Anda di halaman 1dari 20

PNEUMOTHORAX

A. Definisi Pneumothorax adalah keadaan dimana terdapat udara atau gas dalam rongga pleura. Pada kondisi normal, rongga pleura tidak terisi udara sehingga paru-paru dapat leluasa mengembang terhadap rongga dada. Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada Pneumothorax adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru. Tersering disebabkan oleh ruptur spontan pleura visceralis yang menimbulkan kebocoran udarale rongga torak. Pnumotoraks dapat terjadi berulang kali.

B. Klasifikasi Menurut penyebabnya, pnuemothoraks dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu : 1. Pnenumothoraks spontan Yaitu pnumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumothoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pnumothoraks spontan primer, yaitu pnumothoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya. b. Pneumothoraks spontan sekunder, yaitu pneumothoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obsrutruktiks kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma dan infeksi paru. 2. Pneumotoraks traumatik Yaitu pneumothoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumothoraks tipe ini dapat di klasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu : a. Pneumothoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumothoraks yang terjadi karena bekas kecelakaan, misalnya bekas pada dinding dada, barotrauma.

b. Pneumothoraks traumatik iatrogenetik yaitu pneumothoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumothoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi dua yaitu :

1. Pneumothoraks traumatik iagtrogenik aksidental Adalah suatu pneumothoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura. 2. Pneumothoraks traumatik iatrogenik artifisial (debiliberate) Adalah suatu pneumothoraks yang sengaja dilakuakn dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.

Dan berdasarkan jenis fisualnya, makan pneumothoraks dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis yaitu : 1. Pneumothoraks Tertutup (Simple Pneumothorax) Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu gerakan pernafasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif. 2. Pneumothoraks Terbuka (Open Pneumothorax) Yaitu Pneumothoraxs dimana terdapat hubungan antara antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pnuemothoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan. Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif. Selain itu , pada saat inspirasi mediastinum dalam

keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka. 3. Pneumothoraks Ventil (Tension Pneumothorax) Adalah pneumothoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar. Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melibihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas.

Sedangkan menurut luasnya paru mengalamu kolaps, maka pneumothoraks dapat diklasifikasikan menajdi dua, yaitu : 1. Pneumothoraks parsialis, yaitu pneumothoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (<50%volume paru)

2. Pneumoothoraks totalis yaitu pneumothoraks yang menegenai sebagian besar paru (>50% volume paru)

C. Etiologi Pneumothoraks terjadi akibat peninggian tekanan intrabronkus dan intraalveolus pada suatu tempat lemah dalam jaringan paru yang pecah, sehingga udara dapat masuk ke dalam rongga pleura. Tempat lemah dapat berupa bula dalam parenkim paru bagian perifer atau emfisema interstitialis lokal (bleb) atau proses paru yang menimbulkan destruksi parenkim bagian perifer dan pleura berdekatan, sehingga terbentuk suatu fistel bronkopleural. Pneumothoraks dapat terjadi bila terjadi ruptur pada dinding paru, yang menyebabkan udara keluar dari paru dan masuk ke dalam rongga pleura. Pneumothoraks juga dapat terjadi bila terdapat tusukan pada dinding dada sehingga udara luar masuk ke dalam rongga pleura. Pneumothoraks dapat terjadi secara tiba-iba (misalnya pada laki-laki kurus yang menderita sindrom Marfan) sebagai dari akibat trauma dada, barotrauma pada paru, penyakit paru seperti emfisema, infeksi akut, infeksi kronis (TBC), kerusakan paru akibat kistik fibrosis, kanker, katamenial pneumothoraks ( yang di sebabkan oleh endometriosis pada dinding paru), dll. Pada bayi baru lahir, pneumothoraks dapat merupakan komplikasi pada penyakit membran hialin, pneumothoraks, resusitasi dengan tekanan positif dan sering pula timbul secara spontan tanpa diketahui penyebabnya. Pada anak lebih besar pneumothoraks merupakan komplikasi pneumonia, tuberkulosis dan asma bronkial.

D. Patofisiologi Pada manusia normal tekanan dalam rongga pleura adalah negatif. Tekanan negatif disebabkan karena kecenderungan paru untuk kolaps (elastic recoil) dan dinding dada yang cenderung mengembang. Bilamana terjadi hubungan antara alveol atau ruang udara intrapulmoner lainnya (kavitas, bulla) dengan rongga pleura oleh sebab apapun, maka udara akan mengalir dari alveol ke rongga pleura sampai terjadi keseimbangan tekanan atau hubungan tersebut tertutup. Serupa dengan mekanisme di atas, maka bila ada hubungan antara udara luar dengan rongga pleura melalui dinding dada; udara akan masuk ke rongga pleura sampai perbedaan tekanan menghilang atau hubungan menutup. Pneumotoraks spontan terjadi oleh karena pecahnya bleb atau kista kecil yang diameternya tidak lebih dari 1-2 cm yang berada di bawah permukaan pleura viseralis,
4

dan sering ditemukan di daerah apeks lobus superior dan inferior. Terbentuknya bleb ini oleh karena adanya perembesan udara dari alveoli yang dindingnya ruptur melalui jaringan intersisial ke lapisan jaringan ikat yang berada di bawah pleura viseralis. Sebab pecahnya dinding alveolus ini belum diketahui dengan pasti, tetapi diduga ada dua faktor sebagai penyebabnya. 1) Faktor infeksi atau radang paru. Infeksi atau radang paru walaupun minimal akan membentuk jaringan parut pada dinding alveoli yang akan menjadi titik lemah. 2) Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau mengejan. Mekanisme ini tidak dapat menerangkan kenapa pneumotoraks spontan sering terjadi pada waktu penderita sedang istirahat. Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah pleura viseralis, maka udara akan masuk ke dalam rongga pleura dan terbentuklah fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus, dapat tertutup, dan dapat berfungsi sebagai ventil.

E. Komplikasi Selalu harus diingat akan terjadinya: 1. Tension Pneumothoraks dengan gejala dispneu yang makin berat, sianosis, gelisah: komplikasi ini terjadi karena tekanan dalam rongga pleura meningkat sehingga paru mengempis lebih hebat, mediastinum tergeser kesisi lain dan mempengaruhi aliran darah vena ke atrium kanan. Pada foto sinar tembus dada terlihat mediastinum terdorong dan diafragma pada sakit tertekan kebawah. Keadaan ini dapat mengakibatkan fungsi pernafasan sangat terganggu yang harus segera ditangani kalu tidak akan berakibat fatal. 2. Piopneumothoraks: Berarti terdapatnya pneumothoraks disertai empiema secara bersamaan pada satu sisi paru. 3. Hidro-pneumothoraks/Hemo-pneumothoraks: Pada kurang lebih 25% penderita pneumothoraks ditemukan juga sedikit cairan dalam pleuranya. Cairan ini biasanya bersifat serosa, serosanguinea atau kemerahan (berdarah). Hidrothorak dapat timbul dengan cepat setelah terjadinya pneumothoraks pada kasus-kasus trauma/perdarahan intrapleura atau perforasi esofagus (cairan lambung masung kedalam rongga pleura). Hemopneumothoraks selain terdapat gejala dispneu dan sianosis, disertai pula gejala akibat kehilangan darah seperti anemia, renjatan dan lain-lain.
5

4. Pneumomediastinum dan emfisema subkutan: Pneumomediastinum dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto dada. Insidensinya adalah 1% dari seluruh pneumothoraks. Kelainan ini dimulai robeknya alveoli kedalam jaringan interstitium paru dan kemungkinan didikuti oleh pergerakan udara yang progresif kearah mediastinum (menimbulkan pneumomediastinum) dan kearah lapisan fasia otot-otot leher (menimbulkan emfisema subkutan). 5. Pneumothoraks simultan bilateral: Pneumothoraks yang terjadi pada kedua paru secara serentak ini terdapat pada 2% dari seluruh pneumothoraks. Keadaan ini timbul sebagai lanjutan pneumomediastinum yang secara sekunder berasal dari emfisem jaringan interstitiel paru. Sebab lain bisa juga dari emfisem mediastinum yang berasal dari perforasi esofagus. Pneumothoraks kronik: Menetap selama lebih dari 3 bulan. Terjadi bila fistula bronko-pleura tetap membuka. Insidensi pneumothoraks kronik dengan fistula bronkopleura ini adalah 5 % dari seluruh pneumothoraks. Faktor penyebab antara lain adanya perlengketan pleura yang menyebabkan robekan paru tetap terbuka, adanya fistula bronkopelura yang melalui bulla atau kista, adanya fistula bronkopleura yang melalui lesi penyakit seperti nodul reumatoid atau tuberkuloma.

F. Gejala Klinis Berdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah: 1. Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendekpendek, dengan mulut terbuka. 2. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan. 3. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien. 4. Denyut jantung meningkat. 5. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang. 6. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.

G. Penatalaksanaan

Tujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut : 1. Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka. 2. Tindakan dekompresi Hal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara: a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut. b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil : Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol (Alsagaff at al., 2009). Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol (Alsagaff at al., 2009). Metode penggunaan water seal drainage (WSD)

Penggunaan WSD dengan selang dada pertama kali dikenalkan pada tahun 1875, dan penggunaan missal pertama adalah pada tahun 1917 ketika terjadi epidemic influenza. Selang drainase interkostal atau WSD dalam bentuk modern telah digunakan sejak tahun 1916 ketika Kenyon menggambarkan sebuah Siphon metode untuk terapi hemothoraks akibat trauma. Walaupun alat ini sangat efektif dalam pengobatan, akan tetapi kelemahan alat ini berkisar antara trauma pada dada dan abdominal bagian viscera dari trocars yang tajam di tangan operator yang belum ahli. Kelemahan yang lain dari pemasangan selang ini adalah terbentuknya fissura pada dindig dada. Selang drainase yang masih mengeluarkan gelembung udara sangat berbahaya untuk di klem, karena hal tersebut dapat mengubah pneumothoraks yang awalnya minimal menjadi pneumothoraks tension. Keberhasilan akan dicapai bila paru-paru mengembang dengan sempurna paling kurang selama 24 jam sebelum selang drainase boleh dicabut. Cara yang effisien untuk mendeteksi sisa udara dalam paru adalah dengan meng-klem selang drainase tersebut selama beberapa jam dan kemudian dilakukan foto thorkas , kebocoran udara sedikit atau sedang yang masi ada dapat dideteksi dengan cara ini sehingga dapat dihindarkan penggunaan selang drainase yang berulang. Penggunaan analgetik dalam selang drainase ini masi kurang di teliti. Injeksi anestesi local pada intrapleura (20-25 ml = 200-250mg, 1% lignocaine) secara bolus dengan interval 8 jam dapat dengan aman mengurangi rasa sakit tanpa mempengaruhi gas darah. Pemasangan WSD: 1) Pasien dalam keadaan posisi duduk (+ 45 ). 2) Dilakukan desinfeksi dan penutupan lapangan operasi dengan doek steril. 3) Dilakukan anestesi setempat dengan lidocain 2% secara infiltrasi pada daerah kulit sampai pleura. 4) Tempat yang akan dipasang drain adalah : Linea axillaris depan, pada ICS IX-X (Buelau). Dapat lebih proximal, bila perlu. Terutama pada anak- anak karena letak diafragma tinggi. linea medio-clavicularis (MCL) pada ICS II-III (Monaldi)
8

5) Dibuat sayatan kulit sepanjang 2 cm sampai jaringan bawah kulit (Gambar. B). 6) Dipasang jahitan penahan secara matras vertikal miring dengan side 0.1. 7) Dengan gunting berujung lengkung atau klem tumpul lengkung, jaringan bawah kulit dibebaskan sampai pleura, dengan secara pelan pleura ditembus hingga terdengar suara hisapan, berarti pleura parietalis sudah terbuka (Gambar. C dan D). Catatan : pada hematothoraks akan segera menyemprot darah keluar, pada pneumothoraks, udara yang keluar.

D Gambar: Cara Pemasangan Selang WSD

Gambar: Cara Pemasangan Selang WSD

Komplikasi dari pemasangan selang drainse interkostal ini adalah penetrasi pada organ mayor seperti paru-paru, perut, limpa, hati, jantung, dan pembuluh darah besar sehingga akan berakibat fatal. Kejadian ini akan terjadi bila trocar besi yang dimasukkan secara tidak benar dalam prosedur pemasangan. Infeksi pleura merupakan komplikasi lain dari pemasangan selang drainase ini, sehingga pemberian antibiotic profilaksis harus dipertimbangkan dan teknik aseptic harus diterapkan pada segala teknik pemasangan serta manipulasi dari system selang dada ini. Komplikasi lain yang paling banyak terjadi adalah emfisema, walaupun ini hanya mengganggu dalam hal kosmetik selama beberapa hari. Emfisema ini terjadi karena terbentuknya rongga berisi udara pada jaringan subkutan. Hal ini dapat terjadi bila selang dada yang dipasang malposisi atau bergulung atau selang yang di klem. Emfisema juga dapat timbul bila selang yang digunakan berukuran lebih kecil dari daerah bocor. Penaganan dari emfisema ini biasanya secara konservatif, akan tetapi bila dalam kondisi menyebabkan bahaya pada nyawa pasien makan dapat dilakukan trakeostomi, dekompresi insisi kulit, dan pemasangan selang pada daerah subkutan. Hal ini dapat terjadi bila selang dada yang dipasang malposisi atau bergulung atau selang yang di klem. Emfisema juga dapat timbul bila selang yang digunakan berukuran lebih kecil dari daerah bocor. Penaganan dari emfisema ini biasanya secara konservatif, akan tetapi bila dalam kondisi menyebabkan bahaya pada nyawa pasien makan dapat dilakukan trakeostomi, dekompresi insisi kulit, dan pemasangan selang pada daerah subkutan.

10

Pengobatan Tambahan 1. Apabila terdapat proses lain di paru, maka pengobatan tambahan ditujukan terhadap penyebabnya. Misalnya : terhadap proses TB paru diberi OAT, terhadap bronkhitis dengan obstruksi saluran napas diberi antibiotik dan bronkodilator. 2. Istirahat total untuk menghindari kerja paru yang berat. 3. Pemberian antibiotik profilaksis setelah setelah tindakan bedah dapat dipertimbangkan, untuk mengurangi insidensi komplikasi, seperti emfisema

H. Rehabilitasi Penderita yang telah sembuh dari pneumotoraks harus dilakukan pengobatan secara tepat untuk penyakit dasarnya. Untuk sementara waktu, penderita dilarang mengejan, batuk atau bersin terlalu keras. Bila mengalami kesulitan defekasi karena pemberian antitusif, berilah laksan ringan. Kontrol penderita pada waktu tertentu, terutama kalau ada keluhan batuk, sesak napas.

I. Pengkajian a. Aktivitas/istirahat Gejala : dipsnea dengan aktivitas ataupun istirahat b. Sirkulasi Tanda : takikardi, frekuensi tak teratur (disritmia), S3 atau S4/irama jantung gallop, nadi apikal berpindah oleh adanya penyimpangan mediastinal, tanda homman (bunyi rendah sehubungan dengan denyutan jantung, menunjukkan udara dalam mediastinum). c. Psikososial Tanda : ketakutan/gelisah d. Makan/cairan Tanda : adanyan pemasangan IV vena sentral/infus tekanan e. Nyeri/kenyamanan

11

Gejala : nyeri dada unilateral meningkat karena batuk, timbul tiba-tiba gejala batuk, tajam atau nyeri menusuk yang diperberat oleh napas dalam. Tanda : perilaku distraksi, mengerutkan wajah f. Pernafasan Tanda : pernapasan meningkat/ takipnea, peningkatan kerja napas, penggunaan otot aksesori pernapasan dada, ekspirasi abdominal kuat, bunyi napas menurun, fremitus menurun. perkusi dada : hipersonan diatas terisi udara palpasi dada : gerakan dada tidak sama bila trauma Kulit : pucat, sianosis

Gejala : kesulitan bernapas, batuk, riwayat bedah dada/trauma penyakit paru kronis, inflamasi/infeksi paru (empisema/efusi), keganasan (misal : Obstruksi tumor)

J. Pemeriksaan 1. Pemeriksaan Fisik Inspeksi : a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada). b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal. c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat Palpasi : a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar. b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat. c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit Perkusi : a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetar. b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi Auskultasi : a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang. b. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatif.

12

2. Pemeriksaan Penunjang a. Foto Rongent Thorax

Gambaran radiologis yang tampak pada foto rontgen kasus pneumotoraks antara lain: a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru. b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.

13

c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.

b. CT scan Teknik pemeriksaan CT-SCAN thorax adalah teknik pemeriksaan secara radiologi untuk mendapatkan informasi anatomis irisan crossectional atau penampang aksial thorax.

14

Teknik Pemeriksaan 1. Posisi pasien : Supine diatas meja pemeriksaan dengan posisi kepala dekat dengan gantry. 2. Posisi objek : Mengatur pasien sehingga Mid Sagital Plane (MSP) tubuh sejajar dengan lampu indicator longitudinal. Kedua tangan pasien di atas kepala. Memfiksasi lutut dengan menggunakan body clem. Menjelaskan kepada pasien untuk inspirasi penuh dan tahan nafas pada saat pemeriksaan berlangsung. 3. Scan Parameter Scan parameter pemeriksaan CT-Scan thorax adalah seperti tercantum pada tabel dibawah ini :

Foto sebelum dan sesudah memasukkan Media Kontras Kasus seperti tumor dibuat foto sebelum dan sesudah pemasukan media kontras. Tujuan dibuat foto sebelum dan sesudah media kontras adalah untuk melihat apakah ada jaringan yang menyerap kontras banyak, sedikit atau tidak sama sekali. c. BGA (Blood Gas Arteri) Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.

15

K. Diagnosa Keperawatan Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien Hepatitis adalah: 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru 2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan peningkatan produksi sekresi kental 3. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD 4. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan produksi sputum 5. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan pada informasi L. Intervensi keperawatan Menurut Doenges (1999) dan Lynda Juall (2000), diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien hepatitis adalah : 1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam bersihan jalan napas klien efektif Kriteria hasil : Menunjukan pola pernapasan normal/efektif dengan GDA dalam batas normal. Bebas sianosis dan hipoksia Intervensi 1. Mengidentifikasikan etiologi/faktor pencetus, misal : kolaps spontan, traumam keganasan. 2. Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan/pernapasan sesak, dispnea, terjadinya sianosis, perubahan tanda vital. 3. Awasi kesesuaian pola pernapasan bila menggunakan ventilasi mekanik, catat perubahan tekanan udara. 4. Auskultasi bunyi napas 5. Catat pengembangan dada dan posisi trakea 6. Kaji fremitus 7. Kaji pasien adanya area nyeri tekan bila batuk, napas dalam. 8. Pertahankan posisi nyaman, biasanya dengan peninggian kepala tempat tidur, anjurkan pasien untuk duduk sebnayak mungkin

16

Rasional 1. Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan wsd yang tepat 2. Distres pernapasan dan perubahan pada tanda tanda vital dapat terjadi sebagai akibat stres fisiologi dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya syok sehubungan dengan hipoksia/perdarahan. 3. Kesulitan bernapas dengan ventilator atau eningkatan jalan napas diduga memburuknya kondisi atau terjadinya komplikasi. 4. Bunyi napas dapat menurun atau tak ada pada lobus, segmen paru satu seluruh area paru (unilateral). Area atelektasis tak ada bunyi napas dan sebgai area kolaps paru menurunya bunyi. Evaluasi juga dilakukan untuk area yang baik pertukaran gasnysa dan memberikan dat evaluasi perbaikan pneumothoraks. 5. Pengembangan dada sama dengan ekpansi paru. Deviasi trakea dari area sisi yang sakit pada tegangan pneumothoraks. 6. Suara dan taktil fremitus (vibrasi) menurun pada jaringan yang terisi cairan/konsilidasi. 7. Sokongan terhadap dada dan otot abdominal membuat batuk lebih efektif/mengurangi trauma. 8. Meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekpansi paru dan ventilasi pada sisi yang sakit.

2. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan produktifitas sekresi kental Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam klien menunjukkan bersihan jalan napas. Kriteria hasil : Mempertahankan jalan napas dengan bunyi napas bersih/ jelas, menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan naps, misal batuk efektif dan mengeluarkan sekret. Intervensi 1. Auskultasi bunyi napas. Catat adanya bunyi naps, misal : mengi, krekles, ronki 2. Kaji/pantau frekuensi pernapasan. Catat rasio inspirasi/ekspirasi 3. Catat adanya dipsnea, gelisah, ansietas, dan distres pernapasan.

17

4. Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misal : peninggian kepala tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur. 5. Bantu latihan napas atau bibir

Rasional 1. Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi jalan napas dan dapat/tak diamanestasikan adanya bunyi napas adventisius, misal : penyebaran, krekles basah ( bronkitis) : bunyi napas redup dengan ekspirasi mengi (emfisema) atau tak adanya bunyi napas (asma berat). 2. Takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stres/ adanya proses infeksi memanjang dibanding inspirasi 3. Disfungsi pernapasan adalah variabel yang tergantung pada tahap proses selain proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit, misal : infeksi, reaksi alergi. 4. Peninggian kepala tempat tidur mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi. 5. Merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme jalan napas, mengi dan produksi mukosa. 6. Drainase postural dan perkusi bagian penting untuk membuang banyak sekret kental dan memperbaiki ventilasi pada segmen dasar paru.

3. Resiko terjadi infeksi berhubungan dengan insersi WSD Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24 jam klien bebas dari infeksi pada lokasi insersi selama pemasangan Kriteriahasil : WSDBebas dari tandatanda infeksi : tidak ada kemerahan, purulent, panas, dan nyeri yang meningkat serta fungsiolisa. Tanda tanda vital dalam batas normal. Intervensi 1. Berikan pengertian dan motivasi tentang perawatan WSD 2. Kaji tanda tanda infeksi 3. Monitor reukosit dan LED 4. Dorongan untuk nutrisi yang optimal

18

5. Berikan perawatan luka dengan teknik aseptic dan anti septic 6. Bila perlu berikan antibiotik sesuai advis.

Rasional 1. Perawatan mandiri seperti menjaga luka dari hal yang septic tercipta bila klien memiliki pengertian yang optimal 2. Hipertemi, kemerahan, purulent, menunjukan indikasi infeksi. 3. Leukositosis dan LED yang meningkat menunjukan indikasi infeksi. 4. Mempertahankan status nutrisi serta mendukung system immune 5. Perawatan luka yang tidak benar akan menimbulkan pertumbuhan mikroorganisme

4. Perubahan nutrisi dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan produksi sputum Tujuan : setelah dilakukan asuhan keperawatan 3x24 jam klien menunjukkan peningkatan nutrisi yang adekuat Kriteriahasil : Menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dan menunjukkan perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan atau mempertahankan berat yang tepat Intervensi 1. Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makan. Evaluasi berat badan dan ukur tubuh. 2. Auskultasi bunyi usus 3. Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan porsi kecil tapi sering Rasional 1. Penurunan bising usus menunjukkan penurunan mortilitas gaster dan konstipasi (komplikasi umum) yang berhubungan dengan pembatasan pemasukan cairan, pilihan makanan buruk, penurunan aktivitas dan hipoksemia. 2. Membantu menurunkan kelemahan selama waktu makan dan memberikan kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total. 3. Pasien distres pernapasan akut serng anoreksia karena dispnea produksi sputum, dan obat.

19

5. Kurangnya pengetahuan mengenai kondisi, aturan pengobatan berhubungan dengan kurang terpajan pada informasi Tujuan : Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1x24jam klien dan keluarga dapat mengerti tentang kondisi kesehatan klien Kriteriahasil : Menyatakan pemahaman penyebab masalah (bila tahu), mengidentifikasi tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik, mengkuti program pengobatan dan menunjukkan perubahan pola hidup yang perlu untuk mencegah terulangnya masalah. Intervensi 1. Kaji patologi masalah individu. 2. Identifikasi kemungkinan kambuh/komplikasi jangka panjang. 3. Kaji ulang praktik kesehtan yang baik,misal : nutrisi baik, istirahat, latihan. 4. Kaji ulang tanda/gejala yang memerlukan evaluasi medik cepat, contoh : nyeri dada tiba-tiba, dispnea, distres pernapasan lanjut. Rasional 1. Informasi menurunkan rasa cemas karena ketidaktahuan. Memberikan pengetahuan dasar untuk pemahaman kondisi dinamik dan pentingnya intervensi terapeutik. 2. Mempertahankan kesehtan umum meningkatkan penyembuhan dan dapat mencegah kekambuhan. 3. Berulangnya pneumotoraks memerlukan intervensi medk untuk

mencegah/menurunkan potensial komplikasi

20

Anda mungkin juga menyukai