Anda di halaman 1dari 79

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH PROSES PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var microcarpa)

Oleh : MAULIYAH NUR HARIYATI F34102040

2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH PROSES PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var microcarpa)

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : MAULIYAH NUR HARIYATI F34102040

2006 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN EKSTRAKSI DAN KARAKTERISASI PEKTIN DARI LIMBAH PROSES PENGOLAHAN JERUK PONTIANAK (Citrus nobilis var microcarpa)

SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN Pada Departemen Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : MAULIYAH NUR HARIYATI F34102040

Dilahirkan pada tanggal 4 Desember 1984 Di Sidoarjo Tanggal lulus : 31 Agustus 2006 Menyetujui, Bogor, September 2006

Ir. Ade Iskandar, MSi Pembimbing I

Ir. Yulianingsih, MSi Pembimbing II

Mauliyah Nur Hariyati. F34102040. Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Proses Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). Di bawah bimbingan Ade Iskandar dan Yulianingsih. 2006. RINGKASAN Produksi jeruk Indonesia selama tiga tahun terakhir cenderung meningkat. Jumlah produksi di musim panen raya yang melebihi kapasitas pasar, berakibat pada rendahnya harga jual jeruk. Untuk mengatasi hal tersebut maka jeruk pontianak dikembangkan dalam bentuk puree dan jus jeruk. Pembuatan produk tersebut menghasilkan limbah diantaranya berupa ampas jeruk. Selama ini ampas jeruk digunakan sebagai pakan ternak atau hanya dibuang percuma. Padahal ampas jeruk mengandung sejumlah komponen yang bermanfaat diantaranya pektin. Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein. Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan tingkat kolesterol. Selain itu, pektin juga dapat membuat lapisan yang sangat baik yaitu sebagai bahan pengisi dalam industri kertas dan tekstil, serta sebagai pengental dalam industri karet. Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang berikatan dengan ikatan - (1-4)-glikosida sehingga membentuk asam poligalakturonat. Gugus karboksil sebagian teresterifikasi dengan methanol dan sebagian gugus alkohol sekunder terasetilasi (Hoejgard, 2004). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu ekstraksi terhadap karakteristik pektin ampas jeruk. Pektin yang dihasilkan diharapkan memiliki mutu yang setara dengan pektin komersial dan menjadi alternatif sumber pektin selain kulit jeruk dan kulit apel. Ekstraksi pektin dilakukan dengan menggunakan air destilat yang telah diberi asam klorida hingga pH 1.5. Ekstraksi pektin dilakukan dengan perlakuan suhu 65, 80, dan 95oC serta perlakuan lama ekstraksi 40, 60, dan 80 menit. Pektin yang dihasilkan dianalisa karakteristiknya yang meliputi rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif. Rendemen pektin yang dihasilkan berkisar antara 13.67-16.32%. Berdasarkan metode Bayes yang membandingkan karakteristik pektin hasil penelitian, kondisi ekstraksi pektin yang terbaik adalah perlakuan suhu 95oC dengan waktu ekstraksi 40 menit. Pektin dengan kondisi ekstraksi yang terbaik dibandingkan dengan pektin komersial. Parameter yang dibandingkan dengan pektin komersial adalah yang ditetapkan dalam standar Food Chemical Codex yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar galakturonat, dan kadar metoksil. Berdasarkan keempat parameter tersebut, pektin hasil ekstraksi suhu 65oC dan 95oC selama 40 menit memiliki kulitas yang lebih baik dari pektin komersial.

Mauliyah Nur Hariyati. F34102040. Extraction and Characterization Pectin from Processing Pontianak Orange Waste (Citrus nobilis var microcarpa). Supervised by Ade Iskandar dan Yulianingsih. 2006. SUMMARY Indonesian orange production during the last three years tend to increase. Amount of production in certain season exceed market capacities, it cause lowering of orange price. To overcome the mentioned hence pontianak orange developed in the form of puree and orange juice. The production process of them produce waste, example orange pulp.. During the time, orange pulp is used as livestock feed or sometimes only thrown or useless. Though, orange pulp contain a number of usefull components, among others pectin. Pectin is used widely as functional component in food industry because its ability to form watery gel and to stabilize protein. Addition of Pectin at food will influence metabolism process and digestion specially in glucose adsorption and cholesterol level. Pectin also can make very good coat that is used for filler in paper industry and textile, and also as thickener in rubber industry. Pectins consists of an - (1-4) linked galacturonic acid homopolymer and L-rhamnose D-galacturonic acid repeating units carrying branched neutral sugar side chain. Galacturonic acid units in both regions are partially methyl-esterified (Hoejgard, 2004). This research aim is to know the influence of extraction temperature and time to orange pulp pectin characteristic. Orange pulp pectins are expected to have equivalent quality with commercial pectin and become alternative source of pectin besides lime peel and apple pomace. Pectin extraction was done by using destilate water which have been given by chloride acid until pH 1.5. Pectin Extraction conducted with treatment of temperature 65, 80, and 95oC and also treatment of time extraction 40, 60, and 80 minutes. Then, pectin was analysed its characteristic which cover yield, water content, ash content, equivalent weight, methoxyl content, galacturonic content, esterified degree, and relative viscosity. Yield of Pectin ia about 13.67-16.32%. Based on Bayes method which comparing pectin characteristic result of research, the best condition of pectin extraction is treatment of temperature 95oC with extraction time 40 minutes. Pectin with the best extraction condition was compared to commercial pectin. The characteristic which is compared to commercial pectin is set in Food Chemical Codex standard that are water content, ash content, galacturonic content, and methoxyl content. Pursuant fourth of the characteristic, pectin result from temperature extraction 65oC and 95oC during 40 minute have better quality than commercial pectin.

KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kekuatan dan hidayah-Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi yang berjudul Ekstraksi Dan Karakterisasi Pektin Dari Limbah Proses Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa) dapat diselesaikan.Dalam pelaksanaan penelitian maupun penulisan skripsi ini, penulis mendapatkan dukungan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada berbagai pihak berikut ini : 1. Ir. Ade Iskandar, MSi selaku dosen pembimbing I atas segala bimbingan, nasehat, dan arahannya. 2. Ir. Yulianingsih, Msi selaku pembimbing II atas bimbingan dan dukungannya. 3. Dr. Ir. Dwi Setyaningsih, Msi selaku dosen penguji atas bimbingannya. 4. Agus Budianto, STP atas segala bantuan dan dukungannya. 5. Mamak, Bapak, Harman, Aprilia dan Rachmad atas kasih sayang, doa dan semangatnya selama ini. 6. Para staf dan karyawan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pasca Panen Pertanian terutama Ibu Tisna, Ibu Ermi, Bapak Ato, Bapak Yudi, Mbak Meli, Mbak Dewi yang telah banyak membantu selama penelitian. 7. Sigit, Iffa, Rini, Fitri, Ocie, Wahyu, Farikin, Hari, Andri, Ocha atas bantuan dan kebersamaannya di Balai Pasca Panen. 8. Teman-teman Andaleb Crew (Nisa, , Lely, Cocom, MSaras, MYanti, Widi, Firdaus, Azzi, Maryam, Sifa, dll) atas cinta yang telah kalian berikan dan dukungan selama ini. 9. Teman-teman TIN IPB 39 atas kebersamaannya. 10. Semua pihak yang telah membantu selama masa tugas akhir. Penulis menyadari tulisan ini masih jauh dari sempurna. Namun demikian Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Bogor, Juli 2006 Penyusun

DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR......................................................................................i DAFTAR ISI....................................................................................................ii DAFTAR TABEL...........................................................................................iv DAFTAR GAMBAR.......................................................................................v DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................vi I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang.......................................................................................1 B. Tujuan....................................................................................................2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Jeruk Pontianak.....................................................................................3 B. Pektin.....................................................................................................4 1. Pengertian dan Sumber Pektin..........................................................4 2. Struktur dan Komposisi Kimia Pektin..............................................6 3. Sifat- Sifat Pektin..............................................................................8 4. Proses Produksi Pektin....................................................................10 5. Aplikasi Pektin................................................................................12 III. METODOLOGI A. Bahan dan Alat....................................................................................14 B. Metode Penelitian................................................................................14 1. Penelitian Pendahuluan....................................................................14 2. Penelitian Utama..............................................................................15 C. Rancangan Percobaan..........................................................................19 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan........................................................................20 1. Analisa Proksimat.............................................................................20 2. Penentuan Bahan Baku.....................................................................21 B. Penelitian Utama..................................................................................23 1. Rendemen........................................................................................24 2. Kadar Air.........................................................................................26 3. Kadar Abu.......................................................................................27

Halaman 4. Berat Ekivalen................................................................................29 5. Kadar Metoksil...............................................................................31 6. Kadar Galakturonat........................................................................33 7. Derajat Esterifikasi.........................................................................35 8. Viskositas Relatif............................................................................37 C. Perbandingan Terhadap Pektin Komersial...........................................38 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan..........................................................................................43 B. Saran.....................................................................................................44 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................45 LAMPIRAN....................................................................................................49

DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Negara-Negara Penghasil Jeruk Dunia................................................1 Tabel 2. Rendemen Pektin Beberapa Bahan Baku Industri Pektin .......6 Tabel 3. Rincian Spesifikasi Mutu Pektin Komersial ................................13 Tabel 4. Penentuan bobot karakteristik mutu pektin.......................................16 Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Ampas Jeruk Pontianak.............................20 Tabel 6. Hasil Metode Bayes Karakterisasi Pektin.39 Tabel 7. Perbandingan Pektin Hasil Penelitian dengan Pektin Komersial......41

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Penampang Melintang Buah Jeruk................................................4 Gambar 2. Struktur Dinding Sel Tanaman......................................................6 Gambar 3. Struktur Kimia Asam -Galakturonat............................................7 Gambar 4. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat..........................................7 Gambar 5. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi..................................7 Gambar 6. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Rendah.................................8 Gambar 7. Struktur Fungsional Pektin............................................................8 Gambar 8. Diagram Alir Produksi Pektin Kulit Jeruk Pontianak..................18 Gambar 9. Hubungan Pengeringan Bahan Terhadap Rendemen Pektin.......21 Gambar 10. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen..... 25 Gambar 11. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air.. 26 Gambar 12. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu......28 Gambar 13. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen30 Gambar 14. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil...31 Gambar 15. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Galakturonat.................................................................................34 Gambar 16. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Derajat Esterifikasi....................................................................................35 Gambar 17 Reaksi Deesterifikasi Pektin.........................................................36 Gambar 18. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Viskositas Relatif...........................................37 Gambar 19. Pektin Hasil Penelitian.................................................................39

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Pohon Industri Jeruk........................................................................49 Lampiran 2. Analisa Bahan..................................................................................50 Lampiran 3 Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Rendemen Pektin Pada Perlakuan Pendahuluan ..............................................53 Lampiran 4. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Rendemen Pektin Pada Perlakuan Utama.........................................................54 Lampiran 5. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar Air Pektin Pada Perlakuan Utama ........................................................55 Lampiran 6. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar Abu Pektin Pada Perlakuan Utama ........................................................57 Lampiran 7. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Berat Ekivalen Pektin Pada Perlakuan Utama .........................................59 Lampiran 8. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar Metoksil Pektin Pada Perlakuan Utama .........................................60 Lampiran 9. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Kadar Galakturonat Pektin Pada Perlakuan Utama ...................................62 Lampiran 10. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Derajat Esterifikasi Pektin Pada Perlakuan Utama .....................................64 Lampiran 11. Uji Analisa Keragaman dan Uji Lanjut Duncan Terhadap Viskositas Relatif Pektin Pada Perlakuan Utama .............................................66

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jeruk Pontianak merupakan jenis jeruk siam yang banyak diusahakan dan paling luas penyebarannya di Indonesia. Tanaman ini bisa diusahakan di daerah dataran rendah sampai dengan daerah berketinggian 770 meter di atas permukaan laut (Sarwono, 1994). Produksi jeruk Indonesia selama tiga tahun terakhir cenderung meningkat. Indonesia berada di peringkat 14 pada tahun 2002 dan peringkat 10 pada tahun 2003 dan 2004. Produksi jeruk Indonesia tahun 2004 kurang lebih 1.600.000 ton atau 2,6% dari produksi dunia (Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian, 2005). Tabel 1. Negara-Negara Penghasil Jeruk Dunia
2002 Produksi 1 Brasil 18.530.624 2 USA 11.225.500 3 Meksiko 3.843.960 4 India 3.120.000 5 Spanyol 2.867.100 6 Iran 1.880.000 7 Egypt 1.725.000 8 Italia 1.723.630 9 Cina 1.643.469 10 Turki 1.250.000 11 Pakistan 1.190.000 12 Yunani 1.164.508 13 Afrika Selatan 1.082.330 14 Indonesia 968.132 Dunia 61.644.115 Sumber: Data Produksi Jeruk FAO (2005) No. Negara % 30.2 18.3 6.3 5.1 4.7 3.1 2.8 2.8 2.7 2.0 1.9 1.9 1.8 1.6 2003 Produksi 16.902.600 10.473.450 3.969.810 3.070.000 3.112.900 1.850.000 1.740.000 1.962.000 1.831.681 1.215.000 1.128.000 967.681 1.165.000 1.441.680 60.740.954 % 28.0 17.3 6.6 5.1 5.2 3.1 2.9 3.2 3.0 2.0 1.9 1.6 1.9 2.4 2004 Produksi 18.262.632 11.729.900 3.969.810 3.070.000 2.900.000 1.850.000 1.750.000 1.800.000 1.892.681 1.215.000 1.120.000 1.000.000 1.160.000 1.600.000 63.039.736 % 29.1 18.7 6.3 4.9 4.6 3.0 2.8 2.9 3.0 1.9 1.8 1.6 1.8 2.6

Pembuatan produk dengan bahan baku jeruk seperti sari buah jeruk akan mempunyai limbah berupa kulit, ampas dan biji. Limbah pengolahan jeruk terutama kulit merupakan sumber serat pangan dan juga salah satu bahan baku produksi pektin yang banyak digunakan pada industri makanan (Herbstreith dan Fox, 2005). Ampas jeruk diperoleh sebagai produk sampingan industri sari buah jeruk. Saat ini ampas jeruk digunakan untuk pakan ternak atau hanya dibuang sebagai limbah industri. Pemanfaatan ampas tersebut kurang optimal, padahal ampas jeruk mengandung komponen yang

bermanfaat bagi manusia. Salah satu komponen yang terdapat pada ampas jeruk adalah pektin. Indonesia mempunyai potensi yang baik sebagai penghasil buah jeruk, tetapi pemanfaatan limbah jeruk sebagai sumber pektin secara industri belum dilakukan. Kendala yang dihadapi adalah tidak tersedianya limbah jeruk yang terkumpul cukup banyak dan kontinyu, sehingga diperlukan kerjasama dengan pabrik yang memanfaatkan buah jeruk sebagai bahan baku seperti misalnya pabrik sari buah jeruk (Purwantoro, 1989). Pektin merupakan kompleks polisakarida anion yang terdapat pada dinding sel primer dan interseluler pada tanaman tingkat tinggi. Asam Dgalakturonat merupakan molekul utama penyusun polimer pektin, dan biasanya gula netral juga terdapat dalam pektin (ONeill et al, 1990; Visser dan Voragen, 1996). Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan tingkat kolesterol (Baker, 1994). Selain itu, pektin juga dapat membuat lapisan yang sangat baik yaitu sebagai bahan pengisi dalam industri kertas dan tekstil, serta sebagai pengental dalam industri karet. Nilai ekonomi yang dimiliki pektin cukup tinggi. Harga eceran tepung pektin berkisar antara Rp. 200.000-Rp. 300.000 per kg. Pada tahun 2001, Indonesia mengimpor pektin sebanyak 14.242 kg dengan nilai sebesar US $ 130.599 (Biro Pusat Statistik, 2001). B. Tujuan Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknologi proses pembuatan pektin dari bahan baku ampas jeruk Pontianak yang saat ini dianggap sebagai limbah industri pengolahan sari buah jeruk. Tujuan khusus penelitian ini adalah mencari suhu dan waktu ekstraksi terbaik dalam menghasilkan pektin dengan mutu terbaik yaitu sesuai dengan standar mutu pektin komersial.

II. TINJAUAN PUSTAKA


A. Jeruk Pontianak Jeruk merupakan tanaman hortikultura yang mempunyai daerah tumbuh antara 40oLU 40oLS. Negara asal jeruk adalah Asia Tenggara, India, Cina, Australia, dan Kaledonia Baru (Sarwono, 1986). Jeruk Pontianak sebenarnya adalah jeruk siam (Citrus nobilis var Microcarpa). Tanaman ini masuk Kalimantan Barat pada tahun 1936, dan pertama kali ditanam di daerah Kecamatan Tebas Kabupaten Sambas. Pohon jeruk Tebas yang telah berproduksi bisa menghasilkan buah sebanyak 15-50 kg per pohon (Sarwono, 1994). Klasifikasi tanaman jeruk Pontianak adalah sebagai berikut : Divisi Kelas Suku Marga Jenis Varietas : Spermatophyta : Dicothyledonae : Rutacea : Citrus : Citrus nobilis : Citrus nobilis var microcarpa (Sarwono, 1994). Jeruk Pontianak memiliki bentuk buah bulat dan licin. Daging buah jeruk Pontianak banyak mengandung air, kulitnya tipis, agak melekat dan sulit terlepas dari daging buah (Sarwono, 1994). Menurut Albrigo dan Carter (1977), bagian-bagian utama buah jeruk jika dilihat dari bagian luar sampai ke dalam adalah kulit (tersusun atas epidermis, flavedo, kelenjar minyak, dan ikatan pembuluh), segmen-segmen (terdiri atas dinding segmen, rongga cairan dan biji) dan core (bagian tengah yang terdiri dari ikatan pembuluh dan jaringan parenkim). Subdivisi : Angiospermae

Bagian-bagian buah jeruk Pontianak dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Penampang Melintang Buah Jeruk Kulit jeruk dapat dibagi menjadi dua bagian utama yaitu flavedo (kulit bagian luar yang berbatasan dengan epidermis) dan albedo (kulit bagian dalam yang berupa jaringan busa). Epidermis merupakan bagian luar yang melindungi buah jeruk, yang terdiri dari lapisan lilin, matriks kutin, dinding sel primer dan sel epidermal. Flavedo sebagai lapisan kedua ditandai dengan adanya warna hijau, kuning, oranye, kelenjar minyak, dan tidak terdapat ikatan pembuluh. Pigmen yang terdapat pada flavedo adalah kloroplas dan karotenoid. Dalam perkembangannya kloroplas akan terdegradasi, sehingga buah yang sebelum matang berwarna hijau menjadi berwarna oranye pada saat matang (Albrigo dan Carter, 1977). Juring atau lamella jeruk banyak mengandung pektin, karena itu rugi bila mengkonsumsi jeruk hanya menyerap sarinya dan membuang kulit juringnya. Pektin pada jeruk yang bila dimakan atau diolah menjadi jus dengan dagingnya akan bermanfaat sebagai pembersih racun dari dalam tubuh (Kurniasih, 2004). B. Pektin 1. Pengertian dan sumber pektin Pektin adalah substansi alami yang terdapat pada sebagian besar tanaman pangan. Selain sebagai elemen struktural pada pertumbuhan jaringan dan komponen utama dari lamella tengah pada tanaman, pektin juga

berperan sebagai perekat dan menjaga stabilitas jaringan dan sel (Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin merupakan senyawa polisakarida dengan bobot molekul tinggi yang banyak terdapat pada tumbuhan. Pektin digunakan sebagai pembentuk gel dan pengental dalam pembuatan jelly, marmalade, makanan rendah kalori dan dalam bidang farmasi digunakan untuk obat diare (National Research Development Corporation, 2004). Kata pektin berasal dari bahasa Latin pectos yang berarti pengental atau yang membuat sesuatu menjadi keras/ padat. Pektin ditemukan oleh Vauquelin dalam jus buah sekitar 200 tahun yang lalu. Pada tahun 1790, pektin belum diberi nama. Nama pektin pertama kali digunakan pada tahun 1824, yaitu ketika Braconnot melanjutkan penelitian yang dirintis oleh Vauquelin. Braconnot menyebut substansi pembentuk gel tersebut sebagai asam pektat (Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin yang dimanfaatkan untuk makanan merupakan suatu polimer yang berisi unit asam galakturonat (sedikitnya 65%). Kelompok asam tersebut bisa dalam bentuk asam bebas, metil ester, garam sodium, kalium, kalsium atau ammonium, dan dalam beberapa kelompok pektin amida (IPPA, 2002). Komposisi kandungan protopektin, pektin, dan asam pektat di dalam buah sangat bervariasi tergantung pada derajat kematangan buah. Pada umumnya, protopektin yang tidak larut itu lebih banyak terdapat pada buahbuahan yang belum matang (Winarno, 1997). Pektin secara umum terdapat di dalam dinding sel primer tanaman, khususnya di sela-sela antara selulosa dan hemiselulosa. Senyawa-senyawa pektin berfungsi sebagai perekat antara dinding sel yang satu dengan yang lain. Bagian antara dua dinding sel yang berdekatan tersebut dinamakan lamella tengah (Winarno, 1997). Gambar 2 menunjukkan senyawa pektin pada dinding sel tanaman (IPPA, 2002).

Gambar 2. Struktur Dinding Sel Tanaman Kandungan pektin dalam tanaman sangat bervariasi, baik berdasarkan jenis tanamannya maupun dari bagian-bagian jaringannya. Bagian kulit dan albedo buah jeruk lebih banyak mengandung pektin daripada jaringan parenkimnya (Winarno, 1997). Tabel 2 menunjukkan rendemen pektin yang dihasilkan dari beberapa jenis buah-buahan di Indonesia. Tabel 2. Rendemen pektin beberapa bahan baku industri pektin Sumber Apel Gula Bit Bunga matahari Kulit jeruk Rendemen (% bobot kering) 10-15 10-20 15-25 20-35

Sumber : Herbstreith dan Fox, 2006.

2. Struktur dan Komposisi Kimia Pektin Pada tahun 1924, Smolenski adalah yang pertama kali berasumsi bahwa pektin merupakan polimer asam galakturonat. Pada tahun 1930, Meyer dan Mark menemukan formasi rantai dari molekul pektin, dan Schneider dan Bock pada tahun 1937 membentuk formula tersebut (Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin tersusun atas molekul asam galakturonat yang berikatan dengan ikatan - (1-4)-glikosida sehingga membentuk asam poligalakturonat. Gugus karboksil sebagian teresterifikasi dengan methanol dan sebagian gugus alkohol sekunder terasetilasi (Herbstreith dan Fox,

2005). Gambar 3 di bawah ini menunjukkan struktur kimia unit asam galakturonat.

Gambar 3. Struktur Kimia Asam -Galakturonat Menurut Hoejgaard (2004), pektin merupakan asam poligalakturonat yang mengandung metil ester. Pektin diekstraksi secara komersial dari kulit buah jeruk dan apel dalam kondisi asam. Masing-masing cincin merupakan suatu molekul dari asam poligalakturonat, dan ada 300 1000 cincin seperti itu dalam suatu tipikal molekul pektin, yang dihubungkan dengan suatu rantai linier.

Gambar 4. Struktur Kimia Asam Poligalakturonat Berdasarkan kandungan metoksilnya, pektin dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu pektin berkadar metoksil tinggi (HMP), dan pektin berkadar metoksil rendah (LMP). Pektin bermetoksil tinggi mempunyai kandungan metoksil minimal 7%, sedangkan pektin bermetoksil rendah mempunyai kandungan pektin maksimal 7% (Guichard et al, 1991). Gambar di bawah ini merupakan rumus molekul dari pektin bermetoksil tinggi dan pektin bermetoksil rendah (IPPA, 2002).

Gambar 5. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Tinggi

Gambar 6. Rumus Molekul Pektin Bermetoksil Rendah Pektin terdiri dari monomer asam galakturonat yang berbentuk suatu rantai molekul panjang. Rantai utama ini diselingi oleh kelompok rhamnosa dengan rantai cabang menyusun gula netral (arabinosa, galaktosa). Kelompok karboksil (kelompok asam) dari asam galakturonat dapat diesterifikasi atau diamidasi (IPPA, 2002). Selain asam D-galakturonat sebagai komponen utama, pektin juga memiliki D-galaktosa, L-arabinosa, dan L-rhamnosa dalam jumlah yang bervariasi. Komposisi kimia pektin sangat bervariasi tergantung pada sumber dan kondisi yang dipakai dalam isolasinya (Willats et al, 2006).

Gambar 7. Struktur Fungsional Pektin (Herbstreith dan Fox, 2005). 3. Sifat-sifat pektin Commite on Food Chemical Codex (1996), menyatakan bahwa pektin sebagian besar tersusun atas metil ester dari asam poligalakturonat dan sodium, potasium, kalsium dan garam ammonium. Pektin merupakan zat berbentuk serbuk kasar hingga halus yang berwarna putih, kekuningan, kelabu atau kecoklatan dan banyak terdapat pada buah-buahan dan sayuran matang. Gliksman (1969) menyatakan bahwa pektin kering yang telah

dimurnikan berupa kristal yang berwarna putih dengan kelarutan yang berbeda-beda sesuai dengan kandungan metoksilnya. Sifat fisik pektin tergantung dari karakteristik kimia pektin (Guichard et al., 1991). Faktor yang mempengaruhi pembentukan gel dengan tingkat kekenyalan dan kekuatan tertentu meliputi pH, konsentrasi pektin, suhu, ion kalsium, dan gula (Chang dan Miyamoto, 1992). Kekentalan larutan pektin mempunyai kisaran yang cukup lebar tergantung pada konsentrasi pektin, garam, dan ukuran rantai asam poligalakturonat (Rouse, 1977). Pektin dengan kadar metoksil lebih rendah dari 7% dapat membentuk gel bila ada ion-ion logam bivalen. Ion logam bivalen dapat bereaksi dengan gugus-gugus karboksil dari 2 molekul asam pektat dan membentuk jembatan. Pada pembentukan gel ini, tidak diperlukan gula dan tekstur gel yang terbentuk kurang keras (Guichard et al., 1991). Pembentukan gel dari pektin dengan derajat metilasi tinggi dipengaruhi juga oleh konsentrasi pektin, persentase gula, dan pH. Semakin besar konsentrasi pektin, semakin keras gel yang terbentuk. Konsentrasi 1% telah menghasilkan kekerasan yang cukup baik. Gula yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 65% agar terbentuknya kristal-kristal di permukaan gel dapat dicegah (Guichard et al., 1991). Pembentukan gel pektin metoksil tinggi terjadi melalui ikatan hidrogen diantara gugus karboksil bebas dan antara gugus hidroksil. Pada pektin metoksil rendah, kemampuan membentuk gel dengan gula dan asam hilang. Sebaliknya pektin ini mampu membentuk gel dengan adanya ion kalsium (Gliksman, 1969). Menurut May (1990), pektin merupakan asam poligalakturonat yang bermuatan negatif. Pektin bereaksi dengan makromolekul bermuatan positif. Pembentukan gel dapat terjadi dengan cepat pada pH rendah, tetapi reaksi ini dapat dihambat dengan penambahan garam. Menurut Rouse (1977), degradasi dan dekomposisi pektin dapat disebabkan oleh adanya reaksi oksidasi. Kecepatan degradasi tergantung pada suhu, pH, dan konsentrasi agen pengoksidasi.

4. Proses Produksi Pektin Tahapan-tahapan dalam pembuatan pektin yaitu persiapan bahan, ekstraksi, penggumpalan, pencucian, dan pengeringan. Metode yang digunakan untuk mengekstrak pektin dari jaringan tanaman sangat beragam. Akan tetapi pada umumnya ekstraksi pektin dilakukan dengan menggunakan ekstraksi asam. Beberapa jenis asam dapat digunakan dalam ekstraksi pektin. Menurut Kertesz (1951), asam yang digunakan dalam ekstraksi pektin adalah asam tartrat, asam malat, asam sitrat, asam laktat, asam asetat, asam fosfat tetapi ada kecenderungan untuk menggunakan asam mineral yang murah seperti asam sulfat, asam khlorida, dan asam nitrat. Beberapa artikel saat ini menyarankan untuk menggunakan asam khlorida (Kalapathy dan Proctor, 2001; Hwang et al., 1998; Dinu, 2001) dan asam nitrat (Pagn et al., 2001). Ekstraksi dengan menggunakan asam mineral menghasilkan rendemen yang lebih tinggi dibandingkan asam organik. Asam mineral pada pH rendah lebih baik dari pada pH tinggi untuk menghasilkan pektin (Rouse dan Crandal, 1978). Peranan asam dalam ekstraksi pektin adalah untuk memisahkan ion polivalen, memutus ikatan antara asam pektinat dengan selulosa, menghidrolisa protopektin menjadi molekul yang lebih kecil dan menghidrolisa gugus metil ester pektin (Kertesz, 1951). Suhu yang tinggi selama ekstraksi dapat meningkatkan rendemen pektin. Suhu yang agak tinggi akan membantu difusi pelarut ke dalam jaringan tanaman dan dapat meningkatkan aktivitas pelarut dalam menghidrolisis pektin yang umumnya terdapat di dalam sel primer tanaman, khususnya pada lamella tengah (Towle dan Christensen, 1973). Penggunaan suhu ekstraksi yang terlalu tinggi akan menghasilkan pektin yang tidak jernih, sehingga gel yang diperoleh akan keruh dan kekutan gel berkurang (Kertesz, 1951). Pektin dalam jaringan tanaman banyak dalam bentuk protopekin yang tidak larut dalam air. Dengan adanya asam, kondisi larutan dengan pH rendah akan menghidrolisa protopektin menjadi pektin yang lebih mudah larut. Ekstraksi pektin sayur-sayuran dan buah-buahan dilakukan pada

kisaran pH 1.5 sampai 3.0 dengan suhu pemanasan 60 100oC selama setengah jam sampai satu setengah jam (Towle dan Christensen, 1973). Waktu ekstraksi yang terlalu lama akan mengakibatkan terjadinya hidrolisis pektin menjadi asam galakturonat. Pada kondisi asam, ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung terhidrolisis menghasilkan asam galakturonat (Smith dan Bryant, 1968). Proses pengendapan pektin merupakan suatu proses pemisahan pektin dari larutannya. Pektin adalah koloid hidrofilik yang bermuatan negatif (dari gugus karboksil bebas yang terionisasi) dan tidak mempunyai titik isoelektrik seperti kebanyakan koloidal hidrofilik. Pektin lebih utama distabilkan oleh hidrasi partikelnya daripada oleh muatannya. Penambahan etanol dapat mendehidrasi pektin sehingga mengganggu stabilitas larutan koloidalnya, dan akibatnya pektin akan terkoagulasi (Rouse, 1977). Ranganna (1977) menggunakan etanol 95% sebanyak dua kali volume filtrat untuk mengendapkan pektin kulit jeruk. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004) mengendapkan pektin dengan menggunakan etanol 95% yang mengandung 2 ml asam khlorida pekat setiap satu liter etanol sebanyak 1.5 kali volume filtrat. Pada tahap pemurnian pektin, Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004) melakukan pencucian pektin markisa dengan menggunakan alkohol 95% sampai pektin bebas khlorida. Suradi (1984) melakukan pencucian pektin dari kulit jeruk dengan alkohol 80% sampai bebas khlorida. Salah satu tujuan pencucian pektin adalah untuk menghilangkan khlorida yang ada pada pektin. Tahap akhir dari ekstraksi pektin adalah pengeringan endapan pektin. Ranganna (1977) menganjurkan pengeringan dilakukan pada tekanan yang rendah agar pektin tidak terdegradasi. Menurut Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004), pengeringan pektin markisa dapat dapat dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 40 - 60oC selama 6 - 10 jam. McCready (1965) menggunakan suhu 60oC dalam oven keadaan vakum selama 16 jam untuk pengeringan pektin kulit jeruk.

5. Aplikasi Pektin Pektin digunakan secara luas sebagai komponen fungsional pada industri makanan karena kemampuannya membentuk gel encer dan menstabilkan protein (May, 1990). Penambahan pektin pada makanan akan mempengaruhi proses metabolisme dan pencernaan khususnya pada adsorpsi glukosa dan kolesterol (Baker, 1994). Dalam industri makanan dan minuman, pektin dapat digunakan sebagai bahan pemberi tekstur yang baik pada roti dan keju, bahan pengental dan stabilizer pada minuman sari buah. Selain itu pektin juga berperan sebagai bahan pokok pembuatan jeli, jam, dan marmalade (Herbstreith dan Fox, 2005). Pektin memiliki potensi yang baik dalam bidang farmasi. Towle dan Christensen (1973) menyatakan bahwa sejak dahulu pektin digunakan dalam penyembuhan diare dan menurunkan kandungan kolesterol darah. Pektin melalui pembuluh darah dapat memperpendek waktu koagulasi darah yang berguna untuk mengendalikan pendarahan. Pada industri farmasi, pektin digunakan sebagai emulsifier bagi preparat cair dan sirup, obat diare pada bayi dan anak-anak, obat penawar racun logam, dan bahan penyusut kecepatan penyerapan bermacam-macam obat. Selain itu, pektin juga berfungsi sebagai bahan kombinasi untuk memperpanjang kerja hormon dan antibiotika, bahan pelapis perban (pembalut luka) untuk menyerap kotoran dan jaringan rusak atau hancur sehingga luka tetap bersih dan cepat sembuh, serta bahan injeksi untuk mencegah pendarahan (Hoejgaard, 2004). Kualitas pektin komersial ditentukan oleh sifat-sifat fisik pektin. Sifat fisik tersebut diantaranya warna dan cita rasa yang cocok, kelarutan (untuk pektin padat), derajat gel, kecepatan membeku, serta tidak mengandung bahan atau zat berbahaya bagi kesehatan. Sifat fisik tersebut dipengaruhi oleh sifat kimia pektin (IPPA, 2002).

Tabel 3. Spesifikasi mutu pektin komersial Karakteristik Kadar air (maksimum) Kadar abu (maksimum) Pektin bermetoksil tinggi (minimum) Pektin bermetoksil rendah (maksimum) Asam galakturonat (minimum) Logam berat (maksimum)
Sumber: Food Chemical Codex (1996)

Nilai 12 % 1% 7% 7% 65 % (bk) 0.002 %

III.
A. Bahan Dan Alat

METODOLOGI PENELITIAN

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah limbah jeruk yang merupakan sisa perasan jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa) yaitu bagian lamella, core dan pulp. Bahan kimia yang digunakan untuk ekstraksi pektin adalah etanol 95%, asam khlorida (HCl), air destilat, dan perak nitrat (AgNO3) untuk uji ion khlorida serta bahan kimia untuk analisis yaitu NaOH, etanol, NaCl, HCl, dan fenol merah. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah termometer, timbangan, oven, tanur, pH-meter, kain saring tebal, viskometer Brookfield, blender, stopwatch, stirrer hot plate , serta alat-alat gelas. B. Metode Penelitian Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahap 1. Penelitian Pendahuluan Pada tahap penelitian pendahuluan ini dilakukan analisis proksimat terhadap bahan baku berupa limbah jeruk Pontianak. Metode analisa dapat dilihat pada Lampiran 2. Pada tahap penelitian pendahuluan juga dilakukan penentuan perlakuan bahan baku. Ampas jeruk ditimbang sebanyak 200 gram untuk tiap sampel. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven selama 5 jam, 10 jam, dan 15 jam. Sebagian ampas dikeringkan dengan cara dijemur matahari selama 1 hari, 2 hari, dan 3 hari. Ekstraksi dilakukan pada ampas yang telah kering dan ampas segar. Sebelum diekstrak, ampas diblender terlebih dahulu dengan penambahan akuades sebanyak tiga kali berat ampas segar. Kemudian ditambahkan HCl 0.1N sampai pH larutan menjadi 1.5. Campuran tersebut dipanaskan di atas penangas ambil diaduk dengan suhu 95oC selama 40 menit. Menurut Fardiaz (1984), ekstraksi pada pH 1.5 memberikan jumlah rendemen pektin kulit jeruk yang tertinggi. Campuran tersebut disaring. Filtratnya didinginkan sampai mencapai suhu kamar, kemudian ditambahkan etanol 95% yang telah diasamkan (satu

liter etanol diasamkan dengan 2 ml HCl pekat) sebanyak 1.5 kali volume filtrat, dan diendapkan selama 12 jam. Endapan pektin disaring dan dicuci dengan etanol 95% sampai bebas khlorida (khlorida masih ada jika terdapat endapan putih pada etanol bekas pencucian ketika ditambahkan perak nitrat. Endapan pektin khlorida dikeringkan dengan oven pada suhu 40oC selama 8 jam kemudian ditimbang dan dihitung rendemennya. Tahap 2. Penelitian Utama (a) Ekstraksi pektin Penelitian utama dilakukan untuk mengetahui pengaruh kombinasi suhu dan waktu reaksi terhadap pektin yang dihasilkan. Tahap-tahap produksi pektin terdiri dari : a. Ekstraksi Ampas segar ditimbang dan dihancurkan dengan menggunakan blender selama 2 menit dengan menambahkan air sebanyak 3 kali bobot bahan basah. Pengaturan pH dilakukan dengan menambahkan asam khlorida 0.1 N sampai mencapai pH 1.5. Ekstraksi dilakukan di atas penangas dengan suhu dan waktu bervariasi sebagai perlakuan. Selama ekstraksi dilakukan pengadukan. Suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah 65oC, 80oC, dan 95oC. Sedangkan waktu reaksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40 menit, 60 menit, dan 80 menit. Campuran yang telah diekstrak disaring dengan menggunakan kain saring yang cukup tebal dan diperas untuk memisahkan filtrat dari ampasnya. Kemudian dilakukan pengentalan sampai volume menjadi setengah volume semula dengan pemanasan pada suhu 80 oC. b. Pengendapan (isolasi) Filtrat yang telah dikentalkan didinginkan sampai dengan suhu kamar kemudian dilakukan pengendapan pektin dengan menambahkan etanol 95% yang telah diasamkan dengan menambahkan 2 ml asam khlorida pekat per satu liter etanol. Perbandingan filtrat dengan etanol yang ditambahkan adalah 1 : 1.5. Proses pengendapan dilakukan selama 12 jam. Endapan pektin yang terbentuk disaring dengan menggunakan

kain saring tebal untuk memisahkan endapan pektin dari larutan etanol dengan air. c. Pencucian Endapan pektin yang diperoleh dicuci dengan menggunakan etanol 95% hingga bebas khlorida. Pemisahan endapan pektin dengan etanol bekas cucian dilakukan dengan kain saring tebal kemudian diperas. Untuk mengetahui terdapatnya khlorida, dapat dilakukan dengan menambahkan beberapa tetes larutan perak nitrat (AgNO3) pada cairan bekas cucian. Apabila khlorida masih ada, maka akan terbentuk endapan putih (AgCl). d. Pengeringan Pengeringan pektin basah hasil cucian dilakukan dalam oven pada suhu 40oC selama 8 jam. Tepung pektin diperoleh dengan memblender pektin kering kemudian dilakukan pengayakan dengan menggunakan ayakan 60 mesh. Karakterisasi pektin yang dihasilkan Karakterisasi pektin yang dihasilkan dilakukan dengan pengujian kadar abu, kadar air, berat ekivalen, kandungan metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif. Perbandingan terhadap pektin komersial Pektin terbaik yang dihasilkan melalui perhitungan metode Bayes diperbandingkan dengan karakteristik dari pektin komersial. Tiap karakteristik pektin diberi bobot sesuai dengan tingkat kepentingannya. 1 : sangat tidak penting 2 : tidak penting 3 : cukup penting 4 : penting 5. sangat penting Tabel 4. Penentuan bobot karakteristik mutu pektin
karakteristik Peringkat Bobot rendemen 5 0,2 kadar abu 4 0,16 berat ekivalen 4 0,16 kadar metoksil 3 0,12 kadar galakturonat 4 0,16 derajat esterifikasi 3 0,12 viskositas relatif 2 0,08 Jumlah 25 1

Nilai tiap parameter mutu pektin diurutkan dari yang terkecil sampai yang terbesar. Perlakuan ekstraksi yang memiliki rendemen tertinggi diberi nilai tertinggi yaitu 9, sedangkan perlakuan ekstraksi yang memiliki rendemen terendah diberi nilai satu. Pektin yang memiliki kadar abu terendah memiliki nilai tertinggi yaitu 9, sedangkan pektin yang memiliki kadar abu tertinggi memiliki nilai satu. Pektin dengan berat ekivalen tertinggi diberi nilai 9. Pektin dengan kadar metoksil tertinggi diberi nilai 9. Pektin yang memiliki kadar galakturonat tertinggi diberi nilai 9. Pektin yang memiliki derajat esterifikasi tertinggi diberi nilai 9. Pektin yang memiliki viskositas tertinggi diberi nilai 9. Nilai tiap karakteristik yang diberikan pada langkah tersebut diatas dikalikan dengan bobot karakteristik tersebut. Hasil perhitungan untuk tiap karakteristik mutu pektin dijumlahkan sehingga diperoleh nilai total. Pektin yang memiliki nilai total tertinggi adalah pektin terbaik.Pektin terbaik tersebut akan dibandingkan dengan pektin komersial. Selain itu, pektin yang diperoleh pada ekstraksi suhu dan waktu terendah juga dibandingkan dengan pektin komersial.

Ampas jeruk pontianak Air sebanyak 3 kali bobot bahan basah

Penghancuran dengan blender (2 menit) Ekstraksi pada pH 1,5 dengan suhu dan waktu sesuai perlakuan Penyaringan Filtrat Pengentalan sampai volume menjadi setengahnya Pengendapan pektin selama 12 jam (isolasi) Penyaringan Pencucian endapan pektin beberapa kali dengan etanol 95% sampai bebas khlorida Endapan pektin Pengeringan endapan pektin (oven 40oC, 8 jam) Pektin kering Penghancuran dan Pengayakan

ampas

Etanol 95% (ditambah HCl) 1,5 kali volume filtrat

filtrat

Tepung pektin Gambar 8. Diagram Alir Ekstraksi Pektin

C. Rancangan Percobaan Pada penelitian utama, rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap dengan percobaan faktorial 3 x 3 dengan ulangan 3 kali ulangan. Model rancangan yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk = M + Ei + Fj + EFij + Ek (ij) i = 1, 2, 3 j = 1, 2, 3 k = 1,2, 3 Yijk M Ei Fj : variabel respon karena pengaruh bersama taraf ke i faktor A dan taraf ke j faktor B yang terdapat pada observasi ke k : efek rata-rata yang sebenarnya : efek sebenarnya dari taraf ke i faktor suhu : efek sebenarnya dari taraf ke j faktor waktu taraf j faktor waktu Ek (ij): efek sebenarnya dari unit eksperimen ke k dalam kombinasi perlakuan (ij) Hipotesis : Ho : Menyatakan terdapat pengaruh faktor suhu dan waktu keduanya saling mempengaruhi H1 H2 H3 : Menyatakan tidak adanya pengaruh suhu dalam eksperimen : Menyatakan tidak adanya pengaruh faktor waktu dalam eksperimen : Menyatakan tidak terdapat interaksi antara factor suhu dan waktu dalam eksperimen

EF ij : efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke i faktor suhu dengan

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Penelitian Pendahuluan 1. Analisa Proksimat Pada tahap awal penelitian analisa proksimat dilakukan untuk mengetahui komposisi dari ampas jeruk Pontianak yang meliputi persentase kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, dan kadar serat kasar. Parameter yang dianalisa tersebut berpengaruh terhadap proses ekstraksi pektin dan karakter pektin hasil ekstraksi. Menurut Tressler dan Joyslin (1954), kadar serat berpengaruh terhadap jumlah pektin yang dapat diekstrak. Grape fruit dan orange dengan kadar serat kasar 0.6-0.9% akan memiliki rendemen pektin sebesar 1-2% basis basah. Tabel 5. Hasil Analisa Proksimat Ampas Jeruk Pontianak Segar Jenis Analisa Kadar air Kadar abu Kadar lemak Kadar protein Kadar karbohidrat Kadar serat kasar % Hasil (bb) 82.48 0.57 0.84 4.50 11.61 4.15 % Hasil (bk) 470.78 3.25 4.79 25.69 66.27 23.69

Hasil analisa proksimat yang dilakukan memperlihatkan bahwa limbah pengolahan jus jeruk berupa ampas jeruk Pontianak memiliki kadar air sebanyak 82.48 %. Kadar air yang tinggi pada bahan baku akan mempercepat degradasi senyawa pektin oleh reaksi enzimatis menjadi senyawa gula. Adanya enzim pektinase pada ampas jeruk akan mendegradasi pektin menjadi asam pektat dan senyawa sederhana lainnya. Kadar air bahan yang tinggi menjadi dasar pemikiran dilakukannya pengeringan bahan sehingga bisa disimpan dalam jangka waktu yang cukup lama.

2. Penentuan Bahan Baku Tahap pendahuluan pada penelitian ini dilakukan untuk memperoleh bahan baku yang terbaik untuk proses ekstraksi pada penelitian utama. Suhu yang digunakan untuk ekstraksi adalah 95oC dengan lama ekstraksi 40 menit. Hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan Fitriani (2002) tentang ekstraksi dan karakteriasi pektin dari jeruk lemon yang memberikan hasil terbaik pada suhu 95oC dengan lama ekstraksi 40 menit. Grafik hubungan antara perlakuan bahan baku terhadap rendemen pada penelitian pendahuluan dapat dilihat pada Gambar 9.
Rendemen Pektin
16 rendemen (% basis kering) 14 12 10 8 6 4 2 0
ampas segar oven 5 jam oven 10 oven 15 jemur 1 jemur 2 jemur 3 jam jam hari hari hari 14,68 14,29

13,91 12,13

13,47

12,83 11,31

perlakuan

Gambar

9.

Hubungan Pengeringan Rendemen Pektin

Bahan

Terhadap

Rendemen pektin yang dihasilkan pada penelitian pendahuluan ini berkisar antara 11.31 14.68 % (bk). Hasil analisis keragaman menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan bahan memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen pektin. Uji analisis keragaman dan uji lanjut Duncan terhadap rendemen pektin dapat dilihat pada Lampiran 3. Berdasarkan grafik hubungan antara perlakuan bahan terhadap rendemen menunjukkan bahwa semakin rendah kadar air bahan maka semakin rendah pula rendemen pektin. Penurunan rendemen semakin

besar pada pengeringan dengan menggunakan matahari. Hal ini disebabkan karena panas matahari yang cenderung tidak stabil akan mempercepat terjadinya degradasi pektin menjadi senyawa yang lebih sederhana. Menurut Fitriani (2002), pengeringan kulit jeruk pada suhu 55oC selama 15 jam sampai kadar air 10% memberikan rendemen yang lebih tinggi daripada kulit jeruk segar. Tingginya kadar air bahan akan menutup permukaan dan menyulitkan difusi larutan asam untuk mengekstrak pektin dari bahan. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra Barat (2004) menyatakan bahwa pengeringan kulit jeruk dapat dilakukan dengan menggunakan panas matahari selama 3 hari. Pada produksi pektin komersial, bahan yang akan diekstrak dikeringkan terlebih dahulu. Menurut Kalapathy dan Proctor (2001), pengeringan bahan tersebut bertujuan untuk mencegah deteriorasi selama penyimpanan dan transportasi bahan. Hasil penelitian pendahuluan tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan Fitriani (2002). Hal ini disebabkan bahan yang diekstrak berbeda. Pada penelitiannya Fitriani (2002) menggunakan kulit jeruk lemon. Kulit jeruk lemon mengandung sejumlah minyak atsiri yang cenderung bersifat nonpolar yang menghambat difusi larutan asam yang bersifat polar. Dengan adanya pengeringan bahan, sebagian minyak atsiri juga ikut menguap bersama uap air. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah ampas jeruk Pontianak yang kadar minyak atsirinya sangat berbeda dengan kulit jeruk lemon. Pengeringan bahan dengan menggunakan oven menghasilkan rendemen pektin yang lebih rendah dari bahan segar. Semakin lama bahan dikeringkan maka semakin rendah pula rendemen pektin yang dihasilkan. Semakin lama bahan dijemur, maka semakin rendah pula rendemen pektinnya. Pada kadar air yang hampir sama, pengeringan bahan dengan panas matahari memberikan rendemen yang lebih rendah daripada pengeringan dengan oven.

Pada proses pengeringan, degradasi pektin dalam ampas mulai terjadi. Ampas jeruk memiliki jumlah kandungan enzim pektin esterase dan pektinase yang lebih tinggi dari bagian yang lain dari buah jeruk (Rousse, 1977). Enzim tersebut mampu mendegradasi pektin menjadi asam pektat. Adanya proses pengeringan pada suhu yang tidak terlalu tinggi akan memberikan kesempatan terjadinya degradasi pektin bahkan dimungkinkan enzim semakin aktif mendegradasi pektin pada suhu tersebut. Dalam struktur polimer pektin terdapat gula yang terletak pada rantai cabang (IPPA, 2002). Selama proses pengeringan juga terjadi oksidasi yang ditunjukkan dengan perubahan warna ampas menjadi coklat pada permukaan ampas. Pengeringan dengan matahari menghasilkan kualitas ampas yang lebih rendah dari pengeringan dengan oven.Selain suhu yang tidak konstan, lamanya proses pengeringan juga memberikan kesempatan terjadinya oksidasi sehingga degradasi pektin menjadi lebih besar. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pengeringan dengan oven selama 5 jam dan 10 jam tidak berbeda nyata dengan ampas segar. Pengeringan dengan oven selama 5 jam dan 10 jam tidak berbeda nyata dengan pengeringan dengan matahari selama satu hari yang memiliki rendemen yang berbeda nyata dengan ampas segar. Dari hasil tersebut maka dipilih ampas segar sebagai bahan penelitian utama karena memberikan rendemen pektin yang tertinggi. Rouse (1977) menyatakan bahwa ekstraksi bahan segar akan menghasilkan rendemen pektin yang lebih tinggi daripada bahan yang dikeringkan. Pektin yang dihasilkan dari bahan segar memiliki kadar metoksil, tingkat kemurnian, unit gel, dan grade gel yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan bahan kering. B. Penelitian Utama Penelitian utama dilakukan dengan melakukan ekstraksi pektin dari bahan yang diperoleh dari hasil terbaik penelitian pendahuluan yaitu berupa ampas segar. Bahan diekstrak sesuai perlakuan yang telah ditentukan yaitu dengan adanya variasi suhu dan waktu ekstraksi. Pektin yang dihasilkan dari

masing-masing

perlakuan

ditentukan

karakteristiknya

yang

meliputi

rendemen, kadar air, kadar abu, berat ekivalen, kadar metoksil, kadar galakturonat, derajat esterifikasi, dan viskositas relatif. Karakteristik pektin terbaik yang dihasilkan dibandingkan dengan pektin komersial. 1. Rendemen Pektin termasuk dalam kelompok kompleks heteropolisakarida yang beragam. Seperti polisakarida tanaman yang lain, pektin memiliki komposisi dan ukuran molekul yang beragam sehingga struktur kimia dan bobot molekulnya beragam. Komposisi tersebut tergantung pada jenis bahan yang diekstrak, kondisi ekstraksi, lokasi asal bahan, dan faktor lingkungan yang lain (Chang et al, 1994). Pektin diperoleh dari jaringan tanaman dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut, dalam hal ini berupa air yang diasamkan dengan asam khlorida. Jumlah pektin yang dihasilkan tergantung pada jenis dan bagian tanaman yang diekstrak. Sebelum diekstrak, dilakukan persiapan bahan sehingga mempermudah terjadinya kontak bahan dengan larutan yang akan mempermudah proses ekstraksi. Rendemen pektin yang dihasilkan dari ampas jeruk Pontianak berkisar antara 13.67-16.32% (bk). Rendemen tertinggi diperoleh pada ekstraksi dengan suhu 95oC selama 80 menit dan rendemen terendah diperoleh pada ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit. Grafik hubungan perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap rendemen pektin yang dihasilkan dapat dilihat pada Gambar 10. Semakin lama waktu dan semakin tinggi suhu ekstraksi, rendemen pektin yang dihasilkan semakin besar.

rendemen pektin (%bk)

17,00 16,00 15,00 14,00 13,00 12,00 65 C 80 C 95 C suhu ekstraksi (C) 40 menit 60 menit 80 menit

Gambar 10. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 4b menunjukkan bahwa waktu dan suhu ekstraksi memberikan pengaruh nyata terhadap rendemen pektin yang dihasilkan, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata. Pengaruh masing-masing perlakuan dapat diketahui dari hasil uji lanjut Duncan. Pada suhu ekstraksi 65oC rata-rata rendemen yang dihasilkan 14.04% berbeda nyata dengan suhu 80oC yaitu 14.57% dan berbeda nyata pula dengan suhu 95oC yaitu 15.56%. Semakin tinggi suhu ekstraksi, maka kinetika reaksi hidrolisis protopektin semakin meningkat sehingga rendemen pektin yang dihasilkan semakin besar. Ekstraksi selama 40 menit menghasilkan rendemen pektin yang tidak berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit tetapi berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 80 menit. Waktu ekstraksi 60 menit dan 80 menit memiliki rendemen pektin yang yang tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 40 menit. Semakin lama waktu ekstraksi sampai batas waktu 80 menit, semakin tinggi pula rendemen pektin yang dihasilkan. Pada ekstraksi 40 menit dihasilkan rendemen pektin sebesar 14.36% dan semakin meningkat menjadi 15.12% pada waktu ekstraksi 80 menit. Semakin lama terjadinya kontak antara bahan dan pelarut, akan memberikan kesempatan yang lebih besar untuk menghidrolisis protopektin

yang terdapat dalam bahan sehingga dapat meningkatkan rendemen pektin yang dihasilkan. Goycoolea dan Adriana (2003) menjelaskan bahwa penggunaan HCl dengan konsentrasi 0.1 N pada proses ekstraksi pektin memberikan rendemen pektin yang terbaik. Peningkatan suhu lebih dari 100oC dan waktu lebih dari 80 menit tidak akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap rendemen pektin Oppuntia sp. yang dihasilkan. 2. Kadar Air Kadar air bahan akan berpengaruh terhadap masa simpan bahan. Tingginya kadar air dalam bahan menyebabkan kerentanan terhadap aktivitas mikroba. Dalam upaya memperpanjang masa simpan, dilakukan pengeringan sampai dengan batas kadar air tertentu. Pengeringan pada suhu rendah bertujuan meminimalkan degradasi pektin. Pada penelitian ini, pengeringan dilakukan pada oven pengering suhu 40oC selama 8 jam. Kadar air pektin yang dihasilkan berkisar antara 7.9411.91% atau 8.62-13.53% (bk). Nilai kadar air tersebut masih berada dalam kisaran nilai kadar air yang diizinkan The Council Of The European Communities (1998) yaitu tidak lebih dari 12%. Hubungan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terhadap kadar air pektin dapat dilihat pada Gambar 11. Kadar air pektin yang dihasilkan semakin rendah dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi.
16,00 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00 65 80 suhu (C) 95

kadar air (%)

40 menit 60 menit 80 menit

Gambar 11. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air (bk) Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 5b memperlihatkan bahwa suhu, waktu ekstraksi dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata

terhadap kadar air pektin. Pada suhu 65oC kadar air pektin

yang

dihasilkan 11.70%, berbeda nyata dengan suhu 80oC yaitu 10.26%, dan berbeda nyata pula dengan suhu 95oC yaitu 8.22%. Pada waktu ekstraksi 40 menit, kadar air pektin yang dihasilkan 10.51% dan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 10.38% berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu 9.29%. Kadar air pektin tertinggi diperoleh pada pelakuan suhu 65oC dan waktu ekstraksi 40 menit yaitu 11.91%, sedangkan kadar air terendah diperoleh pada perlakuan ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit yaitu 7.94%. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap kadar air pektin. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu ekstraksi akan meningkatkan jumlah air yang menguap selama proses ekstraksi sehingga mempermudah proses pengeringan yang berakibat semakin rendahnya kadar air pektin.Tingginya suhu dan lamanya waktu ekstraksi mampu menghidrolisis polimer pektin sehingga rantai molekulnya menjadi lebih pendek. Semakin pendek rantai polimer pektin akan semakin memudahkan pengeringan karena kandungan air yang terperangkap di dalamnya semakin sedikit. 3. Kadar Abu Abu merupakan bahan anorganik yang diperoleh dari residu atau sisa pembakaran bahan organik. Kandungan mineral suatu bahan dapat dilihat dari kadar abu yang dimiliki bahan tersebut. Kadar abu berpengaruh pada tingkat kemurnian pektin. Semakin tinggi kadar abu dalam pektin, tingkat kemurnian pektin semakin rendah. Jika kadar abu dalam tepung pektin tinggi, maka persentase kandungan pektin yang terdapat didalamnya semakin rendah dan tingkat kemurnian tepung pektin tersebut juga rendah. Kadar abu pektin dipengaruhi oleh residu bahan anorganik yang terdapat pada bahan baku, metode ekstraksi dan isolasi pektin (Kalapathy dan Proctor, 2001).

1,40 1,20 kadar abu (%) 1,00 0,80 0,60 0,40 0,20 0,00 65 80 suhu (C) 95 40 menit 60 menit 80 menit

Gambar 12. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu (bk) Kadar abu tepung pektin yang diperoleh berkisar antara 0.64-1.22% (bb) atau 0.73 -1.33% (bk). Kadar abu tepung hasil ekstraksi selama 80 menit memiliki nilai lebih dari 1%, sedangkan pektin hasil ekstraksi selama 40 menit dan 60 menit memiliki kadar abu kurang atau sama dengan 1%. Pektin yang dihasilkan pada ekstraksi 40 dan 60 menit memiliki nilai kadar abu masih berada dalam kisaran nilai kadar abu yang diizinkan oleh The Council Of The European Communities (1998) yaitu tidak lebih dari 1%. Ekstraksi selama 80 menit memiliki kadar abu melebihi batas maksimum yang telah diizinkan. Grafik hubungan perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar abu pektin dapat dilihat pada Gambar 12. Kadar abu tepung pektin yang dihasilkan semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi. 5b memperlihatkan bahwa suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap kadar abu tepung pektin, sedangkan interaksi antara kedua faktor tersebut tidak berpengaruh nyata. Menurut protopektin Peningkatan Meyer terdapat reaksi (1985), dalam hidrolisis dalam bentuk buah-buahan akan dan sayuran, pektat. kalsium-magnesium

protopektin

mengakibatkan

bertambahnya komponen Ca dan Mg dalam larutan ekstrak. Kadar abu dalam pektin semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam, suhu, dan waktu ekstraksi. Hal ini disebabkan oleh kemampuan asam untuk melarutkan mineral alami dari bahan yang

diekstrak yang semakin meningkat dengan meningkatnya konsentrasi asam, suhu, dan waktu reaksi. Mineral yang terlarut akan ikut mengendap bercampur dengan pektin pada saat pengendapan dengan alcohol (Kalapathy dan Proctor, 2001). Pektin dengan waktu ekstraksi 40 menit memiliki kadar abu 0.73% berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 0.93% dan berbeda nyata pula dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu 1.1033%. Semakin lama waktu ekstraksi semakin lama terjadinya kontak antara bahan dan pelarut yang dapat memperbesar kesempatan terjadinya reaksi hidrolisis protopektin yang berakibat pada semakin tingginya kadar abu. Pektin yang dihasilkan pada suhu ekstraksi 65oC memiliki kadar abu sebesar 0.85% dan suhu 80oC sebesar 0.89% berbeda nyata dengan suhu 95oC sebesar 1.03%. Semakin tinggi suhu maka kecepatan reaksi hidrolisis protopektin semakin meningkat sehingga kadar abu pektin juga semakin tinggi. Kadar abu merupakan salah satu parameter mutu pektin. Semakin rendah kadar abu, maka mutu pektin semakin tinggi. Perlakuan ekstraksi selama 40 dan 60 menit menghasilkan kadar abu pektin yang sesuai dengan nilai standar yaitu tidak lebih dari 1 %. 4. Berat Ekivalen Berat ekivalen merupakan ukuran terhadap kandungan gugus asam galakturonat bebas (tidak teresterifikasi) dalam rantai molekul pektin (Ranganna, 1977). Asam pektat murni merupakan zat pektat yang seluruhnya tersusun dari asam poligalakturonat yang bebas dari gugus metil ester atau tidak mengalami esterifikasi. Asam pektat murni memiliki berat ekivalen 176. Tingginya derajat esterifikasi antara asam galakturonat dengan methanol menunjukkan semakin rendahnya jumlah asam bebas yang berarti semakin tingginya berat ekivalen (Rouse, 1977). Berat ekivalen tepung pektin yang dihasilkan berkisar antara 587.07 1334.11. Hubungan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terhadap berat ekivalen dapat dilihat pada Gambar 13.

1600,00 1400,00 bobot ekivalen 1200,00 1000,00 800,00 600,00 400,00 200,00 0,00 65 80 suhu ekstraksi ( C) 95 40 menit 60 menit 80 menit

Gambar 13. Hubungan Suhu Dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen Berat ekivalen pektin yang dihasilkan semakin menurun dengan semakin meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 7b menunjukkan bahwa suhu, waktu dan interaksi antara kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap berat ekivalen pektin. Berat ekivalen pektin hasil ekstraksi selama 40 menit yaitu 1003.84 berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit yaitu 896.10 dan berbeda nyata pula dengan waktu ekstraksi 80 menit yaitu 783.94. Ekstraksi pada suhu 65oC menghasilkan pektin dengan berat ekivalen 1204.61 berbeda nyata dengan ekstraksi suhu 80oC yaitu 861.52 dan berbeda nyata pula dengan ekstraksi suhu 95oC yaitu 617.75. Ekstraksi pada suhu 65oC selama 40 menit menghasilkan pektin dengan berat ekivalen tertinggi yaitu sebesar 1334.11. Berat ekivalen terendah dimiliki oleh pektin yang diekstrak pada suhu 95oC selama 80 menit yaitu sebesar 548.07. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata. Kim et al (1978) menjelaskan semakin rendah suhu yang digunakan akan memperkecil terjadinya depolimerisasi dan demetilasi. Menurut Padival et al (1979), karakteristik gel dan bobot molekul akan menurun dengan meningkatnya suhu ekstraksi. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu ekstraksi akan memperbesar kemungkinan terjadinya

depolimerisasi pektin sehingga memiliki nilai berat ekivalen yang semakin rendah. Bobot molekul pektin tergantung pada jenis tanaman, kualitas bahan baku, metode ekstraksi, dan perlakuan pada proses ekstraksi. Pada umumnya, pektin berbobot molekul tinggi lebih disukai untuk pembentukan gel (Constenla dan Lozano, 2006). Pektin yang terbaik adalah pektin yang memiliki nilai bobot ekivalen yang tinggi. Semakin tinggi suhu dan lama ekstraksi, mutu pektin akan semakin rendah jika dilihat dari nilai bobot ekivalennya. 5. Kadar Metoksil Kadar metoksil didefinisikan sebagai jumlah metanol yang terdapat di dalam pektin. Pektin disebut bermetoksil tinggi jika memiliki nilai kadar metoksil sama dengan 7% atau lebih. Jika kadar metoksil kurang dari 7% maka pektin disebut bermetoksil rendah (Goycoolea dan Adriana, 2003). Kadar metoksil pektin hasil ekstraksi berkisar antara 4.87 -6.95%. Berdasarkan nilai kadar metoksil tersebut, maka pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini tergolong dalam pektin berkadar metoksil rendah. Grafik hubungan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terhadap kadar metoksil pektin dapat dilihat pada Gambar 14. Grafik tersebut menunjukkan bahwa rata-rata kadar metoksil pektin akan semakin tinggi dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi.
8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 65 80 95 s uhu e k s tr ak s i ( C)

k a d a rm e to k s il (% )

40 menit 60 menit 80 menit

Gambar 14. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar metoksil

Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 8b memperlihatkan bahwa waktu, suhu dan interaksi keduanya memberikan pengaruh nyata. Kadar metoksil tertinggi dimiliki pektin hasil ekstraksi pada suhu 95oC selama 80 menit yaitu 6.95%, sedangkan kadar metoksil terendah dimiliki pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit yaitu 4.87%. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara suhu dan lama ekstraksi berpengaruh nyata terhadap kadar metoksil pektin. Kadar metoksil pektin pada suhu ekstraksi 65oC sebesar 5.21% semakin meningkat menjadi 6.74% pada suhu 95oC. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa kadar metoksil pektin hasil ekstraksi suhu 65oC berbeda nyata dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula dengan suhu 95oC. Ekstraksi selama 40 menit menghasilkan pektin dengan kadar metoksil sebesar 5.73% dan semakin meningkat menjadi 6.34% pada ekstraksi selama 80 menit. Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa ekstraksi selama 40 menit menghasilkan kadar metoksil pektin yang berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula dengan waktu ekstraksi 80 menit. Kadar metoksil pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin dan dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Constenla dan Lozano, 2006). Pektin bermetoksil tinggi membentuk gel dengan adanya gula dan asam. Kondisi yang diperlukan untuk pembentukan gel adalah kadar gula 58-75% dengan pH 2.8-3.5. Pektin bermetoksil rendah tidak memiliki kemampuan membentuk gel dengan adanya gula dan asam, tetapi dapat membentuk gel dengan adanya kation polivalen (Cruess, 1958). Perusahaan pektin biasanya menghasilkan pektin bermetoksil tinggi meskipun ada tanaman yang menghasilkan pektin bermetoksil rendah. Ada empat metode demetilasi termasuk yang menggunakan asam, alkali, enzim dan amonia dalam etanol. Demetilasi dengan menggunakan asam lebih umum digunakan untuk menghasilkan pektin bermetoksil rendah (Kertesz, 1951). Ekstraksi pektin bermetoksil tinggi lebih mudah dilakukan dengan

biaya yang lebih murah. Selain itu, sebagian besar sumber bahan bakunya menghasilkan pektin yang bermetoksil tinggi. Pektin bermetoksil tinggi lebih dianggap dapat memenuhi kebutuhan pasar. Jika pasar menginginkan pektin bermetoksil rendah, maka dengan mudah pektin bermetoksil tinggi ni dapat dirubah menjadi pektin bermetoksil rendah. Tetapi tidak sebaliknya pada pektin bermetoksil rendah yang lebih sulit untuk dijadikan pektin bermetoksil tinggi. Pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini termasuk pektin bermetoksil rendah yang mampu membentuk gel dengan adanya kation polivalen seperti ion kalsium. Hal ini lebih menguntungkan karena pektin bermetoksil rendah dapat langsung diproduksi tanpa melalui proses demetilasi seperti pektin bermetoksil rendah yang diproduksi dari pektin bermetoksil tinggi. 6. Kadar Galakturonat Kadar galakturonat dan muatan molekul pektin memiliki peranan penting dalam menentukan sifat fungsional larutan pektin. Kadar galakturonat dapat mempengaruhi struktur dan tekstur dari gel pektin (Constenla dan Lozano, 2006). Kadar asam galakturonat pektin hasil ekstraksi berkisar antara 40.8471.60 % (basis basah) atau 46.70-78.82 % (basis kering) tanpa abu. Menurut The Council Of The European Communities (1998), kadar asam galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65% yang dihitung berdasarkan basis kering tanpa abu. Berdasarkan nilai tersebut, yang memenuhi syarat tersebut adalah pektin yang diekstrak pada suhu 95oC selama 40 menit, 60 menit, 80 menit dan suhu 80oC selama 80 menit. Grafik hubungan antara perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar galakturonat dapat dilihat pada Gambar 15.

kadar galakturonat (%)

80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 65 80 suhu ekstraksi ( C) 95 40 menit 60 menit 80 menit

Gambar 15. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap kadar galakturonat Gambar 15 menunjukkan bahwa kadar asam galakturonat semakin meningkat dengan meningkatnya suhu dan semakin lamanya waktu ekstraksi. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 9b menunjukkan bahwa suhu, waktu ekstraksi dan interaksi kedua faktor tersebut berpengaruh nyata terhadap kadar galakturonat pektin yang dihasilkan. Ekstraksi pada suhu 65oC menghasilkan pektin dengan kadar galakturonat sebesar 44.35% dan meningkat menjadi 67.28% pada suhu 95oC. Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa suhu ekstraksi 65oC menghasilkan kadar galakturonat pektin yang berbeda nyata dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula dengan suhu 95oC. Semakin tinggi suhu ekstraksi akan meningkatkan kinetika reaksi hidrolisis pektin, sehingga kadar galakturonat pektin yang dihasilkan juga meningkat. Ekstraksi pektin selama 40 menit memiliki kadar galakturonat 51.12% dan meningkat menjadi 60.02% pada waktu ekstraksi 80 menit. Waktu ekstraksi 40 menit menghasilkan kadar galakturonat pektin yang berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula dengan waktu ekstraksi 80 menit. Semakin lama waktu ekstraksi, kadar galakturonat semakin tinggi. Hal ini disebabkan semakin lamanya reaksi hidrolisis protopektin sehingga kadar galakturonat yang dihasilkan juga semakin meningkat. Kadar galakturonat tertinggi diperoleh pada ekstraksi dengan suhu 95oC selama 80 menit, sedangkan kagar galakturonat terendah diperoleh

pada suhu 65oC selama 40 menit. Nilai tersebut menunjukkan bahwa interaksi antara faktor suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap kadar galakturonat pektin yang dihasilkan. Salah satu yang menentukan mutu pektin adalah kadar galakturonat. Semakin tinggi nilai kadar galakturonat, maka mutu pektin semakin tinggi. Ekstraksi pektin pada suhu 95oC selama 40, 60, dan 80 menit serta ekstraksi pada suhu 80oC selama 80 menit memiliki nilai kadar galakturonat yang sesuai dengan standar yaitu minimal 65% (bk) tanpa abu. 7. Derajat Esterifikasi Menurut Whistler dan Daniel (1985), derajat esterifikasi merupakan persentase jumlah residu asam D-galakturonat yang gugus karboksilnya teresterifikasi dengan etanol. Nilai derajat esterifikasi pektin diperoleh dari nilai kadar metoksil dan kadar asam galakturonat. Persentase dari kelompok karboksil teresterifikasi oleh methanol dinamakan derajat esterifikasi (Fennema, 1996). Nilai derajat esterifikasi pektin hasil penelitian berkisar antara 55.1367.68%. Grafik hubungan antara perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap derajat esterifikasi dapat dilihat pada Gambar 16. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 10b menunjukkan bahwa suhu, waktu, dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap derajat ekivalen pektin yang dihasilkan.
derajat esterifikasi (%) 80,00 60,00 40,00 20,00 0,00 65 80 95 suhu ekstraksi ( C) 40 menit 60 menit 80 menit

Gambar 16. Hubungan perlakuan dan waktu ekstraksi terhadap derajat esterifikasi

Ekstraksi pada suhu 65oC menghasilkan pektin dengan derajat esterifikasi 66.74 % dan menurun menjadi 57.03% pada suhu ekstraksi 95oC. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa pektin hasil ekstraksi suhu 65oC berbeda nyata dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula dengan suhu 95oC. Semakin tinggi suhu ekstraksi, nilai derajat esterifikasi semakin rendah. Pektin yang dihasilkan dengan lama ekstraksi 40 menit memiliki nilai derajat esterifikasi 64.07% menurun menjadi 60.64% pada ekstraksi selama 80 menit. Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan pektin yang diekstrak selama 40 menit memiliki nilai derajat esterifikasi yang berbeda nyata dengan waktu ekstraksi 60 menit dan berbeda nyata pula dengan ekstraksi selama 80 menit. Semakin lama ekstraksi dilakukan, nilai derajat esterifikasi semakin rendah. Tingginya suhu dan lamanya proses ekstraksi dapat menyebabkan degradasi gugus metil ester pada pektin menjadi asam karboksil oleh adanya asam. Asam yang digunakan dalam ekstraksi pektin akan terhidrolisis menghasilkan asam menghidrolisa ikatan hidrogen (Kertesz, 1951). Ikatan glikosidik gugus metil ester dari pektin cenderung galakturonat. Jika ekstraksi dilakukan terlalu lama, pektin akan berubah menjadi asam pektat yang asam galakturonatnya bebas dari gugus metil ester. Jumlah gugus metil ester menunjukkan jumlah gugus karboksil yang tidak teresterifikasi atau derajat esterifikasi. Reaksi deesterifikasi pektin dapat dilihat pada Gambar 19. + H2O + CH3OH

Asam pektinat

Air

Asam pektat

metanol

Gambar 17. Reaksi Deesterifikasi Pektin Derajat esterifikasi tertinggi diperoleh pada pektin yang diekstrak dengan suhu 65oC selama 40 menit, sedangkan derajat esterifikasi terendah pada pektin yang diekstrak dengan suhu 95oC selama 80 menit.

Hal ini menunjukkan bahwa interaksi antara faktor waktu dan suhu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap derajat esterifikai pektin yang dihasilkan. 8. Viskositas Relatif Viskositas adalah karakteristik dari makromolekul yang berhubungan langsung dengan kemampuan untuk mengalir, dan tidak langsung berhubungan dengan ukuran dan bentuk molekul (Tanglertpaibul dan Rao, 1987). Pada larutan yang sangat encer, pengaruh tersebut saling tumpang tindih dan interaksi dari makromolekul tidak relevan (Chou dan Kokini, 1987). Viskositas relatif diukur dengan melarutkan pektin dalam air destilat. Viskositas relatif larutan pektin yang dihasilkan berkisar antara 14.50-73.3 cP. Grafik hubungan perlakuan suhu dan waktu ekstraksi terhadap viskositas relatif pektin dapat dilihat pada Gambar 18.
80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00 65 80 95 suhu ekstraksi ( C)

viskositas (cP)

40 menit 60 menit 80 menit

Gambar 18. Hubungan suhu dan waktu ekstraksi terhadap viskositas relatif Gambar tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu ekstraksi maka viskositas larutan pektin semakin rendah. Hasil analisa sidik ragam pada Lampiran 11b. menunjukkan bahwa suhu, waktu ekstraksi dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap viskositas relatif larutan pektin. Viskositas relatif larutan pektin hasil ekstraksi suhu 65oC sebesar 56.02 cP turun menjadi 16.87 cP pada ekstraksi suhu 95oC. Larutan pektin

hasil ekstraksi suhu 65oC memiliki viskositas relatif yang berbeda nyata dengan suhu 80oC dan berbeda nyata pula dengan ekstraksi pada suhu 95oC. Semakin tinggi suhu ekstraksi, viskositas relatif larutan pektin semakin rendah. Pektin yang diekstrak selama 40 menit memiliki viskositas relatif sebesar 42.77 cP dan turun menjadi 26.99 cP pada ekstraksi selama 80 menit. Viskositas relatif larutan pektin hasil ekstraksi selama 40 menit berbeda nyata dengan 60 menit dan berbeda nyata pula dengan 80 menit. Viskositas tertinggi diperoleh pada larutan pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit yaitu 73.3 cP dan terendah pada ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit yaitu 14.50 cP. Hal tersebut menunjukkan bahwa interaksi faktor suhu dan waktu ekstraksi berpengaruh nyata terhadap viskositas larutan pektin. Semakin tinggi suhu dan semakin lama waktu ekstraksi akan memperbesar kemungkinan terjadinya reaksi depolimerisasi yang akan memperkecil nilai viskositas larutan pektin yang dihasilkan. Menurut Padival et al (1979), karakteristik gel, dan bobot molekul menurun dengan meningkatnya suhu ekstraksi. Kim et al (1978) menjelaskan semakin rendah suhu yang digunakan akan memperkecil terjadinya depolimerisasi dan demetilasi. Viskositas pektin juga dipengaruhi oleh faktor ekstrinsik seperti suhu, konsentrasi larutan, pH, dan keberadaan garam (Constenla dan Lozano, 2006). C. Perbandingan Terhadap Pektin Komersial Penentuan perlakuan terbaik dilakukan dengan metode Bayes dengan semua parameter memiliki bobot yang sama. Perhitungan pektin terbaik dapat dilihat pada Tabel 5. Pektin yang dihasilkan dalam penelitian dapat dilihat pada Gambar 19.

Pektin komersial

Pektin ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit

Pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit

Gambar 19. Pektin Hasil Penelitian Tabel 6. Hasil Metode Bayes Karakterisasi Pektin
Karakteristik Bobot
40 menit 65 oC 40 menit 80 C 40 menit 95 oC 60 menit 65 C 60 menit 80 oC 60 menit 95 C 80 menit 65 oC 80 menit 80 C 80 menit 95 oC
o o o o

rendemen

kadar abu

berat ekivalen

kadar metoksil

kadar galakturonat

derajat esterifikasi

viskositas relatif

Jumlah

Peringkat

0,2 1 4 7 2 5 8 3 6 9

0,16 9 8 7 6 5 4 3 2 1

0,16 9 6 3 8 5 2 7 4 1

0,12 1 4 7 2 5 8 3 6 9

0,16 1 4 7 2 5 8 3 6 9

0,12 9 6 3 8 5 2 7 4 1

0,08 9 6 3 8 5 2 7 4 1

1 5,16 5,36 5,56 4,80 5,00 5,20 4,44 4,64 4,84 4 2 1 7 5 3 9 8 6

Rendemen terbaik dipilih dengan mengambil perlakuan ekstraksi yang menghasilkan rendemen tertinggi yaitu pada perlakuan ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit. Perlakuan lainnya yang menghasilkan nilai rendemen tertinggi adalah ekstraksi pada suhu 95oC selama 60 menit dan ekstraksi pada suhu 95oC selama 40 menit. Kadar air dapat mempengaruhi umur simpan bahan. Kadar air yang tinggi dapat memicu aktivitas mikroorganisme. Pektin bersifat higroskopis atau mudah menyerap air dan kadar airnya dipengaruhi oleh derajat pengeringan. Derajat pengeringan yang tinggi akan menghasilkan pektin dengan kadar air yang rendah. Kadar air yang tinggi mempengaruhi perhitungan rendemen sehingga nilai rendemen lebih tinggi dari nilai sebenarnya. Kadar air tidak diperhitungkan dalam penentuan pektin terbaik

karena kadar air pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini sudah memenuhi standar yaitu dibawah 12%, selain itu kadar air dianggap sebagai parameter yang dapat diatur sesuai kebutuhan dalam perdagangan. Tingkat kemurnian pektin ditentukan oleh kadar abu. Semakin tinggi kadar abu dalam pektin, maka tingkat kemurniannya semakin rendah. Kadar abu terendah diperoleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama 40 menit. Berat ekivalen menunjukkan kandungan gugus asam galakturonat bebas dalam rantai molekul pektin. Semakin rendah kandungan gugus asam galakturonat bebas, berat ekivalen pektin semakin tinggi. Nilai berat ekivalen yang dipilih adalah yang memiliki nilai tertinggi dari semua perlakuan. Berat ekivalen tertinggi dimiliki oleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama 40 menit. Berdasarkan kadar metoksilnya, pektin dibedakan atas pektin bermetoksil tinggi dan pektin bermetoksil rendah. Pektin yang dihasilkan dalam penelitian termasuk pektin bermetoksil rendah karena nilainya kurang dari 7%. Pektin bermetoksil rendah lebih banyak digunakan karena mampu membentuk gel tanpa adanya gula dan asam. Pektin terbaik adalah yang memiliki nilai tertinggi tetapi lebih kecil dari 7%. Dalam hal ini dipilih pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit. Menurut The Council Of The European Communities (1998), kadar asam galakturonat minimum yang diizinkan adalah 65% yang dihitung berdasarkan basis kering tanpa abu. Pektin terbaik memiliki nilai kadar galakturonat yang tertinggi. Kadar galakturonat tertinggi dimiliki oleh pektin yang diekstrak pada suhu 95oC selama 80 menit. Menurut Hoejgaard (2004), pektin yang dihasilkan dalam penelitian ini termasuk pektin berkadar ester tinggi dengan nilai derajat esterifikasi di atas 50%. Pektin yang terbaik adalah yang memiliki nilai tertinggi yaitu hasil ekstraksi pada suhu 65oC selama 40 menit. Viskositas relatif menggambarkan kekuatan gel yang mampu dibentuk oleh pektin. Pektin terbaik adalah yang memiliki nilai viskositas relatif tertinggi yaitu hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit.

Dari hasil analisa diperoleh peringkat satu pada perlakuan ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit, sehingga dipilih sebagai perlakuan terbaik dan dibandingkan dengan karakteristik pektin komersial. Selain dibandingkan dengan pektin terbaik hasil penelitian, pektin komersial juga dibandingkan dengan perlakuan waktu dan suhu ekstraksi terendah. Jika perlakuan suhu dan waktu terendah memiliki nilai sesuai dengan yang ditetapkan pada standar pektin komersial, maka hal ini akan menguntungkan dalam aplikasi. Pada industri, kebutuhan energi untuk peningkatan suhu dan lama ekstraksi akan meningkatkan biaya produksi. Tabel 7. Perbandingan Pektin Hasil Penelitian dengan Pektin Komersial
Parameter Kadar air (%) Kadar abu (%) Berat ekivalen Kadar metoksil (%) Kadar galakturonat (%) Derajat esterifikasi Viskositas (cP) Nilai Standar 12 1 <7 65 (bk) Pektin Hasil Penelitian (65oC, 40 menit) 11.91 0.64 1334.11 4.87 46.70 (bk) 67.68 73.30 Pektin Hasil Penelitian (95oC, 40 menit) 8.44 0.87 739.78 6.47 66.77 (bk) 60.71 20.00 Pektin Komersial 12.00 1.33 877.41 4.21 44.19 (bk) 62.35 18.3

Secara fisik pektin yang dihasilkan dalam penelitian tidak berbeda dengan pektin komersial. Kadar air yang dimiliki pektin komersial lebih tinggi daripada pektin hasil penelitian pada suhu 95oC selama 40 menit. Pektin hasil penelitian pada suhu 95oC selama 40 menit, suhu 65oC selama 40 menit, dan pektin komersial memiliki nilai yang memenuhi standar Food Chemical Codex (1996) dan The Council Of The European Communities (1998) yaitu sebesar 12%. Kadar abu pektin komersial melebihi nilai standar Food Chemical Codex (1996) yaitu sebesar 1%. Pektin hasil penelitian memiliki nilai kadar abu yang memenuhi nilai standar. Kadar abu menunjukkan tingkat kemurnian. Semakin tinggi kadar abu, maka tingkat kemurnian pektin semakin rendah. Pektin hasil penelitian termasuk pektin bermetoksil rendah karena kadar metoksil lebih rendah dari 7%. Pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit memiliki nilai kadar metoksil yang lebih tinggi dari pektin komersial. Pektin ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit memiliki nilai kadar metoksil yang sedikit lebih tinggi dari pektin komersial.

Berat ekivalen pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit sedikit lebih rendah dari pektin komersial, sedangkan pektin ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit memiliki nilai lebih tinggi dari pektin komersial. Kadar galakturonat pektin hasil penelitian suhu 65oC dan 95oC selama 40 menit lebih tinggi dari nilai pektin komersial. Kadar galakturonat pektin komersial dan pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit tidak memenuhi standar nilai yang ditetapkan Food Chemical Codex (1996) dan The Council Of The European Communities (1998) yaitu minimal 65% (bk) tanpa abu. Pektin ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit memiliki nilai derajat esterifikasi yang lebih rendah dari pektin komersial. Pektin ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit memiliki nilai derajat esterifikasi yang lebih tinggi dari pektin komersial. Viskositas relatif pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit sedikit lebih tinggi dari pektin komersial, sedangkan viskositas relatif pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit jauh lebih tinggi dari pektin komersial. Parameter yang dibandingkan dengan pektin komersial adalah yang ditetapkan dalam standar Food Chemical Codex (1996) dan The Council Of The European Communities (1998) yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar galakturonat, dan kadar metoksil. Dari keempat parameter tersebut, pektin hasil penelitian ekstraksi suhu 65oC dan 95oC memiliki nilai yang lebih tinggi dari pektin komersial. Berdasarkan keempat parameter tersebut, pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit memiliki mutu yang lebih baik dari pektin komersial. Pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit tidak memenuhi standar karena nilai kadar galakturonat berada di bawah nilai standar yaitu kurang dari 65% (bk) tanpa abu. Yang memenuhi keempat persyaratan nilai standar adalah pektin hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit.

V. A. Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN

Limbah industri sari buah jeruk berupa ampas jeruk Pontianak dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan pektin. Hasil analisa proksimat memperlihatkan bahwa kadar air ampas jeruk cukup tinggi yaitu sebesar 82.48%. Reaksi browning pada saat pengeringan bahan karena kadar protein dan karbohidratnya yang cukup tinggi dapat mempengaruhi warna pectin yang dihasilkan. Dari hasil penelitian pendahuluan, diperoleh ampas segar sebagai bahan baku yang terbaik untuk penelitian utama dengan rendemen 14.68% bk. Penelitian utama menghasilkan pektin yang memenuhi standar Food Chemical Codex. Rendemen pektin yang dihasilkan dalam penelitian berkisar antara 13.67-16.32%. Rendemen tertinggi diperoleh pada ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit. Kadar air pektin yang dihasilkan kurang dari 12% yaitu sekitar 7.94-11.91%. Kadar air terendah diperoleh pada ekstraksi suhu 95oC selama 80 menit. Kadar abu pada ekstraksi selama 40 dan 60 menit memiliki kadar abu kurang dari 1%. Berat ekivalen pektin yang dihasilkan berkisar antara 548.07-1334.11. Berat ekivalen tertinggi diperoleh pada pektin ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit. Pektin yang dihasilkan dalam penelitian termasuk dalam pektin bermetoksil rendah dengan nilai kadar metoksil 4.87-6.95%. Pektin yang memenuhi syarat kadar galakturonat minimum 65% basis kering tanpa abu adalah pektin yang diekstrak pada suhu 95oC selama 40 menit, 60 menit, 80 menit dan suhu 80oC selama 80 menit. Pektin yang dihasilkan memiliki derajat esterifikasi sekitar 55.13-67.68. Derajat esterifikasi tertinggi dimiliki oleh pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama 40 menit. Viskositas relatif larutan pektin yang dihasilkan berkisar antara 14.50-73.30 cP. Viskositas relative tertinggi diperoleh pada larutan pektin yang diekstrak pada suhu 65oC selama 40 menit. Berdasarkan metode Bayes yang membandingkan karakteristik pektin hasil penelitian, kondisi ekstraksi pektin yang terbaik adalah perlakuan suhu 95oC dengan waktu ekstraksi 40 menit. Pektin dengan kondisi ekstraksi yang

terbaik dibandingkan dengan pektin komersial. Parameter yang dibandingkan dengan pektin komersial adalah yang ditetapkan dalam standar Food Chemical Codex yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar galakturonat, dan kadar metoksil. Pektin hasil ekstraksi suhu 65oC selama 40 menit juga memiliki mutu yang lebih baik dari pektin komersial tetapi kadar galakturonatnya tidak sesuai dengan standar mutu pektin komersial. Berdasarkan keempat parameter tersebut, pektin terbaik yaitu hasil ekstraksi suhu 95oC selama 40 menit memiliki mutu yang lebih baik dari pektin komersial dan memenuhi standar mutu pectin komersial. B. Saran 1. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang ekstraksi ampas jeruk pada suhu lebih dari 95oC dan waktu ektraksi lebih dari 80 menit. 2. Perlu adanya penelitian lebih lanjut tentang aplikasi pektin yang telah dihasilkan. 3. Perlu adanya analisa kelayakan dari penelitian ini untuk mengetahui seberapa besar industri ini dapat dijalankan.

DAFTAR PUSTAKA Albrigo, L. G dan R. D Carter. Structure of Citrus Fruit in Reaction to Processing di dalam S. Nagy, P. E. Shaw, dan M. K. Veldhuis (eds). Citrus Science and Technology Volume I. The AVI Publishing Company Inc. West Point, Connecticut. Baker, R. A. 1994. Pectin. Carbohydrate Polymer. 12: 133-138. Biro Pusat Statistik. 2001. Statistik Perdagangan Ekspor Impor Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta. Caplin, M. 2004. Pectin. http://www.lsbu.ac.uk/water/hypec.html Chang, K. C., Dhurandhar, N., You, X. dan Miyamoto, A. 1994. Cultivar/ Location and Processing Methods Affect The Quality of SunFlower Pectin. J. Food Sci., 59: 602-612. Chang, K. C. dan Miyamoto A. 1992. Gelling Characteristics of Pectin from Sunflower Head Residue. Di dalam Sahari. M. A., A. Akbarian dan M. Hamedi. 2002. Effect of Variety and Acid Washing Method on Extraction Yield and Quality of Sunflower Head Pektin. J. Food Chemistry, 83:43-47. Chou, T.D. and J.L. Kokini. 1987. Rheological Properties and Conformation of Tomato Paste Pectins, Citrus and Apple Pectins, J. Food Science 52(6): 1658-1664. Constenla, D., A.G. Ponce and J.E. Lozano. 2002. Effect of Pomace Drying on Apple Pectin. Lebensmittel Wissenschaft und Technology. 35(3): 216-221. Constenla, D. dan J.E. Lozano. 2006. Kinetic Model of Pectin Demethylation. http://www.scielo.br/scielo.php?script=sci_arttext&pid=S1516-8913200500 0200013 Cruess, W.V. 1958. Commercially Fruits and Vegetable Products. McGraw Hill Book Co, New York. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri Sumatra Barat. 2004. Pektin Markisa. http://www.iptek.net.id/ind/warintek/pengolahan_pangan_idx.php? doc=6d26 Dinu, D. 2001, Extraction and Characterization of Pectins from Wheat Bran. Roumanian Biotechnology Letter, 6: 37-43. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian. 2005. Panduan Pasca Panen dan Pengolahan Jeruk. Departemen Pertanian. Jakarta.

Fardiaz, Dedi. 1984. Pemanfaaatan Limbah Jeruk Sebagai Bahan Pembuat Pektin. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian. Bogor. Fennema. 1996. Food Chemistry. Edisi 3. Marcel Dekker. Inc., New York. Food Chemical Codex. 1996. Pectins. http://arjournals.annualreviews.org/doi/abs/ 10.1146/annurev.bi.20.070151.000435 Fitriani, V. 2002. Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Kulit Jeruk Lemon (Citrus medica var Lemon). Skripsi. Departemen Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian. Bogor. Goycoolea, F.M. dan Adriana Cardenas. 2003. Pectins from Opuntia Spp. : A Short Review. J.PACD. 17-29. Guichard, E. S., A, Issanchou., Descovieres dan P. Etievant. 1991. Pectin Concentration, Molekular Weight and Degree of Esterification. Influence on Volatile Composition and Sensory Caracteristic of Strawberry Jam. J. Food Science, 56:1621 Glicksman. 1969. Gum Technology in The Food Industry. Academic Press. New York. Herbstreith, K dan G. Fox. 2005. Pectin. http://www.herbstreithfox.de/pektin/forschung und entwicklung /forschung_entwicklung04a.htm Hoejgaard, S. 2004. Pectin Chemistry, Funcionality, and Applications. http://www.cpkelco.com/Ptalk/ptalk.htm. Hwang, Jae-Kwan; Kim, Chul-Jin and Kim, Chong-Tai (1998), Extrusion of Apple Pomace Facilitates Pectin Extraction. Journal of Food Science, 63: 841-844. IPPA (International Pectins Procedures Association). 2002. What is Pectin. http://www.ippa.info/history_of_pektin.htm. Kalapathy, U. dan A. Proctor. 2001. Effect of Acid Extraction and Alcohol Precipitation Conditions on The Yield and Purity of Soy Hull Pectin. Food Chemistry 73 : 393 396. Kertesz, Z.I. 1951. The Pectin Substances. Interscience Pub. Inc., New York Kim, W.J., C.J.B. Smit dan V.N.M. Rao. 1978. Demethylation of Pectin Using Acid and Ammonia, Journal of Food Science. 43, 74-78 . Kurniasih, Nia. 2004. Jeruk Kurangi Resiko Kanker. rakyat.com/cetak/0904/02/cakrawala/lainnya03.htm. http://pikiran-

May, C. D. 1990. Industrial Pectins: Sources, Production, and Application. Carbohydrate Polymer. 12: 79-84. McCready, R.M. 1965. Extraction of the Pectin from the Citrus Peels and Preservation of Pectin Acid. Method Carbohydrate Chem, 8:167-170. National Research Development Corporation. 2004. High Grade Pectin From Lime Peels. http://www. nrdcindia.com/pages/pect.htm. ONeill, M., P. Albersheim, dan A. Darvil. 1990. Methods in Plant Biochemistry. 2: 514-441. Padival, R.A., S. Ranganna and S.P. Manjrekar. 1979. Low Methoxyl Pectins from Lime Peel, J. Food Technology. 14: 333-342 . Pagn, J.; Ibarz, A.; Llorca M.; Pagn A. and Barbosa-Cnovas G. V. 2001, Extraction and characterization of pectin from stored peach pomace. Food Research International, 34: 605-612. Ranganna, S. 1977. Manual of Analysis of Fruit and Vegetable Products. McGraw Hill, New Delhi. Rouse, A.H. 1977. Pectin: Distribution, Significance. Di dalam Nagy, S., P. E. Shaw dan M.K. Veldhuis (eds). Citrus Science and Technology Volume 1. The AVI Publishing Company Inc, Westport, Connecticut. Rouse dan Crandal. 1978. Pectin Content of Lime and lemon Peel as Extracted by Nitric Acid. Di dalam Attri, B.L. dan Maini. 1996. Pectin from Galgal (Citrus pseudolimon Tan.) Peel. Bioresources Technology, 55: 89-91. Sarwono, B. 1994. Jeruk dan Kerabatnya. Penebar Swadaya. Jakarta. Smith dan Bryant. 1968. Properties of Pectin Fraction Separated on Diethylleaminoethyl-Cellulose Columns. Di dalam Nelson, D.B., C.J.B. Smith dan R.L Wiles. 1977. Commercially Important Pectic Substances. AVI Publ. Inc., Westport, Connecticut. Suradi, K., 1984. Ekstraksi, Isolasi dan Karakterisasi Pektin dari Beberapa Jenis Kulit Jeruk. Thesis Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Tanglertpaibul, T. and M.A. Rao. 1987. Intrinsic Viscosity of Tomato Serum as Affected by Method of Determination and Methods of Processing Concentrates, J. Food Science 52(6): 1642-1645. The Council Of The European http://www.legaltext.ee/text/en/T41047.htm Communities, 1998.

Towle, G.A. dan O. Christensen. 1973. Pectin. Di dalam R.L Whistler (ed.) Industrial Gum. Academic Press, New York. Visser, A., G. J. Voragen. Pectins and Pectinases. J. Food Chemistry. !4: 25-35. Willats, WGT.,J. Paul Knox dan Jorn D.M, 2006. Pectin : New Insights Into An Old Polymer Are Starting To Gel. Trends in Food Science & Technology. 17: 97-104. Whistler, R.L dan Daniel. 1985. Industrial Gum. Academic Press, New York. Winarno, F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Lampiran 1. Pohon Industri Jeruk

Lampiran 2. Analisa Bahan 1. Kadar Air (Ranganna, 1977) Sebanyak satu gram contoh dikeringkan di dalam oven pada suhu 100oC selama 4 jam. Selanjutnya didinginkan dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot yang tetap. % Kadar air (bb) = a x 100 B Dimana a = kehilangan bobot pektin b = bobot awal pektin 2. Kadar Abu (Ranganna, 1977) Cawan porselin dikeringkan di dalam tanur pada suhu 600oC kemudian didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sebagai wadah. Satu gram contoh ditimbang di dalam cawan porselin yang telah diketahui bobotnya. Pengabuan dilakukan dalam tanur pada suhu 600oC selama 3 4 jam. Abu yang telah diperoleh didinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan. Kadar abu (%) = bobot abu x 100 bobot contoh % Kadar air (bk) = a x 100 (b-a)

3. Kadar Lemak (Balit Pasca Panen Pertanian) Sampel ampas jeruk pontianak sebanyak lima gram dibungkus dengan kertas saring, kemudian dimasukkan ke dalam soxlet dan ditambahkan pelarut n-hexan sebanyak 200 ml. Sampel diekstrak selama enam jam. Setelah selesai, labu lemak yang menampung hasil ekstraksi diuapkan sampai pelarutnya habis. Labu lemak dikeringkan di dalam oven. Labu lemak yang sudah kering didinginkan dan ditimbang. Kadar lemak (%) = (berat labu + lemak hasil ekstraksi) berat labu x 100% bobot contoh 4. Kadar Protein (Balit Pasca Panen Pertanian) Sampel sebanyak 0.2 gram ditambahkan katalis selen dan ditambahkan 5 ml H2SO4 pekat. Sampel tersebut didekstruksi selama satu jam yaitu sampai larutan berwarna jernih. Setelah didekstruksi, sampel didiamkan terlebih dahulu sampai uapnya hilang, kemudian dibilas dengan akuades dan ditambahkan 30 ml NaOH 30%. Sampel selanjutnya didestilasi dan

penampungnya adalah Erlenmeyer yang berisi 15 ml asam borat 4%. Pada tahap ini asam borat akan berubah warna dari merah menjadi hijau. Destilasi dihentikan setelah penampung berubah volumenya menjadi 45 50 ml (tiga kali lipatnya). Larutan hasil tampungan dititrasi dengan HCl 0.1 N sampai berubah warna dari hijau menjadi merah. Kadar N = ml HCl x N HCl x 14 x 100 % mg sampel Kadar protein = kadar nitrogen x 6.25 5. Kadar Serat Kasar (SNI) Sampel ditimbang sebanyak 2-4 gram kemudian dibebaskan lemaknya dengan cara ekstraksi dengan Soxlet atau dengan cara mengaduk dan mencampur contoh dengan pelarut organic sebanyak tiga kali berat,. Contoh dikeringkan dan dimasukkan kedalam Erlenmeyer 500 ml, kemudian ditambahkan 50 ml NaOH 1.25% dan dididihkan selama 30 menit dengan menggunakan pendingin tegak. Selanjutnya ditambahkan 50 ml NaOH 3.25% dan dididihkan lagi selama 30 menit. Dalam keadaan panas, disaring dengan corong Bucher yang berisi kertas saring tak berabu Whatman 54.41/541 yang telah dikeringkan dan diketahui bobotnya. Endapan yang terdapat pada kertas saring dicuci berturut-turut dengan menggunakan H2SO4 1025% panas, air panas, dan etanol. Kertas saring beserta isinya dimasukkan kedalam kotak timbang yang telah diketahui bobotnya, kemudian dikeringkan pada suhu 105oC, didinginkan dan ditimbang sampai bobot konstan. Bila ternyata kadar serat kasar lebih besar dari 1%, kertas saring beserta isinya diabukan. Bila serat kasar < 1%, % serat kasar = w x 100% w2 Bila serat kasar > 1%, % serat kasar = w-w1 x 100% w2 w : bobot contoh (g) w1 : bobot abu (g) w2 : bobot endapan (g)

6. Berat Ekivalen (BE) (Ranganna, 1977) Pektin sebanyak 0.5 gram dibasahi dengan 5 ml etanol dan dilarutkan dalam 100 ml air suling bebas karbonat yang berisi satu gram NaCl. Larutan hasil campuran tersebut dititrasi perlahan-lahan dengan 0.1 N NaOH memakai indikator fenol merah sampai terjadi perubahan menjadi merah kekuningan (pH 7.5) yang bertahan sedikitnya 30 detik. Berat Ekivalen (BE) = bobot contoh (mg) ml NaOH x N NaOH

7. Kandungan metoksil (Ranganna, 1977) Larutan netral dari penentuan BE ditambah 25 ml larutan 0.25 N NaOH, dikocok dan dibiarkan selama 30 menit pada suhu kamar dalam keadaan tertutup. Selanjutnya ditambahkan 25 ml larutan 0.25 N HCl dan dititrasi dengan larutan 0.1 N NaOH dengan indikator fenol merah sampai titik akhir seperti pada penentuan BE. Kadar metoksil (%) = ml NaOH x 31 x N NaOH x 100 Bobot contoh (mg) Nilai 31 didapatkan dari bobot molekul metoksil yang berupa CH3O 8. Kadar galakturonat (McCready, 1965) Kadar galakturonat dihitung dari ek (miliekivalen) NaOH yang diperoleh dari penentuan BE dan kandungan metoksil. % galakturonat = ek (BE + metoksil) x 176 x 100 Bobot contoh (mg) Nilai 176 diperoleh dari berat ekivalen terendah asam pektat 9. Derajat Esterifikasi (Schultz, 1965) Derajat esterifikasi dihitung dari kadar metoksil dan kadar galakturonat yang telah diperoleh. DE (%) = Kadar metoksil x 176 x 100 Kadar galakturonat x 31 10. Viskositas Larutan Pektin (Goycoolea dan Adriana, 2003) Viskositas pektin diukur dengan menggunakan viskosimeter. Nilai viskositas dalam satuan centipoises (cP). Spindel yang digunakan adalah spindel nomer 3 dengan kecepatan 60 rpm.

Lampiran 3a. Hasil Analisa Pengaruh Perlakuan Pengeringan Bahan Terhadap Rendemen Pada Penelitian Pendahuluan
Perlakuan ampas segar oven 5 jam oven 10 jam oven 15 jam jemur 1 hari jemur 2 hari jemur 3 hari Kadar air bahan (%) 84,26 58,01 15,89 13,21 48,84 15,29 12,63 Ulangan1 14,61 13,85 13,72 11,94 13,09 12,58 11,18 Rendemen (%bk) Ulangan 2 rata-rata 14,74 14,68 14,74 14,29 14,10 13,91 12,33 12,13 13,85 13,47 13,09 12,83 11,44 11,31

Lampiran 3b. Uji analisis keragaman rendemen pektin pada penelitian pendahuluan
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Rendemen Source Corrected Model Intercept Perlakuan Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 17,567(a) 2451,519 17,567 1,005 2470,092 18,573 df 6 1 6 7 14 13 Mean Square 2,928 2451,519 2,928 ,144 F 20,385 17068,464 20,385 Sig. ,000 ,000 ,000

a R Squared = ,946 (Adjusted R Squared = ,899)

Lampiran 3c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Perlakuan Pengeringan Bahan Terhadap Rendemen
Rendemen Duncan Subset Perlakuan jemur 3 hari oven 15 jam jemur 2 hari jemur 1 hari oven 10 jam oven 5 jam ampas segar Sig. N 2 2 2 2 2 2 2 ,066 ,107 ,138 ,075 1 11,3100 12,1350 12,1350 12,8350 12,8350 13,4700 13,4700 13,9100 14,2950 13,9100 14,2950 14,6750 ,093 2 3 4 5

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,144. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 4a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen
waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 13,35 14,32 14,91 13,85 14,49 14,40 14,15 14,53 16,05 ulangan 2 13,77 14,40 15,33 13,98 14,57 16,65 14,27 14,65 16,31 ulangan 3 13,89 14,74 14,42 14,40 14,65 15,37 14,70 14,82 16,60 ratarata 13,67 14,49 14,89 14,08 14,57 15,47 14,37 14,67 16,32

Lampiran 4b. Uji Analisis Keragaman Rendemen Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: rendemen Source Corrected Model Intercept waktu suhu waktu * suhu Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 14,614(a) 5854,145 2,688 10,702 1,224 3,762 5872,521 18,376 df 8 1 2 2 4 18 27 26 Mean Square 1,827 5854,145 1,344 5,351 ,306 ,209 F 8,742 28013,240 6,431 25,606 1,465 Sig. ,000 ,000 ,008 ,000 ,254

a R Squared = ,795 (Adjusted R Squared = ,704)

Lampiran 4c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Rendemen
waktu Duncan Subset waktu 40' 60' 80' Sig. N 9 9 9 1 14,3478 14,7067 2 14,7067 15,1200

,113 ,071 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,209. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 4d. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Rendemen
suhu Duncan Subset suhu 65 C 80 C 95 C Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 14,0400 14,5744 15,5600 1,000 2 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,209. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 4e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Rendemen
kombinasi suhu dan waktu Duncan Subset Perlakuan 40 ' 65 60 ' 65 80 ' 65 40 ' 80 60 ' 80 80 ' 80 40 ' 95 60 ' 95 80 ' 95 Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 ,058 ,068 ,054 1 13,6700 14,0767 14,3733 14,4867 2 14,0767 14,3733 14,4867 14,5700 14,6667 14,8867 14,6667 14,8867 15,4733 16,3200 1,000 3 4

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,209. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05

Lampiran 5a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air
waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 11,97 11,38 8,59 11,86 11,15 8,72 11,38 8,35 7,98 ulangan 2 11,80 11,01 8,39 11,57 11,10 8,27 11,49 8,55 7,86 ulangan 3 11,97 11,14 8,34 11,79 11,10 7,89 11,49 8,55 7,98 ratarata 11,91 11,18 8,44 11,74 11,12 8,29 11,45 8,48 7,94

Lampiran 5b. Uji Analisis Keragaman Kadar Air Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadarair Source Corrected Model Intercept waktu suhu waktu * suhu Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 69,864(a) 2733,503 8,069 54,951 6,844 ,562 2803,929 70,425 df 8 1 2 2 4 18 27 26 Mean Square 8,733 2733,503 4,034 27,476 1,711 ,031 F 279,803 87581,095 129,259 880,317 54,817 Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

a R Squared = ,992 (Adjusted R Squared = ,988)

Lampiran 5c. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Air
waktu Duncan Subset waktu 80' 60' 40' Sig. N 9 9 9 1,000 1 9,2922 2 10,3833 10,5100 ,146

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,031. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 5d. Uji Lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Air
suhu Duncan Subset suhu 95 C 80 C 65 C Sig. N 9 9 9 1 8,2244 2 10,2589 11,7022 3

1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,031. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 5e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Air
Kombinasi waktu dan suhu Duncan Subset Perlakuan 80 ' 95 60 ' 95 40 ' 95 80 ' 80 60 ' 80 40 ' 80 80 ' 65 60 ' 65 40 ' 65 Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1,000 ,228 ,682 ,071 ,062 1 7,9400 2 8,2933 8,4400 8,4833 11,1167 11,1767 11,1767 11,4533 11,4533 11,7400 11,7400 11,9133 ,245 3 4 5 6

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,031. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 6a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu
waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 0,62 0,66 0,88 0,89 0,95 0,99 1,12 1,02 1,18 ulangan 2 0,69 0,71 0,86 0,87 0,94 0,99 0,99 1,12 1,23 ulangan 3 0,62 0,71 0,86 0,9 0,85 1,01 0,99 1,02 1,26 ratarata 0,64 0,69 0,87 0,89 0,91 1,00 1,03 1,05 1,22

Lampiran 6b. Uji Analisis Keragaman Kadar Abu Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadarabu Source Corrected Model Intercept waktu suhu waktu * suhu Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares ,781(a) 23,019 ,613 ,155 ,012 ,033 23,833 df 8 1 2 2 4 18 27 Mean Square ,098 23,019 ,307 ,078 ,003 ,002 F 52,929 12480,018 166,289 42,042 1,693 Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,195

,814 26 a R Squared = ,959 (Adjusted R Squared = ,941)

Lampiran 6c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu
waktu Duncan Subset waktu 40' 60' 80' Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 ,7344 ,9322 1,1033 1,000 2 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 6d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu
suhu Duncan Subset suhu 65 C 80 C 95 C Sig. N 9 9 9 ,129 1 ,8544 ,8867 1,0289 1,000 2

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 6e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Abu
Kombinasi waktu dan suhu Duncan Subset Perlakuan 40 ' 65 40 ' 80 40 ' 95 60 ' 65 60 ' 80 60 ' 95 80 ' 65 80 ' 80 80 ' 95 Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 ,171 ,223 ,142 1 ,6433 ,6933 ,8667 ,8867 ,9133 ,9967 1,0333 1,0533 1,2233 1,000 2 3 4

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,002. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 7a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen
Waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 1377,8380 906,7742 740,4225 1256,7500 899,8077 562,8889 1026,9090 767,5758 562,3596 ulangan 2 1310,7140 989,2157 738,3824 1267,0270 884,5313 599,4059 1038,2980 764,5588 546,0241 ulangan 3 1313,7780 916,9091 740,5405 1206,0000 854,5593 533,9175 1044,1670 769,7692 535,8333 rata-rata 1334,1100 937,6330 739,7818 1243,2590 879,6328 565,4041 1036,4580 767,3013 548,0723

Lampiran 7b. Uji Analisis Keragaman Berat Ekivalen Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: beratekivalen Source Corrected Model Intercept waktu suhu waktu * suhu Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 1816670,063(a) 21609701,408 217626,755 1564597,007 34446,301 12792,881 23439164,351 1829462,944 df 8 1 2 2 4 18 27 26 Mean Square 227083,758 21609701,408 108813,377 782298,504 8611,575 710,716 F 319,514 30405,554 153,104 1100,719 12,117 Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

a R Squared = ,993 (Adjusted R Squared = ,990)

Lampiran 7c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen
waktu Duncan waktu 80' 60' 40' Sig. N 9 9 9 1 783,943867 Subset 2 896,098622 1003,841600 3

1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 710,716. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 7d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen
suhu Duncan suhu 95 C 80 C 65 C Sig. N 1 9 9 9 1,000 1,000 617,752744 861,522344 1204,609000 1,000 Subset 2 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 710,716. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 7e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Berat Ekivalen
Kombinasi waktu dan suhu Duncan Perlakuan 80 ' 95 60 ' 95 40 ' 95 80 ' 80 60 ' 80 40 ' 80 80 ' 65 60 ' 65 40 ' 65 Sig. N 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 ,436 ,222 1,000 1,000 1,000 1,000 548,0723 565,4041 739,7818 767,3012 879,6327 937,6330 1036,4580 1243,2590 1334,1100 1,000 2 3 Subset 4 5 6 7

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 710,716. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05

Lampiran 8a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil
waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 4,8730 5,7409 6,5782 5,0472 6,0768 6,6849 5,6397 6,2900 6,8252 ulangan 2 4,7636 5,8549 6,3593 5,0306 6,2738 6,7794 5,8218 6,3741 7,0907 ulangan 3 4,9689 5,9342 6,4866 5,0092 6,1233 6,8748 5,7168 6,3700 6,9434 ratarata 4,8685 5,8433 6,4747 5,0290 6,1580 6,7797 5,7261 6,3447 6,9531

Lampiran 8b. Uji Analisis Keragaman Kadar Metoksil Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadarmetoksil Source Corrected Model Intercept waktu suhu waktu * suhu Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 12,614(a) 978,386 1,701 10,630 ,284 ,161 991,161 df 8 1 2 2 4 18 27 Mean Square 1,577 978,386 ,850 5,315 ,071 ,009 F 176,594 109578,44 2 95,242 595,253 7,941 Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,001

12,775 26 a R Squared = ,987 (Adjusted R Squared = ,982)

Lampiran 8c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil
waktu Duncan Subset waktu 40' 60' 80' Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 5,728844 5,988889 6,341300 1,000 2 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 8d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil
suhu Duncan Subset suhu 65 C 80 C 95 C Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 5,207867 2 6,115333 6,735833 1,000 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 8e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Metoksil
kadarmetoksil Duncan Perlakuan 40 ' 65 60 ' 65 80 ' 65 40 ' 80 60 ' 80 80 ' 80 40 ' 95 60 ' 95 80 ' 95 Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 ,052 ,146 1,000 ,109 1,000 1 4,868500 5,029000 5,726100 5,843333 6,157967 6,344700 6,474700 6,779700 6,953100 1,000 2 3 Subset 4 5 6

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,009. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 9a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Galakturonat
waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 40,4397 52,0030 61,1174 42,6594 54,0603 69,2203 49,1578 58,6403 70,0462 ulangan 2 40,4728 51,0326 59,9403 42,4516 55,5165 67,8519 50,0036 59,2083 72,4899 ulangan 3 41,6070 52,8859 60,5936 43,0330 55,3600 71,9950 49,3122 59,0292 72,2666 ratarata 40,8398 51,9738 60,5504 42,7147 54,9789 69,6891 49,4912 58,9592 71,6009

Lampiran 9b. Data Hasil Kadar Galakturonat (% Bk Tanpa Abu) Pada Pektin Hasil Penelitian Utama
waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 46,264386 59,121145 67,510673 48,893349 61,502021 76,664362 56,18029 64,702967 77,109449 ulangan 2 46,24929 57,80765 66,04992 48,48288 63,11566 74,77618 57,13393 65,54661 79,73808 ulangan 3 47,59983 59,99531 66,73301 49,28763 62,87331 79,02856 56,34394 65,27608 79,62388 ratarata 46,7045 58,9747 66,7645 48,8880 62,4970 76,8230 56,5527 65,1752 78,8238

Lampiran 9c. Uji Analisis Keragaman Kadar Galakturonat Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: kadargalakturonat Source Corrected Model Intercept waktu suhu waktu * suhu Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 2775,153(a) 83599,590 356,409 2367,918 50,826 17,886 86392,630 2793,040 df 8 1 2 2 4 18 27 26 Mean Square 346,894 83599,590 178,204 1183,959 12,707 ,994 F 349,096 84130,218 179,336 1191,474 12,787 Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

a R Squared = ,994 (Adjusted R Squared = ,991)

Lampiran 9d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Kadar Galakturonat
waktu Duncan Subset waktu 40' 60' 80' Sig. N 9 9 9 1 51,121367 2 55,794222 60,017122 3

1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,994. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 9e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Galakturonat
suhu Duncan Subset suhu 65 C 80 C 95 C Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 44,348567 2 55,304011 67,280133 1,000 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,994. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 9f. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Kadar Galakturonat
Kombinasi waktu dan suhu Duncan Perlakua n 40 ' 65 60 ' 65 80 ' 65 40 ' 80 60 ' 80 80 ' 80 40 ' 95 60 ' 95 80 ' 95 Sig.

N 1 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1,000 1,000 1,000 40,8398 42,7146 49,4912 2 3 4

Subset 5 6 7 8

51,9738 54,9789 58,9592 60,5504 69,6890 71,6009 1,000 1,000 ,066 1,000 1,000

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,994. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 10a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Derajat Esterifikasi
waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 68,4131 62,6762 61,1073 67,1717 63,8187 54,8293 65,1351 60,8983 55,3199 ulangan 2 66,8226 65,1363 60,2340 67,2785 64,1592 56,7257 66,1008 61,1206 55,5345 ulangan 3 67,8023 63,7050 60,7773 66,0872 62,7973 54,2136 65,8187 61,2666 54,5488 ratarata 67,6794 63,8392 60,7062 66,8458 63,5917 55,2562 65,6849 61,0952 55,1344

Lampiran 10b. Uji Analisis Keragaman Derajat Esterifikasi Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: derajatesterifikasi Source Corrected Model Intercept waktu suhu waktu * suhu Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 509,897(a) 104470,946 54,413 429,291 26,194 11,131 104991,974 521,028 df 8 1 2 2 4 18 27 26 Mean Square 63,737 104470,946 27,206 214,645 6,548 ,618 F 103,069 168938,89 7 43,995 347,101 10,589 Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

a R Squared = ,979 (Adjusted R Squared = ,969)

Lampiran 10c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Derajat Esterifikasi
waktu Duncan Subset waktu 80' 60' 40' Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 60,638144 2 61,897911 64,074900 1,000 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,618. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 10d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Derajat Esterifikasi
suhu Duncan Subset suhu 95 C 80 C 65 C Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 57,032267 2 62,842022 66,736667 1,000 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,618. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 10e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Derajat Esterifikasi
Kombinasi waktu dan suhu Duncan Subset Perlakuan 80 ' 95 60 ' 95 40 ' 95 80 ' 80 60 ' 80 40 ' 80 80 ' 65 60 ' 65 40 ' 65 Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 ,852 ,552 ,704 ,087 1 55,134400 55,256200 60,706200 61,095167 63,591733 63,839167 65,684867 66,845800 66,845800 67,679333 ,211 2 3 4 5

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = ,618. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 11a. Hasil Analisa Pengaruh Suhu dan Waktu Ekstraksi Terhadap Viskositas Relatif
waktu 40' 40' 40' 60' 60' 60' 80' 80' 80' suhu 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C 65 C 80 C 95 C ulangan 1 73,30 38,30 20,00 55,00 30,00 18,30 41,00 25,00 13,50 ulangan 2 73,30 36,70 18,30 53,30 36,70 15,00 38,30 26,70 15,00 ulangan 3 73,30 30,00 21,70 55,00 35,00 15,00 41,70 26,70 15,00 ratarata 73,30 35,00 20,00 54,43 33,90 16,10 40,33 26,13 14,50

Lampiran 11b. Uji Analisis Keragaman Viskositas Relatif Pektin Pada Penelitian Utama
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: viskositas Source Corrected Model Intercept waktu suhu waktu * suhu Error Total Corrected Total Type III Sum of Squares 8865,267(a) 32802,563 1120,249 7035,536 709,482 87,880 41755,710 8953,147 df 8 1 2 2 4 18 27 26 Mean Square 1108,158 32802,563 560,124 3517,768 177,371 4,882 F 226,978 6718,777 114,727 720,526 36,330 Sig. ,000 ,000 ,000 ,000 ,000

a R Squared = ,990 (Adjusted R Squared = ,986)

Lampiran 11c. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu Ekstraksi Terhadap Viskositas Relatif
waktu Duncan Subset waktu 80' 60' 40' Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 26,9889 2 34,8111 42,7667 1,000 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4,882. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 11d. Uji lanjut Duncan Pengaruh Suhu Ekstraksi Terhadap Viskositas Relatif
suhu Duncan Subset suhu 95 C 80 C 65 C Sig. N 9 9 9 1,000 1,000 1 16,8667 2 31,6778 56,0222 1,000 3

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4,882. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 9,000. b Alpha = ,05.

Lampiran 11e. Uji lanjut Duncan Pengaruh Waktu dan Suhu Ekstraksi Terhadap Viskositas Relatif
Kombinasi waktu dan suhu Duncan Perlakuan 80 ' 95 60 ' 95 40 ' 95 80 ' 80 60 ' 80 40 ' 80 80 ' 65 60 ' 65 40 ' 65 Sig. N 3 3 3 3 3 3 3 3 3 1 14,500 16,100 20,000 26,133 33,900 35,000 40,333 54,433 73,300 2 3 Subset 4 5 6 7

,387 1,000 1,000 ,550 1,000 1,000 1,000 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 4,882. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,000. b Alpha = ,05.

Anda mungkin juga menyukai