Anda di halaman 1dari 5

SPERMATOGENESIS Pada mulanya, diwaktu masih dalam kandungan, sel-sel germinal primordial tampak pada tingkat perkembangan yang

dini di antara sel endoderm di dinding kantung kuning telur di dekat allantois. Kemudian pada minggu ke-3 masa janin, mereka akan bermigrasi ke rigi urogenital yang saat itu tumbuh di daerah lumbal. Semenjak dari dalam kandungan sampai masa pubertas nanti, sel-sel germinal primordial ini akan mengalami fase istirahat, sampai suatu saat ketika lumen tubulus seminiferus telah sempurna dibentuk pada pubertas, mereka akan berdiferensiasi menjadi spermatogonia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa, spermatogonia itu berasal dari sel-sel germinal primordial tersebut (Sadler, 2007). Spermatogonia tipe A adalah spermatogonia awal yang dibentuk. Seiring perkembangan ilmu pengetahuan, saat ini diketahui bahwa spermatogonia tipe A ini akan mengalami serangkaian fase pembelahan secara mitosis, dan akhirnya membentuk spermatogonia tipe B. Spermatogonia tipe B ini kemudian yang akan bergerak ke lumen, termodifikasi dan membesar membentuk spermatosit primer. Spermatosit primer nantinya akan semakin ke arah lumen sambil membelah secara miosis menjadi spermatosit sekunder. Pada fase miosis pertama ini (atau miosis I), proses yang berlangsung cukup lama adalah pada tahap profase I, yakni sekitar 22 hari. Sedangkan proses selanjutnya yakni metafase, anafase dan telofase berlangsung dengan cepat (Sadler, 2007). Setelah terbentuk spermatosit sekunder, alamiahnya ia akan langsung membelah kembali secara miosis (atau miosis II) menjadi spermatid. (Inilah mengapa secara histologis sel spermatosit sekunder jarang ditemukan dalam preparat histologi). Spermatid yang dihasilkan sekarang telah haploid, atau memiliki setengah dari kromosom induknya (spermatosit primer) (Sadler, 2007). Langkah selanjutnya adalah tahap dimana spermatid berdiferensiasi menjadi spermatozoa. Proses ini secara keseluruhan dikenal dengan spermiogenesis. Spermiogenesis terdiri dari empat tahapan: 1. Pembentukan akrosom, yaitu pelindung kepala sperma yang menutupi separoh permukaan nukleus sperma dan berisi enzim-enzim yang diperlukan untuk menembus lapisan-lapisan sel telur pada saat fertilisasi. (contohnya, enzim hyaluronidase dan proteolitik). 2. pemadatan inti/kondensasi nukleus. 3. pembentukan leher, badan tengah dan ekor dari sperma

4. penglepasan sitoplasma yang tersisa menjadi bahan residu yang kemudian difagosit oleh sel sertoli. Hasil akhir dari spermatogensis adalah spermatozoa yang haploid (n), dimana 1 spermatosit primer menghasilkan 4 spermatozoa. Proses ini berlangsung di dalam testis lebih kurang selama 64 hari, dimana sebenarnya spermatozoa yang terbentuk adalah sekitar 300 juta sel spermatoza baru setiap hari (Sadler, 2007).

AKUT SKROTUM + ETIOLOGI Akut skrotum merupakan suatu keadaan timbulnya gejala nyeri dan bengkak pada skrotum beserta isinya yang bersifat mendadak dan disertai gejala lokal dan sistemik (avusoglu, 2005). Gejala nyeri ini dapat semakin menghebat atau malah hilang perlahan-lahan seiring dengan berjalannya waktu. Gejala nyeri pada skrotum yang menetap, semakin menghebat, dan disertai dengan mual dan muntah merupakan keadaan darurat yang memerlukan penanganan medis secepatnya (Swierzwieski, 2007).

Beberapa hal yang dapat menimbulkan akut skrotum seperti proses infeksi, non infeksi, trauma, dan berbagai macam benjolan yang dapat menimbulkan ketidaknyamanan (Swierzwieski, 2007). Proses infeksi yang sering menimbulkan keluhan akut skrotum adalah epididimitis. Menurut laporan jurnal di Amerika, epididimitis merupakan keluhan kelima terbanyak di bidang urologi yang dikeluhkan oleh laki-laki berusia 18-50 tahun dan 70% menjadi penyebab keluhan nyeri akut pada skrotum. Sekitar 40% epididimitis terbanyak terjadi pada laki-laki usia 20-39 tahun dan sekitar 29% terjadi pada laki-laki usia 40-59 tahun. Epididimitis jarang terjadi pada anak-anak prepubertas (Sabanegh, 2008).

Proses non infeksi yang sering menimbulkan keluhan nyeri akut pada skrotum adalah torsio testis. Torsio testis merupakan salah satu kegawatdaruratan di bidang urologi karena torsio testis menyebabkan strangulasi pada aliran darah testis sehingga dapat berakhir dengan nekrosis dan atrofi testis. Angka kejadian torsio testis adalah 1 dari 160 orang remaja laki-

laki dan 1 dari 4000 orang laki-laki berusia kurang dari 25 tahun. Dua pertiga kasus terjadi pada rentang usia 12 18 tahun.6 Keadaan ini harus dibedakan dengan keluhan nyeri akut pada skrotum lainnya karena keterlambatan diagnosis dan penanganan akan menyebabkan hilangnya testis dan skrotum. Berdasarkan penelitian, torsio testis dapat diselamatkan 100% bila ditangani kurang dari 6 jam sejak terjadinya nyeri, hanya 20% yang dapat diselamatkan bila penanganan torsio dilakukan sesudah 12 jam, dan 0% testis yang dapat bertahan bila ditangani sesudah 24 jam sejak timbulnya nyeri . Faktor lain yang dapat menimbulkan keluhan nyeri akut pada skrotum adalah trauma. Jumlah trauma pada skrotum yang murni berdiri sendiri yang terjadi di Amerika hanya sekitar 1%. Rentang usia berkisar antara 10-30 tahun. Testis kanan lebih sering terkena trauma dibandingkan dengan testis kiri karena kemungkinan besar dapat terbentur saat mengenai os pubis (Deurdulian, 2007).

Hernia inguinalis inkarserata sebagai salah satu diagnosa banding dari nyeri akut pada skrotum banyak dikeluhkan oleh laki-laki. Hernia inguinalis yang sering mengalami inkarserta adalah hernia inguinalis lateralis dan 75% lebih sering terjadi pada laki-laki.

Penyebab tersering dari timbulnya akut skrotum adalah (Swierzwieski, 2007):

Infeksi, seperti epididimitis, epididimoorchitis, orchitis, dll Trauma, seperti saat berolahraga, bersepeda, dll Torsio, seperti torsio testis, torsio appendiks testikularis Penyebab lain yang jarang menimbulkan akut skrotum adalah :2

Tumor testis Hernia inguinalis inkarserata

Kerusakan Nervus Pudendus (bicycle seat neuropathy), akibat lomba balap sepeda, lomba pacu kuda, konstipasi berkepanjangan, dll Tindakan Pembedahan, seperti pada post operasi hernia, post operasi vasektomi Batu Ginjal Benjolan yang disertai dengan rasa tidak nyaman, berupa hidrokel, varikokel, spermatokel, dll. Ereksi yang berkepanjangan

FAKTOR RESIKO TORSIO Adanya kelainan system penyanggah testis menyebabkan testis dapat mengalami torsio jika bergerak secara berlebihan. Beberapa keadaan yang menyebabkan pergerakan yang berlebihan itu, antara lain adalah perubahan suhu yang mendadak (seperti pada saat berenang), ketakutan, latihan yang berlebihan, batuk, celana yang terlalu ketat, defekasi, atau trauma yang mengenai skrotum (Purnomo, 2000). Faktor predisposis lain terjadinya torsio meliputi peningkatan volume testis (sering dihubungkan dengan pubertas), tumor testis, testis yang terletak horisontal, riwayat kriptorkismus, dan pada keadaan dimana spermatic cord intrascrotal yang panjang (Ringdahl & Teague, 2006). Trauma dapat menjadi faktor penyebab pada sekitar 50% pasien, torsio timbul ketika seseorang sedang tidur karena spasme otot kremaster. Kontraksi otot ini karena testis kiri berputar berlawanan dengan arah jarum jam dan testis kanan berputar searah dengan jarum jam. Aliran darah terhenti, dan terbentuk edema. Kedua keadaan tersebut menyebabkan iskemia testis (Wilson & Hillegas, 2006). Pada akhirnya, testis akan mengalami nekrosis (Purnomo, 2000).

avusoglu, Yusuf Hakan. 2005. Acute scrotum : Etiology and Management. Ind J Pediatrics;72(3):201-4

Swierzwieski, Stanley J. 2007. Testicular pain/Scrotal Pain. http://www.urologychannel.com Sabanegh, Edmund S. 2008. Epididymitis. http://www.emedicine.com Deurdulian, Corinne, et al. 2007. US Acute Scrotal Trauma: Optimal Technique, Imaging, Findings and Management, Radiographics. http://radiographics.rsna.org/content/27/2/357.full?ck=nck Basuki, Purnomo. (2000). Dasar-Dasar Urologi. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI, Katalog Dalam Terbitan (KTD) Ringdahl.E. Teague.L. 2006. Testicular Torsion. American Family Physician Journal. Wilson, Lorraine M. Hillegas, Kathleen B. 2006. Gangguan Sistem Reproduksi Laki-Laki dalam Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC. Sadler, TW. 2007. Langmans Medical Embryology, 8th Edition. Montana:Williams & Wilkins.

Anda mungkin juga menyukai