Anda di halaman 1dari 10

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Definisi Kekurangan Energi Protein ( KEP) adalah keadaan yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara kebutuhan protein dengan intake. Dapat juga diartikan, Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG. Menurut Supariasa ( 2000) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Sesuai dengan kosa katanya bahwa kekurangan energi dan protein pada bayi disebabkan oleh masukan energi dan protein yang tidak mencukupi kebutuhannya, yang disebabkan oleh multi faktor yang saling terkait, diantaranya: 1. Masukan yang tidak adekuat. Hal ini dihubungkan dengan ketidakmampuan (kemiskinan), penyakit yang menyebabkan anorexia, prosedur di RS yang memuasakan bayi, dan tekanan psikologis. 2. Meningkatnya kebutuhan. Peningkatan kebutuhan energi umumnya dikarenakan infeksi, demam, trauma, neoplasma, hipertiroid dan distress pada jantung dan pernafasan. 3. Menurunnya retensi energi. 4. Meningkatnya energi yang terbuang. Hal ini dapat disebabkan muntah, diare dan sindroma melabsorbsi juga menurunkan retensi energi. Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair akut, disentri, dan diare persisten. Sedangkan menurut menurut Depkes RI (2005), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari .

1.2 Latar Belakang Masalah kekurangan energi protein (KEP) pada anak-anak terutama balita di Indonesia merupakan masalah gizi yang sangat kompleks. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia KEP adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Penyakit infeksi yang sering menyertai KEP adalah diare. Penyakit diare di Indonesia sampai saat ini masih merupakan salah satu penyakit endemis dan masih sering menimbulkan kejadian luar biasa (KLB) di masyarakat oleh karena seringnya terjadi peningkatan kasus-kasus pada saat atau musim-musim tertentu yaitu pada musim kemarau dan pada puncak musim hujan (Sunoto, 1990). Penyakit diare masih termasuk dalam 10 penyakit terbesar di Indonesia tahun 1999 sebesar 5 per 1000 penduduk dan menduduki urutan kelima dan 10 penyakit terbesar. Penyakit diare pada balita dalam keluarga dengan tingkat ekonomi rendah seringkali berkepanjangan, sehingga diperkirakan dapat menyebabkan Kekurangan Energi Protein. Pembuat makalah ingin mengetahui hubungan diare berkepanjangan dengan Kekurangan Energi Protein.

BAB II PEMBAHASAN

A. Kekurangan Energi Protein

Kekurangan energi protein adalah keadaan kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG. Menurut Supariasa ( 2000) Kurang Energi Protein (KEP) adalah seseorang yang kurang gizi yang disebabkan oleh rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari dan atau gangguan penyakit tertentu. Etiologi KEP Defisiensi kalori dan asupan gizi lain mempersulit gambaran klinik dan kimia, gejala utama malnutrisi protein disebabkan karena masukan protein tidak cukup bernilai biologis baik. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukkan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat-zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Anak balita ini justru merupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi Pada anak-anak KEP dapat menghambat pertumbuhan, rentan terhadap penyakit infeksi dan mengakibatkan rendahnya tingkat kecerdasan (Almatsier, 2003). Penyebab langsung dari KEP adalah kekurangan kalori protein. (Sediaoetomo, 1999), masukan makanan yang kurang dan penyakit atau kelainan yang diderita anak, misalnya penyakit infeksi, malabsorbsi dan lain-lain. Penyebab tak langsung dari KEP sangat banyak, sehingga disebut juga sebagai penyakit dengan kausa multifaktorial (Sediaoetomo, 1999). Dapat juga karena penyerapan protein terganggu, seperti pada keadaan diare kronik, kehilangan protein abnormal pada proteinuria (nefrosis), infeksi perdarahan atau luka bakar, dan gagal mensintesis protein seperti pada keadaan penyakit hati kronik (Nelson, 1999), faktor ekonomi, faktor fasilitas perumahan dan sanitasi, faktor pendidikan dan pengetahuan, faktor fasilitas pelayanan kesehatan, faktor pertanian dan lain-lain. Kurang energi protein dijumpai dalam tiga bentuk yaitu marasmus, kwashiorkor dan bentuk campuran marasmic-kwashiorkor. Bentuk marasmus terjadi karena kekurangan energi terutama kekurangan energi / kalori, sedangkan kwashiorkor terutama oleh karena kekurangan zat protein Manifestasi Klinik. Bukti klinik malnutrisi protein tidak jelas tetapi meliputi letargi, apatis, atau iritabilitas. Bila terus maju, mengakibatkan pertumbuhan tidak cukup, kurang stamina, kehilangan jaringan muskuler, bertambah kerentanan terhadap infeksi, dan udem atau pembengkakan. Gejala klinik dari tiga bentuk kekurangan energi protein menurut standar

pelayanan medik RSUP Dr. Sardjito (2000) adalah gejala klinik yang selalu ada, gejala klinis yang biasanya ada dan gejala klinis yang kadang-kadang ada. Kwashiorkor. (1) gejala klinis yang selalu ada. (a) edema (gejala cardinal, tanpa edema tidak dapat ditegakkan diagnosis kwashiorkor) karena hipoalbuminemia. (b) pertumbuhan terlambat. (c) cengeng, apatis. (d) brkurangnya jaringan lemak sub kutan. (2) gejala klinis yang biasanya ada. (a) perubahan rambut (tipis, lurus, jarang, mudah dicabut tanpa rasa sakit, kemerahan karena gangguan melanogenesis), kalau terjadi akut kelainan rambut idak ada. (b) pigmentasi kulit (pellagroid dermatosis). (c) moon-face. (d) anemia. (30 gejala klinis yang kadang-kadang ada. Flaky-paint rash, hepatomegali (karena infiltrasi lemak), gejala defisiensi vitamin yang menyertai, gejala/tanda penyakit infeksi yang menyertai. Marasmus. (1) gejala klinis yang selalu ada. (a) pertumbuhan yang sangat lambat. (b) lemak subkutan yang hampir tidak ada (sel lemak masih ada) sehingga kulit anak keriput, wajah seperti orang tua, perut tampak buncit, (c) jaringan otot mengecil, (d) tidak ada edema, BB. Tanda-tanda lain yang menyertai adalah muka bulat, rambut tipis, kulit pecah, mengelupas dan terlihat sengsara. Secara langsung gizi buruk disebabkan terus rendahnya konsumsi energi protein, juga mikronurien dan makanan sehari-hari dalam jangka waktu yang lama. Bila anak menderita gizi buruk tidak segera ditangani, amat berisko tinggi dan berakhir dengan kematian, sehingga akan menyebabkan meningkatnya angka kematian. Padahal angka kematian menjadi salah satu indikator derajat kesehatan. Anak yang pernah menderita gizi buruk sulit mengejar pertumbuhan sesuai umurnya. Pada tingkat tertentu, kekurangan gizi akan menyebabkan berat otak, jumlah sel ukuran besar sel, dan zat-zat biokimia lain lebih rendah dari pada anak normal. Makin muda usia anak yang menderita kurang gizi maka makin berat akibat yang ditimbulkan. Keadaan akan menjadi lebih berat jika kurang gizi dialami sejak dalam kandungan. Kemunduran mental akibat gizi buruk dapat bersifat permanen atau tidak dapat diperbaiki (irreversible). Namun, pada keadaa kurang gizi ringan maupun sedang, kecenderungan mental dapat dipulihkan jika keadaan gizi dan lingkungan bertambah baik. Diagnosis. Pada pemeriksaan antropometri, dapat dilakukan pengukuran-pengukuran fisik anak (berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas) dan dibandingkan dengan angka standar (anak yang normal). Untuk tingkat puskesmas penentuan KEP yang umum dilakukan adalah dengan hanya menimbang berat badan balita dibandingkan dengan umur anak.

B.

Diare Menurut WHO (1999) secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang

air besar) lebih dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu ( Depkes RI, 2007): 1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita yang diberi ASI penuh, dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.

2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman karena botol
susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan dilingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman/bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang menggunakan botol tersebut beresiko terinfeksi diare 3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak. 4. Menggunakan air minum yang tercemar. 5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan dan menyuapi anak 6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia. Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan enam besar, tetapi yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Penyebab diare secara lengkap adalah sebagai berikut: (1) infeksi yang dapat disebabkan: a) bakteri, misal: Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan vibrio, bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus, Campylobacter dan aeromonas; b) virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like agen dan adenovirus; c) parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastsistis huminis, protozoa, Entamoeba histolitica, Giardia labila, Belantudium coli dan Crypto; (2) alergi, (3) malabsorbsi, (4) keracunan yang dapat disebabkan; a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan oleh bahan yang dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran, (5) Imunodefisiensi dan (6) sebab-sebab lain (Widaya, 2004). Departemen Kesehatan RI (2000), mengklasifikasikan jenis diare menjadi empat kelompok yaitu: 1) Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya kurang dari tujuh hari),

2) Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya, 3) Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara terus menerus, 4) Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya. Diare akut dapat mengakibatkan: (1) kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia, (2) Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, (3) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah (Soegijanto, 2002). Diare mengakibatkan terjadinya: a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, dan asidosis metabolik. b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal. Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah, kadangkadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono, 2008).

BAB III PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diare pada balita dan anak, terutama yang berupa diare persisten atau diare kronik, akan menimbulkan gangguan penyerapan zat makro dan zat mikro, salah satunya protein. Kondisi ini, jika diperparah dengan kurangnya asupan gizi dari orangtua penderita, akan menimbulkan kekurangan energi protein atau KEP. Untuk menghindari KEP karena diare, tentunya harus dilakukan pencegahan terhadap penyakit diare itu sendiri. Beberapa langkah pencegahan yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut: 1. pencegahan primer, meliputi penyediaan air bersih, pembuangan tinja yang tepat, status gizi yang baik (dengan asupan makanan yang baik), pemberian ASI dalam jangka waktu yang tepat pada bayi dan balita, dan kebiasaan mencuci tangan yang disiplin. 2. pencegahan sekunder, ditujukan kepada sianak yang telah menderita diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti gejala bakteri diare atau parasit, obstipansia yang untuk menghilangkan dan spasmolitik membantu

menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan. Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter. 3. pencegahan tersier penderita diare diusahakan adalah penderita diare jangan sampai pengembalian fungsi fisik, psikologis mengalami kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi

dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan.

DAFTAR PUSTAKA
http://www.surabaya-ehealth.org/artikel/serba-serbi-protein-dankekurangan-energi-protein-kep-bagian-2 Ika Fransischasari. 2008.
Hubungan Kekurangan Energi (Diare) Protein (KEP) serta dengan

Kejadian

Penyakit

Infeksi

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pada Balita (Studi Di Desa Sambirejo Kecamatan Trenggalek Kabupaten Trenggalek). Jember : Gray Literature http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19780/4/Chapter%20II.pdf http://midwifery-23.blogspot.com/2007/07/kekurangan-energi-protein-kep.html http://lkpk.org/2008/05/25/penyakit-diare-di-indonesia/

MAKALAH GIZI 2

PENGARUH DIARE DENGAN KEKURANGAN ENERGI PROTEIN ( KEP )

Disusun oleh : Nabila Amalina Naomi Ditya Sari Nydia Rena Benita Prananingrum Dwi Oktarina Ryco Giftyan Ardika Sherly Katerina Stefanus Satria Adi Dharma G2A008121 G2A008123 G2A008137 G2A008142 G2A008170 G2A008175 G2A008182

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 2010

Anda mungkin juga menyukai