Anda di halaman 1dari 12

IBU PENENTU GENERASI BARU

Konon, ibu adalah tiangnya negara. Kala tiang tiada daya, bangunanpun roboh rata. Tak heran jika ada yang berkata: Ibulah yang melahirkan sebuah bangsa!

Akan tetapi, di kala penduduk dunia kini melebihi angka 6 Milyar manusia, terpampang jelas di pelupuk mata betapa narkoba telah kian menggerogoti para remaja kota bahkan desa. Data per-Juli 1999 narkoba ternyata telah dikonsumsi oleh tak kurang 4 juta pemuda kita dengan omset tak tanggung-tanggung, Rp 780 Milyar per hari! Itupun baru untuk penjualan heroin saja, belum shabu-shabu, putauw, cimeng, rahipnol, extacy dll. Lebih menyedihkan lagi, 90% dari 918 pengidap HIV/AIDS yang terdeteksi ternyata adalah kaum muda kita. Yang tak terdeteksi entahlah, hanya Tuhan yang tahu. Belum lagi tentang aborsi. Sebanyak 60% dari total pasien yang datang ke sebuah klinik di Denpasar yang ingin menggugurkan kandungan dengan alasan KTD (Kehamilan Tak Dikehendaki) adalah remaja pra nikah! Demikian juga dengan berbagai penelitian di Kota Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta bahkan demikian juga di Kota kecil Madiun, dan pelosok Kalimantan Selatan dan Sumatra Utara. Ditambah lagi dengan maraknya ayam kampus, ayam abu-abu, ayam ABG jalanan dan berbagai macam eksploitasi seksual dan pornografi di berbagai media cetak dan elektronik, sinetron, telenovela, film biru, iklan, internet dll. Padahal, 30% dari 6 milyar total penduduk dunia adalah pemuda yang kelak akan menjadi generasi pengganti. Akan tetapi, narkoba dkk kini tengah mengancam perkembangan lebih dari 60 juta jumlah pemuda kita. Lalu, salah siapakah gerangan? Orangpun ada yang berkata; Tak salah bunda mengandung. Betulkah? Apakah semakin meningginya angka perceraian memiliki korelasi langsung? Apakah semakin banyaknya peran publik yang diambil wanita/ibu turut berpengaruh? Ataukah melemahnya ketahanan ekonomi keluarga akibat banyaknya suami di-PHK turut memberi dampak?

Ataukah sistem makro di bidang sosial, pendidikan, hukum dan politik justru yang menyebabkannya? Tulisan ini akan mencoba menganalisa.

Epilog satu: Maaa,tolong saya. Saya kecanduan putauw. Cuma dua kalimat itu yang meluncur dari bibir Gambit. Selebihnya, Gambit bocah 15 tahun itu menangis sesenggukan sambil memeluk erat lutut ibunya dengan tangan gemetar. Sejurus Suryani, ibu Gambit, terpana. Diam mematung. Sementara tangis Gambit semakin hebat. Tanda-tanda With Drawal Syinthrom mulai memuncak. Tidak mungkin! Anakku yang berprilaku normal dengan prestasi sekolah stabil, kini bantah Suryani dalam hati. Iapun memanggil Ambi, kakak Gambit. Benar, Maa. Saya sudah terjerat Putauw. Saya sudah tak tahan lagi Ambipun hanya bisa membelalakkan mata mendengar erangan sang adik. Di depan mataku, kedua kakak beradik itupun berangkulan . Ya Tuhan. Ini sebuah bencana, air mata Suryanipun membanjir. Wanita karir yang menjadi orang tua tunggal bagi ketiga anaknya sepeninggal suaminya inipun terpaksa menerima kenyataan pahit dengan hati getir. Para ibu sekalian, mungkinkah anak kita juga termasuk GambitGambit lain sementara kita tidak mengetahuinya?

Epilog dua: Memasuki tahun ajaran baru, setahun yang lalu tepatnya bulan Mei 1998, Kipland P. Kinkel (15th), siswa baru di SMA Thurston, Spriengfield, Oregon Amerika justru menembak mati seorang siswa dan melukai 23 kawannya dengan senapan semi otomatis Glock buatan Austria, senjata kaliber 22 dan sebuah pistol tangan kaliber 22. Kejamnya lagi, Kipland ternyata sebelumnya telah menembak mati kedua orang tuanya di rumahnya sendiri! Peristiwa serupa terjadi pula di Jonesboro, Arkansas Amerika. Empat siswi dan seorang guru di Sekolah Menengah Westside tewas diterjang peluru yang dimuntahkan

muridnya sendiri; Andrew Golden (11th) dan Mitchell Johnson (13th) hanya gara-gara cinta anak ingusan ini ditolak. Peristiwa tragis diatas, barangkali sudah biasa kita tonton di layar perak. Banyak film-film bertemakan bahkan lebih sadis lagi yang kemudian membuat fantasi membunuh pemirsa sedemikian cerdas. Akan tetapi, dua kekejaman di atas bukanlah adegan di layar lebar tapi kejadian nyata di pelupuk mata. Memang benar itu terjadi di negeri Cowboy, Amerika. Tapi tentang anak SMP yang meracuni gurunya gara-gara raportnya jelek, siswa YPPI yang mengancam guru dan ibu kandungnya dengan pisau belati garagara ditegur gurunya, anak SD yang memperkosa balita bahkan dengan binatang, yang tawuran saban hari bahkan dikejar hingga mati tenggelam di sungai, pelajar pengedar dan pecandu heroin, bukankah semua itu sudah terjadi di negeri Indonesia yang konon mayoritas penduduknya muslim?

Epilog tiga: Pertengahan Agustus 1999 di sebuah desa di Jawa Barat, Presiden. BJ. Habibie mengungkapkan data; Amat memprihatinkan. 8 juta balita kita menderita kekurangan gizi. Mereka yang merupakan calon pemimpin bangsa perkembangan otaknya ternyata tidak bisa sempurna akibat kurang gizi. Padahal, seperti kata dokter Soepardi Soedibyo, SpA(K), MARS, spesialis anak dari RSCM, anak dibawah 2 tahun jika kekurangan gizi akan menyebabkan jumlah sel otaknya berkurang 15 hingga 20%. Anak seperti ini jika disuruh bersaing dengan anak lain yang normal tentu akan menemui banyak kesukaran.

Epilog empat: Pagi itu, sebagaimana hari-hari biasanya, duduk berjajar banyak orang namun bukan sedang mendengarkan pengajian bukan pula antrean panjang pasien Rumah Sakit. Puluhan orang itu sedang menanti giliran mengikuti sidang gugatan perceraian di Gedung Pengadilan Agama Kodya Surabaya. Sepanjang Juli 1999, angka kasus yang diputus cerai mencapai 146! Sedangkan bulan sebelumnya mencapai 129 kasus diputus cerai. Jadi, rata-rata perhari yang diputus cerai ada 6-7 pasang suami istri. Lalu bagaimana dengan puluhan anak-anak yang menangis dan menanti belai kasih mereka di rumah?

DESAKRALISASI RUMAH TANGGA Pernikahan merupakan fakultas kesabaran dari universitas kehidupan , kata Dra. Sitaresmi S SoekantoPemimpin Redaksi tabloid Keluarga SAKINAH. Kata-kata ini selalu dipesankan ayah saya kepada masyarakat melalui berbagai novel karyanya. Akan tetapi, kebanyakan keluarga tidak menyadari dan tidak mempersiapkan diri. Padahal berkeluarga disamping mutlak membutuhkan penguasaan atas agama sebagai dasar kehidupan juga membutuhkan life skill, penguasaan atas psikologi pendidikan, ketrampilan kerumah-tanggaan seperti seni dekorasi, medis, memasak, dll serta ketahanan ekonomi. Akibatnya, biduk rumah tangga yang dibangun ala kadarnyapun akhirnya oleng kala sedikit saja diterpa angin. Faktor terbesar yang menyebabkan perceraian di

Surabaya adalah akibat terus-menerus berselisih, kata Ahmad Ashuri, SH Ketua Panitera Muda Urusan Hukum di Pengadilan Agama Surabaya. Kebanyakan perselisihan dengan alasan tidak ada keharmonisan kemudian ditambah dengan hadirnya pihak ketiga sebagai WIL atau PIL. Padahal kebanyakan mereka telah lama berpacaran jauh sebelum menikah. Faktor penyebab kedua yang terungkap adalah akibat ekonomi dan tidak adanya tanggung jawab. Bahkan ada juga

perceraian akibat suami lupa tanggung jawab karena kecanduan narkoba dan ironinya sikap suami didukung ayahnya sendiri. Menanggapi tingginya angka perceraian di Surabaya, KH. Roem Rowi mengatakan bahwa faktor utamanya adalah kedangkalan pemahaman agamanya. Rasul kan menjamin, jika dalam menikah kriteria agama yang diutamakan pasti akan bahagia di dunia maupun di akherat. Sebaliknya, semakin dangkal pemahaman keagamaan seseorang maka akan semakin labil kehidupan rumah tangganya. Akan mudah terombang-ambing menghadapi tantangan kehidupan. Disenggol gangguan sedikit saja pasti akan goyah. Di Trenggalek dan beberapa daerah nelayan, angka perceraian dan pernikahan sangat terkait dengan masa panen dan paceklik, jelas Drs. La Musa Waly bagian Dokumentasi Kanwil Departemen Agama Jawa Timur. Saat musim panen tiba, biasanya angka pernikahan akan bertambah. Sedangkan saat paceklik datang berbondong-bondong gugatan perceraian datang. Sungguh menyedihkan, kemuliaan pernikahan runtuh karena motivasi rendah materi keduniaan. Benarlah kata penyanyi dangdut, Punya uang abang disayang, nggak punya uang abang ditendang.

NARKOBA MELANDA REMAJA Hilangnya substansi rumah tangga mengakibatkan hilang pula tujuan kehidupan, kasih sayang dan ketahanan rumah tangga. Akibatnya, anak sebagai sosok yang secara psikologis sangat sensistif dan amat membutuhkan figur teladan menjadi kecewa. Kekecewaan terpendam (sleeper effect) ini terakumulasi terus dan pada akhirnya mendorong anak untuk lari mencari pengganti cinta kasih sejati dari orang tua (deprived from parental) yang hilang. Kalau burung merpati cenderung untuk berkawan dengan sesama merpati, maka anak yang kehilangan kasih sayangpun cenderung akan membentuk habitat yang sama. Rasulullah saw bersabda: Tunjukkan kepadaku siapa kawanmu, niscaya aku akan tahu apa agamamu. Kumpulan anak-anak pencari kasih sayang ini amat rentan terhadap godaan luar. Apalagi lingkungan saat ini tidak kondusif.

Penyebaran narkoba yang kini terang-terangan dan sangat sistematis bahkan melalui promosi gratis ke sekolah-sekolah menengah melalui pembagian permen coklat yang didalamnya ternyata diisi bubuk heroin akhirnya menjadi participating factor

(faktor pemicu) larinya anak-anak tersebut ke dunia candu, kata Bu Sita menyebut kejadian di Jakarta beberapa saat lalu. Anak-anakpun berfantasi, berkhayal dan lupa derita. Padahal, tanpa disadari yang mereka hirup justru adalah asap mematikan! Tentang bahaya narkoba, Rasulpun bersabda: Malaikat Jibril datang kepadaku lalu berkata: Hai, Muhammad. Allah melaknat minuman keras, pemerasnya, oangorang yang membantu pemerasannya, peminumnya, penerima/penyimpannya,

penjualnya, pembelinya, penyuguhnya, dan orang-orang yang mau disuguhinya (HR. Ahmad bin Hambal dari Ibnu Abbas) (catatan: yang dimaksud dengan pemerasnya adalah orang yang memeras buah anggur untuk dijadikan miras).

NEO KOLONIALISME NARKOBA Bahkan, KH. Roem Rowi mengatakan bahwa bisa jadi narkoba merupakan bentuk penjajahan baru (neo kolonialisme) oleh negara lain yang tidak suka terhadap bangsa muslim Indonesia. Seperti halnya takluknya Hongkong oleh Inggris pada Januari 1841 juga adalah melalui perang candu. Ketika itu, dari 18.400 jumlah penduduk Hongkong ternyata terdapat 131 perusahaan yang menjual dan mendistribusikan candu. Sejarah penjajahan di Indonesia sendiri juga tak lepas dari serangan candu. Sejahrawan James R Rush dalam bukunya Opium to Java (1990) mencatat adanya perjanjian monopoli impor candu antara raja Amangkurat II dengan VOC. Maka sejak tahun 1619 hingga 1799 VOC telah memasok candu ke Jawa sebanyak kurang lebih 56 ton. Indonesia merupakan negara sasaran yang empuk bagi pemasaran narkoba. Disamping jumlah penduduknya sangat besar, juga karena sistem hukum yang amat lemah dan bisa dipermainkan. Hukuman terhadap narkoba jauh lebih ringan dibandingkan di Malaysia, Filipina atau Singapura. Itupun masih bisa dinegosiasikan

bahkan dilepaskan begitu saja. Apalagi ditambah rusaknya sistem sosial dan budaya bangsa kita, kata KH. Roem Rowi dengan prihatin.

DEGRADASI REMAJA Adanya desakralisasi rumah tangga ditambah dengan adanya participating factor berupa neo kolonialisme narkoba mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas remaja kita. Padahal Umar bin Khatab ra pernah berkata: Jika kalian ingin menggenggam dunia maka genggamlah pemudanya, kata Bu Sita. Belakangan ini, PLAN Internasional bekerja sama dengan Yayasan Latanza dan Yayasan Seni Rupa melakukan survey dengan responden 300 remaja yang berdomisili di lima kelurahan di Surabaya; Wonokromo, Bangkingan, Sumurwelut, Wonokusumo dan Rungkut. Dari total 300 responden, 74% diantaranya adalah pelajar SMP dan SMU. Survey membuktikan bahwa 67% dari pelajar tersebut mengaku telah melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya. Lebih menyedihkan lagi, diantara mereka tidak hanya berhubungan seks dengan pacarnya akan tetapi juga banyak yang menjual diri (prostitusi). Ini sebenarnya bukanlah data baru, karena jauh sebelumnya di Surabaya telah sering terungkap tentang pelajar merangkap pelacur, mahasiswi merangkap pelacur dengan angka yang juga sangat besar. Di Surabaya, beberapa tempat telah teridentifikasi cukup lama sebagai tempat mangkal para ABG bejat ini. Akan tetapi aparat tak juga bertindak tegas. Bahkan konon, operasi yang digelar tak jarang justru digunakan untuk memeras para ABG tersebut baik dengan meminta uang bahkan pelayanan. Akibatnya, alih-alih prostitusi hilang yang muncul justru aborsi dan virus AIDS. Praktek aborsi banyak dijumpai dengan pasien para remaja pra nikah. Sebagai contoh, praktek aborsi dr. Edward di kawasan prostitusi Dolly Surabaya yang sempat heboh namun akhirnya hilang nyaris tak terdengar. Pembunuhan janin di kandungan oleh para remaja ini sudah cukup lama terjadi di beberapa kota negeri kita. Di Bali misalnya, ada sebuah klinik setempat yang setiap tahunnya (laporan tahun 1997) didatangi tak kurang 3.000 remaja untuk menggugurkan

kandungannya akibat KTD (Kehamilan Tak Dikehendaki). Dan 60%-nya adalah remaja pra nikah! Besarnya kasus KTD diatas menunjukkan amat besarnya frekuensi hubungan seksual (baca= perzinahan) di sana. Para pembaca yang budiman, ingatlah akan sabda nabi saw: Bila perzinahan telah meluas di masyarakat dan dilakukan secara terang-terangan (dianggap biasa), infeksi dan penyakit yang mematikan yang sebelumnya tidak terdapat ada zaman nenek moyangnya akan menyebar di kalangan mereka (HR. Ibnu Majah, Al Bazaar dan Baihaqi). Sabda Nabi ini kini terbukti benar. AIDS telah membunuh tak pandang siapa saja, kaya miskin, gagah kurus semuanya tewas mengenaskan. Data per-Juli 1999, menunjukkan bahwa jumlah penderita AIDS yang terdeteksi 918 orang dan 90%-nya atau 831 diantaranya berusia muda, 15-49 tahun. Padahal itu adalah umur produktif manusia dimana tanggung jawab menghidupi keluarga diletakkan. Prof. DR. Dadang Hawari mengatakan bahwa data penderita AIDS itu ibarat gunung es. Yang tampak ke permukaan sebenarnya amatlah sedikit dibandingkan jumlah penderita AIDS yang tak terdeteksi.

SOLUSI The next generation must to better, kata Bu Sita kala ditanya bagaimana seharusnya generasi pengganti nanti. Rasulullah saw bersabda: Siapkan anakmu karena anakmu akan hidup dengan liku-liku zamannya nanti. Ketua Umum Yayasan Pengembangan Sumber Daya Muslimah IBU BAHAGIA Jakarta inipun kemudian memberi nasehat: Ibu kedepan haruslah proaktif melebihi progresifitas zaman dengan segala tantangannya. Tunjukkan kepada sang anak apa sebenarnya tantangan zamannya. Kalau dulu anak kita menjadi hero kala menghadapi tantangan zaman dengan memegang bambu runcing, maka anak sekarang harus bisa mejadi hero sesuai dengan tantangan yang dihadapinya. Tanpa mengetahui tantangan zamannya anak akan kehilangan tantangan dan vitalitas atau sebaliknya ia akan menjadi

hero dengan cara yang salah. Anak merasa hero kala ditangkap polisi karena tawuran atau menghisap narkoba.

SIAPKAN GENERASI PENGGANTI Hampir pasti tak satupun orang tua yang tak ingin anaknya sukses. Akan tetapi, tak sedikit orang tua yang tidak memperdulikan anaknya atau paling tidak belum mempunyai program terencana berjangka panjang. Jangankan merencanakan masa depan anak, menyelamatkan biduk rumah tangga saja banyak yang terseok-seok. Yang kemudian disoroti adalah bagaimana mempersiapkan pembentukan rumah tangga yang handal? Pembinaan rumah tangga apalagi persiapan pembentukan rumah tangga itu bukan tanggung jawab kami. Sedangkan tugas Pengadilan Agama adalah menerima laporan, memproses kemudian menyelesaikan gugatan, apakah diputus cerai atau bisa didamaikan. Akan tetapi, selama ini yang berhasil didamaikan sangat sedikit karena biasanya mereka datang ke pengadilan itu karena sudah mentok. Kalaupun berhasil kirakira tidak lebih dari 2,5% saja, kata Ahmad Ashuri, SH, Paling jauh, tugas kami hanyalah memberikan penyuluhan hukum kepada masyarakat tentang apa yang menjadi hak dan kewajiban hukum dari sebuah keluarga dan kemana mestinya sebuah persoalan hukum itu dibawa atau diadukan. Menurut saya, mestinya BP4 yang melakukan pembinaan keluarga. Sementara itu, Drs. La Musa Waly yang juga terlibat dalam program pembinaan keluarga oleh BP4 ke daerah-daerah merasakan kalau BP4 kewalahan untuk melakukan fungsi penataran pra-nikah dan pembinaan rumah tangga. Disamping anggaran terbatas juga selama ini diakui kurang memadai. Baik dari segi metode pembinaan mapun alokasi waktu yang tersedia. Berbeda dengan kucuran anggaran pemerintah untuk mensukseskan program Keluarga Berencana (KB) yang amat besar. Dalam hal ini pemerintah cenderung memandang keluarga dari sisi angka-angka kelahiran atau kuantitas anggota keluarga

saja. Kalau jumlah anak banyak maka butuh banyak makanan. Mereka lupa akan substansi dan kualitas serta tujuan berkeluarga, kata KH. Roem Rowi. Ketika dikonfirmasi ke BP4, kantornya selalu tutup padahal tiga hari berturutturut Al-Falah kesana. Hanya ada satu tukang disana karena kebetulan sedang ada bangunan yang direnovasi. Katanya pengurus BP4 semuanya sedang kunjungan ke daerah. Lalu siapa yang bertanggung jawab melakukan persiapan pembentukan keluarga sakinah? Apakah persiapan pembentukan keluarga cukup diserahkan ke Biro Jodoh, Bursa Jodoh atau Kontak Jodoh? Mestinya itu tanggung jawab lembaga pendidikan karena ia memang menyentuh seluruh usia kata KH. Roem Rowi, Akan tetapi karena terbatasnya pendidikan agama akhirnya menjadi kurang bermanfaat. Apalagi terdapat pemisahan, dikotomi bahkan paradoks antara misi pendidikan agama dan misi pendidikan umum. Mestinya, misi pendidikan agama ini tidak hanya menjadi tanggung jawab guru agama akan tetapi menjadi misi semua guru di setiap mata pelajaran. Akan tetapi, ketika guru mengajarkan ilmu biologi kepada murid-muridnya, ia lupa mengajari muridnya tentang Dzat yang Maha Kaya Ilmu yaitu Allah. Pendidikan hanya berorientasi pada materi belaka.

Akibatnya anak lupa akan hakekat kehidupan yang mulia. Paradigma materialisme ini pula yang membentuk paradigma rumah tangga termasuk dalam membesarkan anakanaknya kelak. Disisi lain, Sitaresmi S Soekanto memprihatinkan kecilnya anggaran pendidikan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara khususnya Malaysia. Kesejahteraan guru jauh dari mencukupi. Anggaran untuk riset dan peningkatan kualitas kurikulum maupun metodologi pengajaran amat kurang. Akibatnya, pendidikan bersifat formal, dogmatis, kaku dan konservatif. Jauh dari inovasi dan sentuhan nilai-nilai Ilahi. Dan guru menjadi minder dengan muridnya yang berasal dari keluarga kaya yang setiap saat bisa mengikuti perkembangan informasi dan ilmu melalui internet dan buku-buku baru. Sedangkan guru? Punya sepeda motor saja sudah untung. Dalam kondisi seperti itu, KH. Roem Rowi menyesalkan adanya politikus yang kasak-kusuk hendak menghapuskan pendidikan agama dari kurikulum yang ada.

Mestinya, yang harus diupayakan adalah bagaimana bisa membuat konsep dasar agar misi agama ini bisa masuk kedalam kurikulum non agama sehingga murid bisa menyadari akan adanya keberadaan dan peran Allah yang selalu ada dimana-mana. Ketika belajar bahasa, Biologi dll murid selalu disentuh dengan nilai-nilai ketuhanan.

HARAPAN Semua yang muncul ke permukaan diatas adalah akibat dan bukan sebab. Dan kita mesti bersukur karena Allah menampakkan kepada kita akibat dari perbuatanperbuatan dosa yang ada. Karenanya untuk perbaikan kedepan, yang harus diberantas adalah akar persoalannya, jelas KH. Roem Rowi. Fenomena kenakalan remaja, misalnya, adalah akibat dari kenakalan orang tua. Artinya, tingginya angka perceraian, perselingkuhan dan orientasi materialisme itu semua-nyalah yang menyebabkan munculnya kenakalan remaja. Ambruknya negara kita ini juga karena pembangunan hanya beorientasi pada materi dan mengabaikan agama. Sementara itu, Bu Sita mengharap ada peningkatan anggaran pendidikan sehingga memungkinkan peningkatan mutu pengajaran para guru dan diperluasnya riset yang memungkinkan peningkatan metodologi dan kurikulum pendidikan. Sedangkan untuk peningkatan ketahanan rumah tangga, Bu Sita berharap pada dua aspek; pertama perlu adanya perhatian ormas Islam, Masjid dll untuk membuat paket kegiatan persiapan pra nikah. Bukankah pernikahan itu separoh dari seluruh urusan agama? Setelah at-takwin asy-syakhsiyah al-Islamiyah (pembentukan kepribadian Islami) maka diperlukan adanya at-takwin al-usroh al-Islamiyah (pembentukan keluarga Islami) secara sistematis dan menyeluruh sebagai sebuah program dakwah berkesinambungan. Jadi dakwah tidak hanya tabligh, ceramah atau khutbah kemudian jamaah ditinggal begitu saja. Sebagaimana dakwah Rasulullah dulu juga dimulai dari pembentukan pribadi islami, keluarga islami, masyarakat islami lalu bangsa dan pemerintahan yang islami berikutnya kekhalifahan islamiyah. Kedua, peningkatan kualitas ibu sebagai istri dan pendidik yang utama dan pertama atas anak-anaknya. Al-ummu madrasatun ula. Peningkatan disini meliputi aspek

pemahaman keagamaan, aspek pendidikan sebagai calon istri dan pendidik, aspek ekonomi agar berdaya, aspek kerumah-tanggaan seperti medis, masak, seni dekorasi, sosial masyarakat dll. Pemerintah harus memberikan perhatian khusus terhadap keluarga sebagai institusi terkecil sekaligus terpenting dalam orientasi pembangunan karakter bangsa. Dalam hal ini, institusi smacam BP4 harus di-revitalisasi dan di-reorientasikan lagi. Disisi hukum, penyuluhan dan perlindungan hukum terhadap wanita dan anak harus ditegakkan. Disisi lain, agar tidak menjadi preseden buruk maka konsistensi dan wibawa hukum serta aparat hukum harus dibuktikan dengan adanya transarpansi penanganan penanggulangan narkoba dan prostitusi yang semakin menggila. Terakhir, sebenarnya secara makro Allah telah mengingatkan tentang apa saja yang seharusnya ada agar pembangunan sebuah bangsa bisa melahirkan kesejahteraan. Dalam kamus bahasa Indonesia sejahtera mensyaratkan dua hal; aman dan makmur. Aman terkait dengan kondisi jiwa manusia agar terbebas dari segala rasa takut dan waswas; wa aamanahum min-khouf. Sedangkan makmur terkait dengan aspek fisik yaitu dibebaskannya manusia dari rasa lapar (minal juu). Akan tetapi, bukan hanya itu orientasi pembangunan karena di surat yang sama -QS. Qurays, Allah mengingatkan tentang orientasi sebuah bangsa yaitu Fal-yabudu Rabba hadzal bait, beribadah kepada Allah yang menciptakan alam semesta ini. Di surat yang lain Allah swt menjelaskan kriteria sebuah bangsa modern; baldatun thoyyibatun wa Rabbun Ghofuur. Thoyib berarti profesional, modern dan berilmu pengetahuan, Rabbun berarti senantiasa dibawah arahan dan orientasi Rabbani sedangkan Ghaffur merupakan sikap ketundukan sebuah bangsa untuk selalu merendahkan diri memohon ampunan Sang Pencipta. Semoga, generasi mendatang lebih baik dari sekarang. (ag)

Anda mungkin juga menyukai