Anda di halaman 1dari 21

KHILAFAH : PEMERINTAHAN YANG KUAT,

MAMPU MENYELESAIKAN SELURUH PROBLEM BANGSA

I. PENDAHULUAN

1.1. PERSOALAN IDEOLOGI

Bicara negara-bangsa (nation state), terdapat 4 (empat) kategori yaitu kuat; lemah
(weakstate); gagal (failedstate); dan runtuh (collapsedstate). Negara lemah merupakan calon
potensial kegagalan negara. Adapun negara gagal atau hancur merupakan tahap akhir dari kegagalan
negara. Sebuah negara terkategori gagal, apabila gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan
baik. Bagaimana sindrom negara yang gagal itu antara lain bisa dilihat dari beberapa indikator
sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom negara gagal antara lain: keamanan rakyat tidak
bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus
menipis, pemerintah tidak berdaya dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan rawan terhadap
tekanan luar negeri. (Kompas, 9/6/2005). Kita bisa mencermati kondisi negara Indonesia pada saat
ini apakah memiliki sindrom sebagai negara yang gagal?!. Lalu bagaimanakah sebuah negara
mampu menjadi negara yang kuat dan mandiri?
Pada saat ini, Amerika dan Eropa merupakan negara yang kuat dan berpengaruh di dunia,
serta Rusia pernah menjadi negara kuat dan berpengaruh di dunia. Kenapa? Karena negara tersebut
menegakkan pemerintahan yang didasarkan pada pemikiran mendasar, dan seluruh problem yang
dihadapi oleh negara diselesaikan dengan peraturan dan perundang-undangan yang muncul dari
pemikiran tersebut. Amerika dan Eropa menegakkan pemerintahannya berdasarkan pemikiran
sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), sementara Rusia berdasarkan pemikiran materi dan
perubahan (evolusi materi).
Demikian juga dengan Negeri Arab pernah kuat, berpengaruh di dunia bahkan menjadi
adidaya karena menegakkan pemerintahan berdasarkan pemikiran Islam yaitu Aqidah Islam.
Negara tersebut dibangun atas landasan Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah, kemudian
mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dengan berbagai aspek kehidupan -baik
ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun ketahanan keamanan- dengan aturan yang bersandar pada
pemikiran Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah –yaitu Syari’at Islam.
Pemikiran mendasar dan seluruh peraturan cabang yang lahir dari pemikiran tersebut disebut
sebagai ideologi. Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang
melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi
turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi
(mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (pemikiran mendasar) yang melahirkan
sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pemikiran mendasar
dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1)
materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam. Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai
manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan
dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain
1
Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi
seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam
berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Ideologi, menjadi suatu keniscayaan untuk mewujudkan negara yang kuat, mandiri,
berpengaruh apalagi adidaya. Seluruh urusan dan problema yang muncul di dalam negara akan
diselesaikan dengan aturan yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut. Hal ini menutup semua
celah intervensi dari pihak luar negara, baik berupa kebijakan maupun perundang-undangan.
Negara tersebut juga mempunyai misi untuk mengurusi masalah di luar negaranya (internasional)
dengan ideologi yang dianutnya. Dengan kata lain, negara tersebut akan mengemban ideologinya ke
seluruh dunia, sehingga akan senantiasa meluaskan wilayah dan pengaruhnya di dunia internasional.
Dengan demikian suatu negara yang menganut ideologi tidak akan menjadi negara pengekor, namun
akan menjadi negara mandiri bahkan akan menjadi negara yang berpengaruh dalam dunia
internasional. Jadilah dia negara yang kuat dan bisa merintis menjadi negara nomor satu di dunia.
Indonesia bisa dikatakan negara yang berideologi sekular. Alasannya, melihat kenyataan di
lapangan, negeri ini sudah sedemikian bergantungnya pada sistem sekularisme yang merupakan
‘akidah’ dari kapitalisme. Dengan alasan pluralitas yang ada di Indonesia, hampir semua
permasalalahan yang dihadapi bangsa ini, dalam berbagai aspek, tidak diselesaikan dengan
penyelesaian yang bersumber dari agama manapun. Aturan agama dibelenggu, tidak boleh mengatur
urusan publik, dan hanya mengatur urusan individu dengan Tuhannya. Padahal terdapat agama
yang mengatur seluruh urusan manusia baik, privat maupun publik, baik individu, masyarakat
maupun negara yang secara konsep maupun faktual, bisa diterapkan dalam kondisi bangsa
Indonesia yang plural. Masyarakat kita pun sudah terbiasa dengan gaya kehidupan masyarakat
sekular yang berciri utama kebebasan dan tidak melibatkan agama dalam penyelesaian problem
kehidupan. Ini merupakan tabiat utama sekularisme. Itu sebabnya, pantas jika sekularisme disebut
sebagai ‘akidah’ yang meminggirkan kedaulatan Ilahi demi kepentingan manusia.
Titik lemah sekularisme, kita bisa melihat produk sistem kehidupan buatan manusia ini.
Kegagalan demi kegagalan senantiasa menjadi bukti betapa lemahnya sistem ini untuk mengatur
kehidupan umat manusia. Lihatlah angka kriminalitas yang meningkat tajam, ekonomi yang carut-
marut, bahkan bidang politik dan keamanan negara yang semrawut. Ideologi ini sudah cacat sejak
lahir. Betapa tidak, ‘kenekatannya’ untuk ngotot memisahkan agama dari negara adalah sebuah
kekeliruan terbesar yang dilakukan para penggagas sekularisme.

1.2. MABDA ISLAM SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA


Islam adalah agama dan ideologi, ajarannya mengandung aqidah dan
syari’ah/sistem/peraturan. Aqidah Islam yang dimaksud adalah keimanan kepada Allah swt,
Malaikat, Rasul, Kitab, Hari Kiamat serta Qadha’ dan Qadar. Sedangkan syari’ah adalah kumpulan
hukum yang mengatur seluruh urusan manusia.
Keimanan kepada eksistensi Allah swt, Muhammad adalah Rasulullah, Al Qur’an adalah
kalamullah serta Qadha dan Qadar dapat diyakini secara rasional. Sementara keimanan kepada
Malaikat dan Hari Kiamat dapat diyakini melalui Al Qur’an yang sudah diyakini secara rasional.

2
Keyakinan yang diperoleh secara rasional seperti ini akan memberikan pengaruh yang dahsyat pada
manusia, yakni kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dan hanya tunduk kepada aturan Sang
Pencipta. Seperangkat aturan yang dilahirkan dari aqidah Islam mencakup seluruh aktivitas
manusia beserta seluruh hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan Allah, atau dengan
dirinya sendiri maupun hubungan manusia dengan sesamanya.
Kelengkapan dan kesempurnaan aturan Islam yang bisa menyelesaikan seluruh problem
yang muncul di tengah masyarakat maka sangat layak Islam dijadikan sebagai ideologi negara.
Sebagai ideologi negara Islam sangat unggul dibanding ideologi lain (kapitalisme dan komunisme-
sosialisme). Salah satu keunggulan itu adalah hukum-hukum dalam ideologi Islam dibuat oleh
Dzat diluar manusia (Sang Pencipta) yang Maha Tahu tentang seluk beluk manusia. Dengan
demikian akan menutup celah lahirnya hukum-hukum yang memihak pada kepentingan sebagian
manusia dan menindas sebagian manusia yang lain. Sehingga tidak terdapat peluang untuk
membuat undang-undang negara yang bersumber dari otak manusia, yang dipergunakan untuk
mengatur seluruh hubungan manusia. Begitu pula tidak ada peluang bagi penguasa untuk memaksa
rakyat atau memberikan alternatif kepada rakyat aturan yang bersumber dari penguasa. Seperti
yang kita lihat pada saat ini.....
Negara Islam yang berideologi Islam inilah yang disebut Khilafah yang merupakan
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Satu-satunya bentuk
pemerintahan dalam Islam hanyalah Khilafah, yang merupakan sistem yang khas, bukan sistem
monarchi (dimana singgasana kerajaan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya),
bukan sistem kekaisaran (sistem yang tidak menganggap sama antara ras satu dengan lainnya
dalam pemberlakuan hukum), bukan sistem republik (sistem dimana kedaulatan ada ditangan
rakyat, rakyat yang membuat aturan dan menentukan penguasa), bukan juga sistem federasi (sistem
yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri dan bersatu dalam
pemerintahan secara umum).
Khilafah merupakan Negara Islam ideologis, sama dengan negara ideologis lainnya
semacam Amerika Serikat dan Inggris Raya. Sistem pemerintahannya diturunkan dari pandangan
hidup negara. Bagi Khilafah, pandangan hidupnya adalah akidah Islam, yang kemudian
melahirkan hukum syari’at, yang mengatur urusan kehidupan. Bagi negara semacam AS dan
Inggris, pandangan hidupnya dilandaskan pada sekulerisme, yang kemudian melahirkan sistem
demokrasi dan sistem ekonomi Kapitalis, yang menjadi terpenting dari ideologi mereka dan karena
itulah mereka disebut sebagi bangsa-bangsa kapitalisme.
Walau negara khilafah berlandaskan pada ideologi Islam, tidak berarti semua yang hidup di
bawah naungan negara ini harus beragama Islam. Kewarganegaraan dalam konsep Negara
Khilafah didasarkan pada seseorang yang hidup secara permanen di wilayah negara terlepas dari
apapun agama dan etnisnya.
Setiap negara yang tunduk dan menjalankan nilai-nilai Islam sebagai kewajibannya
terhadap negara tidak harus beragama Islam. Umat Islam yang hidup di luar wilayah Negara
Khilafah tidak secara otomatis memiliki hak kewarganegaraan.

3
Berkenaan dengan banyaknya aliran ataupun madhab yang ada di tengah umat Islam
misalnya Syiah dan Sunni, mungkin muncul pertanyaan, apakah khilafah akan mengadopsi salah
satu mazhab dan memaksakannya pada semua orang?
Khilafah hanya menetapkan hukum perundang-undangan yang bersumber dari Syaria’t
Islam untuk mengatur urusan publik. Khilafah tidak menetapkan aturan-aturan yang berhubungan
dengan masalah ibadah, kecuali dalam hal zakat dan jihad karen dampak sosial yang dituntutnya.
Khilafah juga tidak menetapkan mazhab tertentu yang berhubungan dengan akidah Islam. Setiap
muslim terlepas dari mazhab apapun yang dianutnya, dibebaskan untuk mempraktekkan
keyakinannya tanpa adanya intervensi dari negara.
Pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah saw juga, tidak semuanya beraqidah Islam,
namun di dalamnya juga ada Yahudi, Nasrahi dan Musyrik. Namun semuanya tunduk kepada
aturan Islam yang terkait kehidupan publik. Aturan ini tidak bertentangan dengan akidah Nashrani
dan Yahudi serta Musyrik, karena keyakinan mereka hanya mengatur masalah ibadah ritual mereka,
sementara aturan kehidupannya bisa diatur dengan yang lain termasuk dari Islam. Sehingga asumsi
bahwa penerapan aturan Islam akan menimbulkan perpecahan, terbantahkan.

II. SISTEM KHILAFAH ADALAH SISTEM YANG KUAT

Sistem khilafah merupakan sistem yang kuat yakni memiliki kekuatan penuh untuk
menjalankan fungsinya semata-mata sebagai penerap ideologi Islam kepada seluruh warganya.
4
Dengan aturan-aturan yang lahir dari ideologi Islam inilah, Khilafah akan mengurusi dan melayani
seluruh urusan warganya. Dengan kata lain Khilafah akan mempunyai kekuatan untuk mengayomi
warganya dengan hanya aturan Islam semata yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar,
terjamin keamanan, terpelihara aqidah dan terjamin penyelesaian problem rakyat dan penguasa.
Kenapa system menjadi kuat? Karena tata aturan / mekanisme system sudah ditetapkan oleh
hukum syara’ bukan ditentukan oleh subyek/obyek kebijakan. Sistem sekuler yang menerapkan trias
politika merupakan sistem yang rapuh, karena tata aturan / mekanisme sistem diserahkan kepada
obyek kebijakan, sementara pemerintah hanya fasilitator sehingga banyak ganjalan sistemik (baca :
tarik-menarik kepentingan) dalam mengurusi/melayani umat.
Faktor yang mempengaruhi kekuatan sebuah sistem bisa dilihat dari siapakah yang
memenuhi persyaratan menjadi pemimpin, bagaimana mekanisme pengangkatan kepala negara dan
pembantunya, masa jabatan kepala negara, tugas dan wewenang kepala negara dan hubungan pusat
dan daerah.

2.1. Kepastiam Hukum

Hukum-hukum yang berlaku dalam Khilafah hanyalah hukum-hukum Allah SWT dan
Khalifah dipilih hanya untuk menjalankan hukum-hukum tersebut. Syara’ memberikan wewenang
untuk menetapkan hukum hanya kepada Khalifah seorang. Namun tidak seperti raja atau diktator,
seorang Khalifah tidak memiliki hak untuk menetapkan hukum perundang-undangan berdasarkan
keinginannya sendiri atau berdasarkan kepentingan keluarga atau kelompoknya. Syara’ telah
menentukan bahwa hukum syari’at yang ditetapkan oleh Khalifah harus bersumber dari sumber-
sumber yang sudah terbukti asalnya dari Allah SWT, yakni al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ sahabat dan
Qiyas (analogi).
Khalifah juga tidak bisa menggunakan dalil hanya untuk melegalkan UU sesuai
keinginanya, karena selain menetapkan sumber-sumber hukum syariat, Syara’ juga menetapkan juga
proses yang shahih untuk menurunkan hukum-hukum tersebut yang disebut sebagai istinbath.
Selain itu khalifah juga dibatasi oleh aturan yang harus ia tetapkan dan metode istinbath yang ia
pilih dalam menetapkan aturan.
Syara’ sudah menetapkan syarat in’iqad bagi khalifah adalah kapabel untuk menjalankan
tugas ini walaupun khalifah tidak harus seorang mujtahid. Apabila seorang khalifah bukan seorang
mujtahid, ia bisa mengangkat seorang yang ahli di bidang syari’at, seperti ekonomi, pemerintahan,
sosial atau kesehatan untuk membantunya untuk menggali hukum untuk ditetapkan sebagai
perundang-undangan dalam negara Khilafah.
Dalil-dalil yang dijadikan landasan legislasi hukum oleh Khalifah harus dituliskan dalam
pembukaan UU dan UUD. Hal ini akan memberikan peluang yang luas bagi siapapun untuk
mengontrol apakah legislasi khalifah masih bersumber dari hukum-hukum Allah ataukah sudah
keluar. Sistem pendidikan Khilafah akan mencetak warga negara yang mempunyai kemampuan
untuk mengontrol legislasi khalifah apakah masih konsisten bersumber dari Allah SWT ataukah

5
sudah keluar dari hukum Allah SWT. Demikian juga partai politik mempunyai kemampuan untuk
mengontrol Khalifah
Dan secara institusional Dewan Umat (Majelis al-Ummah) dan Mahkamah Tertinggi
(Mahkamah Mazalim) akan mengawasi seluruh hukum perundang-undangan yang ditetapkan
Khalifah untuk memastikan hukum perundang-undangan tersebut sejalan dengan sumber-sumber
hukum Islam dan metodologi negara. Mahkamah Mazalim memiliki kekuasaan untuk membuang
hukum perundang-undangan yang tidak melalui proses yang telah ditetapkan itu.
Dengan demikian, Khilafah menjamin perundang-undangan yang diberlakukan dalam
negara Khilafah adalah hukum yang berasal dari Allah SWT, tidak ada peluang bagi siapapun untuk
campur tangan menentukan perundang-undangan sesuai dengan keinginannya. Sehingga Khilafah
menjamin terselenggaranya pengurusan urusan bangsa dengan hukum-hukum Allah. Hukum ini
berlaku bagi siapapun, baik Khalifah sendiri yang menetapkan hukum maupun bagi warga negara
Khilafah. Tidak ada kebal hukum dan tidak ada yang bisa mempermainkan hukum sesuai
kepentingan dan keinginannya.
Sangat berbeda dengan Khilafah, di dalam sistem sekuler tidak ada kepastian hukum yang
jelas, karena hukum bisa dibuat sesuai dengan kepentingan pemodal. Wewenang untuk menetapkan
hukum diberikan kepada parlemen, yang dipilih melalui jalur partai. Pada faktanya, aspirasi
anggota parlemen –baik laki-laki maupun perempuan- akan ditentukan oleh partainya, sementara
dalam menjalankan akivitas partai saat ini diperlukan dana yang tidak sedikit. Sehingga
keberlangsungan partai sangat tergantung kepada pemodal. Disinilah para kapital mempunyai peran
kuat untuk menentukan perundang-undangan yang dibuat agar mendukung kepetingannya.
Mekanisme ini telah membuat perundang-undangan yang dihasilkan tidak lagi memihak kepada
kepentingan rakyat, namun lebih memihak kepentingan pemodal. Di Indonesia bisa kita lihat UU
Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan yang lebih memihak kepada kepetingan
para kapital.
Proses penetapan hukum dalam sistem sekuler sangat memungkinkan ditetapkannya hukum
sesuai kepentingan tertentu. Dengan alasan agar tidak otoriter, proses penetapan hukum dilakukan
dengan jalan persidangan yang panjang dan melelahkan di parlemen, padahal pada faktanya draft
dari RUU yang dibahas hanya berasal dari 3 sampai 4 orang. Ditambah lagi, anggota parlemen
tidak cukup waktu untuk mencari sumber-sumber referensi atau data-data dalam mendiskusikan
perundang-undangan, karena waktunya habis untuk mengikuti persidangan.

2.2. Syarat-syarat Khalifah


Khalifah dipilih untuk menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Seorang Khalifah harus
memenuhi tujuh persyaratan agar dirinya sah diangkat sebagai pemimpin Khilafah. Jika salah satu
saja tidak terpenuhi, maka dia tidak bisa memegang amanah sebagai Khalifah. Kualifikasi khalifah
ditentukan oleh Syara’, bukan dibuat oleh para calon khalifah, para pendukungnya ataupun
keinginan rakyatnya. Ketujuh syarat tersebut adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil,
merdeka dan kompeten (An-Nabhani, 2002). Syarat tersebut mengarah bahwa seorang khalifah
harus memiliki integritas yang tinggi sebagai hamba Allah dan konsisten menjalankan agamanya
serta memiliki kemampuan untuk mengurusi urusan umat berdasarkan Kitab dan As Sunnah.
6
Pelanggaran atas salah satu dari ketujuh syarat wajib ini dapat berujung pada impeachment terhadap
Khalifah dan penghentian sang Khalifah dari jabatannya, kecuali bila pelanggaran tersebut
diperbaiki oleh Sang Khalifah. Sebagai contoh, bilamana terbukti bahwa Khalifah yang sedang
menjabat gemar meminum alkohol atau gemar main perempuan, maka ini berarti sang Khalifah
ialah seorang yang fasik –sebuah sifat yang bertentangan dengan syarat adil. Persyaratan wajib bagi
Khalifah ini bersifat tetap dan tidak bisa dikurangi ataupun dirubah sesuai dengan kepentingan. Hal
ini tentu akan menjamin negara dipimpin oleh seseorang yang senantiasa menjalankan Al Al Kitab
dab As Sunnah dan menutup celah untuk menaikkan dan menurunkan kepala negara sesuai
keinginan kelompok, partai atau pemilik modal.
Bertolak belakang dengan Khilafah, syarat kepala negara yang ada di Indonesia dan
kebanyakan negara pada saat ini yang tidak ada standar baku dan membuka peluang lebar untuk
berubah sesuai dengan kepentingan. Bahkan tercantum di dalam UUD 1945 BAB III Pasal 6 (2),
bahwa syarat-syarat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden diatur lebih lanjut dengan UU. Hal
ini membuka peluang lebar untuk menaikkan dan menurunkan Kepala Negara yang sesuai dengan
kepentingan kelompok, partai atau pemilik modal. Menilik anggota DPR yang dicalonkan oleh
partai (lihat UU Susduk DPR MPR). Dan partai yang didanai oleh para kapital. Para pemilik modal
mempunyai peluang lebar untuk menaikkan dan menurunkan kepala negara, bukan mengurus
kepentingan warganya.
Misalnya apa yang terjadi ketika masa kampanye Megawati, terjadi polemik tentang
Presiden Perempuan. Demikian juga ketika Abdurrahman Wahid akan menjabat sebagai Presiden,
maka terjadi kontroversi masalah syarat kapabilitas bagi Presiden. Masing-masing berpendapat
sesuai dengan kepentingannya. Bagi yang berkepentingan Gus Dur tetap menjabat, maka akan
berpendapat bahwa Gus Dur memenuhi persyaratan sebagai Presiden, demikian sebaliknya.
Demikian juga apa yang terjadi saat ini, pada RUU PilPres yang akan dibahas April ini telah
terjadi polemik persyaratan sarjana. Sebelumnya, UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden Bab II Pasal 6 mencantumkan persyaratan bagi calon Presiden
dan Capres salah satunya adalah berpendidikan serendah-rendahnya SLTA atau yang sederajat
bukan sarjana. Hal ini tentu saja menjadi pro kontra antar partai politik sesuai dengan
kepentingannya.

2.3. Mekanisme pengangkatan pemimpin


Khalifah bukan seorang raja atau diktator yang memegang kekuasaan atas rakyat melalui
paksaan atau kekuatan. Juga bukan seorang nabi atau rasul yang ditunjuk berdasarkan wahyu.
Namun Khalifah adalah orang yang mewakili umat dalam menjalankan pemerintahan, kekuasaan
dan penerapan hukum syari’ah. Islam menjadikan pemerintahan dan kekuasaan sebagai milik
rakyat.
Mekanisme pengangkatan Khalifah menjamin Khalifah yang terpilih mendapat dukungan
penuh dari rakyat dan representasi orang-orang kepercayaan dari umat. Pada tahap awal diusulkan
sejumlah kandidat Khalifah dilakukan pemilihan oleh umat. Pemilihan dilakukan oleh umat bisa
dilakukan secara langsung maupun tidak lansung. Pemilihan tidak langsung dilakukan melalui
ahlul hali wal aqdi atau majelis umat. Pemilihan dilakukan dua putaran, batasan jumlah kandidat
7
pada putaran pertama 6 orang dan pada putaran kedua 2 orang. Setelah terpilih satu orang,
kemudian dilakukan bai’at pengangkatan (in’iqad) ahlul hali wal aqdi dilanjutkan bai’at thaat oleh
rakyat.

Penyerahan jabatan Kekhilafahan kepada Khalifah untuk memerintah diberikan berdasarkan


kerelaan umat Islam melalui kontrak kekuasaan politik Islam yang dinamakan bai’at. Tanpa
memperoleh bai’at, seorang khalifah tidak dapat memerintah.
Bai’at dilaksanakan atas dasar keridhaan dan pilihan bebas. Namun pilihan rakyat ini
terbatas pada orang-orang yang memenuhi tujuh persyaratan yang telah ditentukan oleh
Syara’(syarat in’iqod). Hal ini berarti orang yang dibai’at merupakan orang yang diijinkan oleh
Sang Pencipta untuk memimpin, bukan atas ijin dan kerelaan rakyat secara mutlak. Kalau rakyat
rela seseorang menjadi khalifah namun tidak memenuhi tujuh persyaratan wajib (telah disebutkan
sebelumnya) maka bai’at tersebut tidak sah. Namun rakyat diberikan kebebasan pilihan untuk
membai’at orang yang memenuhi tujuh syarat wajib.
Bai’at ini, bagi Khalifah mengandung makna mengamalkan Kitabullah dan Sunnah
RasulNya, sedangkan bagi yang memberikan bai’at mengandung makna kesanggupan untuk
menaati Khalifah dalam keadaan sulit atau lapang, disenangi atau tidak disenangi. Selama Khalifah
memerintah sesuai dengan Kitabullah da Sunnah RasuNya, maka rakyatpun harus memenuhi
kewajibannya yakni mematuhi segala perintahnya dengan menjabat tanganya dan dengan segenap
jiwa raganya.
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
Artinya : “Siapapun yang membai’at seorang Imam, dengan memberikan tangan kepadanya, dengan
segenap jiwanya, maka ia wajib mematuhi Imamnya selama ia mampu melakukannya, dan bilama
ada orang lain yang ingin mengambilalih kekuasaannya (Khalifah tersebut) penggallah leher orang
itu.
Juga setelah sempurna bai’at pengangkatan (bai’at in‘iqod), dilanjutkan dengan bai’at to’at
oleh mayoritas rakyat. Bagi Khalifah bai’at tho’at ini adalah legitimasi penuh dari rakyat atas
kepemimpinannya dan mulai saat itu juga dia menjadi imam yang mengurusi urusan seluruh
rakyatnya, dengan meninggalkan identitas partainya. Sementara maknanya bagi rakyat adalah
komitmen penuh untuk siap bertanggungjawab mengoreksi Khalifah meskipun nyawa menjadi
resikonya. Rasulullah saw bersabda :
Artinya : “Pemimpin syuhada ialah hamzah bin Abdul Mutthalib dan seseorang yang berdiri
menentang penguasa yang zalim dan ia terbunuh karenanya.”
Sementara para muawin (pembantu khalifah) dipilih langsung oleh khalifah, sehingga
Khalifah bisa memilih orang yang memang bisa membantunya dalam menjalankan amanahnya
sebagai Khalifah. Para pembantu Khalifah diangkat langsung oleh Khalifah, hal ini menjamin
keloyalan para pembantu ini kepada khalifah. Sehingga para pembantu khalifah akan menjalankan
kebijakan khalifah saja. Hal ini akan menjamin kuatnya pemerintahan dalam Khilafah.
Mekanisme seperti ini sekali lagi akan menjamin kuatnya Khalifah untuk memimpin
pemerintahan dan kekuasaan. Dimana mekanisme ini tidak akan kita dapatkan pada sistem yang
lain, yang tidak mengenal mekanisme pengangkatan pemimpin yang menjamin legitimasi dari

8
mayoritas rakyatnya. Mereka mencampuradukkan antara proses pemilihan dan pengangkatan, ini
berakibat pada masyarakat yang tidak merasa memilih kepala Negara yang diangkat akan berlepas
tangan dan mungkin menggugat legitimasi pemimpinnya. Oleh karena itu dikenal ada ‘mosi tidak
percaya’ kepada kepala Negara meskipun tidak ada alasan yang jelas. Apalagi kalau kepala Negara
dikategorikan melanggar hukum. Sementara hukumnya sendiripun bisa dimainkan tergantung
kepentingan.
Dengan tujuan untuk memperoleh legitimasi rakyatnya, mekanisme pemilihan kepala negara
(presiden) dan wakilnya dilakukan langsung oleh rakyat, demikian pula pemilihan kepada daerah
(gubernur dan wakil, bupati dan wakil). Akhirnya presiden dan wakil presiden tidak satu visi misi
dan tidak satu langkah. Harusnya wewenang penuh presiden. Demikian pula dalam pilkada
(gubernur dan wakil, bupati dan wakil).

Ditentukan popularitas bukan kapabilitas

SBY 45%, (Contoh perolehan suara SBY yang tidak mayoritas ....)

2.4. Masa Jabatan Khalifah

Masa jabatan Khalifah tidak dibatasi pada dan tidak dibatasi untuk periode tertentu. Selama
khalifah patuh dan menjalankan syari’at dan mampu menjalankan amanat Khilafah, maka ia tetap
menjabat sebagai Khalifah. Ini bisa dilihat dari bukti tekstual yang berkenaan dengan bai’at bersifat
mutlak, tidak dibatasi oleh periode tertentu.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
Artinya :”Dengar dan patuhilah selalu, walau engkau diperintah seorang budak Habsyi yang
kepalanya mirip kismis.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda :”....selama ia memerintahmu berdasarkan
Kitabullah.”
Ditambah lagi, para Khulafaur Rasyidin dibai’at secara mutlak, sesuai tuntunan hadist.
Mereka tidak menjabat Khalifah berdasarkan periode tertentu. Semuanya memegang jabatan
Khalifah hingga mereka wafat, dan ini menjadi kesepakatan umum para shahabat bahwa masa
pemerintahan Khalifah tidak terbatas. Maka bilamana seorang khalifah dibai’at, ia akan tetap
memegang jabatannya hingga ia wafat, berhenti atau diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim,
karena melanggar syarat-syarat baiat atau halangan syar’i.
Masa jabatan memang tidak dibatasi oleh waktu atau masa jabatan, namun Khalifah dapat
diawasi setiap saat oleh institusi negara dan dapat diberhentikan dari jabatannya bila melanggar
bai’at, tanpa mempertimbangkan periode jabatan.
Tanpa adanya pembatasan ini, Khalifah dapat memfokuskan pada perencanaan strategis
pembangunan jangka panjang dan berkelanjutran tanpa terputus daripada perencanaan jangka
pendek sebatas 4 atau 5 tahun saja sebagaimana kita melihat dalam sistem demokrasi. Dengan
demikian khalifah dapat menjalankan fungsinya sebagai pengayom dan pengurus urusan warganya
9
dengan baik yang akan mewujudkan terpenuhinya semua urusan warganya dan akan mengantarkan
kepada kestabilan negara.
Berbeda dengan Khilafah, dengan alasan menjamin tidak otoriter dan diktaktor maka sistem
demokrasi membatasi masa jabatan antara 4 sampai 5 tahun dan dengan dua kali masa jabatan.
Sebagaimana yang kita lihat di Indonesia, dalam UUD 1945 Bab III Pasal 7 kekuasaan Presiden
dibatasi 5 tahun dengan masimaum 2 kali masa jabatan. Hal ini tidak menjamin penguasa yang
kapabel bisa melanjutkan seluruh program dan kebijakannya. Bahkan setiap ganti penguasa pasti
ganti kebijakan (data).
Selama masa jabatan inipun, pada pertama masa jabatannya, kepala negara disibukkan
menyusun program, sosialisasi dan penyusunan kabinet yang yang bisa mewakili kepentingan partai
baik yang memilih maupun yang tidak memilihnya. Tahun terkahir, sudah disibukkan lagi untuk
mempersiapkan pemilihan berikutnya. Maka tinggal beberapa tahun saja yang terhitung efektif bagi
kepala negara untuk mengurusi rakyatnya.
Belum lagi dana keluar per periode bandingkan dengan APBN (data). Pilkada : Kerusuhan,
biaya besar,peluang masuknya intervensi asing. (data)

2.5. Tugas dan wewenang Khalifah


Dalam sistem Khilafah, Khalifah mempunyai wewenang penuh atas pemerintahan.
Walaupun khalifah kemudian melakukan pendelegasian pada beberapa pembantu (mu’awin tafwidl)
untuk membantunya mengatur sektor negara, namun para pembantunya tidak bersifat independen,
mereka bekerja berdasarkan perintah dan pengawasan Khalifah. Ditambah lagi, wewenang khalifah
ini sudah sangat jelas dan bersifat tetap karena lahir dari Syara’. Dengan wewenang penuh itu dia
mampu untuk menjalankan amanah mengurus urusan umat dengan Kitabullah dan as Sunnah,
dengan cepat dan nyata.
Wewenang Khalifah adalah sebagai berikut :
1. Khalifah menetapkan hukum-hukum Allah yang diperlukan dalam mengatur urusan umat.
Hukum-hukum Allah tersebut digali dari ijtihad berdasarkan Kitabullah dan Sunnah RasulNya.
Hukum-hukum Allah tersebut berlaku sebagai bingkai hukum yang wajib ditaati dan seorang pun
tidak boleh melanggarnya.
2. Khalifah bertanggung jawab atas berbagai kebijakan dalam dan luar negeri. Khalifah merupakan
panglima tertinggi segenap angkatan bersenjata negara dan memiliki kewenangan penuh untuk
menyatakan perang, mengadakan perjanjian damai, gencatan senjata dan seluruh bentuk
perjanjian lainnya.
3. Khalifah memiliki kewenangan untuk menerima duta-duta besar atau menolaknya, serta
kewenangan penuh dalam memilih dan memberhentikan duta besar Islam.
4. Khalifah memiliki kewenangan penuh dalam mengangkat dan memberhentikan para
pembantunya serta para Wali (gubernur). Mereka semua bertanggung jawab langsung kepada
Khalifah dan Majelis al-Ummah.

10
5. Khalifah memiliki kewenangan penuh dalam mengangkat dan memberhentikan Kepala Lembaga
Yudikatif (Qadli al-Qudat) dan para hakim lain di luar hakim Mahkamah Mazalim. Untuk hakim
Mahkamah Mazalim, Khalifah mengangkatnya, namun tidak memiliki hak untuk
memberhentikannya. Ini akan kita bahas dalam bab lain. Khalifah juga memiliki kewenangan
penuh dalam mengangkat dan memberhentikan para manajer administrasi, para komandan
ketentaraan, para kepala staf, para panglima angkatan, dimana semua posisi ini bertanggung
jawab langsung kepada Khalifah, dan tidak bertanggung jawab kepada Majelis al-Ummah.
6. Khalifah memiliki kewajiban untuk melaksanakan hukum-hukum Allah dalam membuat
rancangan anggaran pendapatan belanja negara. Khalifah juga memiliki hak menetapkan rincian
anggaran dan pendanaan yang dialokasikan pada setiap departemen, baik yang berkenaan dengan
pendapatan maupun pengeluaran.
Realita pemerintahan yang ada di Indonesia, selain wewenangnya bisa berubah, juga kepala
negara diberi wewenang yang tidak memadai untuk menyelenggarakan pemerintahan. Apalagi
pasca amandemen UUD 1945 yang selama kurun 1999-2002 mengalami perubahan 4 kali, telah
menjadikan wewenang kepala negara mandul. Dalam banyak hal Presiden tidak bisa membuat
kebijakan tanpa persetujuan DPR ataupun MA . Seperti, pasal 11 (1) : Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain, pasal 13 (2) : Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
Hal ini membuat Kepala negara tidak dapat bertindak cepat dalam menyelesaikan setiap
masalah yang muncul dalam penyelenggaraan negara. Bayangkan, keputusan perang saja harus
dirapatkan dahulu dengan DPR. Ditambah lagi DPR merupakan perwakilan dari berbagai partai
yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Belum lagi kalau kepala negara bukan
berasal dari partai mayoritas, maka setiap kebijkan akan selalu terganjal oleh DPR. Bisa dipastikan
kepala negara tidak bisa mengurusi rakyatnya. Dengan kewenangan yang seperti ini, siapapun
kepala negaranya, ustad atau intelektual atau kyai baik laki-laki maupun perempuan, sudah bisa
dipastikan tidak akan mampu mengurusi rakyatnya.

2.6. Jajaran Struktur (Aparat yang membangun Sistem)


Dalam sistem Khilafah, cara pengangkatan dan kualifikasinya ditentukan oleh Syara’ yaitu
dengan penunjukan langsung oleh Khalifah dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Syara’ di
masing-masing kategori struktural baik vertikal maupun horizontal. Misalkan disini syarat Mu’awin
dan Wali karena dia sebagai wakil Khalifah maka syaratnya sama dengan Khalifah. Untuk Qadli
syara’ menentukan dia harus faqqih fiddin, memahami aplikasi hukum terhadap berbagai fakta, dll.
Dengan cara pengangkatan dan kualifikasi seperti ini akhirnya akan mengkristal kepada fungsi
sistemik Khilafah sebagai pengayom (ri’ayah syu’un) yang secara sistematis akan menutup celah
adanya struktur dalam struktur untuk kepentingan selain ri’ayah syu’unil ummah.
Dalam sistem sekuler tidak ada standar yang baku dalam kualifikasi person yang duduk di
masing-masing kategori struktural baik vertikal maupun horizontal. Sehingga jajaran struktur yang
terbangun dalam kondisi multipolar, artinya tidak mengkristal pada satu tujuan pengelolaan urusan
umat melainkan bermuara pada kepentingan di luar sistem yaitu kapitalis. Kondisi seperti ini
bahkan sudah terjadi pada skala elit pemerintahan pusat, apalagi skala pemerintahan daerah.
11
Sehingga memberi peluang yang besar dalam intervensi sistemik dalam jajaran struktural akhirnya
terbentuklah struktur informal dalam struktur formal.

III. KHILAFAH = GOOD GOVERNANCE

3.1. Relasi hubungan antara penguasa-rakyat

12
Dalam Khilafah Negara sebagai Raa’in berfungsi untuk menjalankan amanah dari umat
dalam melakukan proses ri’ayah syu’unil ummah dengan Kitabullah dan As Sunah. Partai Politik
bertugas mengontrol penguasa agar senantiasa mengurusi urusan umat dengan Kitabullah dan As
Sunah serta menjalankan fungsinya untuk meningkatkan kesadaran politik umat, agar umat bisa
menjalankan kewajibannya. Sementara umat berkewajiban menaati seluruh pengurusan bidang-
bidang kehidupan yang dilakukan oleh Negara sekaligus bertanggungjawab penuh untuk melakukan
kontrol pada Negara dalam menjalankan tugasnya.
Selain dicerdaskan oleh partai politik, sistem pendidikan khilafah mencetak generasi yang
paham hukum-hukum Islam, sehingga umat bisa menjalankn tugasnya sebagai kontrol kekuasaan
agar senantiasa melaksanakan Kitabullah dan As Sunah.
Kita bisa melihat bahwa semua tugas ini berjalan dalam framework (kerangka) ibadah
kepada Allah swt, sehingga ketiga elemen sistem ini menganggap perannya adalah tugas mulia,
akhirnya akan dijalankan dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab.
Dalam Sistem Kapitalisme, negara sebagai fasilitator bertugas menciptakan lingkungan
politik dan hukum yang kondusif. Kebijakan tidak dibuat oleh seorang pemimpin atau satu
kelompok; kebijakan muncul dari proses konsultasi berbagai pihak yang terkena kebijakan itu.
Sektor Swasta menyediakan lapangan kerja dan penghasilan. Dan Masyarakat Sipil yang
direpresentasikan oleh NGO atau LSM berfungsi memfasilitasi interaksi sosial politik dan
memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial, politik, dan ekonomi.

13
Ketiga peran ini mengerucut pada kepentingan pemilik modal. Artinya Negara bertugas
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sektor swasta untuk menanamkan investasi. NGO
berperan ‘memberdayakan’ masyarakat untuk berperan dalam aktivitas sosial, politik, dan ekonomi.

3.2. Birokrasi dalam konteks Pelayanan


Sistem Islam, dalam rangka mengurusi urusan umat menganut kaedah sederhana dalam
peraturan, cepat dalam pelayanan dan professional dalam penanganan dan tidak ditarik beaya,
karena ada pos APBN. Untuk mewujudkan kesederhanaan peraturan perlu mengadopsi aturan
administrasi yang sederhana. Untuk mewujudkan kecepatan pelayanan diharuskan mengadopsi
teknologi yang canggih. Untuk mewujudkan professional dalam pelayanan membutuhkan
penjagaan kualitas SDM.
Rasululllah saw bersabda :
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kesempurnaan dalam segala hal. Maka, apabila
kalian membunuh (dalam hukuman qishash), sempurnakanlah pembunuhannya. Dan apabila kalian
menyembelih, maka sempurnakanlah penyembelihannya” (HR Imam Muslim)
Karena itu, kesempurnaan dalam menunaikan pekerjaan jelas diperintahkan oleh syara’
agar tercapai kesempurnaan dalam menuanikan urusan tersebut maka penanganannya jharus
memenuhi kriteria tersebut : (1) sederha dalam peraturan, karena dengan kesederhanaan itu akan
menyebabkan kemudahan. Kesederhanaan itu diperlukan dengan tidak melakukan banyak meja,
atau berbelit-belit. Sebaliknya aturan yang rumit akan menimbulkan kesulitan yang menyebabkan
para penceri kemaslahatan menjadi susah dan jengkel. (2) cepat dalam pelayanan, karena kecepatan
dapat mempermudah bagi orang yang mempunyai kebutuhan terhadap sesuatu untuk
memperolehnya. (3) pekerjaan itu ditangani oleh orang yang ahli (profesional). Sehingga semuanya
mengharuskan kesempurnaan kerja, sebagaimana yang dituntut oleh hasil kerja itu sendiri.
SDM akan dicetak oleh sistem pendidikan Khilafah yang menghasilkan generasi yang
berkepribadian Islam dan profesional di bidangnya.
Sistem sekuler, tidak dalam rangka melayani umat, tetapi dalam rangka meraih profit.
Sehingga pelayanan yang cepat dan professional akan berdampak pada tingginya biaya yang
dibebankan kepada rakyat. Karena tidak ada pos APBNuntuk pelayanan ini. ( + Sentralisasi bidang
koordinasi (pengurusan umat) vs desentralisasi bidang pada kementrian)

3.3. Hubungan Vertikal pusat ke daerah.


Sistem Islam, mekanismenya sentralisasi pusat dan daerah, yang tetap memberi peluang
daerah untuk berkembang kecuali dalam keuangan, peradilan dan politik LN/Militer. Yang
dimaksud dgn politik LN disini termasuk bentuk hubungan apapun dengan pihak luar (external)
Khilafah, misalnya perdagangan, adopsi kurikulum pendidikan, dll. Utk keuangan, daerah tdk
punya kewenangan untuk mengalokasikan pembelanjaan uang. Semua masuk ke pusat dan daerah
mengajukan anggaran ke pusat, sehingga menjadi hak pusat untuk mengalokasikan uang sesuai
kebutuhan daerah. Dengan konsep ini akan terwujud pengurusan umat seluruhnya. Wali akan
dikontrol ketat oleh Mu’awin Tafwidl (wakil Khalifah bidang pemerintahan) karena Wali diangkat
oleh Khalifah maka keloyalan Wali itu akan kuat ke Kholifah.
14
Sistem sekuler di Indonesia, mekanismenya desentralistik pusat ke daerah. Yang justru
memberi peluang intervensi kedaulatan suatu Negara, daerah bebas melakukan hubungan dengan
pihak luar (asing) tanpa control pusat. Tentang keuangan diberikan Otda mendorong pemerintah
daerah menggenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) masing‐masing untuk membiayai
pembangunannya sendiri, karena dana dari pusat dibatasi. Dengan batas teritorial yang makin
menguat, dikejar oleh tuntutan kebutuhan untuk menarik dana bagi kas daerah, daerah tampak
seperti over kreatif. Terlebih bagi daerah yang cenderung minim sumber daya alamnya, rakyat di
daerah bersangkutan yang harus menanggung risiko. Pemda akhirnya menerapkan retribusi atau
pajak di mana‐mana sebagai sumber PAD. Retribusi masuk terminal, retribusi sampah, dan
kendaraan. Otda menimbulkan resistensi antar daerah. Keloyalan Kepala Daerah pada Pusat sangat
lemah karena mekanisme pengangkatannya dengan Pilkada yang dipilih langsung oleh rakyat, jadi
hakikat keloyalan diberikan pada pemberi biaya Pilkada. Potensi disintegrasi. Kebijakan Pusat tidak
bisa begitu saja dieksekusi di daerah.

IV. KHILAFAH = CLEAN GOVERNMENT

4.1. Kontrol terhadap Kekayaan Pejabat


Sistem Islam, untuk menjaga dari perbuatan curang, Khalifah Umar menghitung kekayaan
seseorang di awal jabatannya sebagai pejabat negara, kemudian menghitung ulang di akhir jabatan.
Bila terdapat kenaikan yang tidak wajar, Umar memerintahkan agar menyerahkan kelebihan itu ke
Baitul mal, atau membagi dua kekayaan tersebut, separo untuk Baitul Mal dan sisa separonya
diserahkan kepada yang bersangkutan. Muhammad bin Maslamah ditugasi Khalifah Umar
membagi dua kekayaan penguasa Bahrain, Abu Hurairah; penguasa Mesir, Amr bin Ash; penguasa
Kufah, Saad bian Abi Waqqash. Jadi Umar telah berhasil mengatasi secara mendasar sebab-sebab
yang menimbulkan kerusakan mental para birokrat. Upaya penghitungan kekayaan tidaklah sulit

15
dilakukan bila semua sistem mendukung, juga apabila masyarakat turut berperan mengawasi
perilaku birokrat.
Sistem Sekuler, upaya penghitungan kekayaan pejabat menjadi sulit untuk diterapkan,
karena sistem yang ada tidak mendukung dan begitu banyak pajabat yang terlibat dalam perbuatan
curang.

4.2. Kultur birokrasi


Sistem Islam, pada prinsipnya Islam melarang setiap aparat negara menerima hadiah/ hibah
apalagi suap. Suap adalah harta yang diberikan kepada seorang penguasa, hakim, atau aparat
lainnya dgn maksud untuk memperoleh keputusan mengenai suatu kepentingan yang semestinya
wajib diputuskan olehnya tanpa pembayaran dalam bentuk apapun. Setiap bentuk suap berapapun
nilainya dgn jalan apapun diberikannya haram hukumnya. Hadiah adalah harta yg diberikan pd
penguasa / aparatnya sebagai pemberian, hadiah yg diberikan atas dasar pamrih tertentu agar pada
suatu ketika ia dapat memperoleh kepentingannya dari penerima hadiah, diharamkan dalam sistem
Islam.
Sistem Sekuler, sistem yang ada membudayakan suap pada setiap lini birokrasi dari
pembuatan UU sampai implementasinya di lapangan (bahkan tingkat RT).

4.3. Penegakan Sanksi Hukum


Sistem Islam, para koruptor kelas kakap yang dengan tindakannya bisa mengganggu
perekonomian negara apalagi bisa memperbesar angka kemiskinan dapat diancam hukuman mati di
samping hukuman kurungan. (+ Dalil… ). Aparat Khilafah yang menangani clean government
adalah Qadli Hisbah.
Sistem Sekuler, dilakukan oleh KPK (komisi pemberantasan korupsi) yang berbeda dari
lembaga peradilan meskipun sama-sama lembaga formal dan tidak ada kepastian hukum.

V. PERADILAN

5.1. Independensi institusional


Khilafah memiliki lembaga peradilan tertinggi yang dinamakan Mahkmah Mazhalim.
Lembaga ini teridiri atas para hakim yang paling kompeten dan berpengalaman di Negara Khilafah
dan diberi kewenangan yg luas oleh syari’at. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk
memberhentikan setiap pejabat negara, terlepas dari apapun jabatan mereka, termasuk Khalifah, bila
pejabat tersebut melakukan tindakan yang menyimpang dari kewajiban bai’atnya.
Warga negara biasa yang mempunyai keluhan atau ketidakpuasan pada kinerja pemerintah
negara berhak mengajukan gugatannya pada pengadilan ini. Majelis Umat juga dapat
menyelesaikan sengketa dengan Khalifah melalui lembaga ini.
16
Qadli Mazalim memiliki kewenangan investigatif dalam penyidikan dan tidak memerlukan
penggugat untuk bisa menyidangkan sebuah kasus yang diperoleh berdasarkan hasil investigasinya.
Hal ini tidak terdapat pada lembag yudikatif pada sistem yang lain. Selain itu hakim ini secara
berkala mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan yang dilaksanakannya
untuk memastikan semunanya berjaln sesuai syari’at tanpa adanya penindasan pada rakyat.
Sistem Sekuler, lembaga peradilannya diragukan independensinya karena ada mafia
peradilan (praktek suap pada Hakim, Jaksa oleh pihak yang berkepentingan).

5.2. Independensi keputusan peradilan


Sistem Islam, keputusan lembag peradilan sangat independen, semata-mata hanya
didasarkan hukum-hukum Allah SWT dan sesuai denga realitasnya. Untuk menjamin independensi
keputusan ini, ketika sedang menangani kasus yang berkaitan dengan Khalifah, pembantu utama
(Mu’awin Tafwidl) atau kepala pengadilan (Qadli al Qudat), maka Khalifah tidak punya hak untuk
memberhentikan kepala Qadhi. Khalifah pun tidak bisa mengintervensi keputusan Qadli, tidak ada
naik banding. Ditambah lagi syarat hakim haruslah seorang yang memiliki kejujuran, pengetahuan
dan pengambilan keputusan yang baik.
Sistem sekuler, ada naik banding, selama masih punya modal akan naik banding sampai
keputusan sesuai yang dikehendaki. Ditambah lagi adanya hak istimewa bagi presidendiantaranya
grasi, amnesty dan rehabilitasi, semakin membuat keputusan lembga peradilan tidak independen.

VII. SALURAN ASPIRASI DAN USLUB KONTROL TERHADAP PEMERINTAH

Saluran aspirasi dari rakyat dilakukan melalui Majelis al-Ummah. Majelis al-Ummah
merupakan sebuah majelis yang dipilih oleh rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat
Islam dan non-Islam, baik lelaki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen
mereka di dalam negara Khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana
halnya lembaga perwakilan dalam sistem parlemen demokrasi, namun lembaga ini memiliki
kewenangan yang berfungsi untuk menyampaikan aspirasi kepada Khalifah. Demikian juga
Khalifah disunnahkan untuk meminta pendapat kepada Majelis Umat, sebagaimana firman Allah
dalam surat Ali Imran (3) : 159 :

17
Artinya : “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tersebut” (TQS. Ali Imran (3) :
159)
Para anggota majelis dapat menyuarakan opini politik mereka secara bebas tanpa takut
dibungkam atau dipenjara. Kekuasaan majelis al-Ummah sebagai berikut :
1.a. Lembaga yang berwewenang untuk memberikan nasehat (atau sebagai lembaga tempat khalifah
berkonsultasi) dalam berbagai aktivitas dan perkara-perkara praktis yang berkaitan dengan
pengaturan urusan bangsa dalam masalah politik dalam negeri yang tidak memerlukan pengkajian
dan analisis mendalam, semisal : penyediaan berbagai pelayanan penting untuk rakyat agar
mereka merasakan ketentraman hidup; dal aspek pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
perdagangan, perindustrian, pertanian dan semisalnya; juga seperti permintaan rakyat akan
perbaikan kota-kota mereka dan penjagaan keamanan mereka. Pendapat Majelis Umat dalam
semua masalah ini bersifat mengikat bagi Khalifah, artinya pendapat mayoritas harus
dilaksanakan.
b. Dalam perkara-perkara pemikiran yang memerlukan pengkajian mendalam dan analisis, seperti
keuanga, kebijakan luar negeri dan militer. Khalifah memiliki hak untuk merujuk pada Majelis
Umat guna berkonsultasi dan mendengar opini. Namun opini ini tidak bersifat mengikat.
2.Majelis memiliki hak menilai kinerja Khalifah dalam tindakan-tindakan kenegaraan yang telah
dilaksanakannya, baik dalam hal yang berkenaan dengan urusan dalam maupun luar negeri,atau
keuangan atau ketentaraan dan sebagainya. Pandangan majelis dalam hal ini bersifat mengikat
bila suara dalam Majelis mayoritas, dan tidak mengikat bila suara dalam Majelis tidak mencapai
angka mayoritas.
3.Majelis memiliki hak untuk mengekspresikan ketidakpuasan para pembantu Khalifah, Wali
(Gubernur) dan Amil (Walikota). Dalam hal ini suara Majelis bersifat mengikat dan Khalifah
harus mencopot pejabat yang bersangkutan bilamana perlu.
4.Khalifah wajib merujuk pada suara Majelis umat dalam hal hukum perundang-undangan,
konstitusi dan norma-norma agama yang hendak diterapkan. Para anggota Majelis yang Islam
memiliki hak untuk membahas hal tersebut dan mengemukakan pandangan mereka tentang hal
itu, namun opini mereka tidak bersifat mengikat.
5.Berhak menyusun daftar dan membatasi kandidat Khalifah, tidak ada kandidat dari luar daftar
yang disusun majelis yang berhak dipilih sebagai Khalifah dan keputusan majelis dalam hal ini
bersifat mengikat. Hanya anggota majelis yang beragama Islam yang berhak ikut menyusun
daftar ini.
Saluran aspirasi dalam sistem Khilafah, memberikan peluang yang luas bagi warga untuk
menyampaikan keluahannya, namun juga menutup menutup segala celah masuknya perundang-
undangan, atau ketetapan Khalifah, yang berasal bukan dari Allah SWT. Pada sistem sekuler,
saluran aspirasi rakyat melalui DPR, telah membuka pintu yang lebar untuk dependesi perundang-
undangan dan keputusan kepala negara pada kepentingan pemodal –ingat sistem kepartaian yang
menentukan anggota parlemen.

18
VI. PARPOL DAN KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DAULAH

Partai-partai dalam Khilafah berfungsi menjalankan tugas mulia yaitu menjaga pemikiran
Islam di tengah-tengah masyarakat, dan memastikan pemerintah tidak menyimpang dari
implementasi dan pengembangan Islam. Islam memerintahkan untuk mendirikan partai-partai
politik. Untuk mendirikan partai politik tidak perlu izin dari pemerintah, karena syari’at telah
memberi izin untuk itu. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang
beruntung.” (TQS. Ali Imran (3) : 104).
Fungsi partai ini hakekatnya adalah menjaga Khilafah agar senantiasa mengurusi dan
melayani urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah SWT. Kontrol ini bisa dilakukan dengan
baik, karena kejelasan hukum yang harus diterapkan oleh Khalifah yaitu hukum-hukum Allah SWT.
Partai-partai menjaga Khalifah agar senantiasa menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Hal ini
19
menutup celah bagi Khlifah untuk menetapkan hukum yang tidak berasal dari Allah SWT seperti
hukum sesuai keinginan sendiri, atau hukum asing.
Tidak hanya menjadi tugas bagi partai, mengawasi Khalifah juga merupakan hak dan tugas
seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim. Walau suara dan aspirasi rakyat terwakili
di dalam Majelis al-Ummah, rakyat tetap memiliki hal dan tugas dalam hal-hal tertentu untuk
menjalankan tugas ini sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
Artinya :”Demi Dia yang nyawaku berada di tanganNya, kalian wajib menyeru pada kebaikan dan
mencegah kemunkaran, atau (kalau hal itu tidak dilakukan, maka) Allah akan menimpakan siksa-
Nya atasmu dan apabila engku memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan menjawab doamu”.
Islam juga menekankan pentingnya menegur kezaliman penguasa walau taruhannya adalah
kematian. Rasulullah saw bersabda :
Artinya : “Pemimpin syuhada ialah hamzah bin Abdul Mutthalib dan seseorang yang berdiri
menentang penguasa yang zalim dan ia terbunuh karenanya.”
Tugas menegakkan yang makruf dan mencegah dari yang munkar diemban oleh semua
orang dimanapun mereka berada, termasuk mereka yang bekerja di dalam media, juga wajib
menggunakan posisinya dalem menilai kinerja pemerintahan dan begitu pula mereka yang bekerja
pada bidang yang lainnya.
Umat Islam yang hidup di Negara Khilafah tidak takut kepada apapun selain Allah SWT. Ini
merupkan modal besar untuk menghadapi Khalifah yang menyimpang dan menentangnya saat
diperlukan.
Sangat berbeda dengan sistem khilafah, dalam sistem sekuler fungsi partai lebih nyata
sebagai pihak oposisi dari negara. Sehingga partai lebih kentara mencari-cari kelemahan dari
penguasa. Ditambah lagi, ketidakjelasan hukum berlaku dalam negara, maka partai bisa digunakan
sebagai alat untuk menjatuhkan pemimpin negara yang tidak diinginkan. Dengan menafsirkan
hukum sesuai dengan keinginan atau merubah hukum sesuai keinginan untuk menjerat atau
menjatuhkan penguasa. Sehingga pemerintah yang seperti ini tidak akan stabil dan kuat. Parpol
dianggap juga sebagai kendaraan politik untuk meraih kursi kekuasaan di parlemen. Sehingga
pengaruh parpol tidak mengakar ke tengah-tengah umat, hampir tidak ada peran edukasi politik ke
masyarakat.

20
VII. KESIMPULAN

Sistem khilafah adalah satu-satunya sistem yang bisa menjalankan tugas sebagai pengayom
dan pelayan bagi urusan umat. Khilafah merupakan satu-satunya sistem pemerintahan yang sukses
mengatur Dunia Islam selama 1300 tahun, waktu kejayaan yang tidak tertandingi oleh sistem
manapun.

21

Anda mungkin juga menyukai