Anda di halaman 1dari 9

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Upacara ruwatan telah ada semenjak zaman Majapahit dan sampai sekarang pun masih ada masyarakat Jawa yang menyelenggarakan. Konon anak-anak yang dilahirkan dalam keadaan dan atau saat tertentu, orang-orang yang berbuat sesuatu yang dianggap ada di luar batas-batas tertentu yang dinyatakan atau dianggap aib dan berdosa. Mereka itulah yang akan menjadi mangsa Batara Kala. Dan upacara ruwatan merupakan suatu jalan dan usaha untuk membebaskan manusia dari aib dan dosa yang sekaligus menghindarkan diri dari malapetaka. A. Orang-orang yang termasuk Golongan tersebut di atas adalah : 1. Kedana-kedini, yaitu keluarga yang hanya mempunyai anak dua, laki-laki dan perempuan. 2. Ontang-anting, yaitu anak tunggal, tidak berkakak dan tidak beradik sejak lahir. 3. Julung wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan saatnya dengan terbitnya matahari. 4. Julung pujud, yaitu anak yang lahir bersamaan saatnya dengan tenggelamnya matahari. 5. Margana, yaitu anak yang lahir sewaktu dalam perjalanan. 6. Condang-kasih, yaitu anak kembar yang seorang berkulit putih (bule) dan yang seorang berkulit hitam (jlitheng). 7. Dampit, yaitu dua anak lahir kembar dari satu kandungan ibu yang satu laki-laki dan yang satunya perempuan. B. Peristiwa-peristiwa atau Perbuatan yang dianggap Aib dan Dosa yaitu : 1. Orang yang menjatuhkan dandang (alat menanak nasi). 2. Mematahkan batu gilasan (Jawa : pipisan).

3. Menaruh beras dalam lesung (alat menumbuk padi). 4. Mempunyai kebiasaan membakar rambut dan tulang. 5. Membuat pagar sebelum rumahnya jadi. C. Sementara ada juga Orang-orang yang termasuk Itu antara lain : 1. Ontang-anting, yaitu anak laki-laki tunggal tidak mempunyai saudara kandung. 2. Unting-unting, yaitu anak perempuan tunggal yang tidak mempunyai saudara kandung. 3. Lumunting, yaitu anak yang pada waktu lahir tanpa ari-ari (plasenta). 4. Pandawa, yaitu lima bersaudara semua laki-laki. 5. Pendawi, yaitu lima bersaudara smeua perempuan. 6. Uger-uger lawang, yaitu dua bersaudara semuanya laki-laki. 7. Kembang sepasang, yaitu dua bersaudara semuanya perempuan. D. Sesaji Ruwatan Menurut tuntutan (pakem) murwakala, sesaji ruwatan ada 36 jenis perlengkapan, yaitu : 1. Tuwuhan yang terdiri dari pisang raja, cengkir atau kelapa muda dan pohon tebu wulung masing-masing dua pasang yang diletakkan di kanan kiri kelir atau layar tempat pagelaran wayang kulit. 2. Pari segedheng yaitu terdiri dari 4 ikat padi sebelah-menyebelah. 3. Satu butir buah kelapa yang sedang bertunas (tumbuh). 4. Dua ekor ayam (betina dan jantan) yang diikatkan pada tuwuhan di kanan kiri kelir seperti pada butir satu. Yang jantan di kanan, yang betina di kiri. 5. Empat batang kayu bakar yang masing-masing panjangnya kurang lebih 1 hasta (+ 40cm). 6. Ungker siji yaitu satu buah gulungan benang. 7. Satu lembar tikar yang masih baru.

8. Empat buah ketupat pangluar (=pembebas atau penolak). 9. Satu bantal baru. 10. Sebuah sisir rambut. 11. Sebuah serit (sisir khusus untuk mencari kutu rambut). 12. Sebuah cermin. 13. Sebuah payung. 14. Sebotol minyak wangi. 15. Tujuh macam kain batik. 16. Daun lontar satu genggam. 17. Dua bilah pisau. 18. Dua butir telur ayam kampung. 19. Gedhang ayu (pisang raja yang sudah ranum) bermaksud nggegadhang supaya rahayu artinya mengharapkan agar selamat bahagia. Suruh ayu (sirih yang digulung dan diikat benang putih) bermaksud ngangsu kawruh kang rahayu artinya mencari ilmu pengetahuan yang berguna. Krambil grondhil yaitu kelapa tanpa sabutnya ; gula kelapa setangkep ; beras sapitrah ; ayam panggang. 20. Air tujuh macam bunga yang ditempatkan dalam jambangan baru dan dimasuki uang logam. 21. Seikat benang lawe. 22. Minyak kelapa untuk lampu blencong (lampu minyak untuk menerangi layar wayang kulit, digantung di atas kepala dalang). 23. Nasi gurih (nasi uduk dan daging ayam yang digoreng). 24. Satu gelas badheg yaitu arak kilang aren atau minuman keras. 25. Satu gelas air kilang tebu. 26. Tujuh macam tumpeng, yaitu tumpeng magana ; tumpeng rajeg doni ; tumpeng pucuk telur ; tumpeng pucuk cabe merah ; tumpeng tutul ; tumpeng sembur ; tumpeng robyong. 27. Tujuh macam jenang ketan : dodol ketan, wajik, jadah, dsb. 28. Jajan pasar (buah-buahan dan kue yang bermacam-macam).

29. Kupat lepet. 30. Jenang abang, jenang putih, jenang lemu (bermacam-macam bubur). 31. Rujak legi. 32. Rujak croba. 33. Sesaji yang terdiri dari cacahan daging dan ikan. 34. Perlengkapan atau alat dapur. 35. Kendi berisi air penuh. 36. Diyan anyar kang murub (pelita baru yang dinyalakan). E. Ringkasan Cerita Murwakala untuk Ruwatan Pada suatu hari, Batara Guru sedang mengadakan sidang para dewa yang dihadiri antara lain oleh Dewi Uma dan Batara Narada. Sebelum sidang dimulai, tiba-tiba Batara Kala datang untuk menghadap Batara Guru dengan maksud minta makan. Batara Guru memberi makan kepada Batara Kala berupa : 1. Anak ontang-anting, 2. Anak unting-unting, 3. Anak lumunting, 4. Anak serimpi, yaitu empat anak perempuan semua, 5. Anak seramba, yaitu empat anak laki-laki semua, 6. Anak pendawa, 7. Anak pendawi, 8. Anak pendawa mmadhangake, yaitu lima anak bersaudara terdiri dari 4 laki-laki satu perempuan, 9. Anak pendawa ipil-ipil, yaitu lima anak bersaudara terdiri dari 4 perempuan satu laki-laki, 10. Anak uger-uger lawang, 11. Anak kembar sepasang, dan 12. Anak kedana-kedini.

Setelah Batara Kala pamit untuk mencari makan seperti petunjuk Batara Guru, maka perundingan dilanjutkan lagi. Batara Guru kemudian berpikir dan merasakan bahwa makanan Batara Kala terlalu banyak sehingga kasihan kepada manusia di bumi. Sehubungan dengan hal tersebut maka Batara Guru memerintahkan kepada Batara Narada supaya menugaskan Batara Wisnu untuk menjadi dalang guna mencabut apa yang telah diberikan Batara Guru kepada Batara Kala sebagai makanannya. Selanjutnnya, Batara Kala menemui istrinya yaitu Batari Durga untuk menyampaikan maksudnya, yakni hendak pergi ke Telaga Madirga untuk mencari makan. Batara Narada tiba di Ngutaralayu, tempat Batara Wisnu dan Batara Brama berada. Setelah Batara Narada bertemu dengan Batara Wisnu, maka Batara Narada segera menyampaikan maksudnya sesuai dengan perintah Batara Guru yaitu agar Batara Wisnu mencabut apa yang diperintahkan oleh Batara Guru kepada Batara Kala. Hal ini dapat terlaksana bila Batara Wisnu menjadi dalang. Setelah Batara Wisnu mendapat perintah tersebut, maka segeralah berangkat untuk melaksanakannya. Pada waktu Batara Kala sampai di Telaga Madirga, tidak disangka-sangka bertemu dengan Sang Hyang Batara Guru. Batara Kala menjelaskan bahwa ia sedang mencari makan. Batara Guru memberi senjata kepada Batara Kala untuk digunakan mencari makan seperti yang telah diperintahkan. Di samping itu, apabila ada orang yang bisa melihat cacat badan Batara Guru supaya mengakui Batara Guru sebagai ayahnya. Batara Kala sanggup menjalankan perintah Sang Hyang Batara Guru. Konon ada seorang janda di Desa Mendangkawit bernama Sumawit, mempunyai anak ontang-anting bernama Jaka Jatusmati (Lelangdarma). Karena anak ontang-anting, perlu mandi di Telaga Madirga agar dijauhkan dari malapetaka. Jaka Jatusmati setelah mendapat nasihat dari ibunya segera berangkat menuju ke Telaga Madirga. Kedatangan Jaka Jatusmati hampir bersamaan dengan Batara Kala. Batara Kala melihat Jaka Jatusmati dan menanyakan maksudnya. Jaka Jatusmati menjelaskan tujuan sebenarnya. Batara Kala langsung memerintahkan Jaka Jatusmati agar mandi di dalam perutnya, tetapi Jaka

Jatusmati menolaknya dan kemudian lari meninggalkan telaga. Batara Kala marah lalu mengejar Jaka Jatusmati. Ia bersembunyi dan bekerja di antara orang-orang yang sedang membangun rumah. Tetapi malang bagi Jaka Jatusmati, karena Batara Kala tahu persembunyiannya. Jaka Jatusmati lalu lari lagi dan bersembunyi di tempat orang yang sedang memipis (menggilas) jamu. Batara Kala terus mengejar-ngejar Jaka Jatusmati. Karena tergesa-gesa, kakinya terantuk pipisan hingga pecah dan gandikan-nya patah. Jaka Jatusmati bersembunyi lagi di tempat orang yang sedang menanak nasi, Batara Kala juga mengetahuinya. Setelah ketahuan, Jaka Jatusmati lari lagi. Pada waktu lari, Jaka Jatusmati menunjang dandang hingga roboh berantakan. Batara Kala terus mengejarnya sampai pada akhirnya Batara Kala terjepit pohon waluh yang mengakibatkan Batara Kala terjatuh. Jaka Jatusmati sempat lari terus. Ada seseorang bernama Kyai Buyut Wangkeng bertempat tinggal di Kampung Mendangkamulan. Kyai Buyut Wangkeng sedang menghadapi persoalan karena anak perempuannya minta diceraikan dari suaminya, Buyut Genduwal. Kyai Buyut Wangkeng tidak mengabulkan permintaan putrinya malah memberikan wejangan bahwa bercerai itu tidak baik. Akhirnya putrinya menurut saja atas wejangan ayahnya tetapi minta agar di-tanggap-kan wayang. Sang ayah mengabulkan permintaan putrinya dan menyuruh menantunya mencari dalang untuk mementaskan wayang. Sementara itu di Kampung Dadapan ada seorang dalang, Kanda Buwana dan Nyi Randa Dadapan. Tiba-tiba datanglah Buyut Geduwal untuk memohon agar dalang Kanda Buwana bersedia mendalang di rumah mertuanya. Ki Dalang Kanda Buwana menyanggupi. Ki Dalang Kanda Buwana mendalang untuk meruwat anak putri Kyai Buyut Wangkeng dengan cerita Manikmaya. Yang menonton wayang banyak sekali. Waktu Jaka Jatusmati mendengar ada tontonan wayang, segera berangkat menonton malah ikut memukul gamelan (nabuh gamelan). Batara Kala juga mendengar bahwa ada tontonan wayang dan ingin melihat. Batara Kala menonton sambil bersandar di pohon kelapa yang masih muda (belum berbuah) dan lama-kelamaan mengantuk. Ki Dalang Kanda Buwana yang melihat Batara Kala tertidur kemudian melempar telur dan pas mengenai mulutnya. Batara Kala terbangun dan meneruskaan menonton wayang.

Pada waktu Ki Dalang Kanda Buwana mendalangnya lucu, Batara Kala terbahak-bahak sehingga orang yang menonton bubar karena ketakutan melihat Batara Kala. Penonton panik dan pontang-panting mencari perlindungan untuk menyelamatkan diri, sedang Jaka Jatusmati karena takut malah tetap di situ saja. Karena penonton bubar, Ki Dalang Kanda Buwana terpaksa menghentikan pertunjukannya. Batara Kala kecewa dan memaksa kepada Ki Dalang Kanda Buwana agar pertunjukan dilanjutkan. Ki Dalang Kanda Buwana bersedia, asalkan dibayar dengan 125 batang emas. Kalau seandainya Batara Kala tidak bisa membayar, boleh juga membayar dengan senjata gada sebagai gantinya. Karena begitu senangnya dengan pertunjukan wayang, maka tanpa ragu-ragu Batara Kala menyerahkan gadanya kepada Ki Dalang Kanda Buwana yang kemudian melanjutkan pertunjukannya. Di tempat itu ada seorang wanita yang sedang hamil tua yang kemudian melahirkan. Pada saat itu si wanita melihat Batara Kala dan terkejut. Karena itu, anak yang baru lahir itu diberi nama Endang Pripen (Lelang Darmi). Setelah Batara Kala melihat bayi itu, segera memintanya, tetapi ingat janjinya, bahwa setiap mangsanya harus dibunuh terlebih dahulu dengan menggunakan gadanya, padahal gada itu ada di tangan Ki Dalang Kanda Buwana. Berlarilah Batara Kala untuk meminta kembali gadanya dari tangan Ki Dalang Kanda Buwana. Gada akan diberikan kepada Batara Kala, tetapi sebagai gantinya ia harus membatalkan memangsa Jaka Jatusmati dan Endang Pripen. Batara Kala setuju atas usul itu tetapi akhirnya marah karena merasa ditipu oleh Ki Dalang Kanda Buwana, maka ia pun mengamuklah. Ki Dalang mencegah. Dalam perkelahian itu, Ki Dalang Kanda Buwana melumpuhkan Batara Kala. Setelah itu Batara Kala mengadakan perjanjian dengan Ki Dalang Kanda Buwana. Dasar perjanjian itu pada pokoknya berisi bahwa Batara Kala harus mengakui Ki Dalang Kanda Buwana sebagai ayahnya dan harus menghormati dan meluhurkannya. Setelah itu keadaan menjadi reda, selanjutnya Batara Kala dikirim kembali ke asalnya dan Jaka Jatusmati serta Endang Pripen terlepas dari mangsa Batara Kala, selamat sejatera.

10

F. Urut-urutan Upacara Ruwatan : 1. Upacara siraman a. Upacara siraman dilakukan pada pagi hari + pukul 09.00. upacara siraman dilakukan oleh ibu dari anak yang diruwat dengan air kembang setaman. Setelah dibersihkan, anak itu mengenakan busana adat Jawa yang dibuat secara khusus. Anak yang diruwat diajak oleh Ki Dalang serta didampingi oleh para pinisepuh (neneknya, budenya dan lain sebagainya) untuk bersujud di hadapan ayah dan ibunya. b. Acara dilanjutkan dengan selamatan ala kadarnya disertai doa khusus yang dilakukan oleh Ki Dalang di hadapan keluarga dan kerabat tuan rumah. c. Menjelang sore hari kira-kira pukul 16.00, setelah semua sesaji lengkap, berangkatlah iring-iringan rombongan pembawa sesaji-sesaji tersebut ke tempat acara ruwatan dilangsungkan. Beberapa saat rombongan inti dimana anak yang akan diruwat ikut segera menyusul. d. Anak yang diruwat, ayah-ibu serta para sesepuh dipersilakan duduk di tempat yang telah disiapkan. Demikian pula semua sesaji sudah diletakkan di atas meja khusus yang diatur oleh Ki Dalang. e. Sebelum gamelan berbunyi (Ladrang Wilujeng Laras Pelog Pathet 6), Ki Dalang menyerahkan : 5 potong tembu wulung sepanjang + 40 cm, 21 kuntum bunga melati dan sebutir tunas kelapa. Ki Dalang kemudian meminta baju dalam dari anak yang diruwat tersebut. 2. Pertunjukan wayang dengan cerita Murwakala Selama kurang lebih 3 jam Ki Dalang mempergelarkan wayang kulit dengan cerita Murwakala. Ketika cerita hampir berakhir, Ki Dalang menghentikan sebentar ceritanya terlebih dahulu dan dilanjutkan dengan Srah-srahan anak yang diruwat dari ayah-ibunya kepada Ki Dalang dan kemudian anak yang diruwat dipotong rambutnya secara

11

simbolis (rambut bagian ujung kepala dipotong sedikit) oleh ayahibunya. 3. Upacara srah-srahan dan potong rambut a. Dengan membawa gunting kecil, dua helai saputangan, ayahibu didahului oleh anak yang diruwat menghadap Ki Dalang untuk menyampaikan niatnya. Anak itu kemudian dipangku oleh Ki Dalang, sementara ayah-ibunya mendekatinya. b. Anak yang diruwat itu bersujud di hadapan ayah-ibunya. Setelah itu menggunting sedikit-sedikit rambut anak tersebut dan diletakkan di saputangan masing-masing, kemudian diserahkan kepada Ki Dalang. Setelah itu anak yang diruwat beserta orangtuanya meninggalkan Ki Dalang dan selanjutnya Ki Dalang meneruskan pagelaran wayang kulit cerita Murwakala sampai selesai hanya tinggal beberapa adegan lagi. c. Setelah pagelaran wayang kulit tersebut selesai, anak yang diruwat beserta ayah-ibunya menghampiri Ki Dalang untuk menyampaikan ucapan terima kasih dan selanjutnya Ki Dalang menyerahkan potongan-potongan rambut kepada ibunda anak yang diruwat serta baju dalam anak yang diruwat tersebut sebagai bekal penolak bala di kemudian hari dan seterusnya. 4. Upacara tirakatan Setelah selesai upacara ruwatan yang diselenggarakan pada pagi hari sampai siang hari, pada malam harinya diselenggarakan malam tirakatan dengan pentas wayang. Biasanya pentas wayang dalam malam tirakatan itu diambilnya cerita (lakon) yang berbobot misalnya Bima Gugah, Sentana Banjut dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai