Anda di halaman 1dari 16

BAB II PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan nama systemic lupus erythematosus (SLE) merupakan

penyakit kronik inflamatif autoimun yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam serta berbagai perjalanan klinis dan prognosisnya. Penyakit ini ditandai oleh adanya periode remisi dan episode serangan akut dengan gambaran klinis yang beragam berkaitan dengan berbagai organ yang terlibat. SLE merupakan penyakit yang kompleks dan terutama menyerang wanita usia reproduksi. Faktor genetik, imunologik, dan hormonal serta lingkungan berperan dalam proses patofisiologi.1,5,6,7 Prevalensi SLE di Amerika adalah 1:1000 dengan rasio wanita : laki-laki antara 9-14 : 1. Data tahun 2002 di RSUP Cipto mangunkusumo Jakarta, didapatkan 1,4% kasus SLE dari total kunjungan pasien poliklinik Reumatologi. Belum terdapat data epidemiologi yang mencakup semua wilayah Indonesia, namun insidensi SLE dilaporkan cukup tinggi di Palembang.1,5 Survival rate SLE berkisar antara 85% dalam 10 tahun pertama dan 65% setelah 20 tahun menderita SLE. Mortalitas akibat penyakit SLE ini 3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi, sedangkan dalam jangka panjang berkaitan dengan penyakit vascular aterosklerotik.5,6 2.1 DEFINISI Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi. Berdasarkan sumber lain, sistemik lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit multisistem yang disebabkan oleh kerusakan jaringan akibat deposisi immune kompleks. Terdapat spektrum manifestasi klinis yang luas dengan remisi dan eksaserbasi. Respons imun patogenik mungkin berasal dari pencetus lingkungan serta adanya gen tertentu yang rentan.2,3 2.2 ETIOLOGI 2,3,4 1. Autoimun ( kegagalan toleransi diri)

2. Cahaya matahari ( UV) 3. Stress 4. Agen infeksius seperti virus, bakteri (virus Epstein Barr, Streptokokus, klebsiella) 5. Obat obatan : Procainamid, Hidralazin, Antipsikotik, Chlorpromazine, Isoniazid 6. Zat kimia : merkuri dan silikon 7. Perubahan hormon 2.3 EPIDEMIOLOGI Dalam 30 tahun terakhir, SLE telah menjadi salah satu penyakit reumatik utama di dunia. Prevalensi SLE di berbagai negara sangat bervariasi. Prevalensi pada berbagai populasi yang berbeda-beda bervariasi antara 2,9/100.000 - 400/100.000. SLE lebih sering ditemukan pada ras tertentu seperti bangsa negro, Cina dan mungkin juga Filipina. Faktor ekonomi dan geografik tidak mempengaruhi distribusi penyakit. Penyakit ini dapat ditemukan pada semua usia, tetapi paling banyak pada usia 15-40 tahun (masa reproduksi). Frekuensi pada wanita dibandingkan dengan frekuensi pada pria berkisar antara (5,5-9) : 1.1 Beberapa data yang ada di Indonesia diperoleh dari pasien yang dirawat di rumah sakit. Dari 3 peneliti di Departemen Ilmu Penyakit dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia / RS. Dr. Cipto Mangunkusumo, yang melakukan penelitian pada periode yang berbeda diperoleh data sebagai berikut : 1969-1970 ditemukan 5 kasus SLE (Ismail Ali); 1972-1976 ditemukan 1 kasus SLE dari setiap 666 kasus yang dirawat; 1988-1990 insidensi rata-rata ialah sebesar 37,7 per 10.000 perawatan.1 Insidensi di Yogyakarta antara tahun 1983-1986 ialah 10,1 per 10.000 perawatan. Di medan antara tahun 1984-1986 didapatkan insidensi sebesar 1,4 per 10.000 perawatan.1 2.4 PATOFISIOLOGI 3,4,5,6 Tidak diketahui etiologi pasti. Ada faktor keluarga yang kuat terutama pada keluarga dekat. Resiko meningkat 2550% pada kembar identik dan 5% pada kembar dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya, menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi respon imun spesifik berupa molecular mimicry

yang mengacau regulasi sistem imun. Faktor lingkungan yang mencetuskan SLE, bisa dilihat pada tabel berikut : Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis Lupus Eritematous

Terjadinya SLE dimulai dengan interaksi antara gen yang rentan serta faktor lingkungan yang menyebabkan terjadinya respons imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari pertolongan sel T hiperaktif pada sel B yang hiperaktif pula, dengan aktivasi poliklonal stimulasi antigenik spesifik pada kedua sel tersebut. Pada penderita SLE mekanisme yang menekan respon hiperaktif seperti itu, mengalami gangguan. Hasil dari respon imun abnormal tersebut adalah produksi autoantibodi dan pembentukan imun kompleks. Subset patogen autoantibodi dan deposit imun kompleks di jaringan serta kerusakan awal yang ditimbulkannya merupakan karakteristik SLE. Antigen dari luar yang

akan di proses makrofag akan menyebabkan berbagai keadaan seperti : apoptosis, aktivasi atau kematian sel tubuh, sedangkan beberapa antigen tubuh tidak dikenal(self antigen) contoh: nucleosomes, U1RP, Ro/SS-A. Antigen tersebut diproses seperti umumnya antigen lain oleh makrofag dan sel B. Peptida ini akan menstimulasi sel T dan akan diikat sel B pada reseptornya sehingga menghasilkan suatu antibodi yang merugikan tubuh. Antibodi yang dibentuk peptida ini dan antibodi yang terbentuk oleh antigen external akan merusak target organ (glomerulus, sel endotel, trombosit). Di sisi lain antibodi juga berikatan dengan antigennya sehingga terbentuk imun kompleks yang merusak berbagai organ bila mengendap. Perubahan abnormal dalam sistem imun tersebut dapat mempresentasikan protein RNA, DNA dan phospolipid dalam sistem imun tubuh. Beberapa autoantibodi dapat meliputi trombosit dan eritrosit karena antibodi tersebut dapat berikatan dengan glikoprotein II dan III di dinding trombosit dan eritrosit. Pada sisi lain antibodi dapat bereaksi dengan antigen cytoplasmic trombosit dan eritrosit yang menyebabkan proses apoptosis. Peningkatan imun kompleks sering ditemukan pada SLE dan ini menyebabkan kerusakan jaringan bila mengendap. Imun kompleks juga berkaitan dengan komplemen yang akhirnya menimbulkan hemolisis karena ikatannya pada receptor C3b pada eritrosit. Kerusakan pada endotel pembuluh darah terjadi akibat deposit imun kompleks yang melibatkan berbagai aktivasi komplemen, PMN dan berbagai mediator inflamasi. Keadaan-keadaan yang terjadi pada cytokine pada penderita SLE adalah ketidakseimbangan jumlah dari jenis-jenis cytokine. Keadaan ini dapat meningkatkan aktivasi sel B untuk membentuk antibodi. Berbagai keadaan pada sel T dan sel B yang terjadi pada SLE : Sel T : -Lymphopenia -Penurunan sel T supressor -Peningkatan sel T helper -Penurunan memori dan CD4 -Penurunan aktivasi sel T supressor -Peningkatan aktivasi sel T helper

Sel B : -Aktivasi sel B -Peningkatan respon terhadap cytokine. Bagian terpenting dari patogenesis ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang

dalam keadaan normal mencegah autoimunitas. 2.5 GEJALA KLINIK 6,7,8

Onset penyakit dapat spontan atau didahului faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi, obat, penghentian kehamilan, trauma fisik/psikis. Setiap serangan biasanya didahului gejala umum seperti demam, malaise, kelemahan, anorexia, berat badan menurun, iritabilitas. Demam ialah manifestasi yang paling menonjol kadang-kadang dengan menggigil. Manifestasi kulit berupa butterfly appearance. Manifestasi kulit yang lain berupa lesi discoid, erythema palmaris,periungual erythema, alopesia. Mucous membran lession cenderung muncul pada periode eksaserbasi pada 20% penderita juga didapatkan fenomena Raynaud. Manifestasi gastrointestinal berupa nausea, diare, GIT discomfort. Gejala menghilang dengan cepat bila manifestasi sistemiknya diobati dengan adekuat. Nyeri GIT mungkin disebabkan peritonitis steril dan arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis juga dapat menimbulkan pankreatitis. Manifestasi muskuloskeletal berupa athralgia, myalgia, myopathi. Joint symptoms dengan atau tanpa aktif sinovitis ada pada 90% penderita. Atritis cenderung menjadi deformasi, dan gambaran ini hampir selalu tidak didapatkan pada pemeriksaan radiografi. Manifestasi ocular, termasuk conjungtivitis, fotofobia, transient atau permanent monoocular blindness dan pandangan kabur. Pada pemeriksaan fundus dapat juga ditemukan cotton-wool spots pada retina (cytoid bodies). Pleuritis, pleural effusion, bronkopneumonia, pneumonitis sering dijumpai. Pleural effusion unilateral ringan lebih sering dijumpai daripada bilateral. Mungkin didapatkan sel LE pada cairan pleura. Pleural effusion menghilang dengan terapi yang adekuat. Restriktif pulmonary disease juga mungkin dijumpai. Manifestasi di jantung dapat berupa cardiac failure akibat dari miocarditis dan hipertensi. Cardiac aritmia juga sering dijumpai. Valvular incompetence yang sering dijumpai adalah mitral regurgitasi. Vasculitis pada percabangan mesenterica sering muncul dan

dihubungkan dengan polyarteritis nodusa, termasuk ditemukan adanya aneurysma pada percabangannya. Abdominal pain (setelah makan), ileus, peritonitis, perforasi dapat terjadi. Adenopati menyeluruh dapat ditemukan, terutama pada anak-anak, dewasa muda, dan kulit hitam. Splenomegali terjadi pada 10% penderita. Secara histologis lien menunjukan fibrosis periarterial (onion skin lesion). Hepatomegali mungkin juga dapat ditemukan, tetapi jarang disertai ikterus. Kelenjar parotis dapat membesar pada 6% kasus SLE. Pada Drug Induce Lupus Erythematosus kelainan pada ginjal dan SSP jarang ditemukan. Anti Ds-DNA, hipocomplementemia serta kompleks imun juga jarang ditemukan. 2.6 Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE Penyakit SLE dapat ringan atau berat sampai mengancam nyawa . Kriteria untuk dikatakan SLE ringan adalah :10 1. Diagnosis SLE telah ditegakkan atau sangat dicurigai 2. Secara klinis tenang 3. Tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa 4. Fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit 5. Tidak ditemukan tanda efek samping atau toksisitas pengobatan Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu: 10 a. Jantung : vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna b. Paru-paru : hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru, fibrosis interstitial c. Gastrointestinal : pankreatitis, vaskulitis mesenterika d. Ginjal : nefritis persisten, RPGN (rapidly progressive glomerulonephritis), sindroma nefrotik e. Kulit : vaskulitis, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)

f. Neurologi : kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa, mononeuritis, polyneuritis, neuritis optic, psikosis, sindroma demielinisasi g. Otot : miositis h. Hematologi : anemia hemolitik, netropenia (leukosit < 1.000/mm3), trombositopenia < 50.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia, trombosis vena atau arteri i. Konstitusional : demam tinggi yang persiten tanpa bukti infeksi 2.7 PEMERIKSAAN LABORATORIUM 6 Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan : 1. Hematologi Ditemukan anemia, leukopenia, trombocytopenia. 2. Kelainan imunologi Ditemukan ANA, Anti-Ds-DNA, rheumatoid factor, STS false positive, dan lain-lain. ANA sensitive tapi tidak spesifik untuk SLE. Antibody doublestranded DNA (AntiDs DNA) dan anti-Sm spesifik tapi tidak sensitive. Depresi pada serum complement menjadi normal pada remisi. Anti-Ds DNA juga berhubungan dengan aktivitas dari perjalanan penyakit SLE , tetapi anti-Sm tidak.Suatu varietas antibody antinuclear lain dan juga anticytoplasmic (Ro,La,Sm,RNP,Jo-1) berguna secara diagnostik pada penyakit jaringan ikat dan kadang ditemukan pada SLE dengan negatif ANA. Serologi Tes Siphillis false positive dapat ditemukan 5-10% penderita.Mereka disertai antikoagulan lupus,yang manifestasi sebagai perpanjangan Partial Thrombiplastin (PTT). Kadar complemen serum menurun pada fase aktif dan paling rendah kadarnya pada SLE dengan nefritis aktif. Urinalisis dapat normal walaupun telah terjadi proses pada ginjal. Untuk menilai perjalanan SLE pada ginjal dilakukan biopsy ginjal dengan ulangan biopsy tiap 4-6 bulan. Adanya silinder eritrosit dan silinder granuler menandakan adanya nefritis yang aktif. Berikut tabel dibawah, jenis autoantibody yang berperan dalam SLE dan prevalensinya. Obat-obat yang dapat memicu timbulnya SLE terhadap orang dengan predisposisi genetik :

Definite ascociation Chlorpromazine Methyldopa Hydralazine Procainamide Isoniazid Quinidine

Possible ascociation Beta-blocker Methimazole Captopril Nitrofurantion Carbamazepine Penicillinamine Cimetidine Phenitoin Ethosuximide Propylthiouracil Hydrazine Sulfasalazine Levodopa Sulfonamide Lithium Trimethadione

Unlikely ascociation 2.8. Allopurinol Penicillin Chlortalidone Phenylbutazone Gold salt Reserpine Griseofulvin Streptomycin Methysergide Tetracycline Oral contraceptive DIAGNOSIS

Diagnosis SLE harus dipikirkan pada :

1. Wanita muda 2. Didapatkan lesi pada area yang terekspose matahari 3. Manifestasi sendi 4. Depresi dari hemoglobin, sel darah putih, sel darah merah,trombosit 5. Tes serologi yang positif (ANA, anti-native DNA, serum komplemen yang rendah) Diagnosis mengacu pada kriteria yang dibuat oleh the American College of Rheumatology revisi tahun 1997.7,9 Interpretasi: Bila 4 kriteria atau lebih didapatkan, diagnosa SLE bisa ditegakkan dengan spesifitas 98% dan sensitivitas 97%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosa bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan gejala lain tidak ada, maka bukan SLE. 2.9. DIAGNOSIS BANDING

Beberapa penyakit atau kondisi di bawah ini seringkali mengacaukan diagnosis akibat gambaran klinis yang mirip aau beberapa tes laboratorium yang serupa, yaitu :10,14 a. Undifferentiated connective tissue disease b. Sindroma Sjogren c. Sindroma antibody antifosfolipid (APS) d. Fibromialgia (ANA positif) e. Purpura trombositopenik idiopatik f. Lupus imbas obat g. Artritis reumatoid h. Vaskulitis i. Rheumatoid arthritis dan penyakit jaringan konektif lainnya.

j. Endokarditis bacterial subacute k. Septikemia oleh Gonococcus/Meningococcus disertai dengan arthritis ,lesi kulit. l. Drug eruption. m. Limfoma. n. Leukemia. o. Trombotik trombositopeni purpura. 2.10. Terapi Tujuan Meningkatkan kualitas hidup pasien dengan pengenalan dini dan pengobatan paripurna. Tujuan khusus : a) mendapatkan masa remisi yang panjang, b) menurunkan aktifitas penyakit seringan mungkin, c) mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktifitas hidup keseharian baik Pilar Pengobatan - Edukasi dan konseling Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan sekitar agar dapat hidup mandiri. Pasien memrlukan edukasi mengenai cara mencegah kekambuhan antara lain dengan melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung, atau topi, melakukan latihan secara teratur, pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis, atau dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktifitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Latihan/program rehabilitasi a. Istirahat b. Terapi fisik c. Terapi dengan modalitas Pengobatan SLE Ringan 10

a. Edukasi Pasien diberikan harapan yang realistic sesuai keadaannya, hindari paparan ultra violet berlebihan, hindari kelelahan, berikan pengetahuan akan gejala dan tanda kekambuhan, anjurkan agar pasien mematuhi jenis pengobatan dan melakukan konsultasi teratur. b. Obat-obatan - Anti analgetik - Anti inflamasi non steroidal (OAINS) - Glukokortikoid topikal potensi ringan (untuk mengatasi ruam) - Klorokuin basa 4mg/kg BB/hari - Kortikosteroid dosis rendah < 10 mg/hari prednisone c. Tabir surya : topikal minimum sun protection factor 15 (SPF 15) d. Istirahat Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa a. Glukokortikoid dosis tinggi1,6,7,8 Lupus nefritis, serebritis atau trombositopenia : 40-60 mg/hari (1mg/kg BB) Prednisone atau metilprednisolon intravena sampai 1 g/hari selama 3 hari berturutturut. Selanjutnya diberikan oral. b. Obat imunosupresan atau sitotoksik Azatioprin, siklofosfamid, metotreksat, klorambusil, siklosporin dan nitrogen mustard. Tergantung dari berat ringannya penyakit serta organ yang terlibat, misalnya pada lupus nefritis diberikan siklofosfamid (oral/intravena) azatioprin; arthritis berat diberikan metotreksat (MTX). Penderita SLE tidak dapat sembuh sempurna(sangat jarang didapatkan remisi yang sempurna). Meskipun begitu dokter bertugas untuk memanage dan mengkontrol supaya fase akut tidak terjadi. Tujuan pengobatan selain untuk menghilangkan gejala, juga memberi pengertian dan semangat kepada penderita

untuk dapat bekerja dan melakukan kegiatan sehari-hari. Terapi terdiri dari terapi suportif yaitu diit tinggi kalori tinggi protein dan pemberian vitamin. Beberapa prinsip dasar tindakan pencegahan eksaserbasi pada SLE, yaitu:11,12 1. Monitoring teratur 2. Penghematan energi dengan istirahat terjadwal dan tidur cukup 3. Fotoproteksi dengan menghindari kontak sinar matahari atau dengan pemberian sunscreen lotion untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari 4. Atasi infeksi dengan terapi pencegahan pemberian vaksin dan antibiotik yang adekuat. 5. Rencanakan kehamilan / hindari kehamilan . Berikut adalah beberapa terapi medikamentosa pada penderita SLE :11,12 1. NonSteroid Anti-Inflamatory Drug (NSAID): NSAID berguna karena kemampuannya sebagai analgesik, antipiretik dan antiinflamasi. Obat ini berguna untuk mengatasi SLE dengan demam dan arthralgia/arthritis. Aspirin adalah salah satu yang paling banyak diteliti kegunaannya. Ibuprofen dan indometasin cukup efektif untuk mengobati SLE dengan arthritis dan pleurisi, dalam kombinasi dengan steroid dan antimalaria. Keterbatasan obat ini adalah efek samping pada saluran pencernaan terutama pendarahan dan ulserasi. Cox2 dengan efek samping yang lebih sedikit diharapkan dapat mengatasi hal ini, tetapi belum ada penelitian mengenai efektivitasnya pada SLE. Efek samping lain dari OAINS adalah : reaksi hipersensitivitas, gangguan renal, retensi cairan, meningitis aseptik. 2. Antimalaria Efektivitas antimalaria terhadap SLE yang mengenai kulit dan sendi telah lama diketahui, dan obat ini telah dianggap sebagai obat pilihan pertama untuk SLE kulit terutama LE diskoid dan LE kutaneus subakut. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu pemrosesan antigen di makrofag dan sel penyaji antigen yang lain dengan meningkatkan pH di dalam vakuola lisosomal. Juga menghambat fagositosis, migrasi netrofil, dam metabolisme membran fosfolipid.

Antimalaria dideposit didalam kulit dan mengabsorbsi sinar UV. Hidrosiklorokuin menghambat reaksi kulit karena sinar UV. Beberapa penelitian melaporkan bahwa antimalaria dapat menurunkan kolesterol total, HDL dan LDL, pada penderita SLE yang menerima steroid maupun yang tidak. Terdapat 3 obat antimalaria yang tersedia : hidroksiklorokuin (dosis 200-400mg/hari), klorokuin (250mg/hari), kuinarkrin (100mg/hari). Hidroksiklorokuin lebih efektif daripada klorokuin, dan efek sampingnya lebih ringan. Efek samping antimalaria yang paling sering adalah efek pada saluran pencernaan, kembung, mual, dan muntah; efek samping lain adalah timbulnya ruam, toksisitas retin, dan neurologis (jarang). 3. Kortikosteroid Cara kerja steroid pada SLE adalah melalui mekanisme antiinflamasi dan. Dari berbagai jenis steroid, yang paling sering digunakan adalah prednison dan metilprednisolon. Pada SLE yang ringan (kutaneus, arthritis/arthralgia) yang tidak dapat dikontrol oleh NSAID dan antimalaria, diberikan prednisone 2,5 mg sampai 5 mg perhari. Dosis ditingkatkan 20% tiap 1 sampai 2 minggu tergantung dari respon klinis. Pada SLE yang akut dan mengancam jiwa langsung diberikan steroid, NSAID dan antimalaria tidak efektif pada keadaan itu. Manifestasi serius SLE yang membaik dengan steroid antara lain : vaskulitis, dermatitis berat, poliarthritis, poliserosistis, myokarditis, lupus pneumonitis, glomeruloneftritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik, neuropati perifer dan krisis lupus. Pada SLE aktif dan berat, terdapat beberapa regimen pemberian steroid : 1. Regimen I : daily oral short acting (prednison, prednisolon, metilprednisolon), dosis: 1-2 mg/kg BB/hari dimulai dalam dosis terbagi, lalu diturunkaan secara bertahap (tapering) sesuai dengan perbaikan klinis dan laboratoris. Regimen ini sangat cepat mengontrol penyakit ini, 5-10 hari untuk manifestasi hematologis atau saraf, serositis, atau vaskulitas; 3- 10 minggu untuk glomerulonephritis. 2. Regimen II : methylprednisolone intravena, dosis: 500-1000 mg/hari, selama 3-5 hari atau 30 mg/kg BB/hari selam 3 hari. Regimen ini mungkin dapat mengontrol penyakit lebih cepat daripada terapi oral setiap hari, tetapi efek yang menguntungkan ini hanya bersifat sementara, sehingga tidak digunakan untuk terapi SLE jangka lama.

3. Regimen III : kombinasi regimen 1 atau 2 dengan obat sitostatik azayhioprine atau cyclophosphamide. Setelah kelainan klinis menjadi tenang dosis diturunkan dengan kecepatan 2,5-5 mg/minggu sampai dicapai maintenance dose. 4. Methoreksat Methoreksat adaalah antagonis folat yang jika diberikan dalam dosis untuk penyakit rematik efek imunosupresifnya lebih lemah daripada obat alkilating atau azathrioprin. Methorekxate dosis rendah mingguan, 7,5-15 mg, efektif sebagai steroid spring agent dan dapat diterima baik oleh penderita, terutama pada manifestsi kulit dan mukulosketetal. Gansargedkk, melakukan percobaan dengan memberikan Mtx 15 mg/minggu pada kegagalan steroid dan antimalaria. Efek samping Mtx yang paling sering dipakai adalah: lekopenia, ulkus oral, toksisitas gastrointestinal, hepatotoksisitas.untuk pemantauan efek samping diperlukan pemeriksaan darah lengkap, tes fungsi ginjal dan hepar. Pada penderita dengan efek samping gastrointestinal, pemberian asam folat 5 mg tiap minggu akan mengurangi efek tersebut. 5. Imunosupresan atau sitostatik yang lain. Azathhioprine (Imuran AZA) Cylophosphamide (chitokxan, CTX) Chlorambucil (leukeran, CHL) Cyclosporine A Tacrolimus (FK506) Fludarabine Cladribine Mycophenolate mofetil

6. Terapi hormonal Dehidroxyepiandrosterone Sulfate (DHEAS) Danazol

7. Pengobatan Lain

Dapsone Dapsone, atau 4.4- diaminophenylsulphone, bekerja dengan cara mengganggu metabolisme folat dan menghambat asam para aminobenzoat, dan menghambat jalur alternative komplemen serta sitotoksisitas netrofil. Tersedia sejak lebih dari 50 tahun yang lalu untuk pengobatan lepra. Dapson ternyata efektif untuk pengobatan Lupus eritematosus kutaneus. Leukopenia, dan trombositopenia pada SLE, dengan dosis 50-150 mg/hr. hampir semua penderita yang menerima dapsone akan mengalami anemia hemolitik ringan yang biasanya berhubungan dengan dosis. Clofazimine (Lamprene) Clofazimine adalah anti leprosi juga yang telah terbukti untuk LE kutaneus yang refrakter. Digunakan dengan dosis antara 100 sampai 200 mg/hr. efek samping yang terutama adalah warna kulit yang berubah menjadi pink atau coklat gelap, dan menjadi kering. Thalidomide Thalidomide dengan dosis 50 sampai 100 mg/hr serta dosis pemeliharaan 25 sampai 50 mg/hr, efektif untuk LE kutaneus refrakter. Obat ini bekerja dengan menghambat TNF alfa. Obat ini dikontraindikasikan pada kehamilan karena banyak laporan mengenai terjadinya malformasi janin (fokomelia).11,12 Immunoglobulin intravena Immunoglobulin intravena (IVIg) bekerja dengan menghambat reseptor Fc reikuloendotelial. Terapi ini berguna untuk mengatasi trombositopenia, dan pada keadaan mengamcam jiwa, dengan dosis 2mg/kgBB/hari. 5 hari berturut-turut setiap bulan. IVIg sangat mahal, oleh karena itu hanya digunakan pada SLE yang resisten terhadap terapi standar, atau pada keadaan SLE yang berat. 11,12 External Device Terdapat beberapa teknik eksternal yang kegunaannya pada SLE agak terbatas, yaitu: plasmapheresis, photopheresis, immunoabsorption, UVA1light (panjang gelombang: 340400nm), and iradiasi limfoid total. 8. Transplantasi Sumsum Tulang11,12

Hanya diberikan pada kasus SLE yang paling agresif dan rekfrakter. Terapi ini masih merupakan eksperimental untuk saat ini. Pengobatan Terhadap Komplikasi Pada komplikasi gagal ginjal dipertimbangkan pemberian diuretic,anti

hipertensi,mungkin juga dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal. Terhadap kejang-kejang dapat diberikan antikonvulsan. 2.11 KOMPLIKASI 9,10 Komplikasi neurologis bermanifestasi sebagai perifer dan central berupa psikosis, epilepsi, sindroma otak organik, periferal dan cranial neuropati, transverse myelitis, stroke. Depresi dan psikosis dapat juga akibat induksi dari obat kortikosteroid. Perbedaan antara keduanya dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid. Psikosis lupus membaik bila dosis steroid dinaikkan, dan pada psikosis steroid membaik bila dosisnya diturunkan. Komplikasi renal berupa glomerulonefritis dan gagal ginjal kronik. Manifestasi yang paling sering berupa proteinuria. Histopatologi lesi renal bervariasi mulai glomerulonefritis fokal sampai glomerulonfritis membranoploriferatif difus. Keterlibatan renal pada SLE mungkin ringan dan asimtomatik sampai progresif dan mematikan. Karena kasus yang ringan semakin sering dideteksi, insidens yang bermakna semakin menurun. Ada 2 macam kelainan patologis pada renal berupa nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan manifestasi terberat. Klinis berupa sebagai sindroma nefrotik, hipertensi, gagal ginjal kronik. 2.12 PROGNOSIS 9,10 Bervariasi ,tergantung dari komplikasi dan keparahan keradangan.Perjalanan SLE kronis dan kambuh-kambuhan seringkali dengan periode remisi yang lama. Dengan pengendalian yang baik pada fase akut awal prognosis dapat baik.

Anda mungkin juga menyukai