Anda di halaman 1dari 37

MORFOLOGI BENTUK ARSITEKTUR SUNDA (PRIANGAN) DAN BETAWI

LATAR BELAKANG

KONSEP ARSITEKTUR SUNDA


Uraian tentang masyarakat Sunda itu dapat member penjelasan bahwa di Jawa Barat, wilayah Priangan merupakan daerah yang relatif paling banyak mengalami perubahan kekuasaan dibandingkan Cirebon dan Banten. Perubahan kekuasaan yang terjadi di daerah Priangan ini secara langsung maupun tidak langsung member penngaruh (dari luar) pada seluruh tatanan kehidupan masyarakatnya, termasuk arsitektur. Karena kerap berganti-ganti kekuasaan, dalam kajian arsitektur yang menekankan dinamika perubahan, arsitektur masyarakat Sunda daerah Priangan dianggap lebih layak dijadikan lokasi studi dibandingkan Banten dan Cirebon. Dalam Sundanologi, arsitektur kerap terbukti hanya merupakan bagian kecil dari subjek besar yang pernah dikaji. Literature tentang pengetahuan local arsitektur masyarakat Sunda secara khusus belum ada. Beberapa literature yang tersedia dirasakan riskan untuk dijadikan rujukan karena masih bersifat spekulatif. Meski begitu, studi tentang arsitektur masyarakat Sunda telah dilakukan secara sporadis, namun hasilnya tidak dipublikasikan secara meluas. Salah satu di antaranya adalah studi Priangan yang dilakukan antara Universitas Katolik Parahyangan dan Katholike Universiteit Leuven (Unpar-PGCHS Asro KU Leuven, 1987). Studi tersebut menggunakan pendekatan tipo-morfologi yang telah disimplifikasi menjadi metode praktis untuk melakukan perekaman artefak yang ada; karenanya belum memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan pengetahuan arsitektur karena hasil akhirnya masih sebatas pengklasifikasian tipe bangunan. Fakta di atas menguatkan keyakinan bahwa konsep bentuk dan makna arsitektur masyarakat Sunda selalu berkembang dan tidak pernah statis; karena itu telaah dari perspektif bangunan memang sudah sewajarnya layak dilakukan.

Konnsep wilayah masyarakat Sunda berbentuk kampung yang dipengaruhi oleh konsep patempatan. Patempatan adalah konsep (norma) tentang tempat, sedangkan kampung terikat dengan batas wilayah penduduk adat istiadat (komunitas). Di pedesaan, pola kampung masyarakat Sunda bniasanya dipengaruhi oleh mata pencaharian. Lokasi kampung selalu dekat dengan tempat kegiatan mata pencaharian. Yudistira Garna mengutarakan bahwa proses awal pembentukan kampung biasanya terdiri dari satu sampai tiga rumah yang disebut umbulan. Kemudian kumpulan beberapa umbulan akan membentuk suatu babakan yang umumnya terdiri dari lima sampai enam rumah. Kesatuan pemukiman disebut kampung yang terdiri dari puluhan rumah, ruang terbuka, bangunan ibadah, lumbunh padi, kandang ternak, kebun, sawah serta sarana fisik lain di sekelilingnya yang berkaitan erat dengan pemukiman. Masyarakat Sunda umumnya memberikan penamaan pada kampung mereka berdasarkan pada fenomena seperti ukuran kampung, letak kampung menurut arah mata angin, tinggi rendah kontur, waktu pembentukan kampung, kedekatan dengan sungai atau gunung yang ada di sekitarnya. Berdasar perbadaan ukuran kampung, didapat istilah kampung gede untuk pemukiman yang besar, kampung untuk pemukiman yang sedang, dan kampung leutik untuk pemukiman yang jumlah rumahnya relative sedikit (tetapi lebih besar dari babakan). Tergantung kebiasaan setempat, istilah gede atau leutik bias berganti menjadi agung atau alit.
Berdasarkan arah atau letak mata angin, orang Sunda mengenal istilah seperti kampung kulon yang ada di sebelah barat; kampung wetan yang ada di sebelah timur; kampung kaler yang ada di sebelah utara; kampung kidul yang terletak di sebelah selatan. Berdasarkan tinggi-rendah kontur, dikenal istilah kampung handap yang ada di bawah dan kampung luhur yang ada di daerah lebih atas, berdasarkan sungai atau gunung yang ada di sekitarnya, dikenal nama kampung berawalan ci (kependekan dari cai, artinya air), lalu disambung dengan nama sungai atau gunung di dekatnya. Kehidupan masyarakat dalam suatu kampung Sunda pada dasarnya merupakan akumulasi berbagai aspek yang saling tumpang tindih, sehingga sulit bila dilihat terpisah-pisah. Suwarsih Warnaen dan kawan-kawan menemukan lima kategori hubungan urang Sunda dengan lingkungannya, namun hanya empat yang signifikan dalam studi ini, yaitu: pertama, hubungan dengan Tuhan; kedua, hubungan dengan alam; ketiga, hubungan dengan masyarakat; dan keempat, hubungan dengan pribadi (termasuk di dalamnya kepuasan lahirian dan batiniah). Studi Suwarsih Warnaen dan kawan-kawan sangat bagus dijadikan landasan untuk memformulasikan orientasi kehidupan masyarakat Sunda. Kini terdapat empat kampung adat di daerah Priangan, yakni Kampung Pulo di Leles, Kampung Naga di antara Garut dan Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis, serta Kampung Tonggoh di Selatan Garut. Kampung Pulo hanya terdiri dari enam buah rumah, demikian pula Kampung Kuta, populasinya hanya tertinggal beberapa belas buah rumah. Di kedua kampung tersebut, sebagian besar larangan budaya Sunda yang umumnya diterapkan dalam fisik bangunan

sudah banyak dilanggar. Kampung Naga masih memegang adat dengan cukup kuat. Kampung ini termasuk tempat yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan, karena lokasinya tidak terlalu jauh dari jalan besar antara Garut dan Tasikmalaya. Di keempat kampung di atas, Kampung Tonggoh termasuk kampung yang paling kuat memegang adat, dan letaknya beradai di pedalaman, sehingga untuk kasus studi kampung yang masih memegang adat, dipilih Kampung Tonggoh. Daerah perkebunan peninggalan Belanda yang ada di daerah Priangan saat kini adalah perkebunan pada lintasan kota Bandung-Subang-Jakarta, perkebunan daerah sebelah selatan Garut, dan perkebunan daerah Ciwideuy. Karena kedekatan lokasi dengan daerah Batavia, kekuasaan dan budaya Belanda relatif lebih kental memberikan pengaruh terhadap perkebunan yang terletak pada lintasan Bandung-Subang-Jakarta dibandingkan perkebunan lainnya. Oleh sebab itu, pemilihan kampung perkebunan yang signifikan dipengaruhi factor keteknikan (craftsmanship) Belanda dipilih pada Kampung Cigenclang yang terletak di sebelah selatan Kota Subang. Sedangkan untuk kampung yang berbatasan dengan daerah pesisir yang secara signifikan dipengaruhi oleh budaya luar (Cina,Jawa) dipilih Kampung Palastra yang terletak di sebelah utara Majalengka dan di sebelah selatan Cirebon. Walaupun berbeda lokasi, criteria untuk memilih kampung lainnya sebagai kasus studi (di perkebunan dan pesisir), diusahakan mempunyai kesetaraan populasi, kelengkapan elemen, dan merupakan kampung yang tumbuh mandiri (tanpa intervensi atau institusi) seperti pada Kampung Tonggoh. Rumah di kampung masyarakat Sunda umumnya terdiri dari dua jenis. Pertama, dilihat dari bentuk atap, mereka mengenal istilah seperti: suhunan-jolopong, tagog (jogo)-anjing, badak-heuay, parahu-kumureb, jubleg-nangkub, dan julangngapak. Kedua, dilihat dari pintu masuk (entrance) muncul istilah buka-palayu dan buka-pongpok. Umumnya bangunan dan rumah masyarakat Sunda menggunakan bahan yang mudah musnah oleh waktu, sehingga tidak banyak peniggalan fisik bangunan asli yang dapat dijadikan contoh bagi generasi berikut. Yang masih tertinggal adalah tradisi yang diteruskan melalui tukang-tukang dan kebiasaan yang diperkuat oleh system kepercayaan mereka. Material dasar yang dahulu umum digunakan pada rumah di kampung masyarakat Sunda adalah bamboo dan kayu untuk tiang konstruksi, anyaman bilik bambu untuk dinding, dan penutup atap daun hateup yang kemudian dilapisi ijuk. Seiring zaman masyarakat Sunda telah juga menggunakan batu bata untuk dinding, serta genteng tanah liat untuk tutup atap. Penelusuran Aspek Bentuk Pada aspek bentuk, empat kategori hubungan urang Sunda dengan lingkungannya dihadapkan dengan kompleks wadah dan konsep tempat sehingga diperoleh kategori jenis wadah arsitektural yang dapat ditemukan di

masing-masing kampung. Kuantitas dan kualitas relasi jenis wadah dengan makna tempat arsitekturaldapat ditelusuri dari kategori tersebut. Hubungan urang Sunda dengan kehidupan
MANUSIA DENGAN TUHAN MANUSIA DENGAN ALAM MANUSIA DENGAN MASYARAKAT MANUSIA DENGAN PRIBADI

Aspek bentuk arsitektural Kompleks wadah


WADAH RITUAL WADAH PRODUKSIREPRODUKSI WADAH SOSIAL WADAH SEHARI-HARI

Kompleks konsep tempat


MAKAM, GUNUNG AIR, TANAH KAMPUNG HALAMAN IMAH, BUMI

Tabel di atas memperlihatkan adanya empat kategori kompleks wadah yaitu: pertama, wadah ritual; kedua, wadah produksi-reproduksi; ketiga, wadah social; dan keempat, wadah sehari-hari (rutin). Empat kategori kompleks wadah dan konsep tempat itu masih harus diurai lebih lanjut menjadi unit lebih rinci yang dapat ditemukan dalam kegiatan sehari-hari. Rincian wadah dan konsep tempat yang ditemukan dalam studi ini harus berhubungan dengan konsep wadah dan konsep tempat arsitektural. Empat kategori wadah diurai menjadi:
Wadah UNSUR WADAH RITUAL UNSUR WADAH PRODUKSI-REPRODUKSI UNSUR WADAH SOSIAL Uraian wadah IMAH PANGGUNG, MASJID, BATU HIDEUNG, MAKAM KEBON, HUMA, SAWAH, BALONG, LEUIT, SAUNG LISUNG, JEMUR KONTUR, JALAN SETAPAK, BATU TURAP, TEGALAN, BURUAN, LAPANGAN, PAGAR BAMBU, POUON, BALE, PANCURAN GOAH, PARAKO, TENGAH IMAH, GOLODOG, BILIK, BALE PANGGUNG, PASAREAN

UNSUR WADAH SEHARI-HARI

Wadah yang telah diurai di atas kemudian direkam berdasarkan factor pengaruh dari dalam terhadap kegiatan, ialah:
Nama wadah PENGGUNA WAKTU : sebutan local wadah : SIAPA DAN APA KEDUDUKANNYA DALAM MASYARAKAT : KAPAN DIBUAT, KAPAN DIGUNAKAN

AKSESIBILITAS AKTIVITAS DENAH STRUKTUR KONSTRUKSI

: LEWAT MANA SAJA UNTUK MENCAPAI WADAH INI : AKTIVITAS APA YANG DITAMPUNG : LUAS, TATANAN : SISTEM STRUKTUR YANG DIKETAHUI : SISTEM KONSTRUKSI YANG DIKETAHUI

Direkam/diperhatikan juga factor pengaruh dari luar terhadap kegiatan yang ada karena pengaruh:
Nama pengaruh luar EKONOMI TEKNOLOGI IKLIM, GEOGRAFIS : sebutan local pengaruh luar : KEMAMPUAN MENGKONSUMSI : PENGGUNAAN TEKNIK LAIN : ADAPTASI DENGAN MATERIAL

Selain perekaman uraian tentang wadah, pandangan hidup masyarakat dari tradisi lama tentang tempat ditelusuri lewat empat teks kuno, yaitu: Lutung Kasarung, Sanghyang Siksa Kandang, Sawer Panganten, dan Mantri Jero, ditambah mengkaji kembali hasil studi yang mengungkapkan pandangan urang Sunda tentang tempat. Dalam tesisnya, Rina Priyani menyatakan bahwa pandangan orang Sunda tentang patempatan berkaitan erat dengan: pertama, elemen lingkungan alam, misalnya gunung, sungai, dan bukit; kedua, orientasi atau arah mata angin (misalnya kulon,kaler,wetan,kidul); dan ketiga, suasana (misalnya wawales, uga, kila-kila). Sedangkan studi Dr.Kusnaka Adimiharja tentang pandangan hidup orang Baduy terhadap lingkungannya menengarai elemen permanen yang umum hadir dalam kampung tradisional Sunda, seperti hutan tua di puncak bukit, daerah pertanian, dan daerah permukiman. Di tempat kasus studi, wadah yang berlandaskan hubungan antara manusiaTuhan (kegiatan ritual), manusia-alam (kegiatan produksi-reproduksi), manusiamasyarakat (kegiatan social), manusia-pribadi (kegiatan rutin) didata. Berdasarkan data terebut dilakukan analisis mengenai konsep yang melandasinya. Dari data wadah dan analisis konsep tempat yang mendasarinya, akan diungkap struktur permukaan yaitu tipe permukaan dan tempat permukaan. Konsep yang melandasi bentuk pada struktur permukaan yang didapat kemudian dianalisis lebih lanjut agar didapat konsep yang melandasi struktur dalam.

Konsep yang melandasi bentuk pada struktur permukaan yang diperoleh diyakini akan membentuk beberapa kelompok relasi yang berlandaskan pada suatu konsep struktur dalam. Langkah yang dilakukan dalam analisis adalah menghadapkan dua kelompok temuan (tipe permukaan dengan konsep tempat permukaan) dan melakukan penyaringan kembali agar struktur dapat diperoleh. Penelusuran Aspek Makna Agar mampu mengurai aspek makna, empat kategori hubungan urang Sunda dengan lingkungannya juga dihadapkan dengan kompleks kegiatan dan konsep kegiatan dalam table matriks; memperlihatkan jenis kegiatan arsitektural yang nanti dapat ditelusuri di lapangan. Table tersebut dapat menjelaskan kuantitaskualitas relasi jenis kegiatan dengan konsep arsitektur yang melekat.
Hubungan urang Sunda dengan kehidupan MANUSIA DENGAN TUHAN MANUSIA DENGAN ALAM MANUSIA DENGAN MASYARAKAT MANUSAI DENGAN PRIBADI Aspek makna arsitektural Kompleks konsep kegiatan Kompleks kegiatan RITUAL PRODUKSI-REPRODUKSI SOSIAL SEHARI-HARI (RUTIN)

Tabel 2.5 Tabel di atas mengklasifikasi adanya empat kegiatan yaitu: pertama, ritual; kedua, prodiksi-reproduksi; ketiga, sosialisasi; dan keempat, sehari-hari (rutin). Persis dengan kompleks wadah dan konsep tempat, empat kelompok kegiatan dan konsep kegiatan ini masih harus diurai lebih rinci berdasarkan kegiatan sehari-hari. Kegiatan dan konsep kegiatan sehari-hari itu tentu harus mempunyai hubungan erat dengan konsep arsitektural; uraiannya adalah:
Kompleks kegiatan RITUAL Uraian kegiatan KELAHIRAN, PEMBERIAN NAMA, SELAMATAN, SEMBAHYANG, MENGAJI, PERSEMBAHAN, PERKAWINAN, KEMATIAN, ZIARAH BERLADANG, MENUMBUK PADI, MENYIMPAN PADI, MENJEMUR PADI, MEMELIHARA IKAN, KAMBING, AYAM, MENANAM KELAPA BERMAIN, BERKUMPUL,MEMPERBAIKI TURAP, MEMPERBAIKI RUMAH, MENGGANTI PAGAR, MENGURAS BALONG,

PRODUKSI-REPRODUKSI

SOSIAL

MEMBERSIHKAN IMAH PANGGUNG SEHARI-HARI (RUTIN) TIDUR, ISTIRAHAT, MANDI, MAKAN, BELAJAR, MEMASAK, MENCUCI, MENJEMUR PAKAIAN

Kegiatan yang diurai itu didata berdasarkan factor dari dalam:


Nama kegiatan PELAKU WAKTU RUTE WADAH KUANTITAS KUALITAS KEGIATAN IKUTAN : sebutan lokal kegiatan : SIAPA DAN APA KEDUDUKANNYA DALAM MASYARAKAT : BERAPA LAMA KEGIATAN DIJALANKAN : MELEWATI MANA DAN BERAPA LAMA : DI MANA, SEPERTI APA WADAHNYA, KEGIATAN TUMPANG TINDIH : SEBERAPA SERING KEGIATAN DILAKUKAN : HIERARKI KEGIATAN DALAM KEHIDUPAN : KEGIATAN YANG SELALU DISERTAKAN

Factor pengaruh luar terhadap kegiatan juga diperhatikan, yakni:


Nama pengaruh luar BUDAYA SOSIAL EKONOMI TEKNOLOGI : sebutan lokal pengaruh luar : LIFESTYLE YANG MEMPENGARUHI : KEGIATAM MASYARAKAT FORMAL (PEMERINTAHAN) : KEGIATAN BERDAGANG : KEGIATAN YANG MENGKONSUMSI PERANGKAT TEKNOLOGI

Selain pengaruh factor di atas, pandangan hidup masyarakat Sunda terhadap tradisi lama jhuga ditelusuri, yang dapat dilakukan melalui sumber tertulis atau data empiris. Hasil studi yang cukup signifikan dijadikan acuan adalah penelitian Suwarsih Wanaen adn kawan-kawan dari Pusat Pengkajian Kebudayaan Sunda (Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda) tentang pandangan hidup atau konsep urang Sunda pada naskah dari empat periode waktu, yakni masa agama Hindu (sampai 1500 M) dengan Lutung Kasarung; masa agama Islam (1500-1800 M) dengan Sang Hyang Siksa Kandang; masa penjajahan belanda (1800-1942 M) dengan Sawer Panganten; dan masa penjajahan Jepang (1942-1945 M) dengan Mantri Jero. Penelitian naskah karya sastra tersebut dilakukan dengan

melakukan analisis beberapa sumber untuk mengidentifikasi pandangan hidup orang Sunda.
Masa AGAMA HINDU (SAMPAI TAHUN 1500) PENJAJAHAN BELANDA (TAHUN 1800-1942) AGAMA ISLAM (TAHUN 1500-1800) PENJAJAHAN JEPANG (TAHUN 1942-1945) Teks LUTUNG KASARUNG SANGHYANG SIKSA KANDANG SAWER PANGANTEN MANTRI JERO

Keempat teks dari keempat periode tersebut memperlihatkan kecenderungan pandangan hidup tertentu. Dinamika serta konsistensi relasinya pun bias ditelusuri dan diinterpretasikan, yakni dengan mengajukan pertanyaan tentang kualitas/konsep hubungan manusia-Tuhan, manusia-masyarakat, manusia-alam, dan manusia-pribadi. Pertanyaan ini bias diseleksi kembali agar lebih spesifik dengan substansi studi arsitektur, yaitu penelusuran konsepsi dari setiap aktivitas. Sejalan dengan hasil penelitian teks di atas, ditelaah juga penelitian yang dilakukan oleh Rober Wessing mengenai kosmologi dan perilaku sosial di tatar Sunda. Penelitian Wessing menyoroti wacana serta kegiatan sosial yang ada di sana-termasuk kegiatan yang berhubungan dengankonsep dan kegiatan arsitektural. Kontribusi yang dapat ditarik dari studi empiris Wessing adalah: pertama, metodenya cukup signifikan untuk digunakansebagai pengetahuan dasar pada wacana dan kondisi empiris; dan kedua, ada beberapa temuan yang berpotensi dan dapat diinterpretasikan dan diealaborasi pada makna arsitektural; yang paling penting ialah gagasan tentang keseimbangan antara wadah, kekuatan, dan batas. Aktivitas yang berlandaskan hubungan antara manusia-Tuhan (ritual), manusiaalam (produksi-reproduksi), manusia-masyarakat (sosial), manusia-pribadi (rutin [sehari-hari]) didata di tempat kasus studi, kemudian dianalisis konsep yang melandasinya. Data dan analisis konsep tersebut akan mengungkap kegiatan permukaan dan konsep kegiatan permukaan. Konsep struktur permukaan kemudian dianalisis lebih lanjut agar diketahui struktur dalamnya. Konsep makna pada struktur permukaan yang diperoleh diyakini akan membentuk beberapa kelompok relasi yang berlandaskan pada konsep makna pada struktur dalam. Langkah yang dilakukan dalam analisis adalah menghadapkan dua kelompok temuan (kegiatan dan konsep kegiatan permukaan) dan melakukan penyaringan kembali agar konsep struktur dalam diperoleh. Secara garis besar data lapangan mencakup: pertama, kopleks wadah dan kompleks tempat (aspek bentuk), meliputi seluruh tipe wadah yang mempunyai hubungan dengan konsep arsitektural. Berdasar tipe wadah tersebut kemudian

ditelusuri konsep yang mendasari masing-masing tipe, juga makna yang melandasi hubungan antara masing-masing tipe tersebut. Hasil penelusuran dua kelompok besar di atas merupakan data lapangan mentah yang masih harus dianalisis lebih lanjut. Kedua, kompleks kegiatan kan konsep kegiatan (aspek makna), meliputi seluruh kegiatan penduduk dalam kampung, yang mempunyai hubungan dengan wadah arsitektural. Berdasar data kegiatan tersebut kemudian ditelusuri atau dicatat konsep yang mendasari masing-masing kegiatan, juga konsep yang melandasi hubungan antara masing-masing kegiatan tersebut. Agar factor berpengaruh dan mengungkap hal yang tetap bertahan (persisten), berubah, atau bahkan hilang bias ditemu-kenali (diidentifikasi) dilakukan dua tahap analisis terhadap data lapangan, yakni analisis struktur permukaan dan struktur dalam. Pertama-tama, struktur permukaan pada kedua aspek bentuk dan makna akan dianalisis berdasar hasil identifikasi data. Aspek bentuk yang dianalisis ialah tipe dan konsep tempat permukaan, sedangkan analisis aspek makna pada kegiatan dan konsep kegiatan permukaan; hasilnya dianalisis lebih lanjut agar mendapatkan struktur dalam. Aspek bentuk yang akan diungkap adalah struktur pola dalam wadah ciptaan masyarakat Sunda terhadap aktivitas yang butuh ruang. Aspek makna yang akan diungkap adalah konsep struktur sosial dalam konsepsi masyarakat Sunda terhadap ciptaan bentuk arsitektur. Berdasarkan konsep struktur sosial dan pola dalam diharapkan dinamika yang terjadi pada konsep bentuk dan makna arsitektur Sunda di ketiga kampung tersebut dapat dilihat. Sesuai perolehan data, dapat dilihat langkah analisis untuk memisahkan data aspek bentuk (wadah) dengan data aspek makna, walaupun sekali lagi harus disadari bahwa selalu ada kaitan erat diantara keduanya.

iii. Arsitektur Sunda di Tiga Kampung


Konsep apa yang secara signifikan mempengaruhi bentuk dan makna arsitektur masyarakat Sunda? Pertanyaan ini cukup sulit dijawab karena sejauh ini studi tentang arsitektur Sunda masih terus dilakukan. Di sisi lain masyarakat Sunda senantiasa terus mengalami dinamika sesuai perkembangan zaman. Berdasar hasil sejumlah studi yang pernah dilakukan, tampaknya tidak berlebihan bila sejauh ini ada anggapan konsep bentuk arsitektur masyarakat Sunda yang otentik dan abadi sebenarnya tidak ada. Pada bab ini kita semakin dalam masuk ke ranah studi arsitektur Sunda, yakni dengan menganalisis arsitektur di tiga kampung yang telah dipilih berdasar sejumlah kriteria tertentu, yakni: Kampung Tonggoh, Kampung Cigenclang, dan Kampung Palastra. Pembahasan terdiri dari dua bagian besar: pertama, menguraikan kondisi fisik ketiga kampung tempat kasus studi; kedua, menginterpretasikan ketiga kasus studi dengan mengungkapkan wadah dan konsep tempat yang mempengaruhinya, serta mengungkapkan kegiatan dan konsep yang mendasarinya. 1. Kampung Tonggoh Kampung Tonggoh terletak di desa Cilaut, Kecamatan Pameungpeuk, Kabupaten Garut, terletak kurang-lebih 150km ke arah selatan dari Kota Bandung, dengan ketinggian kurang-lebih 990m dari muka laut. Kampung Tonggoh terdiri dari Tonggoh-Dalam, yakni daerah pemukiman masyarakat Tonggoh dalam yang diberi batas pagar bambu dan Tonggoh-Luar, yakni daerah pemukiman masyarakat Tonggoh di luar pagar bambu. Kampung Tonggoh dapat dicapai melalui Kota Garut, Pamengpeuk, Cilaut. Cilaut merupakan tempat terakhir yang dapat dicapai kendaraan roda empat. Jarak dari Cilaut ke batas tanah Kampung Tonggoh kurang-lebih 10km. Perjalanan mendaki pegunungan kea rah utara ini dapat dilakukan dengan kendaraan roda dua (motor trail), atau jalan kaki melewati hutan yang masih dihuni monyet liar. Di ujung jalan ini terdapat batas tanah Tonggoh, sedangkan pintu Tonggoh (pamenekan) terletak dua kilometer ke sebelah timur, di bawah jalan dengan kondisi kontur curam yang hanya dapat dicapai dengan jalan kaki. Batas fisik Kampung Tonggoh di bagian utara adalah area makam keramat yang ditumbuhi hutan lebat, di bagian selatan adalah Kampung Tonggoh-Luar yang realatif baru tumbuh, sedangkan batas timur dan barat adalah lading. Luas lahan Kampung Tonggohyang merupakan tanah adat kurang-lebih 18ha, terdiri dari:

lahan karomah seluar kurang-lebih 4ha, kampung (pemukiman) Tonggoh, dan huma (lading). Karomah merupakan daerah keramat tempat area makam cikalbakal dan tokoh Kampung Tonggoh, hutan larangan, dan tempat cai-nyusu (sumber mata air). Sampai sekarang karomah tetap dijaga kelestariannya. Daerah pemukiman Kampung Tonggoh-Dalam (dalam pagar bambu) terdiri dari: 54 buah rumah penduduk, 1 buah mushala-pameget (laki-laki), 1 buah mushala istri (perempuan), 1 buah imah panggung, 2 buah jambah (MCK) yang terletak di atas balong (kolam). Data pasti jumlah penduduk Tonggoh tidak tersedia; sedangkan menurut perkiraan kuncen berjumlah 246 jiwa meliputi 143 laki-laki dan 103 perempuan. Bangunan terletak di atas tanah berundak-undak dengan perbedaan kontur beragam antara 1 sampai 2 meter menurun ke arah selatan. Batas undakan diperkuat dengan batu-batu besar yang banyak terdapat di lokasi. Di tengah lahan permukaan pendudukterdapat sebuah batu berdiameter kurang-lebih 3m dengan tinggi 2,5m yang disebut batu-hideung (batu hitam). Seluruh rumah di kampung itu memiliki bentuk serupa yaitu panggung dengan atap pelana berpenutup hateup (alang-alang dilapis ijuk), perbedaannya hanya pada luas. Perbedaan mushala-istri dengan mushala-pameget adalah adanya penambahan mihrab yang diberi atap. Satu suhunan (rumah) umumnya dihuni satu keluarha inti. Dalam beberapa kasus ada satu suhunan dihuni lebih dari satu keluarga inti karena orang tuanya duda atau janda. Kampung Tonggoh-Dalam merupakan kampung awal yang memiliki peraturan jumlah penduduknya (penghuni) hanya dibatasi 54 rumah. Karena terus berkembang, berdasar pola aturan tertentu, penduduk membuat Tonggoh-Luar. Penduduk yang pindah ke Tonggoh-Luar atau tinggal di Tonggoh-Dalam ditetapkan berdasar pertimbangan ketat. Yang khas di Tonggoh-Dalam ialah atap bangunan harus menggunakan ijuk; sementara di Tonggoh-Luar relatif bebas. Tonggoh-Dalam dikeramatkan, dan adat yang ditetapkan sepenuhnya berlaku hanya di sana, tidak demikian dengan Tonggoh-Luar. Adat itu antara lain penduduk dilarang menggunakan listrik, radio, dan petromaks. Berdasarkan tuturan kuncen, pendiri Kampung Tonggoh adalah seorang penghulu di daerah Sumedang yang mengundurkan diri karena berselisih paham dengan Bupati Rangga Gempol. Kurang-lebih selama 3,5 tahun dia memohon kepada Allah SWT meminta petunjuk di mana harus bertempat. Setelah bertapa kurang-lebih 1,5 tahun, pada malam Jumat 12 Maulud beliau melihat cahaya muncul dari tanah di sebelah barat. Beliau yakin itu adalah tempat tinggal yang selama ini dia minta. Beliau diberi petunjuk untuk pindah ke Negara Pamungpeuk. Tempat itu terletak di antara Sungai Cipasarang dan Sungai Cisangke. Di tempat tersebut telah tinggal aki dan nini yang berasal dari Cilantera. Gubuk yang mereka tinggali ini berupa imah-panggung, kemudian dinamai tempat tapakur. Kemahsyuran ilmu eyang penghulu membawa banyak orang belajar di tempat inisehingga tempat ini terkenal dengan nama Patonggohan (tempat yang lebih atas) yang singkatnya disebut Tonggoh. Makam eyang penghulu serta Eyang Tonggoh (kuncen pertama) terletek di sebelah utara kampung ini.

2. Kampung Cigenclang Kampung Cigenclang terletak di desa Cisampih, Kecamatan Kalijati, Kbupaten Subang, Jawa Barat, kurang-lebih 60km dari Kota Bandung, di ketinggian kuranglebih 400m dari muka laut. Kampung Cigenclang dapat dicapai melalui Lembang, jalan Cagak, dan terletak di teangah-tengah perkebunan karet yang jaraknya kurang-lebih 6km dari jalan raya an hanya dapat dicapai dengan kendaraan roda empat jenis multipurpose-vehicle. Berada di persimpangan jalan desa, jalan terlebarnya 4,5m beralas tanah diperkuat batu kerikil. Jalan ini digunakan untuk transportasi pengumpulan hasil panen perkebunan karet. Secara fisik kampung ini dikelilingi sekaligus oleh perkebunan karet. Pada dataran yang lebih tinggi di sebelah selatan terdapat makam karuhun. Perumahan di Kampung Cigenclang terletak pada lahan yang mempunyai perbedaan kontur beragam antara 0,75 sampai 1,25 meter, menurun kea rah utara. Luas Kampung Cigenclang yang sebagian merupakan tanah penduduk dan sebagian lagi merupakan tanah perkebunan (PTP XIII) kurang-lebih seluas 4,5ha, terdiri dari: lahan makam karuhun seluas kurang-lebih 1ha, kampung (pemukiman) Cigenclang, dan huma (lading). Lahan makam karuhun merupakan daerah keramat yang di dalamnya konon terletak makam cikal-bakal Kampung Cigenclang, serta tempat cai-nyusu (sumber mata air) yang pertama. Pendiri kampung ini diyakini adalah karuhun, dia dimakamkan di daerah makam eyang keramat yang terletak di sebelah selatan kampung. Daerah pemukiman Cigenclang terdiri dari 63 buah rumah penduduk, 1 buah masjid, 2 buah jamban (MCK) dengan buangan air kotornya ke koco (rembesan). Jumlah penduduk menurut cacah jiwa terakhir adalah 315 orang, sedangakan data jumlah penduduk wanita dan pria tidak tersedia. Gaya rumah di kampung Cigenclang saat kini sudah bervariasi, demikian pula penggunaan materialnya. Yang masih relatif asli adalah berupa rumah panggung dengan atap perisai ditutup gentingdan dinding bilik (anyaman bambu); sedangkan yang relatif baru sudah bukan merupakan rumah panggung, dindingnya pun sudah menggunakan tembok sebagian atau tembok penuh dengan atap perisai dan penutup genteng. Walaupun gayanya bervariasi, semua rumah di sana mempunyai tipe hamper serupa; namun luas rumah serta penambahan yang dilakukan oleh masing-masing penduduk sangat bervariasi. Nama kampung ini diyakini berasal dari kata Cai-Genclang (air bening) atau CaiSendang, merujuk pada mata air yang terdapat di dekat kampung ini. Dalam bahasa Sunda, genclang (ngagenclang) artinya sangat jernih, misalnya air, lampu terang, atau barang yang bersih. Kampung ini telah tumbuh dan berdiri sebelum perkebunan Inggris Pamanukan & Tjiasem Land (P&T Land) mengelola daerah ini menjadi perkebunan karet. 3. Kampung Palastra

Kampung Palastra terletak di Kecamatan Palastra, Kabupaten Majalengka, kurang-lebih berjarak 120km dari Kota Bandung. Kampung ini dapat dicapai melalui Sumedang, kemudian Jatiwangi. Jalan masuk menuju kampung ini tidak jauh dari Jembatan Cisambeng yang merupakan jalur perlintasan kendaraan Bandung-Cirebon menuju jalur Pantura. Kampung ini terletak pada ketinggian kurang-lebih 50m dari muka laut. Perumahan kampung Palastra terletak pada lahan ralatif datar, perbedaan konturnya antara 0,0cm sampai 0,50cm menurun kea rah selatan. Kampung ini mempunyai jalan masuk dari tanah pasir diperkakas batu kerikil. Jalan terlebarnya 5m. Setiap blok dikelilingi oleh jalan seperti itu, sehingga hamper setiap rumah dapat dicapai kendaraan beroda dua maupun mobil. Luas seluruh Kampung Palastra kurang-lebih 18ha. Kampung Palastra mempunyai luas 5,4ha terdiri dari: lahan makam karuhun, kampung (pemukiman) Palastra, dan huma (lading). Tanah kampung Palastra sebagian merupakan tanah penduduk dan sebagian lagi merupakan tanah Pemerintah Daerah Majalengka. Seperti pada Kampung Tonggoh dan Kampung Cigenclang, makam karahun merupakan daerah keramat, tempat terletak makam cikal-bakal Kampung Cigenclang, serta tempat cai-nyusu (sumber mata air) pertama. Di kampung ini juga terdapat makam yang diyakini sebagai karuhun pendiri kampung, terletak di sebelah utara kampung. Daerah pemukiman Blok Kamis terdiri dari 81 buah rumah penduduk, 1 buah masjid. Jumlah penduduk menurut cacah jiwa terakhir (2000) adalah 405 orang, sedangkan data mengenai jumlah penduduk wanita dan pria tidak tersedia. Seperti pada Kampung Ciganclang, rumah di Kampung Palastra sudah memiliki gaya beragam dan menggunakan material bervariasi. Seluruh rumah di kampung ini ngupuk (berdiri langsung di atas tanah). Di rumah yang masih relatif asli (imah-kuncen) lantai dalam naik 35cm dari tanah halaman. Lantai ini adalah tanah keras padat dan dapat disapu, sehingga permukaannya tampak bersih tidak berdebu, konstruksi atap limasan ditutup genteng, dinding bilik (anyaman bambu). Rumah relatif baru dibangun menggunakan dinding tembok sebagian atau penuh dengan atap limasan atau konstruksi perisai dan penutup genteng. Walaupun gayanya bervariasi, semua rumah di sana mempunyai tipe hamper serupa, sementara luar rumah serta penambahan yang dilakukan masing-masing penduduk sangat bervariasi. Asal nama Palastra cukup sulit ditelusuri, karena penduduk sekarang hanya kenal nama ini sebagai nama sebuah tempat. Sedangkan mitos yang ada menceritakan bahwa Palastra merupakan nama seorang pemimpin lascar dari Cirebon yang Berjaya ketika daerah ini diserahkan bupati Sumedang kepada Cirebon. Mitos ini bias dikaitkan dengan adanya kosakata palsatra dalam bahasa Sunda yang berasal dari Sanskrit, artinya ialah mati, khususnya mati di medan perang.

Setelah cukup mengenal ketiga kampung, kondisi budaya dan sekilas arsitekturnya, kita akan menukik lebih dalam berusaha menganalisis struktur permukaan perolehan data empirik. Gambar 3.7 memperlihatkan tahap yang akan ditelaah ialah mencatat wadah dan kegiatan urang Sunda: menelusuri konsep yang mendasarinya (misalnya patempatan) dan mengungkap struktur permukaan tipe, konsep tempat, kegiatan, juga konsep kegiatan. Penelusuran ini bertujuan mencari konsep struktur permukaan pada aspek bentuk dan makna. Konsep yang mendasari struktur permukaan ini secara signifikan mempengaruhi bentuk dan makna arsitektur masyarakat Sunda di tiga kampung tersebut Aspek bentuk arsitektur dianalisis lebih lanjut sebagaimana tampak pada Gambar 3.8 pada halaman 38. Diagram tersebut memperlihatkan bahwa catatan wadah fisik (terdiri dari wadah ritual, wadah produksi-reproduksi, wadah sosial, wadah rutin) dilakukan terpisah dengan catatan pengaruh tempat pada wadah tersebut (terdiri dari elemen tempat, orientasi tempat, mitos tempat). Wadah fisik tersebut kemudian diklasifikasi melalui pendekatan tipologi, tujuannya mendapatkan struktur-permukaan tipe pada wadah yang ada di setiap kasus studi. Tipe wadah fisik mencakup seluruh tatanan kampung sampai dengan bangunan dalam kampung; sedangkan konsep mengenai tempat dicatat melalui wacana. Pada tingkat ini hasilnya adalah struktur-permukaan tipe dari aspek bentuk arsitektur. Tipe terbentuk karena pengaruh kuat konsep tempat di masingmasing tipe itu berbeda. Tipologisme meyakini bahwa dalam suatu lingkungan terbangun selalu terdapat elemen primer (primary element) dan elemen sekunder (secondary element). Elemen primer sangat lambat berubah atau relatif tetap, diyakini merupakan elemen dasar yang menjadi generator pertumbuhan suatu lingkungan terbangun. Elemen sekunder relatif selalu berubah dalam kurun waktu tertentu oleh pengaruh luar atau karena terjadi perubahan makna dalam masyarakatnya. Pembentuk Kampung Pengamatan pada level kampung menunjukkan bahwa elemen pembentuk ketiga kampung itu ialah sebagai berikut: makam leluhur; mata air; hutan larangan; ladang (huma); kebun karet; kebun tebu; kompleks pemukiman; jalan sirkulasi; sekolah dasar (sarana pendidikan); warung (tempat transaksi); dan pagar pembatas pemukiman.
Elemen MAKAM LELUHUR Kampung Tonggoh ADA Cigenclang ADA Palastra ADA

MATA AIR HUTAN LARANGAN LADANG (HUMA) KEBUN KARET KEBUN TEBU KOMPLEKS PEMUKIMAN JALAN SIRKULASI SEKOLAH DASAR (SARANA PENDIDIKAN) WARUNG (TEMPAT TRANSAKSI) PAGAR PEMBATAS PEMUKIMAN

ADA ADA ADA

ADA ADA ADA ADA ADA ADA

ADA

ADA ADA ADA

ADA ADA ADA

ADA ADA

ADA

Tabel 3.1 menampakkan bahwa ada tiga elemen yang selalu hadir di ketiga kampung itu, ialah: makam leluhur, lading (huma), dan kompleks pemukiman. Menarik, berdasarkan wacana dengan kuncen ketiga kampung tersebut, mereka sama sepakat menyatakan unsure yang harus selalu ada sejak dahulu dan tidak boleh diganggu adalah lahan untuk makam leluhur, pemukiman, dan lading. Dapat disimpulkan tiga elemen itu telah ada sejak awal pembentukan kampung, masih tetap bertahan sampai sekarang, dan dapat diklasifikasikan sebagai tipe wadah fisik pertama yaitu tipe kampung. Makam merupakan area lahan tempat dikuburnya karuhun, yaitu leluhur yang diyakini warga setempat sebagai pendiri kampung yang kemudian dikeramatkan. Makam ini kemudian menjadi tempat untuk melakukan ziarah baik bagi warga maupun pendatang yang ingin meminta berkah. Di Kampung Tonggoh, ziarah hanya dapat dilakukan pada hari Sabtu, disertai kuncen dengan upacara tertentu. Di Kampung Cigenclang, ziarah bebas dilakukan kapan pun asal disertai kuncen. Di Kampung Palastra, ziarah dapat dilakukan kapan pun setelah melapor pada kuncen dan dapat disertai penjaga makam. Pemukiman merupakan kelompok rumah, masjid (mushala), ruang terbuka, tempat warga kampung bermukim dan melakukan kegiatan sosial serta kegiatan rutin (sehari-hari) Ladang adalah wadah tempat penduduk bercocok tanam guna mencukupi kebutuhan pangan. Di Kampung Tonggoh, lading merupakan tanah adat, sedangkan di Kampung Ciganclang dan Palastra, ladang merupakan tanah yang sebagian milik penduduk dan sebagian merupakan tanah garapan milik perkebunan. Rumah (Pemukiman)

Elemen pemukiman yang bisa ditemukan di ketiga kampung tersebut terdiri dari imah-kuncen; bale-patemon; imah-warga; bale-panggung; masjid (mushala); tegalan, lapang terbuka; balong; jamban umum (MCK); air bersih; warung (tempat transaksi); pagar pembatas pemukiman; batu hideung; dan kandang ternak berkaki empat.
Elemen IMAH KUNCEN BALE PATEMON IMAH WARGA BALE PANGGUNG MASJID, MUSHALA TEGALAN, LAPANG TERBUKA BALONG JAMBAN UMUM (MCK) AIR BERSIH WARUNG (TEMPAT TRANSAKSI) PAGAR PEMBATAS PEMUKIMAN BATU HIDEUNG KANDANG TERNAK BERKAKI EMPAT ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA Area pemukiman kampung Tonggoh ADA Ciganclang ADA Palastra ADA ADA ADA

Tabel 3.2 menunjukkan bahwa ada lima elemen pemukiman yang selalu hadir di kampung tersebut, ialah: imah-kuncen, imah-warga, masjid (mushala), tegalan (lapang terbuka), dan air bersih. Berdasarkan wawancara dan pengamatan, saya menyimpulkan bahwa pertumbuhan area pemukiman selalu dimulai dari imah-kuncen, imah barayadeukeut (keluarga dekat kuncen), cai-nyusu, dan mushala. Dalam perkembangannya mushala kemudian diperluas menjadi masjid yang umumnya dilengkapi tegalan. Yudistira Garna dalam esainya Pola Kampung dan Desa, Bentuk serta Organisasi Rumah Masyarakat Sunda (1980) menyebut unit terkecil suatu kampung Sunda terdiri dari satu sampai tiga rumah disebut umbulan, kemudian berkembang menjadi babakan (empat sampai lima rumah), akhirnya menjadi kampung. Yang mengherankan, di ketiga kampung tempat kasus studi istilah umbulan dan babakan ternyata tidak begitu dikenal.

Sumber air yang terdapat di ketiga kampung berbeda-beda. Di Kampung Tonggoh, satu sumber air digunakan untuk seluruh kampung, sedangkan di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra, warga telah membuat beberapa sumur yang digunakan sebagai sumber air. Demikian juga wadah fisik untuk mandi (pancuran) dan buang air (jamban) berbeda-beda pada setiap kasus studi. Di Kampung Tonggoh, buang air umumnya dilakukan di ladang, di Kampung Cigenclang dilakukan di ladang dan sungai kecil, sedangkan di Kampung Palastra dilakukan di jamban umum. Tegalan atau lapang terbuka umumnya berpindah-pindah tempat sesuai dengan kebutuhan menjemur padi. Letak area tegalan tempat berkumpul di masingmasing kampung pun berbeda-beda, demikian juga jumlah dan besarannya. Di Kampung Tonggoh terdapat lapang dekat bale panggung, di Kampung Cigenclang terdapat lapang di sekolah dasar Inpres, sedangkan di Kampung Palastra, lapang terletak berdekatan dengan ladang. Wadah fisik fasilitas sumber air dan lapangan berkumpul dapat dikatakan bukan merupakan kebutuhan utama yang perlu syarat khusus. Kedua fasilitas ini tidak termaterialisasikan dengan jelas sebagai suatu wadah fisik, sehingga tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk arsitektur. Uraian tentang pemukiman menunjukkan bahwa elemen dasar yang selalu ada pada level pemukiman di ketiga kasus studi adalah: pertama, imah-kuncen, yakni rumah orang yang dituakan atau pemuka adat; kedua, masjid atau mushala, tempat melakukan kegiatan keagamaan seperti bersembahyang lima waktu, shalat jamaah, shalat Jumat, sertatempat belajar mengaji bagi anak-anak; ketiga, imah-warga, yakni tempat tinggal penduduk kampung. Di Kampung Tonggoh, tipe imah-kuncen tidak berbeda dengan tipe imah-warga, elemen di dalam tiap rumah pun relative hamper sama, perbedaan hanya pada variasi dan besaran luas. Di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra, gaya rumah penduduk sudah bervariasi, tetapi pada prinsipnya imah-warga masih mengacu pada imah-kunncen. Pemaparan tentang elemen pamukiman di ketiga kasus studi menjelaskan klasifikasi tipe wadah fisik kedua yaitu tipe rumah. Sebagai wadah tempat tinggal tipikal masyarakat Sunda, rumah memiliki tujuh elemen dasar, yaitu: a) Tengah-imah, area yang digunakan pria dan wanita secara bersama-sama dalam kegiatan rutin sehari-hari. b) Tepas, area yang digunakan khusus bagi pria untuk mengerjakan pekerjaannya serta menerima tamu. Wanita tidak pernah menggunakan area ini. c) Pawon, area yang digunakan wanita untuk mengerjakan pekerjaannya dan juga menerima tamu. d) Goah, area penyimpanan beras, umumnya bersatu dengan pawon.

e) Hawu, area untuk memasak, selalu terletak di area pawon. f) Pangkeng, area tempat tidur bagi penghuni rumah. g) Glodog atau teras, area yang terletak di depan pintu masuk pria dan wanita. 4. Konsep Wadah pada Bentuk Arsitektur Klasifikasi tiga tipe wadah fisik semata-mata berlandas pada data empiric, tanpa menyinggung konsep masyarakat Sunda tentang tempat (patempatan) yang mempengaruhi terciptanya wadah fisik tersebut. Sebagaimana diurai secara diagramtik pada Tabel 3.3, analisis terhadap wadah fisik berjalan paralel dengan analisis terhadap pengaruh tempat atau konsep tempat yang berpengaruh pada proses penciptaan wadah fisik. Sebagaimana dikaji tim Suearsih Warnaen dan Rina Priyani, naskah Wawacan Lutung Kasarung (era Hindu), Sanghyang Siksa Kandang Karesian (era Pajajaran), Mantri Jero (era Mataram Islam) menunjukkan adanya konssep yang berhubungan atau dapat dikatakan mendasari elemen, orientasi, dan mitos tempat (patempatan). Rinciannya adalah sebagai berikut:
Era Hindu Patempatan WAWACAN LUTUNG KASARUNG GUNUNG SUNGAI ELEMEN HULU-DAYEUH LEMAH BUMI NYUNGCUNG KIDUL-KALER ORIENTASI WETAN KULON TENGAH HANDAP JAGAT (ALAM) SEBAGAI TEMPAT MANUSIA MENGAMBIL SEGALA KEPERLUANNYA BATAS MANUSIAALAM JAGAT (ALAM) DIPADANKAN DENGAN BADAN MANUSIA ALAM=MANUSIA YANG MEMPUNYAI WADAH DAN JIWA WETAN-KULON LUHUR-HANDAP TEMPAT LAHIR SEBAGAI WADAH YANG MEMPUNYAI JIWA IDENTIFIKASI BATAS TERITORI TEMPAT KELAHIRAN Era Pajajaran SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN CAI-NYUSU IMAH PIPIR BURUAN SANGHYANG WUKU LUHUR Era Mataram Islam MANTRI JERO LEMAH-CAI BALI GEUSAN NGAJADI BANJAR KARANG PAMIDANGAN KIBLAT KIDUL-KALER

MITOS

Tabel 3.3 di atas menunjukkan konsep patempatan dalam literature Sunda tersebut ditelusuri keberadaan di ketiga kampung tempat studi ini dilakukan. Dari wawancara dengan penduduk setempat, ternyata konsep tempat yang masih dikenal dan secara sadar dijadikan acuan untuk menciptakan wadah fisik masih dapat diperoleh kembali. Konsep patempatan yang mendasari wujud fisik di tiga kampung itu terlihat pada tabel berikut ini:
Era Hindu Patempatan WAWACAN LUTUNG KASARUNG GUNUNG SUNGAI ELEMEN HULU-DAYEUH LEMAH Era Pajajaran SANGHYANG SIKSA KANDANG KARESIAN CAI-NYUSU IMAH PIPIR BURUAN Era Mataram Islam MANTRI JERO Sekarang PENELUSURA N DI TIGA KAMPUNG

LEMAH-CAI BALI GEUSAN NGAJADI BANJAR KARANG PAMIDANGAN

LEMAH-CAI

BUMI NYUNGCUNG ORIENTASI KIDUL-KALER WETAN KULON

SANGHYANG WUKU LUHUR TENGAH HANDAP

KIBLAT KIDUL-KALER WETAN-KULON LUHUR-HANDAP TEMPAT LAHIR SEBAGAI WADAH YANG MEMPUNYAI JIWA IDENTIFIKASI BATAS TERITORI TEMPAT KELAHIRAN LUHUR-HANDAP

MITOS

JAGAT (ALAM) SEBAGAI TEMPAT MANUSIA MENGAMBIL SEGALA KEPERLUANNYA BATAS MANUSIA-ALAM

JAGAT (ALAM) DIPADANKAN DENGAN BADAN MANUSIA ALAM=MANUSI A YANG MEMPUNYAI WADAH DAN JIWA

WADAH-EUSI KACA-KACA

Konsep patempatan yang masih dikenal dan digunakan di ketiga kampung itu ialah: elemen lemah-cai; orientasi luhur-handap; mitos wadah-eusi dan kacakaca; dan keemptnya mendasari penciptaan wujud wadah fisik. Lemah-Cai Pemahaman terhadap konsep lemah-cai pada ketiga kampung relative sama, yaitu tempat kelahiran atau kampung halaman. Lemah-cai mengandung arti

dibutuhkan dua elemen komplementer sebagai syarat suatu pemukiman, yaitu lemah (tanah) yang layak huni dan layak dijadikan, serta cai (air) yang tersediamisalnya mata air dan balong-untuk menghidupi tanah dan manusia. Luhur Handap Pemahaman terhadap konsep luhur-handap pada ketiga kampung ternyata berbeda-beda. Masyarakat Kampung Tonggoh dan Kampung Cigenclang masih memegang teguh konsepsi ini mulai dari proses penataan kampung sampai pada wadah fisik; sedangkan masyarakat Kampung Palastra menggunakan konsep ini hanya sebagai acauan penataa wadah fisik. Luhur-handap merupakan salah satu cirri konsep orientasi pada patempatan, ialah keyakinan bahwa yang di luhur (di atas) dinilai lebih tinggi nilainya. Contoh, kepala (ada di luhur) lebih tinggi nilainya daripada kaki (ada di handap); manifestasinya antara lain berupa rumah kuncen berada di area lebih tinggi. Di Kampung Naga, Bumi Ageung terletak di daerah tinggi. Wadah-Eusi Masyarakat di ketiga kampung itu memahami konsep wadah-eusi relative sama. Wadah-eusi berarti bahwa setiap tempat selalu menjadi suatu wadah sekaligus mempunyai eusi atau kekuatan supranatural. Walaupun eusi selalu butuh wadah, ia dapat bertukar wadah. Proses pemilihan lokasi kampung, ladang, juga hunian selalu berlandas pada konsepsi ini. Di Kampung tonggoh eusi adalah batu-hideung diletakkan di tengah kampung; di Kampung Cigencleng berupa hutan keramat tampat ular besar bersarang; di Kampung Palastra berupa kuburan yang telah ada. Kaca-kaca Konsep kaca-kaca dipahami sebagai batas dalam arti luas; ia dapat berarti batas antara ketinggian tempat, perbedaan material tempat, juga sesuatu benda yang diletakkan padda tempat tertentusebagai symbol dari dua area berbeda. Area tertentu kampung sering diberi batas spasial seperti kaca-kaca kulon dan kacakaca wetan, misalnya dengan menggunakan tanda umbul-umbul. Konsep kacakaca ini juga dipahami sebagai cara melihat penciptaan wadah fisik. Bagaimana menyambung dua material baik yang berbeda atau sama dalam suatu rumah lebih dipandang penting daripada material itu sendiri.. Penelusuran pengaruh tempat pada masyarakat Sunda di tiga kampung menghasilkan empat konsep yang secara sadar dijadikan acuan dalam menciptakan dan menata wadah fisik, yaitu: lemah-cai, luhur-handap, wadaheusi, dan kaca-kaca. Dengan demikian tiga tipe-wadah dan empat konsep-tempat di atas dapat diidentifikasikan sebagai factor yang memberikan pengaruh signifikan pada konsep bentuk-arsitektur masyarakat Sunda di tiga kasus studi. 5. Konsep Makna pada Kegiatan Arsitektur

Analisis aspek makna di tiga kampung itu dilakukan terhadap seluruh kegiatan yang berkaitan dengan hubungan antara manusia-Tuhan, manusia-alam, manusia-masyarakat, manusia-pribadi; serta terhadap konsep yang berpengaruh pada pola kegiatan tersebut, yakni konsep ritual, produksi-reproduksi, sosial, dan rutin (sehari-hari). Sambil menganalisis/mengamati kegiatan itu, konsepsi yang mendasarinya sekaligus ditelusuri secara ekploratif. Hasilnya adalah muncul struktur permukaan aspek makna arsitektur. Ini artinya setiap kegiatan selalu sangat terpengaruh oleh konsep masyarakat Sunda tentang ritual, produksireproduksi, sosial, dan rutinitas. Aktivitas Ritual Kegiatan ritual selalu dilakukan karena hadirnya kekuatan di luar manusia yang perlu diperhatikan, agar tidak membawa dampak negative kepada warga kampung. Di ketiga kampung, kegiatan ritual yang selalu dilakukan adalah meminta berkah di makam karuhun, yaitu sesepuh kampung yang telah meninggal. Seluruh penduduk di ketiga kampung itu memeluk agama Islam, walaupun demikian adat istiadat secara turun-temurun masih kuat dipegang dan selalu disertakan dalam kegiatan ritual. Beberapa ritual seperti melakukan persembahan atau salametan kadang-kadang bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi sebaliknya dalam upacara adat kadang-kadang mantra atau jampi digantikan dengan ayat Al-Quran. Di kampung tersebut,kepercayaan pada Allah berdampingan dengan kepercayaan adanya kekuatan leluhur (karuhun) yang mengawasi dan melindungi seluruh isi kampung. Kegiatan nadran, nyekar, jaroh (mengunjungi makam, memanjatkan doa, meninta keselamatan) selalu dijalankan. Penduduk rutin melakukan ziarah pada saat munggah (hari menjelang puasa Ramadhan dimulai), tepang atau seren tahun (awal tahun baru Hijriyah), serta jika ada bala (kejadian tertentu yang mengancam keselamatan warga). Ternyata, selain warga kampung, tamu atau orang luar banyak juga yang melakukan jaroh. Wadah kegiatan jaroh berupa makam leluhur di ketiga kampung itu sampai saat kini masih dipelihara dengan baik. Aktivitas Sosial Kegiatan sosial dilakukan seluruh warga kampung bersama-sama. Di Kampung Tonggoh, seluruh kegiatan sehari-hari dilakukan sejak bada-lohor (sesudah lohor, di atas pukul 13.00) sampai sebelum maghrib (di bawah pukul 17.30). kegiatan selalu dilakukan pada rentang waktu di atas, karena sesepuh dan kuncen tidak memperkenankan warga menggunakan listrik, mendengar radio, dan menonton televise. Tanda bunyi yang mereka gunakan adalah beduk yang terletak pada mushala-pameget. Kegiatan malam hari hanya dilakukan pada sepanjang bulan Ramadhan setiap tahunnya. Kegiatan mingguan yang mereka lakukan adalah membersihkan cai-nyusu setiap hari Senin, dan membersihkan balong (MCK) setiap hari Sabtu. Kegiatan bulanan adalah memperbaiki batas pagar kampung dan memperbaiki turap jalanan. Pertemuan musyawarah untuk membehas

persoalan-persoalan yang muncul biasa dilakukan penduduk Kampung Tonggoh setiap hari Jumat setelah shalat Jumat di rumah kkuncen. Di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra, kegiatan warga bersama-sama dilakkan baik pada siang maupun malam. Berbeda dengan Kampung Tonggoh, warga Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra diperkenankan menggunakan listrik dan radio, walaupun demikian sebagian besar warga Kampung Cigenclang masih belum menggunakan listrik. Kedua kampung ini memiliki tempat berkumpul di malam hari, yakni selepas isya (pukul 19.00 ke atas) mereka dapat melakukan sosialisasi di balai kampung (bale-patemon), masjid, atau warung. Di ketiga kampung tersebut strutur pemerintahan formal tetap berlaku, yakni ada kepala rukun warga (RW), kepala tukun tetangga (RT), tetapi secara de facto, di Kampung Tonggoh dan Kampung Cigenclang, pemuka kampung adalah kuncen. Seluruh peristiwa kehidupan dalam kampung selalu menyertakan pendapat kuncen. Kuncen di kedua kampung ini dijabat turun-temurun, dan kuncen dianggap mempunyai kelebihan dari sisi supernatural. Di Kampung Palastra peran pemuka kampung dipegang kuwu, yang secara formal diangkat oleh pemerintah. Aktivitas Rutin (Sehari-hari) Kegiatan sehari-hari dilakukan masing-masing anggota keluarga sepanjang hari. Di Kampung Tonggoh, kegiatan awal rumah tangga pada umumnya dimulai pada pukul 05.00 selepas shalat subuh. Kondisi udara pegunungan sangat dingin, pada siang hari suhu udara dapat mencapai kurang-lebih 16 derajat Celsius. Setelah suami berangkat ke ladang, istri mulai memasak dan menyiapkan keperluan makanan yang akan diantarkan ke ladang siang hari (sekitar pukul 10.00) sebagai makan siang. Kegiatan lain yang dilakukan suami adalah mengurus ternak, memperbaiki rumah, serta bersosialisasi, sementara istri pada siang hari membuat beberapa kerajinan dari bambu. Karena kampung ini tidak memperkenankan penggunaan listrik, seluruh kegiatan berakhir sebelum maghrib. Di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra, kegiatan justru lebih awal (kurang-lebih pukul 04.30). seluruh kegiatan pun relatif hamper sama, hanya saja baik di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra berakhir lebih lambat setelah isya. Kegiatan seperti ngumpul di warung tertentu, bermain bulu tangkis, sering dilakukan sampai larut malam. Eksplorasi penelusuran ini dilakukan melalui wawancara informal. Konsep yang mendasari kegiatan di tiga kampung itu dipetakan dalam tabel berikut:
1.
KEPERCAYAAN: KEPERCAYAAN ADANYA KEKUATAN DI LUAR MANUSIA PENTINGNYA MELAKSANAKAN KEPERCAYAAN MELALUI SPIRITUAL

Kegiatan Ritual

Konsep yang Mendasari Nadran

PENGUNGKAPAN: PASRAH AKAN ADANYA TAKDIR YANG MAHAKUASA TIDAK MELANGGAR DAN SEBAIKNYA MENGIKUTI ATURAN ALAM KEWAJIBAN MENJAGA KELESTARIAN LINGKUNGAN ALAM

2.
ALAM:

Kegiatan Produksi-Reproduksi

Konsep yang Mendasari

MANUSIA MERUPAKAN BAGIAN DARI ALAM SEMESTA PENGUNGKAPAN: PASRAH TERHADAP ATURAN ALAM TIDAK MELANGGAR DAN SEBAIKNYA MENGIKUTI ATURAN ALAM KEWAJIBAN MENJAGA KELESTARIAN LINGKUNGAN ALAM

Uga

3.
KEPERCAYAAN:

Kegiatan Sosial

Konsep yang Mendasari

PENTINGNYA KEBERSAMAAN PENTINGNYA TOLONG MENOLONG PENGUNGKAPAN: KEGIATAN DILAKUKAN BERSAMA-SAMA, TUGAS DIPIKUL MERATA TIDAK BOLEH MENONJOL SENDIRI DALAM LINGKUNGAN

Pamali

4.
KEPERCAYAAN:

Kegiatan Rutin (sehari-hari)

Konsep yang Mendasari

PENTINGNYA KESEDERHANAAN PENTINGNYA NORMA KARUHUN PENGUNGKAPAN: DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI TIDAK BOLEH BERLEBIHAN TIDAK MELANGGAR ADAT DAN NORMA KEBERSAMAAN

Sineger-Tengah

Tabel di atas memperlihatkan adanya empat konsep yang masih dikenal dan digunakan di ketiga kampung itu, ialah: nadran (mendasari kegiatan ritual); uga (mendasari kegiatan produksi-reproduksi); pamali (mendasari kegiatan sosial); dan sineger-tengah (mendasari kegiatan sehari-hari). Nadran Konsep nadran sangat berkaitan erat dengan konsep uga. Nadran biasanya dilakukan menjelang mengawali bulan puasa (Ramadhan) dan waktu sebelum lebaran Idul Fitri (1 Syawal); namun pada waktu tertentu nadran pun dilakukan, antara lain ketika hendak memohon sesuatupada karuhun. Harafiahnya, nadran ialah berziarah ke makam (kuburan), membaca doa, umumnya sekaligus menabur bunga dan air putih di pusara. Uga

Umumnya konsep uga dipahamisebagai suatu ramalanmenyangkut kehidupan masyarakat, di dalamnya mengandung factor waktu yang ditentukan oleh karuhun. Ramalan ini umumnya diturunkan lewat tradisi lisan, sehingga kemungkinan terjadi penyimpangan dari maksud (makna) awal sangat besar. Di luar kesahihan maknanya, eksistensi uga cenderung lebih penting ketimbang isi uga itu sendiri. Hal ini memungkinkan terciptanya uga-uga baru sesuai tuntutan situasi dan kondisi. Karena yakin uga turunan dari karuhun, memanifestasikan eksistensi karuhun dalam bentuk makam karomah (kuburan keramat) menjadi penting. Tidak heran jika masyarakat pada ketiga kasus studi sangat menghormati dan mengeramatkan makam. Pamali Sebagian besar kegiatan rumah tangga di kampung itu selalu mempunyai pamali di belakangnya. Pamali adalah suatu ajaran dari nenek moyang lewat orang tua yang tidak boleh dilanggar. Isi pamali cenderung dogmatis, jika dilanggar akibatnya tidak langsung, tetapi terjadi di masa mendaatang.

Sineger-Tengah Kosep sineger-tengah dipahami sebagai selalu di tengah, artinya kehidupan seyogyanya tidak lebih dan tidak kurang, dan kepatutan dalam kehidupan itu adalah di tengah-tengah. Berbeda dengan pamali, konsep ini tidak mempunyai sanksi, lebih merupakan suatu pegangan atau acuan tindakan.

Kesimpulannya, analisis kegiatan dan eksplorasi terhadap aspek makna membuahkan hasil sebagai berikut: pertama, ada empat kelompok kegiatan masyarakat yaitu: (1) ritual; (2) produksi-reproduksi; (3) sosial; dan (4) rutin (sehari-hari). Kedua, ada empat konsep acuan masyarakat dalam melakukan kegiatan yaitu: (1) nadran; (2) uga; (3) pamali; dan (4) sineger-tengah. Empat kelompok kegiatan tersebut merupakan struktur kegiatan permukaan dan empat konsep padanannya memberi pengaruh besar terhadap kegiatan. Kegiatan dan konsepnya terbukti signifikan mempengaruhi konsep makna arsitektur masyarakat Sunda di tiga kasus studi tersebut. Dengan begitu analisis tentang konsep bentuk dan makna arsitektur berhasil mengidentifikasi dua hal, yaitu: pertama, adanya tiga tipe wadah, yaitu: kampung, masjid (mushala), dan rumah, yang dilandasi empat konsep: luhurhandap, lemah-cai, wadah-eusi, kaca-kaca. Kedua, adanya empat kelompok kegiatan, yaitu ritual, produksi-reproduksi, dan rutin (sehari-hari), yang dilandasi konsep nadran, uga, pamali, sineger-tengah.

iv. Bentuk dan Makna Arsitektur Sunda


Secara khusus penelusuran bertujuan mengungkap kosep struktur-dalam yaitu struktur-dalam pola pada aspek bentuk dan struktur-dalam sosial pada aspek makna. Struktur-dalam dan pola struktur-dalam sosial ini dapat dianggap sebagai kosep struktur-dalam yang secara signifikan mempengaruhi seluruh konsep-konsep pada struktur-permukaan dan dapat dikategorikan sebagai pola tetap dari bentuk makna arsitektur. Dari struktur-dalam ini akan dapat diidentifikasi dinamika perubahan konsep bentuk dan makna arsitektur masyarakat Sunda, apakah ada pola yang tetap, berubah, dan hilang. Langkah-langkah penelusuran struktur-dalam pola dan struktur-dalam sosial dilakukan terpisah meskipun demikian tetap berjalan secara paralel di mana pada akhirnya hasil kedua telaah tersebut akan diintegrasikan satu sama lain. 1. Struktur-Dalam Pola Agar dapat mengungkap struktur-dalam pola, tiga buah tipe permukaan (kampung, masjid, rumah) dihadapkan dengan mepat konsep tempat (lemah-cai, luhur-handap, kaca-kaca, wadah-eusi) yang berpengaruh terhadap proses penciptaan tipe tersebut. Kemudian keduanya diujikan terhadap setiap kasus studi. Kampung

Pada tipe kampung terdapat elemen makam, pemukiman, dan ladang. Hal terpenting dari tipe ini adalah bagaimana menentukan pilihan lokasi kampung, serta bagaimana menata ketiga elemen tersebut. Berikut hasil penelusuran yang memperlihatkan konsep yang digunakan dalam perwujudan kampung:
Tipe Kampung TONGGOH CIGENCLANG PALASTRA Konsep yang Memberi Pengaruh Lemah-cai ADA Luhur-handap ADA ADA Wadah-eusi ADA Kaca-kaca ADA ADA ADA

Konsep wadah-eusi hanya tampak di Kampung Tonggoh, yaitu dengan adanya batu-hideung; sementara bisa dipahami kenapa wadah-eusi tidak ada di Kampung Cigenclang atau Kampung Palastra, yakni karena keduanya merupakan kampung yang tumbuh akibat adanya perkebunan karet dan tebu. Konsep Lemah-Cai Kampung Tonggoh terletak di daerah pegunungan terpencil. Sebelum Kampung Tonggoh tumbuh, tidak ada kegiatan kehidupan pada lokasi tersebut. Kosep lemah-cai sangat berperan menentukan pemilihan lokasi. Adanya cai-nyusu (mata air) cukup bersih dalam jumlah cukup serta tanah yang relative subur dan biasanya ditandai oleh hutan yang dipenuhi tumbuhan lebat, merupakan factor yang sangat menentukan pemilihan lokasi. Sampai sekarang cai-nyusu dan lemah (tanah untuk perumahan dan ladang) di Kampung Tonggoh tetap terjaga dengan baik. Kampung Cigenclang berada di lingkungan pegunungan yang sebelumnya telah ada kegiatan kehidupan berupa perkebunan karet, keberadaan konsep lemah-cai juga menjadi pertimbangan paa awal pembentukan kampung, tetapi dalam perkembangannya perkebunan karet semakin meluasmendekati perkampungan, justru berakibat negative, yakni berkurangnya lahan ladang. Dampak positifnya warga yang semula hanya mendapatkan air dari sumber yang terletak relative jauh, kini dapat mengambil air dari bak penampungan perkebunan karet yang letaknya relative lebih dekat. Bagi Kampung Palastra yang berada di daerah pesisir dan memiliki perbedaan kontur relative datar, tanah subur (lemah) untuk berladang pada awalnya memang merupakan pertimbangan pilihan lokasi selain posisi dilewati jalur perdagangan. Sumber mata air sebenarnya bukan prasyarat pertama, karena air permukaan relative mudah didapat dengan menggali tanah kurang-lebih 4-6m. Saat ini lahan untuk Kampung Palastra makin menyempit karena tumbuhnya pemukiman baru di atas lahan ladang yang ada. Konsep Luhur-Handap

Konsep yang secara literal berarti atas-bawah, pada Kampung Tonggoh dan Kampung Cigenclang menjadi sangat penting dimanifestasikan secara fisik. Lokasi untuk pemukiman harus mempunyai beda kontur signifikan, sehingga dapat membedakan penempatan fasilitas penting dan kurang penting secara hierarkis. Fasilitas yang paling tinggi hierarkinya (makam) selalu diletakkan di tempat yang lebih tinggi dibandingkan dengan fasilitas pemukiman. Penataan zonasi elemen dasar kampung di Kampung Tonggoh dan Kampung Cigenclang sampai sekarang masih selalu berdasar pada konsep ini. Namun keadaannya berbeda di Kampung Palastra; konsep ini tidak banyak member pengaruh pada penataan zonasi elemen kampung karena lokasi kampung relative datar. Konsep Kaca-Kaca Di ketiga kampung, kosep kaca-kaca cukup signifikan mempengaruhi tata letak elemen dasar kampung serta batas antara. Dalam penataan zonasi elemen dasar kampung, besaran serta letak batas antara ini selalu diusahakan sekecil mungkin. Hal ini mengakibatkan letak makam, pemikiman, dan ladang menjadi relative dekat, dan saling terikat satu sama lain. Rumah Meskipun banyak variasi bentuk rumah, pada dasarnya hanya ada satu tipa, yakni mengacu imah-kuncen. Di Kampung Tonggoh, variasi bentuk rumah nyaris tidak ada, sedangkan di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra ditemukan beberapa saja. Penelusuran kosep yang mempengaruhi perwujudan tipe rumah adalah sebagai berikut:
Tipe Rumah TONGGOH CIGENCLANG PALASTRA Konsep yang Memberi Pengaruh Lemah-cai Luhur-handap Wadah-eusi ADA ADA ADA Kaca-kaca ADA ADA ADA

Konsep Wadah-Eusi Masyarakat Sunda di ketiga kampung itu masih percaya akan kekuatan supranatural. Mereka yakin bahwa wadah yang ada di alam seperti batu, pohon, dan tempat tertentu selalu mengandung eusi (jiwa) tertentu. Wadah dengan eusi tidak seimbang dikhawatirkan akan membawa kesialan. Rumah merupakan salah satu wadah yang harus selalu mempunyai eusi. Oleh sebab itu ritual membangun rumah menjadi penting.prosesnya harus selalu disertai dengan sasajen bagi kekuatan luar (karuhun) yang dapat member eusi sesuai wadah. Di Kampung Tonggoh misalnya, wadah bale panggung mengandung eusi sangat sacral sehingga hanya boleh diisi dengan barang-barang pusaka, bukan untuk ditinggali.

Di ketiga kampung, umum ditemukan keyakinan bahwa rumah harus mengandung daerah tengah-tengah yang memisahkan anak laki-laki dengan daerah perempuan, masing-masing daerah bebas dan tidak saling mengganggu. Daerah laki-laki dan perempuan harus mempunyai pencapaian masing-masing. Di Kampung Tonggoh, goah yang berada di daerah perempuan masih merupakan wadah yang mempunyai hierarki tinggi; sedangkan di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra, hierarki goah tidak lagi terlalu penting. Konsep Kaca-Kaca Secara umum rumah di tiga kasus studi sangat memperlihatkan aspek batas. Di Kampung Tonggoh dan Kampung Cigenclang, perbedaan kontur dianggap sebagai batas antar rumah dalam tatanan kampung. Jarak rumah tidak diukur antara rumah ke rumah, tetapi dari batas kontur ke masing-masing rumah. Tatanan rumah selalu dimulai dari daerah netral yang merupakan pertemuan dari daerah laki-laki dan daerah perempuan. Hal ini mengindikasikan daerah netral berfungsi sebagai kaca-kaca yang penting.. Kaca-kaca merupakan daerah penyambung sekaligus pembatas yang selalu menjadi landasan bagi tatanan kampung. Pintu masuk laki-laki ke rumah dimulai dari area yang menyambungkan kegiatan lalu lintas kampng dengan rumah. Dalam konstruksi, cara menyambungkan dua dinding merupakan hal penting; di Kampung Tonggoh dimensi bambu sbagai penyambung menentukan kedua dinding yang akan disatukan. Rumah tidak dimulai dari berapa luas ruangan, tetapi dari ketersediaan bahan penyambung pelingkup ruangnya.

Hububgan antara tipe dengan konsep tempat yang mempengaruhi dapat disimpulkan pada tabel berikut:
Konsep tempat Tipe Lemah-cai ADA Luhurhandap ADA ADA Wadah-eusi ADA Kaca-kaca ADA ADA ADA ADA ADA ADA ADA

TONGGOH TIPE KAMPUNG CIGENCLANG PALASTRA TONGGOH TIPE RUMAH CIGENCLANG PALASTRA

TONGGOH TIPE MUSHALA CIGENCLANG PALASTRA

ADA ADA ADA

ADA ADA ADA

Tabel di atas menunjukkan bahwa kaca-kaca merupakan satu-satunya kosep yang digunakan seluruh tipe pada struktur-permukaan; dengan demikian pada tatanan struktur-dalam, konsep kaca-kaca dapat ditetapkan sebagai pola dasar konsep aspek bentuk. 2. Struktur-Dalam Sosial Telaah aspek makna akan dilakukan melalui pengungkapan terhadap stuktur permukaan yang terdiri dari empat tipe kegiatan, yaitu ritual, produksireproduksi, sosial, rutin (sehari-hari), serta empat konsep yang mempengaruhi pada proses kegiatan tadi, yaitu nadran, uga, pamali, sineger-tengah. Untuk mendapatkan struktur dalam, empat jenis kegiatan dihadapkan dengan empat konsep kemudian keduanya diuji pada setiap kasus studi. Aktivitas Ritual Berdasar hasil penelusuran di tiga kampung, kegiatan ritual secara formal selalu berdasar pada ritual agama Islam, meski masyarakat masih dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap kekuatan karuhun. Konsep yang mempengaruhi kegiatan ritual itu adalah:
Aktivitas Ritual TONGGOH CIGENCLANG PALASTRA Konsep yang Memberi Pengaruh Nadran ADA ADA ADA Uga ADA Pamali Sinegertengah ADA ADA ADA

Konsep Nadran Penghargaan terhadap nenek moyang atau karuhun pendiri kampung di ketiga kampung sangat kuat, ini dibuktikan dengan kehadiran elemen makam. Keterikatan warga kampung dengan makam sangat dipengaruhi konsep nadran (ziarah). Ziarah selalu dilakukan pada waktu tertentu oleh warga kampung, demikian juga ketika warga merasa ada suatu bala atau suatu peristiwa khusus yang dipercaya terjadi karena ada ada hubungan tidak harmonis antara warga dengan alam dan karuhun. Konsep Uga Uga atau ramalan nenek moyang yang diturunkan secara lisan masih banyak mempengaruhi kegiatan ritual Kampung Tonggoh. Membakar kemenyan pada malam Jumat masih dilakukan warga, ini sering didasarkan pada uga (ramalan) bahwa hanya pada malam itu komunikasi dengan karuhun dapat terjalin. Tetapi

di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra, uga sudah kurang dikenal dan tidak lagi diceritakan atau diturunkan secara lisan. Di kedua kampung itu uga telah berubah mnejadi persyaratan biasa. Konsep Sineger-Tengah Di ketiga kampung masyarakat menganggap kegiatan ritual sebagai penghubung antara dunia nyata dan gaib. Upacara ritual berdasarka tradisi sering dianggap sebagai cara untuk masuk ke zona tengah untuk dapat melakukan komunikasi dengan kekuatan lain. Ritual seperti kelahiran, pemberian nama, perkawinan, dianggap sebagai cara untuk berkomunikasi dengan leluhur. Aktivitas Produksi-Reproduksi Kegiatan produksi-reproduksi di ketiga kampung meliputi seluruh kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari. Pokok penting yang didapat dari penelusuran ini adalah bagaimana mereka mangatur perilaku terhadap alam (lahan produksi). Berikut adalah gambaran hasil penelusuran konsep yang mempengaruhi kegiatan produksi-reproduksi:
Aktivitas ProduksiReproduksi TONGGOH CIGENCLANG PALASTRA Konsep yang Memberi Pengaruh Nadran Uga ADA Pamali ADA ADA Sinegertengah ADA ADA ADA

Konsep Pamali Di Kampung Tonggoh yang seluruh warga memenuhi kebutuhan pangan utamanya (beras) lewat berhuma, lahan dan hasil produksinya (padi) diperlakukan dengan rasa hormat. Di kampung ini terdapat konsep pamali seperti jangan menanam pada waktu dan kondisi tertentu, karena akan bersifat negative terhadap hasil produksi dan pada gilirannya juga akan berakibat negative bagi kehidupan warga. Di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra, konsep pamali sudah hamper hilang. Warga tidak lagi memperhatikan waktu bertanam sesuai tradisi, tetapi lebih melakukannya brdasarkan pertimbangan pragmatis. Konsep Sineger-Tengah Konsep ini relative masih berpengaruh di kampung ketiga kasus studi. Warga masih sangat percaya bahwa lahan tidak boleh dieksploitasi berlebihan, melainkan harus secukupnya sesuai kebutuhan agar terjalin kehidupan harmonis dengan karuhun dan pada gilirannya membuat kehidupan warga relative tentram.

Aktivitas Sosial Penelusuran kegiatan sehari-hari menemukan bahwa factor waktu dan keseimbangan merupakan hal penting. Seluruh kegiatan harus dilakukan sesuai aturan dan waktu yang telah ditentukan agar tercipta keseimbangan dalam kehidupan komunal warga seperti berikut:
Aktivitas Sosial TONGGOH CIGENCLANG PALASTRA Konsep yang Memberi Pengaruh Nadran Uga Pamali ADA ADA Sinegettengah ADA ADA ADA

Konsep Pamali Di Kampung Tonggoh dan Kampung Cigenclang, warga masih percaya bahwa membersihkan bale-panggung dan cai-nyusu harus dilakukan pada waktu tertentu, demikian juga waktu untuk memperbaiki turap penahan jalan setapak. Di Kampung Palastra, konsep pamali sudah mulai hilang. Konsep Sineger-Tengah Di ketiga kampung, konsep sineger-tengah sangat mempengaruhi kegiatan keseharian. Kegiatan komunal seperti berkumpul, merawat, dan memperbaiki fasilitas bersama diyakini harus dilakukan sesuai waktunya. Misalnya memperbaiki turap dan area berkumpul, harus dilakukan setahun dua kali, tidak boleh lebih atau kurang. Jika tidak demikian keseimbangan kehidupan dalam kampung bisa terganggu. Aktivitas Rutin (Sehari-hari) Penelusuran kegiatan rutin mengidentifikasi adanya keseimbangan peran pameget-istri.
Aktivitas Rutin TONGGOH CIGENCLANG PALASTRA Konsep yang Memberi Pengaruh Nadran Uga Pamali ADA ADA SinegerTengah ADA ADA ADA

Konsep Pamali

Di Kampung Tonggoh dan Kampung Cigenclang, perilaku keluarga dalam kegiatan rumah tangga selalu berdasar pada tradisi turun temurun. Pamali, seperti jangan duduk di depan pintu, bada maghrib harus ada di dalam rumah, tidak boleh menggunakan pisau di malam hari, masih dipatuhi warga. Sedangkan di Kampung Palastra, konsep ini sudah tidak dikenal lagi. Konsep Sineger-Tengah Konsep sineger-tengah di ketiga kampung masih dipatuhi. Urutan hierarki paling tinggi dari rumah adalah daerah zona netral yang digunakan bersama-sama oleh perempuan dan laki-laki. Zona laki-laki dan zona perempuan mempunyai jalan masuk bebeda, hal ini sejalan dengan peran masing-masing. Perempuan berperan mengurus seluruh kegiatan di zonanya, begitu pula dengan laki-laki.

Hubungan antara kegiatan dengan konsep yang mempengaruhinya dapat disimpulkan pada tabel:
Konsep Kegiatan Nadran ADA ADA ADA ADA ADA ADA Uga ADA Pamali SinegerTengah ADA ADA ADA ADA ADA ADA

RITUAL

TONGGOH CIGANCLANG PALASTRA TONGGOH CIGANCLANG PALASTRA

PRODUKSI-REPRODUKSI

SOSIAL

TONGGOH CIGANCLANG PALASTRA TONGGOH

ADA ADA

ADA ADA ADA

ADA ADA

ADA ADA ADA

RUTIN

CIGANCLANG PALASTRA

Dapat disimpulkan bahwa sampai saat ini (2005) tatanan struktur dalam yang masih dipegang oleh masyarakat Sunda di ketiga kasus studi adalah sineger-

tengah sebagai struktur sosial dan kaca-kaca sebagai pola dasar. Walaupun konsep pada struktur permukaan relative dapat berubah, hilang, berganti dengan konsep lain, tetapi seluruh konsep di atas tetap mengacu pada konsep struktur dalamnya. Kedua konsep struktur dalam itu mempunyai arti serupa; sineger-tengah secara harafiah berarti jangan lebih atau kurang, sedangkan kaca-kaca secara harafiah berarti batas antara dua hal yang bisa saja bersifat fisik atau spasial. Secara prinsip keduanya dapat dianalogikan sebagai dua sisi mata uang. Sineger-tengah merupakan struktur sosial tidak tertulis dan secara bawah sadar dijadikan acuan oleh masyarakat Sunda dalam menjalankan kegiatan. Sedangkan kaca-kaca merupakan pola dasar tidak tertulis dan secara tidak sadar juga dijadikan acuan oleh masyarakat Sunda dalam mewujudkan wadah untuk menampung kegiatan. 3. Dinamika Perubahan Konsep Bentuk dan Makna Arsitektur Sunda Bagian ini akan membahas tentang dinamika perubahan konsep bentuk dan makna arsitektur di tiga kampung Sunda yang masing-masing berbeda, namun dapat dikelompokkan menjadi empat garis besar, yaitu:
Kampung Tonggoh
Konsep yang Berkaitan dengan Aspek Makna Struktur-Permukaan Nadran MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA

Cigenclang
MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA MASIH DIKENAL NAMUN DIGUNAKAN DENGAN ARTI BERUBAH MASIH DIKENAL TAPI TIDAK LAGI DIGUNAKAN

Palastra
MASIH DIKENAL NAMUN DIGUNAKAN DENGAN ARTI BERUBAH

Uga

TIDAK DIKENAL

Pamali

MASIH DIKENAL TAPI TIDAK LAGI DIGUNAKAN

Struktur-Dalam

Sineger-Tengah

MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA

MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA

MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA

Struktur-Permukaan

Lemah-Cai

MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA

MASIH DIKENAL TAPI TIDAK LAGI DIGUNAKAN MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA MASIH DIKENAL NAMUN DIGUNAKAN DENGAN ARTI BERUBAH

TIDAK DIKENAL

Luhur-Handap

TIDAK DIKENAL

Wadah-Eusi

MASIH DIKENAL NAMUN DIGUNAKAN DENGAN ARTI BERUBAH

Struktur-Dalam

Kaca-Kaca

Konsep Masih Dikenal dan Digunakan Sesuai Arti Semula Konsep struktur dalam yang masih dikenal sampai saat kini dan digunakan sesuai arti semula di tiga kampung adalah kaca-kaca (aspek bentuk) dan sineger-tengah (aspek makna) Kaca-kaca dan sineger-tengah di ketiga kampung Kaca-kaca dipahami sebagai batas dalam arti luas , ia dipahami sebagai cara melihat pertemuan kedua nilai yang berbeda, alih-alih dua material yang berbeda. Ketika berwujud wadah fisik (arsitektural), batas dapat berupa pertemuan antara dua ketinggian, dua material, atau dua ruang (spasial). Sineger-tengah digunakan sebagai pegangan atau acuan tindakan sehari-hari, dipahami sebagai selalu di tengah. Masyarakat Sunda di tiga kampung itu meyakini bahwa tidak lebih dan tidak kurang atau berada di tengah-tengah merupakan kepatutanyang harus dipenuhi. Walaupunn kaca-kaca berkaitan dengan aspek bentuk dan sineger-tengah berkaitan dengan aspek makna, kedua konsep tersebut pada dasarnya bersifat komplementer, menjalin satu kesatuan. Kdua konsep ini menjadi dasar bagi konsep yang ditemukan pada struktur luar, serta bagi perwujudan seluruh bentuk dan makna arsitektural masyarakat di ketiga kasus studi. Lemah-cai, luhur-handap, wadah-eusi, nadran, uga, pamali di Kampung Tonggoh-Dalam Di Kampung Tonggoh-Dalam, konsep lemah-cai, luhur-handap, wadah-eusi (aspek bentuk) dan nadran, uga, pamali (aspek makna) masih digunakan sesuai arti semula. Sebenarnya hal ini wajar karena penduduk kampung ini masih sangat teguh memegang adat-istiadat yang disebit elmu Tonggoh. Norma dan aturan itu menjadi landasan seluruh kegiatan kehidupan sehari-hari. Tekanan luar ternyata tidak banyak member pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Kampung Tonggoh-Dalam, sehingga wujud bentukan arsitekturnya relative tidak berubah sejak dulu. Luhur-handap dan nadran di Kampung Cigenclang

Konsep yang Berkaitan dengan Aspek Bentuk

MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA

MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA

MASIH DIKENAL DAN DIGUNAKAN SESUAI ARTI SEMULA

Konsep di Kampung Cigenclang yang juga masih dikenal dan digunakan sesuai arti semula adalah luhur-handap dan nadran. Walau tidak diutarakan secara eksplisit, kadang-kadang masyarakat Cigenclang percaya akan adanya kekuatan leluhur yang dapat melindungi mereka dari malapetaka kehidupan. Kepercayaan tersebut tercermin dari ritual seperti mengunjungi makam, memanjatkan doa meminta keselamatan, akibatnya keberadaan makam para leluhur tetap terplihara dan terjaga dengan baik.

Konsep Masih Dikenal Namun Digunakan Dengan Arti Berubah Konsep struktur permukaan yang masih dikenal namun digunakan dengan arti berubah ditemukan pada Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra. Konsep tersebut adalah wadah-eusi (aspek bentuk) dan uga (aspek makna) di Kampung Ciganclang; serta wadah-eusi (aspek bentuk) dan nadran (aspek makna) di Kampung Palastra. Wadah-eusi dan uga di Kampung Cigenclang Apabila di Kampung Tonggoh dalam pemilihan lokasi kampung mengacu konsep wadah-eusi, bahwa suatu wadah harus selalu mempunyai suatu eusi, di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra, konsep wadah-eusi masih dikenal tetapi tidak lagi merujuk pada benda keramat yang menkaji penjaga kampung. Konsep wadah-eusi lebih dipahami sebagai keseimbangan antara luas lahan pemukiman dengan jumlah penghuninya. Walaupun demikian, masyarakat Kampung Cigenclang masih percaya bahwa lahan tertentu seperti pemakaman memiliki penjaga.. Hal serupa terjadi pada pemahaman tentang konsep wadah-eusi pada tatanan rumah. Di Kampung Tonggoh, rumah masih dianggap sebagai wadah, dan goah sebagai eusi. Goah memiliki nilai pentinng dalam rumah, diyakini rumah akan terhindar dari malapetaka apabila goah dijaga dengan baik. Di Kampung Cigenclang, konsep wadah-eusi pada tatanan rumah masih dikenal, namun tidak lagi merujuk pada pentingnya keberadaan goah, melainkan bergesr pada keseimbangan antara besar rumah dengan jumlah penghuninya. Goah hanya dipandang sebagai salah satu bagian dapur. Meskipun konsep uga yang mendasari kegiatan ritual masih dikenal di Kampung Cigenclang, masyarakatnya tidak lagi percaya bahwa isi ramalan akan menentukan kehidupan mereka di masa dating. Mereka yakin bahwa lewat doa dan kominukasi dengan karuhun, niscaya ramalan buruk akan dapat berubah menjadi lebih baik. Jika awalnya uga dianggap mutlak terjadi saat ini isi ramalan dalam uga lebih dipahami sebagai peringatan, sehingga masih dapat diubah tergantung pada usaha masyarakat sendiri. Wadah-eusi dan nadran di Kampung Palastra

Pemahaman konsep wadah-eusi di Kampung Palastra tidak jauh berbeda dengan pemahaman masyarakat Kampung Cigenclang. Sebagian besar masyarakat Kampung Palastra bahkan mengenal konsep wadah-eusi untuk area makam seperti dalam agama Islam, bahwa pada lahan makam selalu ada kubur, sehingga memberi salam kepada ahli kubur letika memasuki area makam menjadi keharusan. Di Kampung Palastra, konsep nadran juga masih dikenal, tetapi digunakan dalam arti berbeda. Pengaruh agama Islam pada masyarakat terasa lebih kental disbanding pengaruh adat yang semakin menipis. Masyarakat dating ke makam justru tidak meminta sesuatu, melainkan mendoakan yang telah meninggal agar ruhnya diterima di sisi Allah. Dengan demikian keberadaan mekam tidak lagi merupakan perwujudan kekuatan leluhur yang dapat memberikan pertolongan ketika ada kesulitan, melainkan hanya sebagai tempat peristirahatan terakhir mannusia yang perlu dizirahi. Konsep Masih Dikenal Tetapi Tidak Lagi Digunakan Konsep struktur permukaan yang masih dikenal tetapi tidak lagi digunakan ditemukan di Kampung Cigenclang dan Kampung Palastra. Konsep tersebut adalah lemah-cai (aspek bentuk) dan pamali (aspek makna) di Kampung Cigenclang; serta pamali (aspek makna) di Kampung Palastra). Lemah-cai dan pamali di Kampung Cigenclang Konsep lemah-cai awalnya merujuk pada arti dibutuhkan dua elemen komplementer untuk membangun suatu pemukiman, yaitu: pertama, tersedianya tanah layak huni dan dijadikan ladang; serta kedua, cukup tersedianya sumber air dan tidak pernah habis untuk mendukung kehidupan. Dengan demikian keberadaan dan keterjagaan tanah dan sumber air menjadi prasyarat bagi suatu tempat agar tetap layak digunakan sebagai zona kehidupan. Di Kampung Cigenclang, konsep lemah-cai masih dikenal, tetapi artinya terbatas pada tempat kelahiran atau kampung halaman, sementara pemahaman awal tentang arti lemah-cai sudah tidak ada lagi. Bila ditilik dari kondisi kampung, hal ini sebenarnya dapat dimengerti, karena sebagian besar tanah dan ladang sekarang telah menjadi perkebunan pemerintah (PTP), tempat sebagian besar penduduk Kampung Cigenclang bekerja. Demikian juga halnya air, perkebunan telah menyediakan beberapa tempat persediaan air yang dapat dikonsumsi penduduk, dengan debit dan kualitas lebih baik disbanding mata air yang ada. Pamali pun begitu. Konsep ini masih sering muncul dalam percakapan seharihari, tetapi tidak lagi dipraktikkan. Awalnya konsep pamali cenderung dogmatis, jika tidak dituruti akan mendatangkan bala. Apabila di Kampung Tonggoh-Dalam ada pamali membuat rumah berbeda dari rumah penduduk yang ada, di Kampung Cigenclang rumah penduduk sangat bervariasi seiring masuknya bentuk rumah yang dibangun perkebunan untuk pekerjanya, serta pengaruh dari

luar. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kampung Cigenclang, kata pamali masih dikenal, tetapi jika tidak dipatuhi hanya dianggap kurang sopan. Pamali di Kampung Palastra Seperti di Kampung Cigenclang, konsep pamali di Kampung Palastra masih dikenal, tetapi sudah tidak lagi digunakan. Karena berada dekat dengan daerah pesisir, sejak dulu Kampung Palastra telah banyak mendapat pengaruh luar, tidak heran jika konsep pamali sudah tidak digunakan lagi. Konsep Sudah Tidak Dikenal Konsep struktur permukaan yang sudah tidak dikenal ladi ditemukan di Kampung Palastra, yaitu lemah-cai dan luhur-handap.

v. Epilog
Pola Tiga dan Bentu Persegi Panjang Kelemahan dan Kekuatan Konsep Sineger-Tengah Konsep Kaca-Kaca dan Lingkaran Tindakan Praktis dan Simbolis

Anda mungkin juga menyukai