merupakan pematangan dari strategi gender and development. Pengarusutamaan gender dimasukkan melalui isu-isu kultural. Pengarusutamaan gender merupakan strategi pembangunan yang dilakukan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender di bidang ketenagakerjaan melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki ke dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi dari seluruh kebijakan. 2. Konsep gender sebagai kontruksi sosial diharapkan mampu beradaptasi dengan kebutuhan laki-laki dan perempuan, kesetaraan gender dapat diintegrasikan dalam regulasi, manajemen budaya dan norma yang berkembang di masyarakat dengan tanpa mereduksi indikator kesetaraan gender sebagai capaiannya. Karenanya kesetaraan gender akan tercapai pada pemerintah dengan kekuatan kultural pada masyarakat sipil. Pengarusutamaan gender merupakan konsep baru, maka pemerintah dan masyarakat sipil, baik dari sisi pemegang maupun pemberi mandat serta kemampuan staf dan lembaga dalam merespon kebutuhan pihak-pihak yang terlibat di dalamnya. Masyarakat juga masih belum sepenuhnya memahami dan menerima kebijakan PUG dalam pembangunan. Munculnya penolakan terhadap kebijakan responsif gender dikalangan struktural disebabkan oleh perubahan orientasi konsep besar tersebut yang semula bersifat fleksibel, adaptif, dan gradual berubah menjadi problematik karena teknik pengintegrasiannya melalui jalur kultural mengalami hambatan. 3. Faktor-faktor yang diperhatikan adalah keadaan angkatan kerja, penyerapan tenaga kerja menurut lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, status pekerjaan utama, dan jumlah jam kerja. Status kedudukan dalam pekerjaan memberikan 27

gambaran kemampuan serta posisi dalam bidang pekerjaan tersebut. Seseorang yang berkedudukan sebagai pengusaha tentu berbeda dengan karyawan dan juga mereka yang berstatus sebagai pekerja dibayar juga akan berbeda dengan mereka yang berstatus pekerja tak dibayar. Pada akhirnya status kedudukan dalam pekerjaan akan mencerminkan kewenangan dalam pengambilan keputusan dan juga besaran pendapatan. Dalam bekerja status kedudukan pekerjaan laki-laki lebih baik dari pada perempuan. Hal ini terlihat dari tingginya prosentase laki-laki yang berstatus sebagai pengusaha jika dibandingkan perempuan, sedangkan pada kelompok pekerja tak dibayar perempuan lebih banyak dibandingkan laki-laki. Fenomena bidang ketenagakerjaan dengan pelaksanaan pengarus utamaan gender sektor industri terkait dengan peraturan/kebijakan dan implementasinya telah terjadi kesenjangan yang menyebabkan tenaga kerja sangat dirugikan, terutama tenaga kerja harian lepas khususnya perempuan. 9.2. Saran Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan yang diuraikan, maka disarankan dan direkomendasikan beberapa hal yang dimaksudkan menjadikan masukan untuk kemudian ditindaklanjuti dari hasil penelitian ini yakni, 1. Implementasi kebijakan di kabupaten Sidoarjo baik di lingkungan eksekutif, legislatif dan yudikatif sudah menerapkan strategi pengarusutamaan gender namun pada tataran implementasi kebijakan ini masih perlu adanya evaluasi terutama pada aktor-pelaksana di tingkat yang paling bawah masih belum sepenuhnya memahami tentang pengarusutamaan gender. 2. Implementasi kebijakan bidang ketenagkerjaan masih belum menunjukkan strategi pengarusutamaan gender, dapat dilihat di lapangan ketika masih banyaknya perlakuan berbeda atau diskriminasi antara pekerja laki-laki dan perempuan termasuk dalam mendapatkan vasilitas. 3. Berdasarkan Undang-undang dan aturan-aturan yang berlaku, di Indonesia secara normatif tidak membedakan antara perempuan dan laki-laki, termasuk dalam hal memperoleh pekerjaan. Begitu juga di kabupaten Sidoarjo permasalahan yang terjadi adalah masih ada perlakuan berbeda dalam system penggajian yang diterimakan antara pekerja laki-laki dan pekerja perempuan 28

terlebih bagi pekerja yang berada diluar perusahaan, yang banyak dilakukan oleh pekerja perempuan yang lebih dikenal dengan istilah putting out system. Untuk itu dibutuhkan regulasi yang mengatur tentang hak-hak pekerja khususnya bagi mereka yang bekerja dengan putting out system. Dimana aturan tersebut yang tidak merugikan pekerja juga masih tetap memperhatikan keberlangsungan perusahaan itu sendiri.

29

DAFTAR PUSTAKA

Bogdan and Biklen, 1998, Qualitative Research For Education An Introduction To Theory And Methods, Allyn and Bacon. Inc., Boston. Bogdan, R. C., dan S. Taylor, 1993, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif, terjemahan, Usaha Nasional, Jakarta. Chan, Syilvia. 1990. Women in the Third Word : Gender Issues in Rural and Urban Areas. London Elgar Publ ltd. Connell, R.W. Gender and Power , Poluity Press, Oxford.1991 Creswell, John W., 1994, Research Design: Qualitative & Quantitative Approaches, Thousand Oaks: Sage Publications. Departemen Tenaga Kerja RI. 1995. Perencanaan Tenaga Kerja Nasional. Emilia Del Bono and Daniela Vuri, Job Mobility and the Gender Wage Gap in Italy. CESIFO Working Paper No 2435 Category 4 : Labour Markets, October 2008 Enriqueta. Globalization and Cuture as Factors that shape the Gender Gap: A Comparative Studi of Urban Latin Amersia and East Asia (1970-2000). Universitas Pompeu Fabra. February 2009. Denhardt, Janet V., Denhardt, Robert B., 2003, The New Public Service: serving, not steering, M. E. Sharpe Inc., New York. Dwi Eko Waluyo, Kontribusi Wanita Dalam Aktivitas Ekonomi dan Rumah Tangga di Pedesaan. Laporan Hasil Penelitian tahun 2007. Dwiyanto, Agus, Partini, Ratminto,B.Wicaksono,W.Tamtiari, B.Kusumasari,dan M.Nuh, 2003, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat studi Kependudukan dan Kebijakan, UGM, Jogjakarta. Fakih, Mansour. 1996. Gender sebagai Alat Analisis Sosial. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4/November. hlm. 7-20. Graciela Chichilnisky. The Gender Gap. Review of Development Economics 12 (4), 828-844, 2008. Giligan, C. 1993. Dalam Suara yang lain: Teori psikologi dan perkembangan wanita. Keraf. A.S (Penerjemah). Tahun 1997. Jakarta. Pustaka Tangga. Hafidz, Wardah. 1995. Pola Relasi Gender dan Permasalahannya. Peper Disampaikan pada Diskusi Gender suatu Tinjauan Multidimensi. Yogyakarta, 29 April.

30

Handayani T. Sugiarti 2006. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Malang UMM Press. Hariyoso, 2002, Pembaharuan Birokrasi Dan Kebijaksanaan Publik, Peradaban, Jakarta. Haryono, Tulus, 2003, Analisis Persepsi Pelanggan Terhadap Kualitas Jasa Pada PT. PLN (Persero). Disertasi, tidak dipublikasikan. Haryastuti, S dan B. Hudayana. 1991. Pekerja wanita pada Industri Rumah tangga sandang di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Seri Studi wanita No.6. Pusat penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Hetler. C. 1986. Female Headed Households in a Circular Migration Village in Central Java, Indonesia, Disertasi Ph.D. pada Departemen Demografi, Australia national University. Heyzer., N. 1986. Working Women in South East Asia. Philadelphia: Open University. Press. Houston, David J., 2000, Public Service Motivation: a multivariate test, Journal of Public Administration Research and Theory; Oct 2000; 10, 4; Wilson Social Sciences Abstracts, University of Tennessee, Knoxville. Hugo, G. 1985. Structural Change and labour Mobility in Rural Java, labour Circulation and the labour Process, G Standing (ed). London: Croom Helm. I Dewa Ayu dan I Nyoman Sila, Potensi Perajin Wanita dalam Pengembangan Kerajinan uang Kepeng Di Kawasan Pariwisata Ubud Bali, Jurnal Penelitian dan Pengembangan sains & Humaniora, 2008. 2(1), 43-45. Ihromi, T.O.1995: Penggunaan Hukum sebagai Alat Dalam Upaya Perbaikan Kedudukan wanita, dalam Ihromi (ed), Kajian dalam Pembangunan. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.. I Made Wirartha. Ketidakadilan Jender Yang Dialami Pekerja Perempuan di Daerah Pariwisata. Laporan Penelitian Jurusan Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Universitas Udayana tahun 2008. Indiahono D. 2006. Reformasi Birokrasi Amplop Mungkinkah?. Yogyakarta Gava Media. Irianto, Sulistyowati, Akses Tenaga Kerja kepada Perlindungan Hukum, Dimensi Normatif dan Kenyataan Sosial, Program Studi Kajian wanita Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994. Islamy, M. Irfan, 2003, Dasar-Dasar Administrasi Publik Dan Manajemen Publik, Program Studi Ilmu Administrasi, Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.

31

________, 2003, Strategi Pelayanan Publik Di Era Otonomi Daerah, makalah tidak dipublikasikan untuk Program Doktor Ilmu Administrasi Publik, Universitas Brawijaya Malang. Lincoln, Yvonna S., Egon G. Guba, 1985, Naturalistic Inquiry, SAGE Publications, Inc., 275 South Beverly Drive, Beverly Hills, Carolina 90212 Lipsky, Michael, 1980, Street-Level Bureaucracy: dilemmas of the individual in public services, Russell Sage Foundation, New York. Liza Hadiz, 2002, Perempuan dalam Wacana Politik Orde Baru. Penerbit Pustaka LP3ES Indonesia. Jakarta. Maria Drolet and Karen Mumfrod, The Gender Pay Gap for PrivateSector Employes in Canada and Britain, Forschungsinstitus zur Zukunft der Arbeit, Institute for the Study of Labour. MacPhail. Fiona & Paul Bowles. 2008. Corporate Social Responsibility as Support for Employee Volunteers: Impacts, Gender Puzzles and Policy Implications in Canada. Journal of Business Ethics (2009) 84:405-416. Magnus Henrekson and Mikael Stenkula. Why Are There so Few Female Top Executives in Egalittarian Welfare States. IFN Working Paper No 786, 2009. Manning, C. 1980. Dualism in Labour Markets and Labour Markets Segmentation in Indonesia Manufacturing, Indonesia Dualism, Growth and Poverty, R. Garnaut dan P. McCawley (ed) Canberra: Research School for Pacific Studies, Australian National University. Mather, C. 1093. Industrialization in the Tangerang Regency of Weast Java: Women Workers and the Islamic Patriarchy, Buletin of Concerned Asian Scholars, 15(2), April-Juni . Mayling Oey, 2004. Perubahan Pola Kerja Kaum Perempuan di Indonesia Selama Dasawarsa 1970: Sebab dan Akibatnya. Jakarta Pustaka LP3ES. Miles, Matthew B., A. Michael Huberman, 1984, Qualitative Data Analysis: a sourcebook of new methods, SAGE Publications, Inc., 275 South Beverly Drive Beverly Hills, California 90212. Moenir, AS., 1998, Manajemen Pelayanan Umum Di Indonesia, cetakan ke III, Bumi Aksara, Jakarta. Moleong, Lexy, J., 1991, Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarta, Bandung. Moore, H.I.1988. Feminism and Anthropology, Cambridge, Poluity Press. Mosse. J.C. 1996. Gender dan Pembangunan. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Muhadjir, 2000, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Rake Sarasin, .

32

Nasution, 1996, Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif, edisi I, cetakan 2, Transito, Bandung. Nugroho Riant. 2008. Gender dan Administrasi Publik. Yogyakart. Pustaka Pelajar. Osborne, David, dan Peter Plastrik, 2001, Memangkas Birokrasi: lima strategi menuju pemerintahan wirausaha, terjemahan, cetakan kedua (revisi), Penerbit PPM, Jakarta. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Indeks Pembangunan Jender, Tahun 2009. Pemerintah Kabupaten Sidoarjo Badan Perencanaan Pembangunan Daerah, Indeks Pembangunan Manusia, Tahun 2009 Philip, A. Dan B. Taylor. 1980. Sex and Skill: Notes Towards a feminst Economics, feminist Review, 6: 79-88. Purwanto E.A. & Wahyudi. K. 2005. Birokrasi Publik dalam Sistem Politik SemiParelmenter. Yogyakarta. Gava Media. Safa, H. 1990. Women and Industrialisation in the Caribbean, Women Employment and the family in the international Division of Labour : Macmillan Salim, Agus, 2001, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial; dari Denzin Guba dan penerapannya, PT. Tiara Wacana Yogya, Jogjakarta. Santoso, 1997, Birokrasi Pemerintahan Orde Baru, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta. Saptari, R. 1991. The Differetiation of a rural Industry, 1920-1990,: In the Shadow of Agriculture, P. Alexander, B. White dan P. Boomgaard (ed) Amsterdam: KIT. --------------- & Brigitte Holzner. Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta. PT Pustaka Utama Grafiti. Schmid Evelyne. 2009. Gender and Conflict: Potential Gaintsof Civil Society Effort to Include Economic, Social and Cultural Right in Transitional Justice. SHUR Project Final Conference Human Rights in Conflict-The role of Civil Society,4-6 June 2009, Luiss University, Rome. Scott, Patrick G., 1997, Assesing Determinants Of Bureaucratic Discretion: An experiment in street-level decision making, Journal of Public Administration Research and Theory, Januari, 7: 35-57. Sebatu, A. 1994. Psikologi Jung: Aspek wanita dalam kepribadian manusia, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Maju. Sedova. N.N. 2007. The effectiveness of the Bureaucracy as rated by Russians. Sociological Research, Vol 46, No. 6 Nopember-Desember 2007, pp, 33-43.

33

Sihite, Romany, Perempuan Pekerja Rumahan: Apakah Tersentuh Kebijaakan pembangunan. dalam Sita Van Bemmelen (ed), Benih bertumbuh, kelompok Pejuang Perempuan tertindas, 2000. Shadana, Krisdawati, dan Faizal Anwar, 2004, Etika Birokrasi, cetakan 1, penerbit Universitas Negeri Malang (UM Press), Malang. Strauss, Anselm, Juliet Corbin, 2003, Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif: tata langkah dan teknik-teknik teoritisasi data, terjemahan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Sugiarti, dkk. 2003. Pembangunan Dalam Perspektif Gender. Malang. UMM Press Sulistiyani, Ambar Teguh, 2004, Memahami Good Governance: dalam perspektif Sumber Daya Manusia, Penerbit Gava Media, Yogyakarta. Sulistiyaningsih E. dan H : Perempuan di Dunia Kerja dalam Sirianto (ed), Perempuang dan hukum. Jakarta. Yayasaan obor Sumanto, Ali. 1993. Nasib Pekerja Wanita Tetap di bawah Laki-laki. Dalam Bali Post. Selasa, 21 Desember, No. 124,Tahun. ke-46, hlm. 6, kol.1-4 Susilawati, Dewi H. 1992. Peluang Kerja dan Upah Tenaga Kerja Perempuan. Dalam Bernas. 13 Pebruari. Tikhonova. N.E. 2007. The Bureaucracy Part of Societynor its Contractor. Sociologycal Recearch, Vol. 46, No.6 Nopemeber-Desember, pp.9-18. Thoha, Miftah, 1999, Perilaku Organisasi: konsep dasar dan aplikasinya, FISIPOL Universitas Gadjah Mada, cetakan kesepuluh, Jakarta PT. Raja Grafindo Persada, -------------- 2007. Birokrasi Politik di Indonesia. Jakarta. PT. Raja Grafindo Persada Turner, Mark, David Hulme, 1997, Governance, Administration and Development, Making The State Work, Macmillan Press Ltd., London, England. Utomo Warsito. 2007. Administrasi Publik Baru Indonesia Perubahan paradigm dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Wijaya, H dan Ratnawati, R, 1991. Perempuan sebagai kelompok haterogen dan konsekuensinya pada konsep kemandirian. Dalam Wijaya et al (eds). Proding Lokakarya Nasional: Citra Kemandirian perempuan Indonesia. KSW Unbraw Malang 18-20 Juli Wolf, D 1990. Doughteers, Decesions and Domination: An Empirical and Conceptual Critique of Household Strategis. Development and Change, Vol. 21, hal 43-74. Yin, K. Robert, 2004, Studi Kasus Desain dan Metode, penerjemah M.Djauzi Mudzakir, edisi revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

34

Yusuf. V. 1991. Pembentukan Angkatan Kerja Industri Garmen Untuk Ekspor : Pengalaman dari. Jawa Barat: Institute of Social Studies, Bandung Research Project Office, Working Paper Series No. B-13. Zauhar Soesilo.2007. Reformasi Administrasi Konsep, Dimensi dan Strategi. Jakarta. Bumi Aksara.

35

Anda mungkin juga menyukai