Anda di halaman 1dari 8

PENGAWASAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PEMBENTUKAN PERATURAN DAERAH TENTANG PENERAPAN PAJAK DAERAH TERHADAP PENJUALAN TELUR HEWAN

PURBA (PENYU HIJAU) DI KABUPATEN SUKABUMI

Oleh : Arnold Nurdi Wibowo 09410205

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2010/2011

A.

Latar Belakang Masalah Sejak otonomi daerah digulirkan melalui UU no 22 tahun 1999 tentang pemerintahan

daerah, daerah seolah berlomba untuk sebanyak-banyaknya mengumpulkan pendapatan daerah dengan cara membuat perauran Daerah (Perda) yang berisi tentang pungutan berupa pajak daerah dan retribusi daerah. Lahirnya beribu perda sejak 2000-2008 telah meresahkan dunia usaha, karena perdaperda tersebut menghambat investasi di daerah. Tumpang tindih kewengan antara pusat dan daerah dan beragamnya pungutan yang tidak jelasdasar hukumnya, telah menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan merintangi arus perdagangan daerah maupun kegiatan ekspor impor Melalui UU No 22 tahun 1999, UU No 34 Tahun 2000 maupun UU No.32 Tahun 2004 pemerintah pusat (departemen dalam negeri) diberi kewenangan untuk melakukan pengawasan refresif terhadap produk hukum daerah berupa pembatalan perda atau keputusan kepala daera. Mengapa Undang-Undang memberikan kewenangan membatalkan perda kepada pemerintahan (menteri dalam negeri) hal ini didasarkan pada pada pandangan bahwa oleh karena indonesia dalah negara kesatuan yang berbentuk republik maka tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang bersifat staat jugamaka pemerintah dipandang memiliki kewenangan untuk mengawasi segala aktifitas daerah dalam penyelenggaraan pemerintah daerahnya, terasuk membatalkan produk hukumnya. Perda sebagai produk politik legislasi daerah telah mendapatkan eksistensinya didalam UUD 1945 (pasal 18 ayat 6) dan UU No.10 thun 2004 tentang pembentukan peraturan perundangan, persoalan muncul ketika banyak perda yang secara substansial dipandang bertentangn dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dan disini bagaimana peranan pemerintahan pusat dalam mengawasi tumbuhnya produk-produk hukum daerah yang sekarang cenderung seperti daerah-daerah membuat peraturan yang seenaknya dan merugikan. Hal diatas terkait dengan tumbuh kembangnya perda-perda yang ada di kabupaten sukabumu yang sungguh sangat ironis manakala isi dari perda tersebut sangat bertentangan dengan Undang-Undang yang lebih tinggi diatasnya, pemerintah daerah yang dengan semena-mena menetapkan pajak penjualan atas hewan yang sepatutnya harus dilindungi oleh pemerintah kabupaten sukabumi ini malah kabupaten sukabumi seperti membuka peluang untuk para penjahat dan perusak meng ekploitasi hewan langka tersebut.coba bayangkan

hewan langka yang nota bene teancam dari kepunahan bukan dilindungi malah diperas untuk dimanfaatkan sebagai dana kompensasi biaya-biaya pelestariannya dan 30 % dari telur-telur hewan langka tersebut dilepaskan menjadi tukik dilaut (PERDA di kabupaten Sukabumi no 2 tahun 2001 tentang pajak sarang burung walet, telur penyu dan rumput laut) lalu selanjutnya setelah perda tersebut dibatalkan oleh keputusan mnteri dalam negeri no 92 tahun 2005, pemerintah kabupaten sukabumi menerbitkan kembali perda no 16 tahun 2005 tentang pelestarian penyu di kabupaten sukabumi, perda tersebut menetapkan 50% telur penyu itu dimanfaatkan dan 50% ditetaskan, sengguh ironis apa yang telah terjadi. B. Rumusan Masalah PENYU di Indonesia dilindungi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya jo Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 7 tahun 1999 tentang Pangawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Bahwa penyu berikut bagian-bagiannya termasuk telurnya merupakan satwa yang dilindungi oleh negara. Dan peluang pemanfaatannya melalui penangkaran yang diatur PP No. 8 Tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Secara internasional, Indonesia termasuk negara yang telah menandatangani CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora/Konvensi Internasional yang Mengatur Perdagangan Satwa dan Tumbuhan Liar Terancam Punah). Indonesia telah meratifikasinya melalui UU No. 43 Tahun 1974. Menurut CITES, seluruh penyu termasuk Appendiks I CITES, yang berarti, satwa tersebut dilindungi dan tidak boleh dimanfaatkan karena kondisinya terancam punah. Juga seluruh penyu yang hidup di muka bumi termasuk jenis satwa yang terancam punah dan telah terdaftar pada Red Data Book (RDB) yang diterbitkan oleh IUCN (International Union on Conservation Nature and Natural Resources/Badan Konservasi Alam dan Sumber Daya Alam Internasional). Juga Indonesia telah menandatangani Biodiversity Convention dengan meratifikasinya melalui UU No. 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Keanekaragaman hayati. Dan secara regional, pada tanggal 12 September 1997 bertempat di Thailand, Pemerintah Indonesia bersama-sama negara ASEAN lainnya telah menandatangani kesepakatan bersama mengenai Konservasi dan Perlindungan Penyu. Serta tahun 2001 menandatangani nota kesepahaman di bawah Konvensi Konservasi Species Migratori Satwa Liar, perjanjian tersebut kemudian dikenal dengan Nota Kesepahaman Penyu Laut Kawasan Samudra Hindia dan Asia Tenggara (MoU Penyu Laut IOSEA)

C. 1. 2.

Tujuan Penelitian Untuk mengetahui sampai sejauhmana pemerintah pusat mengawasi setiap produk daerah Untuk mengetahua apa yang menjadi alasan dan landasan hukum SEKDA kabupaten sukabumi menerapkan pajak bagi penjuan penyu, yang nota bene penyu adalah hewan yang seharusnya dilindungi.

3.

untuk memberikan kesadaran akan berharga dan pentingnya ekosistem penyu hijau sebagai hewan langka dan terancap punah, sehingga bagi masyarakat yang masih memburu telurnya memiliki kesadaran untuk menghentikan tindakannya dan sekaligus tumbuh kesadaran untuk slalu menjaganya.

4.

Mencoba untuk mengamati dan menganalisa seperti apakah pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat yang yang cenderung terlihat sangat lemah terhadap maraknya produk daerah berupa perda yang masih menyimpang dari peraturan diatasnya yaitu UndangUndang

5.

Sebagai sarana untuk megaplikasikan ilmu yang di dapat di kapus supaya bermanpaat bagi kepentingan orang banyak

D. 1. 2.

Kegunaan Penelitian Bagi penulis sebagai study banding ilmu yang diperoleh di bangku kuliah dengan kenyataaan dimasyarakat. Bagi SEKDA adalah sebagai bahan masukan terutama masalah pentingnya melindungi hewan langka yang terancam dari kepunahan, Untuk menyadarkan pemerintah daerah setempat bahwa tidak selayaknyalah hewan langka yang terancam kepunahannya di buat sebuah perda yang isinya pajak penjualan telur hewan tersebut, hal ini bertentangan dengan semangat nasional Undang-undang no 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya.

3.

Bagi umum untuk dijadikan bahan referensioleh para peneliti berikutnya, dan memberikan dan menambah khazanah keilmuan yang ada, serta menambah kesadaran di kalangan masyarakat

E.

Kerangka Pemikiran penyu merupakan satwa liar sisa peninggalan jaman purba yang dilindungi baik secara nasional, regional maupun internasional. Namun, populasi dan kelangsungan hidupnya sangat terancam punah akibat berbagai permasalahan. Dan, tindakan manusialah yang paling sangat serius mengancam keberadaan penyu dibanding fenomena alam. Seperti diantaranya pengunduhan/pengambilan telur penyu secara langsung dari sarang alaminya, yang secara tidak disadari pengunduhan telur sama saja pembinsaan penyu itu sendiri. Perburuan penyu untuk diambil daging dan bagian-bagian lainnya, kerusakan lokasi tempat pendaratan untuk bertelur di pesisir pantai, juga pengambilan ikan oleh nelayan dengan menggunakan jaring yang secara tidak sengaja mengambil penyu. Dan semuanya itu terjadi dan dialami penyu di pantai pendaratan dan peneluran Sukabumi. Karena di Sukabumi, hampir sepanjang pantai yang masih alami mungkin saja dapat dijadikan sebagai tempat penyu mendarat untuk membuat sarang dan bertelur. Namun menurut para ahli yang terbaik, terbesar dan terkenal hanya terdapat di Pantai Pangumbahan Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap. Bahkan Pantai Pangumbahan ini termasuk pantai pendaratan penyu terbaik se Pulau Jawa bahkan diakui secara internasional. Pantai Pangumbahan memiliki garis pantai sepanjang sekitar 3.000 meter dengan butiran pasir yang halus dan tebal itu dimiliki Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sukabumi. Dalam pengelolaan penyu, pihak Pemkab Sukabumi untuk alasan sebagai pendapatan asli daerah, melakukan kerjasama dengan pihak swasta, yakni CV. Daya Bakti, seperti tertuang dalam perjanjian kerjasama No. 660.1/PJ-13 Huk/2002 No. 45/DBUPTP/VII/2002 tanggal 29 Juni 2002 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Penyu di Kawasan Pantai Pangumbahan Desa Gunung Batu Kecamatan Ciracap Kabupaten Sukabumi. Dan berdasarkan Surat Persetujuan Pimpinan DPRD Kabupaten Sukabumi Nomor 523/295/RT tanggal 12 Juni 2002 perihal Kerjasama Pengelolaan Pengunduhan Telur Penyu di Pantai Pangumbahan. Dalam perjanjian tersebut, diantaranya pihak pengelola CV. Daya Bakti berhak melakukan usaha pengunduhan/pengambilan telur dari satwa yang dilindungi undang-undang dari sarang alaminya. Apalagi, Pemkab Sukabumi telah menerbitkan Peraturan Daerah No. 2 Tahun 2001 tentang Pajak Sarang Burung Walet, Telur Penyu dan Rumput laut. Sesuai Perda tersebut, pihak pengelola berhak atas 70 persen telur penyu untuk dimanfaatkan sebagai dana kompensasi biaya pelestariannya dan berkewajiban hanya 30 persen dari telur-telur penyu itu ditetaskan menjadi tukik untuk dilepas ke laut bebas.

Perda tersebut telah dibatalkan sesuai Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 92 Tahun 2005 tentang Pembatalan Peraturan daerah Kabupaten Sukabumi Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pajak Sarang Burung Walet, Telur Penyu dan Rumput Laut tertanggal 29 April 2005. Namun, pada perjalananannya setelah pembatalan perda, lagi-lagi Penyelenggara Pemerintahan Kabupaten Sukabumi, baik eksekutif maupun legislatifnya, keukeuh kembali mengeluarkan perda yang nyaris sama dengan perda sebelumnya. Yakni Perda Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pelestarian Penyu di Kabupaten Sukabumi. Dalam perda terbaru itu, dalam pasal 7 ayat 3 diperbolehkan adanya pemanfaatan langsung telur penyu dari habitat alaminya. Dengan alasan untuk membiayai pengelolaan dan pelestarian penyu serta habitatnya. Hanya saja nilainya berbeda, maksimal 50 persen yang boleh dimanfaatkan dan minimal 50 persen untuk ditetaskan. Padahal sudah diketahui kalau di Sukabumi ini, penyu sangat terancam kelestariannya dan perlu diselamatkan. Karena telah berpuluh-puluh tahun, telur penyu itu diambil dan dimanfaatkan untuk dibinasakan. Kini, perda tersebut, sedang dalam proses evaluasi di Departemen Dalam Negeri. Semoga saja secepatnya Perda tersebut dibatalkan ! Sedangkan lokasi pendaratan penyu lainnya yang juga cukup terkenal bagi kalangan peneliti, tersebar di sepanjang pantai yang di dalam kawasan konservasi Suaka Margasatwa (SM) Cikepuh Balai Konservasi Sumbar Daya Alam (BKSDA) Jawa Barat I Departemen Kehutanan, yakni antara Cipanarikan hingga Cibulakan. Di sepanjang pantai ini terdapat tujuh titik pendaratan penyu, antara lain Hujungan sepanjang 500 meter, Citirem sepanjang 1.500 meter, Cibulakan sepanjang 500 meter. Sedangkan Pulau Keris, Karang Dulang, Legon dan Karang Handap masing-masing berjarak hanya beberapa puluh meter saja. Di lokasi pendaratan dan peneluran penyu milik Departemen Kehutanan ini pun, kelangsungan hidupnya tidak luput dari permasalahan dan ancaman, terutama dari manusianya. Padahal, seharusnya di dalam kawasan ini telur-telur penyu itu dapat terjaga dengan aman hingga menjadi tukik dan lepas menghirup udara bebas di samudera. Namun, tangan-tangan jahil dari orang-orang tidak bertanggungjawab beraksi di kawasan perlindungan ini dengan melakukan pengunduhan telur penyu yang seharusnya dijaga. Bahkan disinyalir adanya keterlibatan oknum-oknum penjaga hutan. Dengan alasan, untuk dana operasional pengamanan kawasan. Karena tidak ada dana khusus untuk pelestarian penyu. Sejumlah oknum tidak bertanggungjawab itu pun telah ditindak oleh instansinya.

Dan selama ini, patut diketahui masyarakat bahwa telur penyu yang beredar dipasaran, baik di Sukabumi maupun sekitarnya bukanlah hasil dari penangkaran penyu ! Melainkan berasal dari pengambilan telur langsung dari sarang alaminya. Karena sampai saat ini, belum ada upaya dan usaha penangkaran penyu yang berhasil, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Antara dua kawasan pendaratan penyu yang terkenal di Sukabumi itu yakni Pantai Pangumbahan dan Kawasan SM Cikepuh itu hanya dibatasi Sungai Cipanarikan yang lebarnya hanya beberapa meter saja. Kenapa harus terpisah, itulah pertanyaan yang selalu mengiang-ngiang dalam hati nurani sejumlah kalangan. Padahal secara ekologis, kedua kawasan tersebut sama, tidak ada perbedaan yang sangat menyolok. Mungkin saja puluhan tahun lalu, terpisahnya pengelolaan kawasan yang sama-sama mengelola satwa langka sisa peninggalan jaman purba itu disinyalir hanya karena kepentingan sesaat saja sejumlah kalangan. Padahal pada era akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an, pemerintah pusat merencanakan menjadikan kawasan sepanjang pantai pendaratan dan peneluran penyu sebagai kawasan konservasi. Antara batas SM Cikepuh hingga Pantai Ujung Genteng itu dijadikan Suaka Margasatwa Laut Pangumbahan. Berarti, pemerintah pusat saat itu telah punya niatan sangat baik dalam upaya penyelamatan penyu, kendatipun saat itu khusus Penyu hijau (Chelonia mydas) belum dilindungi. Namun, nampaknya upaya tersebut mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan yang berkepentingan. Hingga akhirnya, rencana tersebut nampaknya gagal di pertengahan jalan. Dan kini, kelangsungan hidup penyu-penyu Sukabumi itu diambang kepunahan, diantaranya akibat adanya pengunduhan telurnya. Menurut para ahli, pada lingkungan normal, hanya 1 (satu) dari 1.000 (seribu) telur penyu yang bisa hidup hingga dewasa atau mencapai usia lebih dari 30 tahunan dan kembali bisa bertelur. Hal tersebut terjadi, akibat ancaman dari predator alami di laut samudera, itu belum termasuk ancaman dari manusia. Bila, manusia ikut-ikutan mengkonsumsi telurnya, tentu penyu-penyu di Sukabumi itu akan berada pada posisi diambang kepunahan. Dan generasi mendatang hanya akan mendengar dari kisah-kisah atau dongeng-dongeng saja, atau berupa gambar dan foto serta patung-patung atau hanya sketsa pada logo Pemkab Sukabumi.

F. DAFTAR PUSTAKA a. Undang-Undang No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya alam Hayati Dan Ekosistemnya b. PP No 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa c. Peraturan darah kabupaten sukabumi no 2 tahun 2001 tenang pajak sarang burung wallet, telur penyu dan rumput laut (yang sudah dibatalkan dengan keputusan mnteri dalam negeri no 92 tahun 2005) d. Peraturan daerah kabupaten sukabumi No 16 tahun 2005 tentang Pelestarian penyu di kabupaten sukabumi.

Anda mungkin juga menyukai