Anda di halaman 1dari 6

Dear all, Jika Anda termasuk umat Islam yang menganggap bahwa Amerika itu negara iblis laknatullah,

bersiap-siaplah untuk berbeda pendapat dengan Ustad Syamsi Ali. Siapa Syamsi Ali? Syamsi Ali adalah imam asal Bulukumba yang menjadi jurubicara Muslim di Amerika Serikat. Ia adalah penyiar Islam di negara adidaya yang sekarang sedang berperang melawan terorisme, yang celakanya sering dikait-kaitkan dengan Islam. Syiar Islam dan dakwah Ustadz Syamsi Ali (40), tidak terbatas kepada jemaah warga Indonesia saja, melainkan juga Muslim Amerika. Khususnya di New York dan Washington DC. Selain sebagai imam pada Islamic Center, masjid terbesar di New York, Syamsi Ali juga dipercaya menjadi Direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan, seperti Bangladesh, Pakistan dan India. Di Indonesia Syamsi Ali bahkan punya kolom khusus di Hidayatullah.com http://www.hidayatullah.com/index.php? option=com_content&task=blogcategory&id=82&Itemid=57 Sila baca juga : http://media.isnet.org/isnet/Syamsi/forUSA.html http://www.ntu.edu.sg/home2003/REYH0001/syamsi.htm Apa kata Ustad Syamsi Ali tentang negara Amerika ? Menurutnya Amerika itu negeri yang Islami. Tertarik? Sila baca selanjutnya di http://www.oyr79.com/news/amerika-negeri/ Salam Satria

Amerika Negeri Islami?

Indonesia harus bangga memiliki Syamsi Ali, imam asal Bulukumba yang menjadi jurubicara Muslim di Amerika Serikat. Ia adalah penyiar Islam di negara adidaya yang sekarang sedang berperang melawan terorisme, yang celakanya sering dikait-kaitkan dengan Islam.Syiar Islam dan dakwah Ustadz Syamsi Ali (40), tidak terbatas kepada jemaah warga Indonesia saja, melainkan juga Muslim Amerika. Khususnya di New York dan Washington DC. Selain sebagai imam pada Islamic Center, masjid terbesar di New York, Syamsi Ali juga dipercaya menjadi Direktur Jamaica Muslim Center, sebuah yayasan dan masjid di kawasan timur New York yang dikelola komunitas Muslim asal Asia Selatan, seperti Bangladesh, Pakistan dan India. Syamsi berasal dari sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan. Kepintarannya berdakwah sudah tampak sejak menjadi santri di pondok pesantren Bulukumba. Ia pergi ke Arab Saudi untuk memperdalam ilmu agama dan ke Pakistan untuk belajar ilmu dunia, sebelum menjadi lokal staf di Perwakilan Tetap RI di New York. Ia mengharumkan citra Islam Indonesia yang moderat dengan pandangan dan aktivitasnya di berbagai forum internasional. Misalnya saja ia pernah tampil berdakwah di mimbar A Prayer for America di Stadion Yankee, kota New York, 23 September 2004. Sekitar 50 ribu orang memadati stadion itu. Tua-muda, lelaki dan perempuan, kulit putih dan kulit hitam, dan pelbagai ras dan bangsa di Amerika tumplek blek di situ. Di panggung, hadir ratu acara bincang-bincang televisi Oprah Winfrey, mantan Presiden Bill Clinton, senator Hillary Clinton, Gubernur Negara Bagian New York George Pataki, Wali Kota New York Rudolph Giuliani, artis Bette Midler dan penyanyi country Lee Greenwood. Di New York, statistik menunjukkan terdapat lebih 800.000 kaum Muslimin. Di podium, Syamsi membacakan dan mengupas surat Al-Hujurat ayat 13 yang intinya bercerita tentang asal-usul manusia yang dijadikan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Tidak ada bangsa yang paling tinggi derajatnya, karena yang termulia adalah yang paling bertakwa. Dengan mengurai makna ayat itu, Syamsi ingin menceritakan kepada publik Amerika bahwa Islam adalah agama yang mengakui persaudaraan umat manusia. Islam tak membenci umat lain. Justru Islam datang untuk mengangkat derajat semua manusia, kata Syamsi Ali, berusaha mengurangi kebencian sebagian warga Amerika terhadap Islam pasca serangan teroris 11 September 2001. Sejak peristiwa itu, semakin banyak orang di Amerika Serikat yang ingin tahu lebih mendalam mengenai Islam. Inilah tugas kami untuk memberi penjelasan sebenarnya tentang Islam yang rahmatan lil alamin, katanya. Amerika negara Islami?

Ustadz Ali juga punya kebiasaan menulis kegiatan dakwahnya di mailinng list. Tanggal 22 Oktober lalu, misalnya, ia berkisah tentang pengalamannya menjadi pembicara bersama Rabbi Marc Shneier dari East New York Synagogue dalam acara Dialog Muslim-Yahudi: Tantangan dan Peluang Hubungan di Masa Depan. Acara yang dihadiri lebih dari 400-an mahasiswa dan professor Universitas New York (NYU) itu, menurut Syamsi Ali, berjalan hangat dan seru. Moderator diskusi, Joel Cohen, mantan jaksa dan penulis buku Moses and Jesus in Dialogue bertanya mengenai bagaimana Syamsi Ali menyikapi jika suatu ketika ada Muslim, yang dalam bahasa Cohen a Mullah, ingin mendirikan negara Islam di Amerika. Jawaban Syamsi Ali mengejutkan peserta. Banyak di antara mereka geleng-geleng kepala. Syamsi menegaskan bahwa syariat phobia yang masih menggeluti kebanyakan warga Amerika seharusnya dikurangi. Amerika, dalam banyak hal lebih pantas untuk dikatakan negara Islam ketimbang banyak negara yang diakui sebagai negara Islam saat ini, ujar Syamsi Ali. Amerika, katanya, telah lebih banyak menegakkan syariat Islam ketimbang negaranegara yang mengaku mengusung syariat. Untuk itu, seorang Muslim yang paham tentang konsep masyarakat dalam Islam, tidak akan pernah mempermasalahkan itu lagi. Sebaliknya, non-Muslim juga seharusnya tidak perlu over worried mengenai hal tersebut. Dalam pandangan Syamsi Ali, syariat adalah landasan hidup seorang Muslim. Berislam tanpa bersyariat adalah sesuatu yang mustahil. Hukum-hukum yang mengatur kehidupan seorang Muslim, mulai dari masalah-masalah keimanan, ritual, hingga kepada masalahmasalah mu`amalat (hubungan antar makhluk) masuk dalam kategori syariah. Untuk itu, memutuskan hubungan antara kehidupan seorang Muslim dengan syariat sama dengan memisahkan antara daging dan darahnya. Amerika yang didirikan di atas asas kebebasan, kesetaraan dan keadilan untuk semua, sesungguhnya didirikan di atas asas nilai-nilai dasar Islam. Islam juga didasarkan kepada nilai-nilai kebebasan (al-hurriyah) , keadilan (al `adaalah) dan persamaan (al musawah). Atas dasar itu, Syamsi Ali dengan keyakinan penuh menegaskan bahwa kehadiran Islam di Amerika adalah ibarat benih subur yang terjatuh di atas lahan yang subur. Dia akan tumbuh dengan baik dan subur karena memang lahan yang ditempatinya sesuai dengan kebutuhan benih tanaman ini. Kelak, lanjut Syamsi, tanaman ini pasti akan dirasakan karena memang manusia yang mendiaminya telah lama marasakan kehausan untuk itu.

Di mana-mana dan dalam acara apapun, seperti dikemukakan sesepuh warga Indonesia di New York Achyar Hanif, Syamsi Ali selalu mengatakan kehadiran umat Islam di Amerika itu tidak perlu dikhawatirkan, tapi sebaliknya harus disyukuri. Umat Islam akan memberikan sumbangsih yang besar untuk menampakkan ke seluruh penjuru dunia bahwa tanah Amerika memang subur untuk menanamkan nilai-nilai Syaria`h yang universal itu. Amerika bukan musuh, tapi Amerika adalah lahan subur untuk Islam. Inilah pesan yang selalu disampaikan Ustadz Syamsi dalam berbegai kesempatan, kata Achyar Hanif yang tahun ini kembali berangkat haji dari kota New York. Pada 5 Nopember 2007 lalu, Syamsi Ali juga tampil dalam acara talk show televisi Face to Face, Faith to Faith. Acara yang dimoderatori oleh Ketie Couric, pembawa acara televisi AS yang masyhur itu, menampilkan tiga panelis, Rabbi Rubin Stein, Senior Rabbi pada Central Synagogue, Rev. Michael Lindvall, Senior Pastor The Brick Church dan Syamsi Ali. Lebih 500 tamu yang hadir memenuhi ruangan Gotham building di Broadway yang terkenal rela membayar mahal. Meja utama dijual dengan harga 50.000 dolar AS per meja dengan kapasitas delapan orang. Ketie Couric sebelum memulai acara dialogu malam itu mengatakan dirinya sudah mempelajari semua agama, seperti Kristen, Yahudi dan Islam. Makin dalam ia mempelajari agama-agama itu, makin dalam pula penyesalan dirinya karena telah salah persepsi terhadap agama, khususnya Islam. Mulai saat itu, Ketie bersumpah untuk lebih menghargai dan menghormati Islam dan kaum Muslimin. Syamsi sendiri mengaku acara itu sangat membanggakannya. Selain karena pujian terhadap agama Islam begitu besar di saat media kurang bersahabat dan masih luasnya salah paham terhadapnya, juga karena Ia telah menyampaikan agama ini secara lugas dan apa adanya. Banyak di antara warga AS yang pernah mendengarkan syiar Islam Syamsi Ali berkunjung ke Islamic Center yang dipimpinnya. Sebagian ingin mempelajari lebih dalam lagi masalah Islam, sebagian lagi malah langsung ingin di-Islam-kan. Penulis: Akhmad Kusaeni Antara
Saya sering mendengar yang seperti ini. Sangat sulit membuktikan konspirasi di balik berbagai kebijakan yang merugikan dunia Islam itu. Kadangkala dibumbui dengan keterlibatan zionisme Internasional. Padahal, faktanya, kerugian tidak hanya dialami oleh Islam. Malah justru rakyat Amerika, Eropa & bahkan Israel sendiri merasa juga dirugikan. Karena secara langsung mereka inilah yang akan menanggung resiko. Lihat bagaimana protes rakyat Amerika terhadap kebijakan di Irak yang sudah jelas-jelas terbukti salah? Lihat juga bagaimana kemudian Israel juga menentang invasi, karena secara langsung ancaman terhadap mereka meningkat drastis, padahal tidak melakukan apa-apa. Belum lagi cost of life.

Mereka menyadari, bahwa perang melawan teroris itu hanya jargon politik yang digunakan untuk justifikasi kepentingan ekonomi di balik itu. Ujung-ujungnya tetap saja duit. Kenapa Amerika mendukung Israel habis-habisan? Karena dengan demikian mereka, dengan cara yang absurd, akibat instabilitas permanen maka semua kepentingan minyak di Middle East akan selalu tergantung pada Amerika ditengah chaos (yang tetap dikendalikan Amerika) itu, Amerika, tepatnya para penguasa bisnis minyak dan gas serta senjata, mendapat keuntungan terbesar & kekuasaan tidak terlihat pada dunia. Siapakah yang tidak tergoda dengan itu? Barangkali, memang benar sejumlah tokoh Yahudi atau ultranasionalis kristen ada di belakang kebijakan ini, tetapi motif utama mereka, dorongan terbesar adalah ekonomi, duit, minyak, kekuasaan. Bukan new crusade apalagi segala remeh temeh mengenai kuil dan tanah suci yang bagi mereka hanyalah sejarah yang konyol. Tetapi, apabila keyakinan itu bisa dijual demi untuk mendapat dukungan bagi misi ekonomi mereka, mengapa tidak? Maka dieksploitasilah isu religius itu. Letak gombalnya hanya satu: kita kok termakan isu itu sehingga kita saling bunuh dan para 'untouchable' itu tertawa senang. Karena sembari kita menumpahkan darah, mereka mengeruk minyak kita dan sumberdaya lainnya. Apalagi karena mereka juga yang memasok semua hal yang kita butuhkan untuk slaing bunuh itu (termasuk senjata, terorisme, kontra intelejen dsb.) maka sebagian dari kita justru menyebut mereka itu pahlawan. Ironis. Mereka ini melakukan itu dimana pun, bukan hanya di Middle East atau dunia muslim saja. Mungkin khusus untuk dunia Islam, Kristen dan Yahudi ini menjadi melodramatis karena romantisme crusade masih hidup dan sengaja dipelihara turun temurun di tengah masyarakat itu sehingga menjadi tradisi. Para untouchable menyadarinya dan tahu betul bagaimana cara memperuncing friksi sehingga menjadi konflik. Ingat tokoh Sengkuni dalam kisah Mahabarata, bedanya, Sengkuni hanya gila kuasa. Itu saja sudah menimbulkan kehancuran dan tragedi dua bangsa yang sesungguhnya bersaudara. Coba bayangkan, bahwa para untouchable ini bukan hanya gila kekuasaan namun juga gila harta. Kombinasi yang mengerikan. Tetapi coba lihat keserakahan serupa yang ditampilkan hingga memicu konflik terbuka di panggung lain, misalnya wilayah Amerika Selatan yang sepenuhnya didominasi Katholik. Romantisme yang mengemuka adalah justru adalah protestan vs katholik. Atau isu Spanyol vs Portugis, atau Inggris vs Perancis. Di sana terorisme juga terjadi, gak ada hubungannya sama Islam. Hanya ada satu benang merah yang sama, yaitu keserakahan imperium oil & gas & perdagangan senjata. Demikian juga isu global warming. Ujung-ujungnya adalah para penguasa minyak itu yang menentukan. Alasan isu pengembangan industri, proteksi teknologi dsb hanyalah 'efek samping' yang bisa ditolerir dan dikendalikan, bahkan disuap, sebagaimana isu terorisme. Jadi kesimpulan keserakahan kapital itu sumbernya. Bukan karena alasan religius. Sederhana saja, kalau memang alasannya religius maka mustahil mereka bisa setamak itu :) Dalam hal ini sebenarnya sama persis dengan jaman crusade dulu benarkah alasannya religius? Membebaskan holy land? Faktanya, para ahli sejarah dan politik membuktikan bahwa crusade dilandasi oleh konspirasi gereja dan kerajaan untuk tujuan ekonomi, menguasai sumber daya alam yang dibutuhkan dunia barat yang terus berkembang. Itulah alasan utama kenapa terjadi imperialisme pada dunia timur sejak abad pertengahan. Karena pihak gereja ketika itu juga mendapatkan keuntungan dari imperialisme (gold and glory) maka mereka kemudian tidak segan-segan menambahkan alasan religius untuk memperkuat misi ekonomi kaum kerajaan. Karena itu semboyannya

berubah menjadi gold, glory and god. Demi untuk mendapatkan dukungan luas dari masyarakat yang religius, maka perang suci (holy war) itu memang sengaja dikobarkan, sehingga terjadilah crusade dan romantisme ini terus diturunkan. Satu hal yang perlu kita sadari, akar dari holy war itu ternyata bukan alasan religius, melainkan alasan keserakahan dan kekuasaan. Hanya saja, sudah amat banyak kelompok yang terjebak, terlibat di tengah, sehingga bagi mereka akan seolah perbedaan keyakinan adalah satu-satunya alasan. Padahal tidak begitu. Para pemuka agama dan ajaran di dalamnya pun mengatakan bahwa keserakahanlah yang menyebabkan tragedi ini. Sebab, agama itu sendiri semuanya berkaitan dan satu sama lain menentang bahkan mengutuk pertikaian. Demikian, wallahualam. -Regards, Pataka

Anda mungkin juga menyukai