Anda di halaman 1dari 43

BAB II LANDASAN TEORI

II.1. Tinjauan Pustaka II.1.1. Definisi Tuberkulosis Paru Tuberkulosis ( TBC atau TB ) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosa. Bakteri ini termasuk ke dalam famili Mycobacteriaceae dan termasuk ke dalam ordo Actinomycetales, yang terdiri dari 5 jenis yaitu M. tuberculosis, M. bovis, M. africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa jenis tersebut M. tuberculosis merupakan jenis yang paling sering ditemukan. Bakteri ini merupakan bakteri basil yang sangat kuat sehingga memerlukan waktu lama untuk mengobatinya. Bakteri ini lebih sering menginfeksi organ paru-paru ( 90 % ) dibandingkan dengan organ yang lain dari tubuh manusia ( Masrin, 2008 ). Selain infeksi menular tuberculosis juga bisa berakibat fatal, yang disebabkan oleh Mycrobacterium tuberculuosis, Mycrobacterium bovis atau Mikrobakterium africanum ( Ratna, 2010). Tuberkulosis paru merupakan penyakit serius terutama pada bayi dan anak kecil, anak dengan malnutrisi, dan anak dengan gangguan imunologis. Sebagian besar anak menderita tuberkulosis primer pada usia muda dan sebagian besar asimtomatik dan sembuh spontan tanpa gejala sisa. Pada beberapa pasien penyakit berkembang menjadi tuberkulosis pascaprimer.

II.1.2. Penyebab Tuberkulosis Paru Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosa,

merupakan bakteri berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4/Um dan tebal 0,3-0,6/Um. Bakteri ini pertama kali ditemukan oleh Robert Kock pada tanggal 24 Maret 1887, sehingga untuk mengenang jasanya bakteri

tersebut dinamakan nama Basil Koch. Bahkan penyakit TBC pada paru paru yang kadang disebut juga sebagai Koch Pulmonum ( KP ). Penyakit tuberkulosis adalah basil tuberkulosis yang termasuk dalam genus Mycobacterium, suatu anggota dari famili Mycobacteriaceae dan termasuk dalam ordo Actinomycetalis. Mycobacterium tuberculosa menyebabkan sejumlah penyakit berat pada manusia dan penyebab terjadinya infeksi tersering. Masih terdapat Mycobacterium patogen lainnya, misalnya dan Mycobacterium Mycobacterium leprae, yang Mycobacterium dianggap sebagai

paratuberkulosis

Mycobacterium non tuberculosis atau tidak dapat terklasifikasikan ( Ikue,


2007 ).

Jenis bakteri yang termasuk dalam Mycobacterium tuberculosae complex adalah M. tuberculosae, Varian Asian, Varian African I, Varian African II, dan M. bovis. Selain itu ada juga kelompok bakteri M. tuberculosae dan Mycobacteria Other Than Tb (MOTT, atypical) adalah M. kansasi, M. avium, M. intracellulare, M. scrofulaceum,

M.malmacerse, dan M. xenopi (Slamet Suyono.2001:820-821).

II.1.3. Karakteristik Bakteri Tuberkulosis Hampir sebagian besar bakteri ini terdiri atas asam lemak ( lipid ), peptidoglikan dan arabinomana. Lipid adalah bagian dari bakteri yang membuat bakteri tersebut tahan terhadap asam sehingga disebut Basil Tahan Asam ( BTA ). Bakteri ini dapat bertahan hidup pada udara kering maupun dalam keadaan dingin, tapi mati pada keadaan terpapar sinar matahari langsung. Bakteri ini juga bisa hidup dalam jaringan tubuh, oleh karena itu memiliki juga sifat dorman ( tidur ), sifat dari dorman ini dapat menjadi tuberkulosis aktif ( Slamet Suyono, 2001:821). Karakteristik Mycobacterium Tuberculosis adalah sebagai berikut (Darmajono, 2001) : 1. Merupakan jenis kuman berbentuk batang berukuran panjang 1-4 mm dengan tebal 0,3-0,6 mm. 2. Bakteri tidak berspora dan tidak berkapsul.

3. Pewarnaan Ziehl-Nellsen tampak berwarna merah dengan latar belakang biru. 4. Bakteri sulit diwarnai dengan Gram tapi jika berhasil hasilnya Gram positif. 5. Pemeriksaan menggunakan mikroskop elektron dinding sel tebal, mesosom mengandung lemak (lipid) dengan

kandungan 25%, kandungan lipid memberi sifat yang khas pada bakteri yaitu tahan terhadap kekeringan, alkohol, zat asam, alkalis dan germisida tertentu. 6. Sifat tahan asam karena adanya perangkap fuksin intrasel, suatu pertahanan yang dihasilkan dari komplek mikolat fuksin yang terbentuk di dinding. 7. Pertumbuhan sangat lambat, dengan waktu pembelahan 1218 jam dengan suhu optimum 37oC. 8. Kuman kering dapat hidup di tempat gelap berbulan-bulan dan tetap virulen. 9. Kuman mati dengan penyinaran langsung matahari.

Gambar 1. Mycobacterium Tuberculosis ( Sumber : Megan McTaggart & Chelsea Tabellion, 2010 )

II.1.4. Patogenesis dan Perjalanan Alamiah Paru merupakan port dentree lebih dari 98 % kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil ( < 5 m ), kuman TB dalam percik renik ( droplet nuclei ) yang terhirup dapat mencapai alveolus. Pada

sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh mekanisme imunologis non spesifik, sehingga tidak terjadi respon imunologis spesifik dan sebagian besar kasus lainnya tidak seluruhnya bisa dihancurkan (Respirologi anak, 2010). Pada individu yang tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB yang sebagian besar dihancurkan. Tetapi sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis makrofag, lalu kuman TB akan membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus primer Ghon (Respirologi anak, 2010 ). Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe ( limfangitis ) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Bila fokus primer terletak di lobus bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus ( perihiler ), sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan kompleks primer (Respirologi anak, 2010 ). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Masa inkubasi TB bervariasi selam 2 12 minggu, biasanya berlangsung selama 4 8 minggu. Selama masa tersebut kuman berkembang biak hingga mencapai jumlah 10- 10, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respon imunitas selular (Respirologi anak, 2010).

Pada saat terbentuknya kompleks primer, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat dikenali dengan adanya rekasi hipersensitifitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif. Pada sebagian besar individu dengan sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi kuman TB berhenti. Tapi sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup di dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas seluler spesifik (Respirologi anak, 2010). Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini , tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB ( Respirologi anak, 2010 ). Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat terganggu. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endotrakeal atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps konsolidasi ( Respirologi anak, 2010 ). Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara limfohematogen (Respirologi anak, 2010 ).

Penyebaran secara hematogen langsung juga dapat terjadi, yaitu dimana kuman masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh, sehingga penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik. Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hematogenic spread ). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe superfisialis. Selain itu bisa juga besarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal dan lain lain. Pada umumnya, kuman pada lokasi sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif ( tenang ). Sarang di apeks paru disebut dengan fokus Simon, yang nantinya dapat berkembanng serta tereaktifasi menjadi TB apeks paru saat dewasa (Respirologi anak, 2010).

II.1.5. Cara Penularan Tuberkulosis Paru Penularan penyakit Tuberkulosis disebabkan oleh bakteri

Mycobacterium tuberculosis yang ditularkan melalui udara ( droplet nuklei ) saat seseorang dengan Tuberkulosis batuk, bersin, atau percikan ludah yang mengandung bakteri terhirup oleh orang lain saat bernafas. Sumber penularan adalah pasien Tuberkulosis paru BTA positif bila didapati pasien batuk, bersin atau berbicara saat berhadapan dengan orang lain, basil bakteri tersembur dan terhisap ke dalam paru orang sehat dan bisa menyebar ke bagian tubuh lain melalui peredaran darah , pembuluh limfe atau langsung ke organ lain. Sekali batuk pada penderita dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. Dengan masa inkubasi selama 3 6 bulan ( Widoyono, 2008 ). Tuberkulosis lebih mudah menular pada orang dengan kondisi tubuh yang lemah, seperti kelelahan, kurang gizi, terserang penyakit atau terkena pengaruh obat-obatan tertentu. Risiko tertular TB semakin tinggi

pada masyarakat golongan sosial ekonomi rendah yang tinggal di lingkungan perumahan yang padat penduduk dan kurang cahaya dan ventilasi udara (koalisi). Infeksi TB rentan terjadi pada kelompokkelompok khusus seperti ; anak, manula, dan orang-orang dengan risiko penularan tinggi seperti para tahanan dan kaum pendatang (Tuberkulosis, 2008). Masa inkubasi dimulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira memakan waktu 2-10 minggu. Risiko menjadi TB paru dan TB ekstrapulmoner progresif setelah infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten dapat berlangsung seumur hidup (Chin, 2006).

II.1.6. Faktor Resiko Mereka yang paling berisiko terpajan Mycobacterium Tuberculosis ini adalah mereka yang tinggal berdekatan dengan orang yang terinfeksi aktif, seperti gelandangan yang tinggal di tempat penampungan yang terdapat penderita tuberkulosis, dan pengguna fasilitas kesehatan dan pekerja kesehatan yang merawat pasien tuberkulosis (Corwin, 2000). Terdapat beberapa faktor yang mepermudah terjadinya infeksi Tuberkulosis maupun timbulnya penyakit Tuberkulosis pada anak. Faktor faktor tersebut dibagi menjadi faktor risiko infeksi dan faktor risiko progresi infeksi menjadi penyakit ( risiko penyakit ) ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.7. Risiko Infeksi Tuberkulosis Faktor resiko terjadinya infeksi Tuberkulosis antara lain adalah anak yang terpajan dengan orang dewasa dengan TB aktif ( kontak TB positif ) , daerah endemis, kemiskinan, lingkungan yang tidak sehat ( higiene dan sanitasi tidak baik ) , tempat penampungan umum ( panti asuhan, penjara, atau panti perawatan lain ) , yang banyak bterdapat pasien TB dewasa aktif ( Respirologi anak, 2010 ).

Sumber infeksi TB pada anak yang terpenting adalah pajanan terhadap orang dewasa yang infeksius , terutama bila orang dewasa tersebut BTA positif. Maka bayi dari seorang ibu dengan BTA Sputum positif memiliki risiko tinggi terinfeksi TB. Semakin erat hungungan antara bayi dengan ibunya, maka semakin besar pula kemungkinan bayi tersebut perpajan droplet nuklei yang infeksius ( Respirologi anak, 2010 ). Risiko timbulnya transmisi bakteri dari orang dewasa ke anak akan lebih tinggi jika pasien dewasa tersebut mempunyai BTA Sputum positif, infiltrat luas atau kavitas pada lobus atas, produksi sputum banyak dan encer, batuk produktif dan kuat. Selain itu terdapat faktor lingkungan yang kurang sehat terutama sirkulasi udara yang kurang baik ( Respirologi anak, 2010 ) Pasien TB anak jarang yang menularkan bakteri kepada anak lain atau orang dewasa di sekitarnya. Hal ini dikarenakan kuman TB sangat jarang ditemukan pada sekret endobronkrial pada pasien anak, selain itu jumlah kuman pada TB anak biasanya sedikit, lokasi infeksi primer yang kemudian berkembang menjadi sakit TB primer biasanya sudah terjadi di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga tidak terjadi produksi sputum, dan tidak ada / sedikitnya produksi sputum serta tidak terdapatnya reseptor batuk di daerah parenkim menyebabkan jarangnya terdapat gejala batuk pada TB anak ( Respirologi anak, 2010 )

II.1.8. Risiko Sakit Tuberkulosis Anak yang telah terinfeksi TB tidak selalu akan mengalami sakit TB, faktor faktor yang dapat menyebabkan berkembangnya infeksi TB menjadi sakit TB adalah ( Respirologi anak, 2010 ) : a. Usia, anak dengan usia 5 tahun mempunyai risiko lebih tinggi mengalami progresi infeksi menjadi sakit TB karena imunitas selularnya belum berkembang dengan sempurna ( imatur ). Akan tetapi, risiko sakit TB ini akan berkurang secara bertahap seiring dengan pertambahan usia.

Pada bayi yang terinfeksi TB, 43% nya akan menjadi sakit TB, pada anak 1-5 tahun yang menjadi sakit sekitar 24 % , pada usia remaja 15 % dan dewasa 5 10 % . b. Infeksi paru, yang ditandai dengan adanya konversi uji tuberkulin (dari negatif menjadi positif ) dalam 1 tahun terakhir. c. Malnutrisi, keadaan imunokompromais ( infeksi HIV, keganasan, transplantasi organ, dan pengobatan imunokompromais ), diabetes melitus dan gagal ginjal kronik. d. Keadaan epidemiologi seperti , status sosio ekonomi yang rendah, penghasilan yang kurang, kepadatan hunian, pengangguran, pendidikan yang rendah, dan kurangnya dana untuk pelayanan kesehatan masyarakat.

II.1.9. Gejala klinik Gejala umum yang terdapat pada Tuberkulosis Anak adalah sebagai berikut ( Respirologi anak, 2010 ) : 1. Demam lama ( 2 minggu ) dan / atau berulang tanpa sebab yang jelas ( bukan demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria dan lainlain ), yang dapat disertai dengan keringat malam. Demam umumnya tidak tinggi. 2. Batuk lama > 3 minggu. 3. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas, atau tidak naik dalam 1 bulan dengan penanganan gizi yang adekuat. 4. Nafsu makan tidak ada ( anoreksia ) dengan gagal tumbuh dan berat badan tidak naik dengan adekuat ( failure to thrive ). 5. Lesu atau malaise. 6. Diare persisten yang tidak sembuh dengan pengobatan baku diare.

Tabel 2.1. Frekuensi gejala dan tanda TB Paru sesuai dengan kelompok umur

Kelompok umur Gejala Demam Keringat malam Batuk Batuk produktif Hemoptisis Dispnu

Bayi

Anak

Akil Balik

Sering Sangat jarang Sering Sangat jarang Tidak pernah Sering

Jarang Sangat jarang Sering Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang

Sering Jarang Sering Sering Sangat jarang Sangat jarang

Tanda Ronki basah Mengi Fremitus Perkusi pekak Suara napas berkurang Sering Sering Sangat jarang Sangat jarang Sering Jarang Jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Sangat jarang Jarang Jarang Jarang Jarang

( Sumber : Am J Respir Crit Care Med, 2006 )

Gejala spesifik ( organ/lokal ) biasanya juga ditemukan bergantung pada organ yang terkena, misalnya kelenjar limfe, susunan saraf pusat, tulang dan kulit ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.9.1. Kelenjar limfe Pembesaran kelenjar limfe superfisialis sebagai manifestasi TB sering dijumpai. Kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe kolli anterior atau posterior, tetapi juga dapat terjadi di aksilla, inguinal, submandibula, dan supraklavikula. Secara klinis, karakteristik kelenjar yang dijumpai biasanya multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak

hangat pada perabaan, mudah digerakan, dan dapat saling melekat satu sama lain ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.9.2. Susunan Saraf Pusat Tuberkulosis pada SSP yang tersering adalah meningitis TB, penyakit ini merupakan penyakit yang berat dengan nilai kecatatan yang tinggi. Gejala klinis yang terjadi berupa nyeri kepala, penurunan kesadaran, kaku kuduk, muntah proyektil, dan kejang ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.9.3. Sistem Skeletal Terdapat gejala nyeri, bengkak pada sendi yang terkena, dan gangguan atau keterbatasan gerak. Pada bayi dan anak yang sedang dalam masa pertumbuhan, epifisis tulang merupakan daerah dengan vaskularisasi tinggi yang disukai oleh kuman TB. Oleh karena itu, TB sistem skeletal lebih sering terjadi pada anak daripada orang dewasa. Tuberkulosis sistem skeletal yang sering terjadi adalah spondilitis TB, koksitis TB, dan gonitis TB ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.9.4. Kulit Terjadinya manifestasi TB pada kulit dapat melalui 2 cara, yaitu inokulasi langsung ( infeksi primer ) seperti tuberculous chancre, dan akibat limfadenitis TB yang pecah menjadi skrofuloderma ( TB pascaprimer ). Manifestasi TB pada kulit yang paling sering dijumpai adalah bentuk kedua, yaitu bentuk skrofuloderma yang biasanya sering ditemukan di leher dan wajah, di tempat yang mempunyai kelenjar getah bening ( KGB ), misalnya di daerah parotis, submandibula, supraklavikula, dan lateral leher ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.10. Diagnosis Tuberkulosis Diagnosis pasti TB ditegakkan dengan ditemukannya

M.tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan

serebrospinal ( CSS ), cairan pleura, atau biopsi jaringan. Pada anak biasanya ditemukan beberapa kesulitan untuk menegakkan diagnosis pasti yang disebabkan karena dua hal, yaitu sedikitnya jumlah kuman (paucibacillary) dan sulitnya pengambilan spesimen sputum

(Respirologi anak, 2010 ). Penyebab pertama, yaitu jumlah kuman TB di sekret bronkus pasien anak lebih sedikit daripada dewasa, karena lokasi kerusakan jaringan TB paru primer terletak di kelenjar limfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Selain itu tingkat kerusakan parenkim paru tidak seberat pasien dewasa. Basil tahan asam baru dapat dilihat dengan mikroskop bila jumlahnya paling sedikit 5000 kuman dalam 1 ml spesimen ( Respirologi anak, 2010 ). Penyebab kedua, yaitu sulitnya melakukan pengambilan

spesimen/sputum. Pada anak, karena lokasi kelainannya di parenkim yang tidak berhubungan langsung dengan bronkus, maka produksi sputum tidak ada/minimal dan gejala batuk juga jarang. Sputum yang representatif untuk dilakukan pemeriksaan

mikroskopis adalah sputum yang kental dan purulen, berwarna hijau kekuningan dengan volume 3-5 ml, dan ini sulit diperoleh pada anak. Walaupun batuknya berdahak, pada anak biasanya dahak akan ditelan, sehingga diperlukan bilas lambung yang diambil melalui nasogastric tube (NGT ), dan sebaiknya dilakukan oleh petugas berpengalaman (Respirologi anak, 2010). Berdasarkan kedua penyebab diatas, diagnosis TB anak terutama pada temuan klinis dan radiologis seringkali tidak spesifik. Diagnosis TB anak ditentukan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang seperti uji tuberkulin, foto toraks, dan pemeriksaan laboratorium. Adanya riwayat kontak dengan pasien TB dewasa BTA positif, uji tuberkulin positif, gejala dan tanda sugestif TB, foto toraks yang mengarah pada TB ( sugestif TB ), merupakan dasar untuk menyatakan anak sakit TB.

II.1.11. Pemeriksaan Fisik Pada Tuberkulosis Paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan struktur paru. Pada permulaan ( awal ) perkembangan penyakit umumnya sulit menemukan kelainan. Kelainan paru umumnya terletak di daerah lobus superior terutama di daerah apeks dan segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat juga kita temukan adanya suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah, tanda tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum (Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis, 2006).

II.1.12. Pemeriksaan Penunjang II.1.12.1. Uji Tuberkulin Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TB yang sudah lama dikenal, dan mempunyai nilai diagnostik yang tinggi terutama pada anak, dengan sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90 %. Tuberkulin adalah komponen protein kuman TB yang mempunyai sifat antigenik yang kuat. Jika disuntikan secara intrakutan kepada seseorang yang telah terinfeksi TB ( telah ada kompleks primer di dalam tubuhnya dan telah terbentuk imunitas seluler terhadap TB ) , maka akan terjadi reaksi berupa indurasi di lokasi suntikan ( Respirologi anak, 2010 ). Indurasi yang terjadi pada lokasi suntikan dikarenakan

vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan terakumulasinya sel-sel inflamasi di daerah suntikan. Ukuran indurasi dan bentuk reaksi tuberkulin tidak dapat menentukan tingkat aktifitas dan beratnya proses penyakit ( Respirologi anak, 2010 ). Jenis tuberkulin yang tersedia di Indonesia adalah PPD RT-23 2TU ( tuberculin unit ) buatan Statens Serum Institute Denmark, dan PPD ( purified protein derivative ) dari Biofarma. Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan menyuntikan 0,1 ml PPD RT -23 2TU atau PPD S 5TU, secara intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan dilakukan 48 72 jam setelah penyuntikan. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul, bukan hiperemi/eritemanya.

Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi , ditandai dengan pulpen, kemudian diameter transversal indurasi diukur dengan alat pengukur transparan, dan hasilnya dilaporkan sebagai 0 mm dan sertakan juga apakah ditemukan vesikel hingga bula. ( Respirologi anak, 2010 ) . Secara umum, hasil tuberkulin dengan diameter indurasi 10 mm dinyatakan positif. Hasil positif sebagian besar disebabkan oleh infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh imunisasi Bacille Calmette Guerin ( BCG ) atau infeksi atipik. Bacille Calmette Guerin merupakan infeksi TB buatan dengan kuman M. bovis yang dilemahkan, sehingga kemampuan dalam menyebabkan reaksi

tuberkulin menjadi positif , tidak sekuat infeksi alamiah ( Respirologi anak, 2010 ). Pengaruh BCG terhadap reaksi positif tuberkulin secara bertahap akan semakin berkurang dengan berjalannya waktu, dan paling lama serlangsung hingga 5 tahun setelah penyuntikan. Pada anak balita yang telah mendapat BCG, diameter indurasi 10 15 mm dinyatakan uji tuberkulin positif, kemungkinan besar karena infeksi TB alamiah, tetapi masih mungkin disebabkan oleh BCGnya. Akan tetapi, bila ukuran indurasi 15 mm, hasil positif sangat mungkin karena infeksi TB alamiah. Jika membaca hasil tuberkulim pada anak berusia lebih dari 5 tahun, faktor BCG diabaikan (Respirologi anak, 2010). Apabila diameter indurasi 0 4 mm, dinyatakan uji tuberkulin negatif. Diameter 5 9 mm dinyatakan positif meragukan. Hal ini dapat disebabkan oleg kesalahan teknis ( trauma dan lain lain ) atau reaksi silang dengan M. atipik. Bila mendapatkan hasil yang meragukan, uji tuberkulin dapat diulang. Untuk menghindari efek booster tuberkulin, ulangan dilakukan 2 minggu kemudian dan penyuntikan dilakukan di lokasi lain, minimal berjarak 2 cm ( Respirologi anak, 2010 ) .

Tuberkulosis pada anak tidak selalu bermanifestasi klinis secara jelas, sehingga perlu dilakukan deteksi dini yaitu dengan uji tuberkulin. Pada anak yang tinggal di daerah endemis TB, uji tuberkulin perlu dilakukan secara rutin, bila hasilnya negatif dapat diulang setiap tahun (Respirologi anak, 2010 ).

Uji tuberkulin positif dapat dapat dijumpai pada ketiga keadaan sebagai berikut ( Respirologi anak, 2010 ) : 1. Infeksi TB alamiah a. Infeksi TB tanpa sakit TB ( infeksi TB laten ) b. Infeksi TB dan sakit TB c. TB yang telah sembuh 2. Imunisasi BCG ( infeksi TB buatan ) 3. Infeksi mikobakterium atipik

Uji tuberkulin negatif dapat dijumpai pada tiga keadaan berikut : 1. Tidak ada infeksi TB 2. Dalam masa inkubasi infeksi TB 3. Anergi

Anergi adalah keadaan penekanan sistem imun oleh berbagai keadaan sehingga, tubuh tidak memberikan reaksi terhadap tuberkulin walaupun sebenarnya sudah terinfeksi TB. Beberapa keadaan yang bisa menimbulkan anergi, misalnya gizi buruk, keganasan, penggunaan steroid jangka panjang, sitostatika, penyakit morbli, pertusis, varisela, influenza, TB yang berat, serta pemberian vaksinasi dengan vaksin virus hidup ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.12.2. Pemeriksaan Radiologis Gambaran foto thoraks pada TB tidak khas, kelainan kelainan radiologis pada TB dapat juga dijumpai pada penyakit lain. Sebaliknya, foto thoraks yang normal ( tidak terdeteksi secara radiologis ) tidak

dapat menyingkirkan diagnosis TB

jika klinis dan pemeriksaan

penunjang lain tidak mendukung. Dengan demikian, pemeriksaan foto thoraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali gambaran milier ( Respirologi anak. 2010 ). Posisi foto thoraks adalah antero posterior ( AP ) , juga disertai dengan foto lateral, untuk melihat adakah pembesaran KGB di daerah hilus yang biasanya lebih jelas pada foto lateral. Bila keadaan foto thoraks tidak jelas maka perlu dilakukan CT- Scan thoraks (Respirologi anak, 2010). Secara umum, gambaran radiologis yang sugestif TB adalah sebagai berikut ( Respirologi anak, 2010 ) : Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/ tanpa infiltrat. Konsolidasi segmental/lobar. Milier. Kalsifikasi dengan infiltrat. Atelektasis. Kavitas. Efusi Pleura. Tuberkuloma.

Gambaran Radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif menurut ( Pedoman diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, 2006 ) : Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular. Bayangan bercak milier. Efusi pleura unilateral ( umumnya ) atau bilateral ( jarang ).

Sedangkan gambaran radiologi yang dicurigai lesi TB inaktif menurut ( Pedoman Diagnostik dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia, 2006 ) : Fibrotik. Kalsifikasi. Schwarte atau penebalan pleura

II.1.12.3. Pemeriksaan Mikrobiologis Diagnosis pasti ditegakkan bila ditemukan kuman TB pada pemeriksaan mikrobiologis. Pemeriksaan mikrobiologis terdiri dari dua macam, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman M. tuberculosis (Respirologi anak, 2010 ). Tapi pada anak sulit sekali untuk mendapatkan sputumnya, maka dilakukanlah pemeriksaan bilas lambung ( gastric lavage ) selama 3 hari berturut turut, minimal 2 hari. Hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada anak sebagian besar negatif, sedangkan pada hasil biakan M. tuberculosis memerlukan waktu yang lama yaitu sekitar 6 8 minggu ( Respirologi anak, 2010 ).

II.1.12.4. Pemeriksaan Patologi Anatomi Pada pemeriksaan Patologi Anatomi dapat menunjukan gambaran granuloma yang ukurannya kecil, terbentuk agregasi sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit. Granuloma tersebut mempunyai karateristik perkijuan atau area nekrosis kaseosa di tengah granuloma. Gambaran khas lainnya adalah ditemukannya sel datia Langhans. Diagnostik histopatologik dapat ditegakkan dengan menemukan perkijuan, sel epiteloid, limfosit, dan sel datia Langhans ( Respirologi anak, 2010).

II.1.12.5. Penegakan Diagnostik Diagnosis kerja TB anak dibuat berdasarkan adanya kontak terutama dengan pasien TB dewasa aktif/baru, kumpulan gejala dan tanda klinis, uji tuberkulin, dan gambaran sugestif pada foto thoraks. Diagnosis pasti dapat ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB pada pemeriksaan apusan langsung ( direct smear ), dan/atau biakan yang merupakan pemeriksaan baku emas ( gold standart ), atau gambaran PA TB ( Respirologi anak, 2010 ). Tetapi diagnosis TB pada anak sulit didapatkan karena jumlah kuman yang sedikit pada TB anak ( paucibacillary ), dan lokasi kuman di daerah parenkim yang jauh dari bronkus, sehingga hanya 10 15 % pasien TB anak yang hasil pemeriksaan mikrobiologiknya positif/ditemukan kuman TB ( Respirologi anak, 2010 ). Oleh karena itu dibuatlah pedoman diagnosis dengan sistem skoring dan alur diagnostik yang dibuat oleh WHO ( World Health Organization ) sebagai berikut :

Tabel 2.2. Petunjuk WHO untuk diagnostik TB anak

Dicurigai Tuberkulosis
1. Anak dengan kontak sakit riwayat pasien Anak

Mungkin Tuberkulosis
yang dicurigai tuberkulosis ditambah : Uji tuberkulin

Pasti Tuberkulosis ( Confirmed TB )


Ditemukan tuberkulosis pemeriksaan atau biakan. Identifikasi Mycobacterium tuberculosis karakteristik biakan. pada basil pada langsung

tuberkulosis dengan diagnosis pasti. 2. Anak dengan : Keadaan klinis tidak membaik setelah menderita campak atau batuk rejan. Berat badan menurun, batuk dan -

positif ( 10 mm atau lebih ). Foto paru rontgen sugestif

tuberkulosis. Pemeriksaan histologis biopsi sugestif tuberkulosis. Respon yang baik pada pengobatan dengan OAT.

mengi yang tidak membaik dengan pengobatan antibiotika untuk penyakit pernafasan. Pembesaran kelenjar superfisialis yang sakit. tidak

Sistem skoring untuk mendiagnosis Tuberkulosis selalu mengalami perkembangan untuk itu IDAI bekerjasama dengan Depkes RI dan didukung oleh WHO mengembangkan sistem skoring baru untuk meningkatkan sensitifitas dan spesifisitas diagnosis TB pada anak.

Tabel 2.3. Sistem Skoring Diagnosis Tuberkulosis Anak

Parameter Kontak TB

0 tidak jelas

1 -

2 laporan keluarga (BTA negatif atau tidak jelas)

3 BTA ( + )

Uji Tuberkulin

negatif

positif ( 10 mm, atau 5 mm pada keadaan imunosupresi

Berat badan/keadaan gizi

BB/TB < 90% atau BB/U < 80%

klinis gizi buruk atau BB/TB <70% atau BB/U <60%

Demam yang tidak diketahui penyebabnya Batuk kronik Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksila, inguinal

2 minggu

3 minggu 1 cm, jumlah >1, tidak nyeri

Pembengkakan tulang / sendi panggul, lutut, falang Foto toraks

ada pembengkakan

Normal/kelainan tidak jelas

gambaran sugestif TB*

Catatan : Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter. Bila dijumpai gambaran milier atau skrofuloderma, langsung didiagnosis TB. Berat badan dinilai saat pasien datang ( moment opname ). Demam dan batuk tidak memiliki respons terhadap terapi baku. Foto toraks bukan merupakan alat diagnostik utama pada TB anak. *Gambaran sugestif TB, berupa: pembesaran kelenjar hilus dan paratrakeal dengan/tanpa infiltrat; konsolidasi segmental/lobar; kalsifikasi dengan infiltrat; atelektasis; tuberkuloma. Gambaran milier tidak dihitung dalam skor karena diperlakukan secara khusus. Mengingat pentingnya peran uji tuberkulin dalam mendiagnosis TB anak, maka sebaiknya disediakan tuberkulin di tempat pelayanan kesehatan. Pada anak yang diberi imunisasi BCG, bila terjadi reaksi cepat BCG (7 hari) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak, BCG bukan merupakan alat diagnostik. Diagnosis kerja TB anak ditegakkan bila jumlah skor 6 (skor maksimal 13).

Bila ditemukan adanya gambaran milier, kavitas, atau efusi pleura pada foto toraks, dan/atau terdapat tanda tanda bahaya, seperti kejang, kaku kuduk, dan penurunan kesadaran, serta tanda kegawatan lain seperti sesak nafas, pasien harus dirawat inap di RS. Bila dijumpai gibbus dan koksitis, pasien harus dikonsultasikan ke bedah ortopedi dan neurologi anak. IDAI mengembangkan sistem skoring digunakan untuk penegakan diagnosis TB

anak pada sarana kesehatan dengan fasilitas yang terbatas ( Respirologi anak, 2010).

II.1.12.6 Penatalaksanaan Tuberkulosis Paru pada anak II.1.12.6.1. Medikamentosa Obat TB utama ( first line ) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H), pirazinamid (Z), etambutol (E) dan steptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat TB lain (second line) seperti levofloxacin, ciprofloxacin, kanamycin, amikacin dapat digunakan jika terjadi MDR (multi drugs resistance) (Respirologi anak, 2010).

a.

Isoniazid Isoniazid atau isonikotinil hidrazid yang sering disingkat dengan INH, memiliki derivat yang mana cara kerja obat ini adalah dengan menghambat pembelahan sel kuman tuberkulosis, yaitu iproniazid. Selain itu isoniazid secara in vitro bersifat tuberkulostatik dan tuberkulosid. Efek bakterisidnya hanya terlihat pada kuman yang sedang aktif tumbuh ( Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2007 ). Isoniazid diberikan secara per oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5 15 mg/kgBB/hari, maksimal 300 mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid tersedia dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 ml/5 ml, tetapi sediaan dalam bentuk sirup biasanya tidak stabil, sehingga tidak dianjurkan penggunaannya (Respirologi anak, 2010). Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam 1 2 jam, dan menetap selama paling sedikit 6 8 jam. Isoniazid di metabolisme di hati. Pada anak- anak isoniazid dieliminasi lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga memerlukan

dosis yang lebih tinggi dibandingkan orang dewasa (Respirologi anak, 2010). Antara 75 95 % isoniazid diekskresikan melalui urin dalam waktu 24 jam dan hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Ekskresi terutama dalam bentuk asetil isoniazid yang merupakan metabolit proses asetilasi, dan asam isonikotinat yang merupakan metabolit proses hidrolisis. Sejumlah kecil diekskresikan dalam bentuk isonikotinil glisin dan isonikotinil hidrazon, dan dalam jumlah yang kecil sekali N-metil isoniazid ( Farmakologi dan Terapi Universitas Indonesia, 2007 ). Efek yang biasanya muncul pada penggunaan obat ini diantaranya ada dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang meningkat dengan

bertambahnya usia. Sebagian besar anak yang menggunakan obat isoniazid ini mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2 bulan pertama, akan tetapi akan menurun dengan sendirinya tanpa penghentian obat. Karena hal tersebut penggunaan isoniazid tidak dilanjutkan bila kadar tranaminase serum naik lebih dari lima kali harga normal, atau tiga kali disertai dengan ikterik dan/atau manifestasi klinis hepatitis berupa mual,muntah, dan nyeri perut ( Respirologi anak, 2010 ). Sedangkan neuritis perifer biasanya bermanifestasi klinis berupa mati rasa atau kesemutan pada tangan dan kaki. Reaksi

hipersensitivitas yang disebabkan karena obat isoniazid jarang terjadi, bila terjadi dapat berupa demam, pruritus, atau urtikaria (Farmakologi dan Terapi UI, 2007).

b. Rifampisin Rifampisisn adalah salah satu obat derivat semisintetik rifampisin B yaitu salah satu anggota kelompok antibiotik makrosiklik yang disebut rifamisin. Kelompok zat ini dihasilkan oleh Streptomyces mediterranei (Farmakologi dan Terapi UI, 2007). Rifampisin merupakan obat yang bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel , dan dapat memasuki semua jaringan, dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid ( Respirologi anak, 2010 ). Rifampisin menghambat pertumbuhan berbagai kuman Gram-positif dan Gram-negatif (Farmakologi dan Terapi UI, 2007). Obat ini diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong ( 1 jam sebelum makan ), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Rifampisin tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300mg, dan 450 mg secara oral namun sediaan ini kurang sesuai digunakan untuk anak anak untuk itu dibuat dalam bentuk suspensi supaya lebih mudah dikonsumsi, dosis rifampisin adalah 10 20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari, dengan dosis satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid, dosis rifampisin tidak lebih dari 15 mg/kgBB/hari dan isoniazid sebesar 10/kgBB/hari (Respirologi anak, 2010). Obat ini akan diekskresikan melalui empedu dan kemudian mengalami sirkulasi enterohepatik, dan didistribusikan ke seluruh tubuh dengan kadar efektif dicapai diberbagai organ dan cairan tubuh, termasuk cairan otak. Masa paruh eliminasi obat ini bervariasi antara 1,5 5 jam dan bisa memanjang bila terjadi gangguan pada hepar. Ekskresinya melalui urin mencapai 30 %, setengahnya merupakan rifampisin utuh ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ).

Efek samping obat rifampisin ini lebih sering terjadi dibandingkan dengan isoniazid diantaranya perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air mata menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu efek samping lainnya adalah gangguan gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas

(ikterus/hepatitis) yang biasanya ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik selain itu rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia (Respirologi anak, 2010).

c. Pirazinamid Pirazinamid adalah analog nikotinamid yang tidak larut dalam air. Obat ini diabsorbsi dengan baik dari saluran cerna dan didistribusikan secara meluas ke seluruh jaringan tubuh ( Katzung, 2000 ). Selain di jaringan tubuh, pirazinamid juga berpenetrasi baik di cairan tubuh seperti CSS. Pirazinamid biasanya diberikan secara per oral sesuai dosis 15 30 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimal 2 gram/hari. Obat ini mencapai kadar serum puncak 45g/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat keadaan asam, yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid pada anak anak dinyatakan aman (Respirologi anak, 2010). Reaksi hipersensitifitas sebagai efek samping obat

pirazinamid ini jarang ditemukan pada anak ( Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000 ). Sedangkan atralgia, artritis, hepatitis merupakan efek-efek samping yang biasanya lebih sering ditemukan pada kasus dewasa ( Pedoman Diagnosis dan Tatalaksana TB, 2006 ).

d. Etambutol Etambutol merupakan suatu senyawa sintetik yang larut dalam air serta senyawa yang stabil dalam keadaan panas. Secara in vitro, banyak strain M.tuberculosis dan mikobakteria lain yang dihambat oleh etambutol dengan konsentrasi 1 5 g/mL (Katzung, 2000). Pada pemberian oral sekitar 75 80 % etambutol diserap dari saluran cerna. Kadar puncak dalam plasma dicapai dala waktu 2 4 jam setelah pemberian. Masa paruh eliminasinya 3 4 jam. Dalam waktu 24 jam, 50 % etambutol yang diekskresikan dalam bentuk asal melalui urin, dan 10 % sisanya sebagai metabolit, yakni berupa derivat aldehid dan asam karboksilat. Klirens ginjal untuk etambutol kira kira 8,6 mL/menit/Kg menandakan bahwa obat ini selain mengalami filtrasi di glomerulus juga di sekresi melalui tubuli ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ). Pada dosis 15 mg/kg/24 jam obat ini bersifat bakteriostatik, obat ini ditoleransi dengan baik oleh rang dewasa maupun anak bila diberikan secara oral secara oral sebagai dosis sekali atau dua kali sehari. Pada nilai dosis tersebut sekitar 2 % pasien biasanya mengalami efek samping yaitu penurunan ketajaman penglihatan, ruam kulit dan pruritus. Etambutol tidak dianjurkan untuk penggunaan umum pada anak karena risiko kerusakan okuler sulit untuk dideteksi ( Farmakologi dan Terapi UI, 2007 ).

e. Streptomisin Streptomisin ialah obat antituberkulosis pertama yang dinilai efektif. Bersifat bakteriostatik dan bakterisid terhadap kuman tuberkulosis. Diberikan secara intramuskuler, dan hampir semua streptomisin berada dalam plasma dan hanya sedikit sekali yang masuk ke dalam eritrosit. Streptomisin kemudian menyebar ke seluruh cairan ekstrasel. Kira kira sepertiga streptomisin yang

berada di dalam plasma, terikat protein plasma. Streptomisin diekskresikan melalui filtrasi glomerulus ( Farmakologi dan Terapi UI, 2000 ). Kira kira 50 60 % dosis sterptomisin yang diberikan secara parenteral dieksresikan dalam bentuk utuh dalam waktu 24 jam pertama. Sebagian besar jumlah ini dieksresikan dalam waktu 12 jam. Masa paruh obat pada orang dewasa normal antara 2 3 jam ( Farmakologi dan Terapi UI, 2000 ). Penggunaan utamanya sekarang adalah bila dicurigai resistensi INH awal atau bila anak menderita tuberkulosis yang membahayakan jiwa. Toksisitasnya utama pada bagian vestibuler dan auditorius syaraf kranial 8. Streptomisin dikontraindikasikan untuk wanita hamil karena sampai 30% bayinya akan menderita kehilangan pendengaran yang berat ( Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000 ).

Tabel 2.4. Obat Antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya Nama Obat Dosis harian (mg/kgBB/hari) Isoniazid 5 15 * Dosis maksimal (mg per hari) 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas. 10 20 Efek samping

Rifampisin**

600

Gastrointestinal, reaksi kulit,hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna oranyekemerahan.

Pirazinamid

15 30

2000

Toksisitas hati,

atralgia, gastrointestinal. 15 20

Etambutol

1250

Neuritis optik, ketajaman mata berkurang, buta warna merah hijau, penyempitan lapang pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal.

Streptomisin

15 40

1000

Ototoksik, nefrotoksik

( Sumber : dimodifikasi dari Mundoz FM, Starke JR. Tuberculosis (Mycobacterium Tuberculosis). Dalam Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting.Nelson textbook of pediatrics.Philadelphia, Saunders, 2004 )

Catatan : * Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10 mg/kgBB/hari. ** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan).

Paduan obat TB Dalam pengobatan TB dibagi menjadi dua fase, yaitu fase intensif (2 bulan pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Prinsip dasar pengobatan TB adalah minimal tiga macam obat pada fase intensif (2 bulan pertama) dan dilanjutkan dengan dua macam obat pada fase lanjutan (4 bulan atau lebih). Paduan obat ini dibuat agar mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraselular dan ekstraselular. Pemberian obat jangka panjang juga bertujuan untuk mencegah relaps juga untuk membunuh kumannya.

Dosis pemberian OAT pada anak diberikan setiap hari, bukan dua atau tiga kali dalam seminggu, tujuannya adalah untuk mengurangi ketidakteraturan menelan obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak ditelan setiap hari. Pengobatan OAT yang sudah baku untuk kasus TB anak adalah pada fase intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid. Pada keadaan TB berat, TB pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB sistem skeletal, dan lain lain, pada fase intensif diberikan minimal empat macam obat (rifampisin, isoniazid, pirazinamid, dan etambutol atau streptomisin), dilanjutkan fase lanjutan dengan pemberian rifampisin dan isoniazid selama 10 bulan. Untuk kasus TB tertentu seperti meningitis TB, TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-

2mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2 4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan tappering off selama 1 2 minggu.

II.1.12.6.2. Non Medikamentosa Anak yang mendapatkan pengobatan harus diberikan suatu pemantauan oleh keluarga terhadap ketaatan minum obatnya. Nutrisi yang diberikan juga harus adekuat sehingga bisa menunjang proses kesembuhan penyakit tersebut. Anak yang terinfeksi tuberkulosis pun harus diperiksa setiap bulannya dan harus diberi pengobatan yang cukup yang berakhir sampai kunjungan berikutnya ( Ilmu Kesehatan Anak Nelson, 2000 ). Sumber lain mengatakan bahwa pengobatan pada pasien tuberkulosis harus mendapatkan pengobatan non medikamentosa untuk meningkatkan daya tahan Diagnostik tubuh dan atau mengatasi

gejala/keluhan

(Pedoman

Penatalaksanaan

Tuberkulosis di Indonesia, 2006 ) berupa :

1. Makan makanan bergizi,

bila perlu bisa memberikan

supplement tambahan berupa vitamin. 2. Bila ada demam berikan obat penurun panas. 3. Bila perlu bisa juga diberikan obat obat untuk mengatasi keluhan lain seperti batuk, sesak napas atau keluhan lainnya.

a. Pendekatan DOTS DOTS atau Directly Observed Treatment Short Course adalah suatu strategi yang merupakan kunci keberhasilan program penanggulangan tuberkulosis yang dikemukakan oleh Organisasi Kesehatan (WHO) yang kini dianut juga oleh negara kita (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006 ) Dalam penatalaksanaan tuberkulosis paru perlu

diperhatikan masalah keteraturan ( adherens ) menelan obat, keteraturan minum obat dikatakan baik apabila pasien menelan obat sesuai dengan dosis yang ditentukan dalam panduan pengobatan. Keteraturan menelan obat ini menjamin keberhasilan pengobatan serta mencegah relaps dan terjadinya resistensi. Di Indonesia program ini telah dilaksanakan sejak tahun 1995 (Respirologi anak, 2010). Sesuai dengan rekomendasi WHO, strategi DOTS terdiri atas 5 komponen, yaitu sebagai berikut (Respirologi anak, 2010) : 1. Komitmen politis dari para pengambil keputusan, termasuk dukungan dana. 2. Diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis. 3. Pengobatan dengan panduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung oleh pengawas menelan obat (PMO). 4. Kesinambungan persediaan OAT jangka pendek dengan mutu terjamin.

5. Pencatatan

dan

pelaporan

secara

baku

untuk

memudahkan pemantauan dan evaluasi program penanggulangan TB. Kelima komponen DOTS di atas terutama untuk pasien TB dewasa, khususnya pada butir dua dan lima. Butir dua menyatakan diagnosis TB dengan pemeriksaan sputum secara mikroskopis, yang mana pada pasien anak sulit dilaksanakan. Sebagai gantinya maka pada anak dilakukan uji tuberkulin. Butir lima pun sesuai dengan butir dua, sehingga format pencatatan dan pelaporan dibuat untuk usia 15 tahun ke atas, sedangkan format untuk kelompok usia 15 tahun ke bawah belum ada ( Respirologi anak, 2010 ). Pengobatan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung merupakan salah satu point dari lima komponen strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO, yang mana

mengharuskan adanya orang yang bertanggung jawab mengawasi pasien menelan obat, disebut sebagai PMO. Setiap pasien yang baru ditemukan harus selalu didampingi oleh seorang PMO. Syarat untuk menjadi PMO adalah sebagai berikut : (1) dikenal, (2) dipercaya, dan (3) disetujui baik oleh petugas kesehatan maupun pasien, (4) disegani dan dihormati oleh pasien, (5) tempat tinggalnya dekat dengan pasien, (6) bersedia membantu pasien dengan sukarela, (7) bersedia dilatih atau mendapatkan penyuluhan (Respirologi anak, 2010). Orang yang menjadi petugas PMO adalah petugas kesehatan, keluarga pasien, kader, pasien yang sudah sembuh, tokoh masyarakat, serta guru sekolah atau petugas unit kesehatan sekolah yang sudah dilatih strategi DOTS (Respirologi anak, 2010). Tugas PMO adalah mengawasi pasien agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan, memberi dorongan kepada pasien agar mau berobat teratur, mengingatkan pasien untuk periksa sputumulang (pasien dewasa), serta memberikan

penyuluhan kepada anggota keluarga pasien TB untuk segera memeriksakan diri ke unit pelayanan kesehatan (Respirologi anak, 2010 ). Untuk meningkatkan keteraturan menelan obat, OAT dibuat dalam bentuk kombipak ( kombinasi OAT dalam satu paket) dan FDC (kombinasi OAT dalam satu tablet). Pada anak M. tuberculosis sulit ditemukan, oleh karena itu diagnosis pada anak tidak dapat dibuat berdasarkan pemeriksaan mikroskopis yang dianjurkan dalam strategi DOTS. Maka, diperlukan strategi diagnotik lain, yaitu dengan menggunakan sistem skoring. Pemerintah telah menyediakan paket OAT ( kombipak ) untuk anak yang diperoleh secara gratis. Obat antituberkulosis dalam bentuk KDT (FDC) untuk anak sedang dalam tahap persiapan pengadaan (Respirologi anak, 2010).

b. Fixed Dose Combination ( FDC ) Tujuan dibuatnya kombinasi obat ini adalah untuk mengatasi masalah keteraturan (adherence) pasien dalam menjalani pengobatan yang relatif lama dengan jumlah obat yang banyak, maka dibuatlah suatu sediaan obat kombinasi dengan dosis yang telah ditentukan yaitu FDC atau Kombinasi Dosis Tetap (KDT). Keuntungan penggunaan FDC dalam pengobatan TB adalah ( Respirologi anak, 2010 ) : Menyederhanakan pengobatan dan mengurangi kesalahan penulisan resep. Meningkatkan penerimaan dan keteraturan pasien. Memungkinkan petugas kesehatan untuk memberikan

pengobatan standar dengan tepat. Mempermudah pengelolaan obat (mempermudah proses

pengadaan, penyimpanan, dan distribusi obat pada setiap tingkat pengelola program pemberantasan TB).

Mengurangi kesalahan penggunaan obat TB (monoterapi) sehingga mengurangi resistensi terhadap obat TB. Mengurangi kemungkinan kegagalan pengobatan dan

terjadinya kekambuhan. Mempercepat dan mempermudah pengawasan menelan obat sehingga dapat mengurangi beban kerja. Mempermudah penentuan dosis berdasarkan BB.

Berikut ini merupakan rumusan mengenai FDC pada anak yang telah dibuat oleh Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI :

Tabel 2.5. Dosis Kombinasi pada Tuberkulosis Anak Berat Badan (kg) 2 bulan RHZ (75/50/150 mg) 59 10 14 15 19 20 - 32 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet 4 bulan RH (75/50 mg) 1 tablet 2 tablet 3 tablet 4 tablet

( Sumber : Unit Kerja Koordinasi Respirologi PP IDAI, 2010 )

Catatan : Bila BB > 33 kg, dosis disesuaikan dengan Tabel 2.4. ( perhatikan dosis maksimal ). Bila BB < 5 kg, sebaiknya dirujuk ke RS. Obat tidak boleh diberikan setengah dosis tablet. Perhitungan pemberian tablet di atas sudah memperhatikan kesesuaian dosis per kgBB.

Tabel 2.6. Dosis Kombinasi tetap berdasarkan WHO Berat Badan (kg) Fase Inisial (2 bulan) <7 89 10 14 15 19 20 24 25 29 1 1,5 2 3 4 5 1 1,5 2 3 4 5 R:9-20mg,H:4-10mg,Z:21-50mg R:8-9mg,H:5-5,6mg,Z:19-22mg R:11-12mg,H:4,3-6mg,Z:21-30mg R:9,4-12mg,H:4,3-6mg,Z:16-30mg R:10-12mg,H:5-6mg,Z:25-30mg R:10,3-12mg,H:5-6mg,Z:15-30mg Fase Lanjutan (4 bulan) Kisaran Dosis

( Sumber : Respirologi anak IDAI, 2010 )

Catatan : R : Rifampisin H : Isoniazid Z : Pirazinamid

Evaluasi hasil Pengobatan Evaluasi terhadap hasil pengobatan dilakukan kontrol setiap bulan ditujukan untuk menilai perkembangan hasil terapi, memantau timbulnya efek samping obat. Evaluasi pengobatan pada pasien anak sangat penting biasanya dilakukan dengan cara yaitu evaluasi klinis, evaluasi radiologis, dan pemeriksaan LED. Evaluasi klinis dilakukan untuk menilai menghilang atau membaiknya kelainan klinis yang sebelumnya ada pada awal pengobatan, misalnya penambahan berat badan yang bermakna, hilangnya demam, hilangnya batuk, perbaikan nafsu makan, dan lain lain (Respirologi anak, 2010). Adapun evaluasi radilogis dalam 2 3 bulan pengobatan tidak perlu dilakukan secara rutin kecuali pada TB dengan kelainan radiologis yang nyata/luas seperti pada TB milier, efusi pleura TB, atau bronkopneumonia TB. Pada pasien TB milier, foto toraks perlu diulang setelah 1 bulan untuk evaluasi

pengobatan, sedangkan pada efusi pleura TB pengulangan foto toraks dilakukan setelah 2 minggu. Pemeriksaan Laju endap darah (LED) dapat digunakan sebagai sarana evaluasi bila pada awal pengobatan nilainya tinggi (Respirologi anak, 2010). Setelah dilihat dalam 2 bulan respon kurang baik, dengan gejala yang masih menetap seprti tidak terjadi penambahan berat badan, maka OAT tetap diberikan sambil dilakukan evaluasi lanjut dari hasil yang tidak menunjukan perbaikan. Kemungkinan terjadi misdiagnosis, mistreatment, atau resistensi terhadap OAT. Pasien yang mendapatkan perawatan di pelayanan kesehatan terbatas dapat merujuk ke sarana pelayanan yang lebih tinggi atau kepada konsultan respirologi anak. Evaluasi yang dilakukan meliputi evaluasi kembali diagnosis, ketepatan dosis OAT, keteraturan dalam menelan obat, melihat kemungkinan adanya penyakit penyerta serta evaluasi asupan gizi. Setelah pengobatan selama kurun waktu 6 12 bulan dan terlihat terdapat perbaikan klinis, pengobatan dapat dihentikan, dan evaluasi radiologis tidak perlu dilakukan secara rutin di akhir pengobatan. Pengobatan TB selama 6 bulan betujuan untuk meminimalisasi residu subpopulasi persister M. tuberculosis ( tidak mati dengan obat obatan ) yang bertahan dalam tubuh, dan mengurangi secara bermakna kemungkinan terjadinya relaps (Respirologi anak, 2010).

Putus obat Pasien TB dikatakan putus obat bila berhenti menjalani pengobatan selama 2 minggu. Setelah itu baru akan di evaluasi kembali mengenai sudah berapa lama menjalani pengobatan, evaluasi keadaan klinis pasien dan berapa lama obat telah terputus, baru pasien akan dirujuk untuk mendapatkan penanganan selanjutnya (Respirologi anak, 2010).

Multi-drug Resistance ( MDR ) Multi-drug Resistance adalah suatu keadaan resistensi ganda yang menunjukan M.tuberculosis resisten terhadap rifampisin dan isoniazid dengan atau tanpa OAT lainnya ( Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2006 )

Beberapa penyebab terjadinya resistensi terhadap obat tuberkulosis, yaitu (Perhimpunan Donter Paru Indonesia, 2006) : Pemakaian obat tunggal dalam pengobatan tuberkulosis. Penggunaan paduan obat yang tidak adekuat, yaitu jenis obatnya yang kurang atau di lingkungan tersebut telah terdapat resistensi yang tinggi terhadap obat yang digunakan, misalnya memberikan rifampisin dan isoniazid saja pada daerrah dengan resistensi terhadap kedua obat tersebut sudah cukup tinggi. Pemberian obat yang tidak teratur, misalnya hanya dimakan dua atau tiga minggu lalu stop, setelah dua bulan berhenti kemudian berpindah dokter dan mendapat obat kembali selama dua atau tiga bulan lalu stop lagi. Fenomena addition syndrome: (Crofton, 1987), yaitu suatu obat ditambahkan dalam satu paduan pengobatan yang tidak berhasil. Bila kegagalan itu terjadi karena kuman TB telah resisten pada paduan yang pertama, maka penambahan atau addition satu macam obat hanya akan menambah panjang daftar obat yang resisten. Penggunaan obat kombinasi yang pencampurannya tidak dilakukan secara baik, sehingga mengganggu bioavailabilitas obat. Penyediaan obat yang tidak reguler, kadang obat datang ke suatu daerah terhenti pengirimannya sampai berbulan bulan. Pemakaian obat antituberkulosis cukup lama, sehingga menimbulkan kejemuan. Pengetahuan pasien kurang tentang penyakit TB.

Secara umum resistensi terhadap obat tuberkulosis dibagi menjadi (Perhimpuna Dokter Paru Indonesia, 2006) : Resistensi primer ialah apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapatkan pengobatan TB. Resistensi inisial ialah apabila kita tidak tahu pasti apakah pasiennya sudah pernah ada riwayat pengobatan sebelumnya atau tidak.

Resistensi sekunder ialah apabila pasien telah punya riwayat pengobatan sebelumnya.

Menurut WHO, MDR yang terjadi bila pengendalian TB tidak benar prevalensinya mencapai 5,5 % sedangkan dengan pengendalian yang benar yaitu dengan menerapkan strategi directly observed treatment shortcourse (DOTS), maka prevalensi MDR-TB hanya 1,6 % ( Respirologi anak, 2010).

Penatalaksanaan MDR-TB Tabel. 2.7. Daftar Obat Antituberkulosis Lini Kedua untuk MDR-TB Nama obat Dosis harian (mg/kgBB/hari) Ethionamide Prothionamide atau 15 - 20 Dosis maksimal (mg per hari) 1000 Muntah, gangguan gantrointestinal* ,sakit sendi Fluoroquinolones** Ofloxacin Levofloxacin Moxifloxacin Gatifloxacin Ciprofloxacin 15 20 7,5 10 7,5 10 7,5 10 20 30 800 1500 Efek samping

Aminoglycosides Kanamycin Amikacin capreomycin Cycloserin terizidone 15 30 15 22,5 15 - 30 10 -20 1000 1000 1000 1000

Ototoksisitas, toksisitas hati

Gangguan psikis, gangguan neurologis

Para-aminosalicylic acid

150

12000

Muntah, gangguan

gastrointestinal ( Sumber : Respirologi anak IDAI, 2010 )

Catatan : * dapat ditanggulangi dengan dosis terbagi. ** meskipun belum disetujui untuk anak tetapi kalau sangat diperlukan dapat diberikan dengan mengabaikan efek samping.

II.4. Status Gizi II.4.1. Definisi Status Gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan penggunaan zat zat gizi (Almatsier, 2006). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu (Supariasa, 2001). Status gizi adalah keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh (Adriani, 2012)

II.4.2. Penilaian status gizi Penilaian status gizi merupakan proses pemeriksaan keadaan gizi seseorang dengan cara mengumpulkan data penting, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, untuk kemudian dibandingkan dengan baku yang telah tersedia (Arisman, 2009). Penilaian status gizi terbagi menjadi dua cara pengukuran yaitu penilaian status gizi secara langsung yang dibagi kedalam empat penilaian yaitu antropometri, klinis, biokimia, dan biofisik. Sedangkan penilaian status gizi secara tidak langsung dibagi menjadi tiga kelompok penilaian yaitu survei konsumsi makanan, statistik vital dan faktor ekologi (Supariasa, 2001).

II.4.2.1. Penilaian Status Gizi secara Langsung 1. Antropometri

Secara umum antropometri artinya ukuran tubuh manusia (Supariasa, 2001). Antropometri adalah ukuran dari berbagai macam dimensi tubuh manusia yang relatif berbeda beda menurut umur, jenis kelamin, dan keadaan gizi (Adriani, 2012). Ditinjau dari sudut pandang gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi (Supariasa, 2001). Antropometri sebagai indikator status gizi dapat dilakukan dengan mengukur beberapa parameter. Parameter antropometri merupakan dasar dari penilaian status gizi. Kombinasi antara beberapa parameter disebut indeks antropometri. Beberapa indeks antropometri yang sering digunakan yaitu Berat Badan menurut Umur (BB/U), Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), dan Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB).

a. Indeks Berat Badan menurut Umur (BB/U) Indeks ini merupakan pengukuran antropometri yang sering digunakan sebagai indikator dalam keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan kebutuhan zat gizi terjamin. Berat badan merupakan salah satu parameter yang memberikan gambaran massa tubuh. Berat badan memberikan gambaran tentang massa tubuh (otot dan lemak) (Supariasa, 2001). Berat badan merupakan hasil peningkatan (penjumlahan) seluruh jaringan tulang, otot, lemak, cairan tubuh dan lain lain (Adriani, 2012). Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan perubahan yang mendadak, misalnya terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan, dan menurunnya jumlah makanan yang dikonsumsi. Karakteristik berat badan yang labil, maka indeks ini lebih menggambarkan status gizi seseorang saat ini (current nutritional status).

b. Indeks Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Indeks

ini

merupakan

pengukuran

antropometri

yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal, indeks ini memberikan gambaran status gizi masa lampau yang juga erat kaitannya dengan status sosio ekonomi (Supariasa, 2001) . Tinggi badan memberikan gambaran pertumbuhan tulang yang sejalan dengan pertambahan umur, tidak banyak terpengaruh oleh perubahan yang mendadak, karena tinggi badan merupakan hasil pertumbuhan secara akumulatif semenjak lahir (Adriani, 2010). c. Indeks Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB) Indeks ini menjelaskan bahwa berat badan memiliki hubungan yang linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu serta merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang) (Supariasa, 2001).

II.2. Kerangka Teori

Kondisi Gizi Buruk Pada Balita

Asupan Nutrisi Makanan tidak Seimbang

Penyakit Infeksi Tuberkulosis Paru

Tidak Cukup Persediaan Pangan

Pola Asuh Anak tidak Memenuhi

Sanitasi dan Air Bersih/ Yankes Dasar tidak memenuhi

Tingkat Pendidikan, Pengetahuan, dan Keterampilan

Kurang Pemberdayaan Wanita dan Keluarga, Kurang Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat

Pengangguran, Inflasi, Kurang Pangan, dan Kemiskinan

Krisis Ekonomi , Sosial, dan Politik

( Sumber : Soekirman, 2000, dengan modifikasi )

II.3. Kerangka Konsep

Variabel Bebas Variabel Terikat Faktor Langsung Penyakit Kronis ( TBC ) Gizi Buruk pada Balita Faktor tidak Langsung Pendidikan Ibu

II.3. Hipothesis Penelitian

II.3.1. Terdapat hubungan antara Pendidikan Ibu dengan Kejadian Gizi Buruk pada Balita. II.3.2. Terdapat hubungan antara Infeksi Penyakit Tuberkulosis Paru dengan Kejadian Gizi Buruk pada Balita.

Anda mungkin juga menyukai