Kode DNA Risiko Bencana Memiliki Dua Pilar Utama: Mengapa Kerentanan Penting!
Respon Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) terhadap Draft Panduan Analisis/Assessment Risiko Bencana di Indonesia
Disclaimer: This final version is the result of Indonesian CSO Consultation Meeting on Position Paper Concerning National Guidelines for Disaster Risk Assessment of BNPB in Bali, Indonesia on 4-6 January 2008. Significant contribution from the participants i.e.: CIS Timor, Disaster-Research-Education-and-Management (DREAM) UPN Jogjakarta, Flores Institute for Resource Management (FIRD), IDEA Jogjakarta, Forum Parlamen NTT, Humanitarian Forum Indonesia, IDEP Foundation - Bali, Jambata Foundation Central Sulawesi, Kappala East Java, Journal Celebes South Sulawesi, KIPRA West Papua, MPBI (Indonesian Society for Disaster Management) - Jakarta, PMPB Kupang, Prodelaat Institute Aceh, Oxfam GB Indonesia, Rifka Anissa Jogjakarta, Walhi Jogja, Walhi Aceh, Yayasan Kelola North Sulawesi, , YBAW Wamena. The editor would like to thank Ben Wisner, Ilan Kelman, Kat Haynes, Puji Pujiono, Kharisma Nugroho, Sebastian Saragih, Ninil RMJ, Edward Turvill, Inosentius Samsul, Silvia Fanggidae, Retno Winahyu and Yulia Immajati for their valuable comments and inputs for the improvement of the position paper. Special thanks to Ben Wisner and Kat Haynes to make this paper more readable in English and many thanks to Patris Usfomeny and Djoni Ferdiwijaya for making the Bahasa version better tasted. However, all the mistakes may appear in this paper are those of the editor.
Daftar Isi
Daftar Isi .....................................................................................................2 Ringkasan Eksekutif ...................................................................................3 1. Pendahuluan............................................................................................7 2. Kredibilitas OMS dalam Analisis Risiko Bencana di Indonesia............9 3. Analisis GAP PN-ARB.........................................................................10 4. PN-ARB, Otonomi dan BNPB .............................................................12 5. Kode DNA Risiko Bencana..................................................................13 6. Catatan Penutup ....................................................................................17 7. Rekomendasi OMS Indonesia ..............................................................19 8. Bibliography .........................................................................................20 Daftar Draft Panduan/Modul ....................................................................23 Aneks 1. Daftar Model Analisis Risiko Bencana .....................................24 Catatan Akhir ............................................................................................25
Ringkasan Eksekutif
Indonesia adalah negara yang secara geografis kerap (baca: prone) terkena banyak kejadian alam yang berpotensi merugikan seperti tsunami sepanjang 5000km pantai, gempa, ratusan gunungapi, hotspot longsor, siklon dan banjir. Risiko bencana di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam rentang waktu lima tahun terakhir, Indonesia paling sedikit mengalami kerugian 14 miliar dolar US, lebih dari 175,000 orang meninggal dan lebih dari dua juta penduduk terkena dampak langsung. Angka ini, hanya memperhitungkan top 10 kejadian bencana sejak 2004. Yang patut disyukuri adalah bahwa Indonesia sudah mengalami kemajuan besar, dengan Undang-Undang dan regulasi baru tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB). Momentum baru tersebut datang dari lahirnya UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB), yang kemudian diikuti dengan berbagai peraturan setingkat seperti UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang serta berbagai aturan pelaksananya, seperti aturan tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 8/2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Indonesia juga telah membuat komitment penuh untuk melaksanakan Rencana Kerangka Aksi Hyogo (HFA), yakni blue print internasional untuk PRB dalam jangka 2005-2015, yang disepakati bersama 168 di Januari 2005. Komitmen pertama adalah Memastikan bahwa PRB adalah agenda utama nasional dan lokal, yang ditopang oleh dasar kelembagaan yang kuat. Di tingkat nasional, hal ini dibuktikan dengan UU 24/2007, yang kemudian menjadi dasar dibuatnya hukum dan aturan PRB yang lebih rendah. Lahirnya BNPB sebagai lembaga eksekutif di nasional juga menjadi indikator dasar kelembagaan yang kuat bagi implementasi PRB. Dalam konteks ini, BNPB dengan dukungan UNDP Safer Communities for Disaster Risk Reduction (SC-DRR), merekrut tujuh orang pakar ilmu alam/fisik dan engineering untuk menyusun draft Panduan Nasional Analisis Risiko Bencana (PN-ARB) terkait tujuh jenis ancaman, yakni gempabumi, tsunami, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Jelas bahwa ketujuh panduan tersebut dianggap vital dan penting karena akan digunakan oleh 410 kabupaten dan 33 propinsi di Indonesia.
Singkatnya, organisasi masyarakat sipil (OMS) Indonesia melihat, draft PN-ARB yang dikembangkan hanya memperhitungkan pentingnya analisis ancaman (hazard analysis) tanpa secara memadai memperhitungkan pentingnya assessment kerentanan sebagai bagian integral dari analisis risiko (risk assessment). Kertas ini menghargai upaya melakukan analisis ancaman, dan menganggapnya vital, tetapi, dengan argumentasi yang serius bahwa analisis atau assessment risiko bencana tanpa memperhitungkan analisis kerentanan akan mengantarkan proses reformasi penanggulangan bencana di Indonesia tidak berjalan efektif serta tidak berkelanjutan berujung pada status quo dan transformasi yang tidak kunjung datang. Secara kolektif, hasil pertemuan inisiatif OMS Indonesia di Bali menilai secara kritis tujuh draft PN-ARB yang dibuat akhir 2008, berkesimpulan bahwa terdapat beberapa celah yang perlu diselesaikan. Pertama, Diam Soal Kerentanan. Di tengah penerimaan yang luas atas kerentanan sebagai suatu konsep yang penting, yang diakui terutama oleh berbagai komunitas yang melakukan penelitian tentang bencana; kondisi yang sebaliknya justru terjadi pada hasil draft PN-ARB yang dibuat BNPB. Mayoritas modul draft panduan penilaian risiko bencana tidak menampilkan kerentanan sebagai faktor prinsipil yang berkontribusi pada risiko bencana ketika suatu ancaman alam (natural hazard) terjadi. Draft PN-ARB tersebut tidak bersifat people centre. Kedua, bahwa BNPB/SC DRR telah memperhitungkan multi-ancaman namun secara objektif mengabaikan pendekatan berbasis multi-kerentanan. Draft PN-ARB dimaksud dapat dikatakan gagal memperhitungkan kerentanan yang ragam dalam bentuk sosial (gender, umur, pendidikan, disability), ekonomi (akses atas sumberdaya, pasar, kredit, aset penghidupan) dan politik (akses pada pembuatan keputusan/kebijakan dan partisipasi). kerentanan. Ketiga, berpotensi membuat distorsi pada kebijakan dan pengambilan keputusan. Panduan-panduan tersebut pada dirinya sendiri adalah sebuah orientasi kebijakan yang membentuk pengambilan keputusan tetapi juga sekumpulan alat yang akan dipakai sebagai basis analisis risiko dalam keseharian di tingkatan kabupaten dan provinsi. Absennya banyak faktor penting yang menentukan PRB sangat mungkin mendistorsikan proses-proses pengambilan keputusan dan kebijakan PRB yang berbasis analisis risiko. Sungguh, secara obyektif, tidak terlihat spirit pendekatan berbasis multi-
OMS dalam pertemuan Bali 2009 melihat bahwa hal-hal yang terlihat remeh tapi penting adalah bahwa ruang lingkup dan struktur pedoman belum jelas, masih terdapat konflik terminologi & definisi: legal, ilmiah dan praktis, belum ada konsistensi terminologi yang jelas, ketiadaan aspek-aspek vital panduan untuk analisis konteks lokal (governance, struktur administratif, pengetahuan lokal dsb), terkesan terlalu rumit untuk pemerintah daerah, belum memenuhi syarat sebagai panduan, yang dilengkapi dengan prosedur penggunaan dan lebih tepat sebagai buku putih atau naskah akademis. Kertas ini berpendapat bahwa di balik garis patahan fault lines dari berbagai perbedaan sosial seperti gender, umur dan berbagai perbedaan sosial, terletak rahasia dari pola distribusi risiko masa lalu maupun yang akan datang. Pola ini yang seharusnya ditangkap agar PN-ARB memiliki daya prediktif. Pola-pola kerentanan tersebut seharusnya dimasukan dalam metode analisis PN-ARB. Menyadari pentingnya sebuah langkah awal menuju pengurangan risiko bencana di Indonesia, yakni dengan sebuah Panduan Nasional Analisis Risiko Bencana, sebagai dasar perencanaan pengurangan risiko bencana nasional, provinsi dan daerah, yang diperuntukan bagi konteks Indonesia yang sangat ragam dari sisi bahasa, budaya, ras, suku, agama, dan sejumlah perbedaan sosial lainnya, termasuk ragam kerentanan terhadap bencana dan konteks risiko, terasa naif kalau OMS Indonesia merekomendasi pendekatan tunggal dalam analisis risiko bencana. Oleh karena itu, kesepakatan OMS Indonesia dalam pertemuan Bali 2009
merekomendasikan prinsip-prinsip dasar yang fleksibel dimana sebuah panduan pengurangan risiko bencana di Indonesia setidaknya memuat beberapa prinsip dan hal mendasar: yakni menekankan pentingnya pemahaman konteks risiko lokal yang multiancaman tetapi juga multi-kerentanan, kompatibilitas dengan konteks lokal, ada aspek partisipatif dan tanggung gugat, komprehensif, mengandung prinsip-prinsip berkelanjutan (sustainability) dalam artian luas (sosial, ekonomi, budaya, politik, lingkungan) dengan target elemen berisiko (elemen & community at risk) yang jelas, praktis/operasional tanpa kehilangan otoritas ilmiah dalam hal analisis risiko bencana serta selalu ter-update secara reguler. Sebagaimana judul kertas ini bahwa Kode DNA risiko bencana memiliki dua strand yang terjalin yakni kerentanan dan ancaman. Keduanya secara intim terjalin ibarat dua strand protein yang membentuk double helix DNA. Risiko bencana tidak mungkin
dimengerti secara tepat atau diturunkan secara tepat ke dalam kebikakan dan praktek PRB bila kerentanan dan ancaman (hazard) digunakan secara bersama dalam analisis risiko. Konsep ini setidaknya muncul dan menjadi konsensus bagi para pakar manajemen risiko bencana dalam dua dekade terakhir. Karenanya, PN-ARB perlu direvisi, diperbaiki dan praktek asesment/analisis risiko perlu juga direformasi sebagai pelengkap reformasi legislatif dan kelembagaan yang berkaitan dengan bencana.
1. Pendahuluan
Risiko bencana di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun-tahun sebelumnya. Adalah hal yang lumrah baik bagi praktisi maupun akademisi yang bergelut di bidang pengurangan risiko bencana (PRB) bahwa Indonesia adalah negara yang secara geografis kerap (baca: prone) terkena banyak kejadian alam yang berpotensi merugikan seperti tsunami sepanjang 5000km pantai, gempa, ratusan gunungapi, hotspot longsor, siklon dan banjir. Dalam rentang waktu lima tahun terakhir, Indonesia paling sedikit mengalami kerugian 14 miliar dolar US, lebih dari 175,000 orang meninggal dan lebih dari dua juta penduduk terkena dampak langsung. Angka ini, hanya memperhitungkan top 10 alias sepuluh besar kejadian bencana sejak 2004. Berbagai penelitian empirik mengatakan bahwa yang paling banyak mengalami dampak adalah kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan dan orangtua. Yang patut disyukuri, Indonesia sudah mengalami kemajuan besar, dengan UndangUndang dan regulasi baru tentang PRB. Momentum baru tersebut datang dari lahirnya UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana (UUPB), yang kemudian diikuti dengan berbagai peraturan setingkat seperti UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang serta berbagai aturan pelaksananya, seperti aturan tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 8/2008 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21/2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Indonesia juga telah membuat komitmen penuh untuk melaksanakan Rencana Kerangka Aksi Hyogo (HFA), yakni blue print internasional untuk PRBi dalam jangka 2005-2015, yang disepakati bersama 168 negara di Januari 2005. Komitmen pertama adalah memastikan bahwa PRB adalah agenda utama nasional dan lokal, yang ditopang oleh dasar kelembagaan yang kuat. Di tingkat nasional, hal ini dibuktikan dengan UU 24/2007, yang kemudian menjadi dasar dibuatnya hukum dan aturan aturan PRB yang lebih rendah. Lahirnya BNPB sebagai lembaga eksekutif di nasional juga menjadi indikator dasar kelembagaan yang kuat bagi implementasi PRB.
Dalam konteks ini, BNPB dengan dukungan UNDP Safer Communities for Disaster Risk Reduction (SC-DRR), merekrut tujuh orang pakar ilmu alam/fisik dan engineering untuk menyusun draft Panduan Nasional Analisis Risiko Bencana (PN-ARB) terkait tujuh jenis ancaman, yakni gempabumi, tsunami, kekeringan, kebakaran hutan, banjir, tanah longsor dan letusan gunung berapi. Jelas bahwa ketujuh panduan tersebut dianggap vital dan penting karena akan digunakan oleh 410 kabupaten dan 33 propinsi di Indonesia. Karenanya, adalah penting dan strategis bagi BNPB untuk menyelesaikan PN-ARB sebagai standard (benchmark) dari perencanaan nasional PRB yang terinformasikan secara memadai ke publik (well informed). Disayangkan, draft PN-ARB (lihat daftar di Annex 1) yang dikembangkan hanya memperhitungkan pentingnya analisis ancaman (hazard analysis) tanpa secara memadai memperhitungkan pentingnya assessment kerentanan sebagai bagian dari assessment atau analisis risiko (risk assessment). Kertas ini menghargai upaya melakukan analisis ancaman, dan menganggapnya vital, tetapi, dengan argumentasi yang serius bahwa analisis atau assessment risiko bencana tanpa memperhitungkan analisis kerentanan, akan mengantarkan proses reformasi penanggulangan bencana di Indonesia tidak berjalan efektif serta tidak berkelanjutan berujung pada status quo dan transformasi yang tidak kunjung datang. Ketika draft ini dikembangkan, BNPB pada saat yang sama juga melakukan semacam otokritik. BNPB juga telah mengidentifikasi bahwa PN-ARB lebih banyak informasinya tentang hazard analisis tetapi sangat terbatas pada kerentanan, sambil mengakui bahwa adanya berbagai metodologi analisis risiko dari berbagai pihak.ii Karenanya, kertas ini juga membantu BNPB secara singkat dan padat tentang tata letak kelemahan dari pada draft PN-ARB yang mana perlu diperbaiki secara mendasar khususnya mengadopsi kerentanan sebagai bagian dari kajian analisis risiko. Pertanyaan yang sering muncul adalah mengapa organisasisi masyarakat sipil (OMS) Indonesia meresponi pada produk draft, ketika produk final PN-ARB belum diterbitkan secara formal? Jawabannya adalah bahwa masukan terhadap produk final adalah sebuah keterlambatan sikap dan tindakan korektif dan hanya berujung pada tingginya biaya transaksi atas sebuah produk PN-ARB yang berbasis pada masyarakat (people center). Karenanya, masukan konstruktif juga bermakna masukan yang tepat waktu yakni sebelum sebuah produk PN-ARB berkekuatan hukum. 8
Terminologi partisipasi dalam UU PB terlihat dalam 5 bab yakni bab 4, 26, 59, 60 dan 69. Bab 59, 60 dan 69 tentang kebijakan rekonstruksi.
Berdasarkan pengalaman tersebut (baik sebagai users dan fasilitator analisis risiko bencana partisipatif), OMS Indonesia melihat bahwa ada beberapa kelemahan atau gaps dari PN-ARB yang sudah didraft oleh para ahli BNPB.
10
Karena itu, model-model yang ditawarkan untuk menjadi panduan nasional untuk penilaian/analisis risiko, gagal mengadopsi pengetahuan serta hasil riset empiris mutakhir terkait risiko bencana dan analisis risiko bencana. Kedua, multi ancaman: YA, namum multi-kerentanan: TIDAK. Jelas bahwa BNPB/SC DRR telah memperhitungkan multi-ancaman terlihat dari pengetahuan yang diproduksi, ahli yang dipilih, dan produk yang didraft, namun secara obyektif mengabaikan pendekatan berbasis multi-kerentanan. Draft PN-ARB dimaksud dapat dikatakan gagal memperhitungkan kerentanan yang ragam dalam bentuk sosial (gender, umur, pendidikan, disability), ekonomi (akses atas sumberdaya, pasar, kredit, aset penghidupan) dan politik (akses pada pembuatan keputusan/kebijakan dan partisipasi). Sungguh, secara obyektif, tidak terlihat spirit pendekatan berbasis multi-kerentanan. Ketiga, interaksi antar-ancaman. Dokumen draft dimaksud tidak memperlihatkan interaksi antar ancaman yang dapat membuat amplifikasi risiko bencana total. Sebagai misal, interaksi antara gempa, longsor, tsunami, kelaparan dan bahkan banjir bisa saja terjadi dengan sangat kuat. Karenanya, bila draft panduan tersebut tetap dipertahankan dan tidak direvisi secara memadai, tentunya berimplikasi pada reduksi visi atas risiko dari para aktor PRB di kabupaten maupun provinsi. Keempat, berpotensi membuat distorsi pada kebijakan dan pengambilan keputusan. Panduan-panduan tersebut pada dirinya sendiri adalah sebuah orientasi kebijakan yang membentuk pengambilan keputusan, tetapi juga sekumpulan alat yang akan dipakai sebagai basis analisis risiko dalam keseharian di tingkatan kabupaten dan provinsi. Absennya banyak faktor penting yang menentukan PRB sangat mungkin mendistorsikan proses-proses pengambilan keputusan dan kebijakan PRB yang berbasis analisis risiko. Kelima, OMS dalam pertemuan Bali 2009 melihat bahwa hal-hal yang terlihat remeh tapi penting adalah bahwa ruang lingkup dan struktur pedoman belum jelas, masih terdapat konflik terminologi & definisi: legal, ilmiah dan praktis, belum ada konsistensi terminologi yang jelas, ketiadaan aspek-aspek vital panduan untuk analisis konteks lokal (tata pemerintahan (governance), struktur administratif, pengetahuan lokal dsb), terkesan terlalu rumit bagi pemerintah daerah, belum memenuhi syarat
11
sebagai panduan, yang dilengkapi dengan prosedur penggunaan dan lebih tepat sebagai buku putih atau naskah akademis. Kombinasi dari kedua faktor di atas dengan beberapa faktor seperti ketiadaan ilmu sosial dalam tim perumus panduan, ketiadaan pemangku kepentingan (stakeholder) PRB lainnya dalam memberikan input serta gender gap (baik dalam tim maupun analisis) serta tidak diadopsinya panduan dari HFA yang dikeluarkan PBB, membuat hasil PN-ARB tidak sepenuhnya relevan bagi kegiatan PRB yang berkelanjutan. Mengingat kompleksitas sebabnya terjadi bencana di dunia nyata, pemahaman yang memadai tentang proses ARB di Indonesia dapat menjadi kesempatan belajar bagi stakeholder yang lebih luas, termasuk birokrat penggunan PN-ARB, ilmuan, para ahli, profesional, jurnalis dan pembuat kebijakan. Namun bahasa panduan dengan demikian tidak didisain untuk dikomunikasikan secara luas pada para pengguna dan praktisi PRB di tingkat pemerintah daerah dan LSM. Karenanya, PN-ARB perlu direvisi, diperbaiki dan praktek asesment/analisis risiko perlu juga direformasi sebagai pelengkap reformasi legislatif dan kelembagaan yang berkaitan dengan bencana.
12
Yang pasti, tidak semua fungsi terdesentralisasi. Secara teknis, observasi khusus pada aspek teknis perencanaan di daerah menunjukan bahwa panduan nasional (seperti disain kegempaan, petunjuk pelaksanaan beton, peraturan pembebanan angin untuk bangunan serta panduan perencanaan tata kota dan kabupaten, pemerintah pusat masih memegang peran penting.iii Lepas dari kenyataan bahwa spasial planning kerap dilakukan oleh konsultan/kontraktor, namun acuan teknis tetap menggunakan standar nasional. Observasi yang lain menunjukan bahwa produksi pengetahuan bencana belum terdesentralisasi, khususnya dalam jangka pendek ke depan. Produksi pengetahuan risiko bencana juga masih terkonsentrasi pada kota-kota pusat pengetahuan PB (knowledge hubs) seperti Bandung, Jogja dan Jakarta. Dalam penelitian mereka yang baru saja dilakukan, Haynes et. al. 2009 melihat bahwa masih minimnya pemahaman tentang apa itu PRB bagi pemerintah daerah, dimana ini memiliki implikasi serius bagi pengurangan kerentanan komunitas. Karenanya, sangat relevan bagi BNPB untuk melanjutkan tanggung jawab dalam memproduksi panduan yang merefleksikan pengatahuan yang memadai tentang PRB, demi memperkaya praktek analisis risiko bencana baik di propinsi maupun kabupaten.
13
Duapuluh tahun lalu, William Freudenberg mencatat suatu pemisahan yang tidak perlu, ketika penilaian risiko menjadi domain ilmu-ilmu fisika ... dengan para ahli ilmu sosial yang hanya fokus pada manajemen risiko dan komunikasi. Sedangkan dalam kaitan dengan penyingkapan atas klaim akurasi ilmu-ilmu fisik, dia berargumen, input ilmu sosial diperlukan untuk membuat suatu kalkulasi yang lebih akurat atas berbagai konsekuensi risiko serta probabilitas, dan untuk mengidentifikasi berbagai bias yang berpotensi dihasilkan oleh suatu prosedur penilaian risiko tertentu, demikian pula dalam menganalisis dan menjelaskan tentang respons publik atas risiko (Freudenburg 1988:44). Kini, penelitian dan praktek penanggulangan bencana makin fokus pada pengurangan kerentanan sosial dari masyarakat (lihat Wisner 2006, Birkmann 2006, Pelling 2003; Bankoff et al. 2004; Wisner et al. 2004;IPCC 2007; UNISDR 2004). Pemahaman ini datang dari kesadaran bahwa kerentanan terhadap bencana sesungguhnya dihasilkan dari proses-proses sosial, ekonomi dan politik yang memodifikasi cara bagaimana masyarakat mereduksi risiko dari, dan berhadapan (coping) dengan dan respon terhadap ancaman (hazards) secara ragam (Wisner et al. 2004: 7). Sosiologi, geografi, dan studi pembangunan telah mengembangkan konsensus bahwa risiko adalah fungsi dari ancaman alam (natural hazard) dan kerentanan manusia yang terpapar (exposed). Formula yang terkenal adalah Risiko = A x V. Artinya, tidak semua yang terpapar (exposed) ataupun tinggal di daerah yang hazard prone memiliki kerentanan yang sama. Kelompok orang yang berbeda secara kelas, kasta, agama, gender, umur dsb. Kelompok ini masing-masihg memiliki pengetahuan lokal dan juga ketrampilan yang mana memampukan mereka untuk pada tingkatan tertentu, mampu menghadapi kejadian ekstrim. Namun, kondisi atau konteks politik dan ekonomi dapat saja menghalangi atau menurunkan pengetahuan lokal dan keahlian tersebut. Jiga kita menggukanan K sebagai kapasitas menghadapi ancaman, makan rumusannya menjadi R = A x V / K. Demikian pula, dalam tiap kondisi, selalu terdapat tingkat proteksi sosial yang disediakan pemerintah. Bila proteksi sosial ini diwujudkan dalam bentuk mitigasi (M), maka rumusan dapat menjadi R = [AxV/K]M]. Walaupun penulis lain seperti Twigg (2007:6-7) mencoba menjelaskan kerentanan (K) sebagai bagian dari resilience (tahan-kenyal) untuk merepresentasi R = [AxV/K]-M], maka rumusan dasar R = A x V bisa menjadi inti dari rumusan dasar tentang risiko bencana.
14
Karena itu, ancaman dan kerentanan bersatu dalam menciptakan risiko, dan untuk alasan ini, komunitas PRB melihat bencana sebagai konstruksi sosial. Pemahaman ini dikonfirmasi secara sangat banyak oleh ilmuan sosial (lihat i.e. Wisner et. al. 2004, Tierney 1999, 2005, 2007, Lewis et. al. 1976, Westgate 1976). Dalam Engineering and Science, seorang profesor geofisik yang sangat kredibel dari Caltech, Kerry Sieh, seorang ahli Amerika yang mungkin saja dikenal dengan baik oleh para pakar geofisik Indonesia, menulis dengan baik Acts of God, Acts of Man: How Humans Turn Natural Hazards into Disasters (Tindakan-Tindakan Tuhan, Tindakan-Tindakan Manusia: Bagaimana Manusia Mengubah Ancaman Alam Menjadi Bencana). Sieh (2000) yang mencatat beberapa kekeliruan mendasar tentang problem pemanfaatan lahan di daerah patahan dan lalu menyarankan agar kita bisa belajar, dimana sebaiknya membangun jembatan, kampus, rumah, dan pabrik untuk meminimalisir kerusakan pada millennium ketiga. Bagi kaum miskin kota (urban poor) di Indonesia, penggunaan lahan lebih dipengaruhi oleh pilihan-pilihan penghidupan, persepsi tentang keseimbangan antara risiko dan kesempatan, akses atas lahan yang berdekatan dengan kesempatan penghidupan mereka. Sebagaimana Terry Cannon (2008:4) berargumen bahwa penghidupan orang adalah baris pertama pertahanan melawan bencana. Karenanya, kerentanan sama pentingnya dengan lokasi fisik patahan gempa serta berbagai ancaman alam lainnya. Pandangan Sieh soal risiko bencana bukanlah suatu hal baru bagi para ahli ilmu sosial (lihat Tierney 2007). Tiga puluh tahun yang lalu di dalam Nature, Okeefe dkk. yang menyatakan dunia melepaskan sisi alamiah bencana alam telah mengusulkan bahwa bencana menandai persinggungan antara suatu fenomena fisik ekstrim dan populasi manusia yang rentan. Tanpa masyarakat, tidak ada bencana, (OKeefe dkk. 1976:566) tetapi ancaman, bisa saja berupa fenomena fisik murni. Pendapat ini membenarkan pandangan tentang bencana yang telah berusia 250 tahun, ketika Rousseau merespons secara kritis atas peristiwa gempabumi yang berpotensi tsunami di Lisbon bisa disingkat: bahwa alam tidak membangun duapuluh ribu rumah untuk enam hingga tujuh kisah disana (lihat Dynes 2000:106) yang rubuh. Birkman (2007: 21) menulis konsep kerentanan telah secara terus-menerus diperluas ke arah pendekatan yang lebih komprehensif, meliputi kelemahan/kerentanan (susceptibility), peluang terkena dampak ancaman secara fisik (exposure), kapasitas 15
bertahan (coping capacity) dan kapasitas beradaptasi (adaptive capacity), demikian pula beberapa area tematik berbeda, seperti kerentanan fisik, sosial, ekonomi, lingkungan dan kerentanan kelembagaan (Birkmann 2007:21). Spektrum kerentanan tersebut bisa dimulai sebagai suatu faktor risiko internal (intrinsic vulnerability) hingga kerentanan multi dimensi (multi-dimensional vulnerability). Mungkin banyak orang berpendapat bahwa kerentanan hanya bisa dianalisis secara kualitatif, tetapi sebenarnya bisa juga sebaliknya. Schneiderbauer dan Ehrlichs (2006) mengembangkan model, yang memperhitungkan agregat kerentanan (yakni individual, rumah tangga, komunitas administratif, masyarakat budaya, nasional dan regional). Schneiderbauer dan Ehrlich juga lebih lanjut membagi secara lebih detail parameter dan indikator dari setiap unit pada level sosial, ketika mengevaluasi relevansi dari setiap indikator dan parameter berbagai tipe ancaman berbeda. Model kuantitatif lainnya adalah index penanggulangan bencana berbasis masyarakat (community based disaster risk management - CBDRM) (Bolin dan Hidayat), diuji di Kabupaten Sikka dan Kulon Progo, Indonesia. Model ini sebenarnya sederhana, bergantung pada ketersediaan data. Kategori kerentanan dibagi ke dalam empat kategori (yaitu fisik, sosial, ekonomi dan lingkungan) dengan sistem scoring yang didasarkan pada fisik, ekonomi, kemasyarakatan dan manajemen/institusional. Index risiko akan menjadi agregat daripada kategori-kategori kerentanan/kapasitas di atas, dikombinasikan dengan analisis ancaman dan peluang terkena dampak ancaman secara fisik (exposure) (lihat Bollin dan Hidayat 2006). Distribusi risiko kematian yang berbeda secara mencolok antara laki-laki dan perempuan dalam peristiwa Tsunami Aceh 2004, menunjukan secara telak bahwa ada komponen sosial dan non-alam dari risiko bencana. Feltenbiermann (2006) dengan mengutip hasil riset, menunjukan bahwa rasio angka kematian laki-laki dan perempuan adalah 1:3. Sementara sebuah riset yang disponsori Oxfam (2005) di belasan desa terpilih, menunjukan rata-rata 1:5 untuk laki-laki dan perempuan. Rofi & Doocy (2006) dan Doocy dkk. 2007 menunjukan pengalaman Aceh, sedangkan Nishikiori dkk. 2006 mempresentasikan suatu pola kematian di Srilanka berdasarkan gender, dimana semuanya secara jelas menunjukan bagaimana perbedaan gender ikut bermain sebagai salah satu faktor penting yang turut menentukan distribusi risiko tsunami.
16
Mengintegrasikan gender sebagai satu faktor penting yang turut menentukan distribusi risiko, tidak bisa lagi dilihat sebagai suatu opsi melainkan sesuatu yang vital dan bersifat imperatif. Faktor gender, sama sekali tidak diperhitungkan dalam tujuh draft PN-ARB. Usia adalah faktor lain yang signifikan pula untuk diperhtitungkan, yang tidak tercakup di dalam alat-alat penilaian risiko bencana seperti dokumen PN-PRB tersebut. Peek (2008) mencatat beberapa bencana berskala besar, termasuk gempabumi dan tsunami di Samudra Hindia tahun 2004, gempabumi Pakistan 2005, serta badai Katrina tahun 2005, yang menunjukan suatu realitas yang menyedihkan, bahwasanya bencana bisa saja berdampak pada banyak korban belia. Mitchell dkk. (2008) mengungkapkan kembali laporan Tsunami Evaluation Coalition (TEC) yang difokuskan pada kelompok-kelompok paling terkena dampak, yakni anak-anak di bawah 15 tahun dan perempuan (hal. 255). Peek mencatat 17 tipe risiko yang sering dihadapi anak-anak saat bencana (Peek 2008:5). Siapa pun tidak bisa menyepelekan kecenderungan tingkat harapan hidup yang lebih tinggi secara global yang berkontribusi pada besarnya populasi usia lanjut, dan membawa perubahan demografis di antara perubahan iklim global (cermati Geller dan Zenick 2005, Weichselgartner 2008). Selain itu, akan ada lebih banyak jumlah perempuan berusia lanjut dibanding laki-laki (HelpAge 2008).iv Interaksi gender, usia dan kerentanan ekonomi akan berujung pada suatu gambaran risiko yang lebih besar. Namun demikian, ini tidak terlihat di dalam dokumen PN-PRB tersebut yang sedang disusun. Kekuatan prediksi ancaman alam (natural hazard) jadi terkesan lebih mudah ketimbang membuat tools dengan kekuatan prediksi risiko bencana kecuali kerentanan dimengerti dan juga dimasukan dalam PN-PRB (lihat Cannon 2008).
6. Catatan Penutup
Sebagaimana judul kertas ini bahwa Kode DNA risiko bencana memiliki dua strand yang terjalin yakni kerentanan dan ancaman.v Keduanya secara intim terjalin ibarat dua strand protein yang membentuk double helix DNA.vi Risiko bencana tidak
17
mungkin dimengerti secara tepat atau diturunkan secara tepat ke dalam kebikakan dan praktek PRB bila kerentanan dan ancaman (hazard) digunakan secara bersama dalam analisis risiko. Konsep ini setidaknya muncul dan menjadi konsensus bagi para pakar management risiko bencana dalam dua dekade terakhir. (Pelling and Wisner 2009:34) Penilaian risiko tanpa suatu perhitungan yang memadai atas kerentanan yang kompleks, yang membentuk karakter risiko bencana, menegasikan semua bukti-bukti empiris dari berbagai penelitian terdahulu, akan kehilangan peluang dan ketiadaan visi PRB yang berpusat pada masyarakat (people center DRR), tidak ada perbaikan dari kondisi sekarang (business as usual) dan pro status quo dalam upaya pengurangan risiko bencana. Setelah peristiwa Hurricane Katrina yang berdampak pada New Orleans dan the Gulf Coast di Amerika Serikat, Alex de Waal mengamati bahwa impact of human disaster imprinted in social forms.vii (terjemahan: dampak bencana kemanusiaan terbaca dalam bentuk-bentuk sosial. Kertas ini berpendapat bahwa di balik garis patahan fault lines dari berbagai perbedaan sosial seperti gender, umur dan perbedaan social lainnya, terletak rahasia dari pola distribusi risiko masa lalu maupun yang akan datang. Pola ini yang seharusnya ditangkap agar PN-ARB memiliki daya prediktif. Pola-pola kerentanan tersebut seharusnya dimasukan dalam metode analisis PN-ARB. Jika dikelola semestinya, analisis/penilaian risiko bencana bisa saja ditransformasikan sebagai suatu proses pembelajaran bagi semua pemangku kepentingan, termasuk masyarakat berisiko (atau paling tidak lingkaran pakar kritis yang lebih luas, bisa menjadikan hal ini suatu format bagi proses pembelajaran). Karena itu, analisis risiko sendiri sebagai sebuah proses, bisa memainkan peran sebagai transfer pengetahuan akan risiko dan komunikasi/kesadaran pada akhirnya, mengurangi biaya transaksi konvensional komunikasi risiko, yang seringkali dilabelkan sebagai sosialisasi pengetahuan tentang risiko. Bagi pemerintah, opsi yang tersedia sebenarnya banyak, dengan level pemanfaatan yang praktis. Terdapat cukup pengetahuan yang mengkombinasikan ancaman dan kerentanan. Dalam publikasi mutakhir yang diedit oleh Birkmann 2006 berjudul Mengukur Kerentanan Terhadap Ancaman Alam, dipresentasikan 20 model berbeda tentang bagaimana memasukan kerentanan ke dalam analisis risiko. Provention
18
Consortium, yang berpusat di Jenewa, telah mengembangkan tool kit berbasis web untuk melakukan risk assessment, dengan lebih dari 50 kumpulan case study (ProVention, 2009). Daftar yang relatif detail tersedia di annex 1.
19
pemerintah daerah maupun OMS yang bekerja berjaringan dari Aceh hingga Papua di mana pendekatan multi-kriteria dan indikator yang partisipatif bisa dilakukan. Untuk konteks gunungapi, sejumlah uji coba telah dilakukan. Sebagai misal draft Indeks Risiko Bencana Gunungapi untuk Merapi yang dilakukan oleh DREAM-UPN Jogja, bisa direvisi untuk penggunaan yang lebih luas, tentunya dengan revisi untuk konteks gunungapi lainnya. Sedangkan berbagai proyek riset dengan konteks Indonesia untuk analisis risiko tsunami dalam setting proyek seperti GITEWS (German Indonesia Tsunami Early Warning System) dengan menggunakan BBC (Bogardi, Birkmann, Cardona) model (2006) serta beberapa inisiatif lembaga-lembaga kemanusiaan internasional/nasional untuk konteks spesifik banyak tersedia. Model kuantitatif dengan pendekatan berbasis HCVA (hazard, capacity and vulnerability analysis) tentunya bisa menjadi pilihan, dan pernah diujicoba dalam konteks Kota Bandung. Model yang lain yang bersifat multi-hazard dan multikerentanan seperti Cardona (2006) atau yang direvisi menjadi BBC model (2006) dan Schneiderbauer and Ehrlich (2006) serta Bollin dan Hidayat (2006) tentunya bisa dijadikan sebagai sebuah acuan. Yang pasti adalah bahwa OMS Indonesia tidak memberi rekomendasi tunggal serta terbuka pada model atau kerangka analisis yang baru yang memenuhi prinsip-prinsip di atas.
8. Bibliography
Alexander, D (2005) An Interpretation of Disaster In Terms of Changes in Culture, Society and International Relations. In Perry, R. W. and Quarantelli, E. L. (2005) What Is A Disaster? New Answers to Old Questions. Xlibris Corporation, pp. 25-38. Birkmann, J. Ed (2006) Measuring Vulnerability to Natural Hazards: Towards Disaster Resilient Communities. United Nations University Press. Bollin, C. and Hidajat, R. 2006 Community-based risk index: Pilot implementation in Indonesia. Birkmann, J. (2006) Measuring Vulnerability to Natural Hazards: Towards Disaster Resilient Communities. United Nations University Press, pp. 281-299. Cannon, T. 2008 Reducing Peoples Vulnerability to Natural Hazards Communities and Resilience. Research Paper No. 34. UNU-WIDER.
20
Doocy, S. Gorokhovich, Y. Burnham, G., Balk, D. Robinson C. 2007 "Tsunami Mortality Estimates and Vulnerability Mapping in Aceh, Indonesia." American Journal of Public Health, Supplement 1, 2007, Vol 97, No. S1 Feltenbiermann, C. (2006) Gender and Natural Disaster: Sexualized Violence and the Tsunami. Development, 49(3), (pp. 8286). Freudenburg, W. R. 1988 Perceived Risk, Real Risk: Social Science and the Art of Probabilistic Risk Assessment. Science, New Series, Vol. 242 No. 4875 pp.44-49. Geller A. M. and Zenick, H. 2005 Aging and the Environment: A Research Framework. Environmental Health Perspectives, Vol. 113, No. 9 (Sep., 2005), pp. 1257-1262. Haynes, K., Lassa, J., and Tower, B. (2009) Relationship between Risk, Gender, and Religion in Child-Centered DRR and Adaptation Programming in Indonesia. Field Research Report, submitted for PIUK. Hewitt, K. (1995) Excluded Perspectives in the Social Construction of Disasters. International Journal of Mass Emergencies and Disasters Vol 13 No 3 pp 317339 Kelman, I. (ed.) 2009. Understanding Vulnerability to Understand Disasters. [http://www.islandvulnerability.org/docs/vulnres.pdf - Access on 26 January 2009] Lewis, J., OKeefe, P., and Wesgate, K. N. (1976) Philosophy of Planning. Bradford Disaster Research Unit, Occasional Paper No. 5. University of Bradford, Bradford, UK. Mitchell, T., Katharine Haynes, Nick Hall, Wei Choong, and Katie Oven (2008). The Role of Children and Youth in Communicating Disaster Risk. Children, Youth and Environments 18(1): 254-279. Nishikiori et al. 2006 Timing of mortality among internally displaced persons due to the tsunami in Sri Lanka: cross sectional household survey. BMJ, Vol. 332, pp. 334-335 O'Keefe, P., Westgate, K., and Wisner, B. (1976) Taking the Naturalness out of Natural Disasters. Nature, Vol 260, pp.566-567. Oxfam (2005) The Tsunamis Impact on Women. Oxfam International Briefing Note, March 2005. Oliver-Smith, A. and Hoffman, S. M. (1999) The Angry Earth: Disaster in Anthropological Perspective. London: Routledge. Peek, L. (2008). Children and Disasters: Understanding Vulnerability, Developing Capacities, and Promoting Resilience An Introduction. Children, Youth and Environments 18(1): 1-29 Pelling, M. and Wisner, B. Eds (2009) Disaster Risk Reduction: Cases from Urban Africa. Earthscan, London. ProVention Consortium (2009). Community Risk www.proventionconsortium.org/?pageid=39 . Assessment Tool Kit
21
Rofi, A. and Doocy, S. (2006) Tsunami mortality and displacement in Aceh province, Indonesia Disasters, 30(3): 340350 Schneiderbauer and Ehrlich (2006) Social levels and hazard (in) dependence in determining vulnerability. In Birkmann, J. (2006) Measuring Vulnerability to Natural Hazards: Towards Disaster Resilient Communities. United Nations University Press, pp. 78-102. Sieh, K. (2000) Acts of God, Acts of Man: How Humans Turn Natural Hazards into Disasters. Engineering and Science 4, pp. 8-17. Tierney, KJ. (1999) Toward a Critical Sociology of Risk. Sociological Forum Vol. 14, No. 2. Pp. 215-242. Tierney, KJ. (2005) Social Inequality, Hazards and Disasters. In On Risk and Disaster: Lessons from Katrina, ed. RJ. Daniels, SF Kettl, H Kunkreuther, pp. 109-128. Philadelphia: Univ. Penn. Press. Tierney, KJ. (2007) From the Margins to the Mainstream? Disaster Research at the Crossroads. Annu. Rev. Sociol. 33. pp. 503-525. Thywissen, K. (2006) Components of Risk: A Comparative Glossary. Source No. 2. UNU-EHS Publication, Bonn. Tsunami Evaluation Coalition (2006) Synthesis Report http://www.tsunamievaluation.org/The+TEC+Synthesis+Report/ . Twigg, J (2007) Characteristics of a Disaster-resilient Community A Guidance Note. Version 1 (for field testing) August 2007. http://www.proventionconsortium.org/themes/default/pdfs/characteristics/com munity_characteristics_en_highres.pdf UNISDR (2005) Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the Resilience of Nations and Communities to Disasters. World Conference on Disaster Reduction, 18-22 January 2005, Kobe, Hyogo, Japan. World Bank (2005) East Asia Decentralizes East Asia Decentralizes: Making Local Government Work. World Bank, Washington DC. Weichselgartner (2008) Natural Hazard and Global Change. Presentation, UNUEHS PhD Block Course onThe Role of Vulnerability in Risk Management. Westgate, K. and OKeefe, P. (1976) Some Definitions of Disaster. Bradford Disaster Research Unit Occasional Paper 4, University of Bradford, Bradford, U.K Wisner et. al. (2003) "At Risk: natural hazards, peoples vulnerability and disasters." Second edition. London: Routledge. Wisner, Ben (2006) Self-assessment of coping capacity: Participatory, proactive and qualitative engagement of communities in their own risk management. In Birkmann, J. Ed (2006) Measuring Vulnerability to Natural Hazards: Towards Disaster Resilient Communities. United Nations University Press. p 328-340.
22
23
24
Catatan Akhir
*. Editor adalah anggota MPBI, relawan PMPB Kupang, inisiator Aceh Disaster Watch, relawan prodelat Aceh, relawan CIS Timor. PhD Candidate dengan fokus riset pada Disaster Risk Governance in Indonesia: Macro, Meso, Micro Approach. An Interdisciplinary Approach.
Lihat http://www.proventionconsortium.org/?pageid=36 [diakses pada 23 Januari 2009] Hal ini secara jelas ditunjukan oleh Deputi I BNPB, Dr. Sugeng Triutomo dalam the Asian Conference for Disaster Reduction, 13-14 Desember 2008. iii Berdasarkan interview degan staff Bappeda di Maumere, pada bulan Juni 2008 dan Agustus 2008. iv Lihat beberapa data dan figur di http://www.helpage.org, silakan download data dari UN Ageing Population dataset: http://www.un.org/esa/population/publications/ageing/ageing2006chart.pdf v Paper ini sengaja memasukan konsep exsposure susceptibility, sensitivity dalam termilologi payung yakni kerentanan, sedangkan resilience dan kapasitas dianggap sebagai kebalikan dari kerentanan. Untuk glosarry of terms, bisa dilihat pada Thywissen 2006. vi Ilustrasi double helix of DNA ini pertama kali dicetuskan oleh Prof. Dave Bentley, Wilson Profesor of Durham University, UK (Sumber: Ben Wisner, komunikasi personal, 18 Jan 2009) vii Lihat link: http://understandingkatrina.ssrc.org/deWaal/ [diakses terakhir pada 23 Januari 2009]
ii
25