I. PENDAHULUAN
Bicara negara-bangsa (nation state), terdapat 4 (empat) kategori yaitu kuat; lemah
(weakstate); gagal (failedstate); dan runtuh (collapsedstate). Negara lemah merupakan calon
potensial kegagalan negara. Adapun negara gagal atau hancur merupakan tahap akhir dari kegagalan
negara. Sebuah negara terkategori gagal, apabila gagal memenuhi kebutuhan rakyatnya dengan
baik. Bagaimana sindrom negara yang gagal itu antara lain bisa dilihat dari beberapa indikator
sosial, ekonomi, politik, maupun militer. Sindrom negara gagal antara lain: keamanan rakyat tidak
bisa dijaga, konflik etnis dan agama tak kunjung usai, korupsi merajalela, legitimasi negara terus
menipis, pemerintah tidak berdaya dalam menghadapi masalah dalam negeri, dan rawan terhadap
tekanan luar negeri. (Kompas, 9/6/2005). Kita bisa mencermati kondisi negara Indonesia pada saat
ini apakah memiliki sindrom sebagai negara yang gagal?!. Lalu bagaimanakah sebuah negara
mampu menjadi negara yang kuat dan mandiri?
Pada saat ini, Amerika dan Eropa merupakan negara yang kuat dan berpengaruh di dunia,
serta Rusia pernah menjadi negara kuat dan berpengaruh di dunia. Kenapa? Karena negara tersebut
menegakkan pemerintahan yang didasarkan pada pemikiran mendasar, dan seluruh problem yang
dihadapi oleh negara diselesaikan dengan peraturan dan perundang-undangan yang muncul dari
pemikiran tersebut. Amerika dan Eropa menegakkan pemerintahannya berdasarkan pemikiran
sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan), sementara Rusia berdasarkan pemikiran materi dan
perubahan (evolusi materi).
Demikian juga dengan Negeri Arab pernah kuat, berpengaruh di dunia bahkan menjadi
adidaya karena menegakkan pemerintahan berdasarkan pemikiran Islam yaitu Aqidah Islam.
Negara tersebut dibangun atas landasan Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah, kemudian
mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dengan berbagai aspek kehidupan -baik
ekonomi, politik, sosial, budaya, maupun ketahanan keamanan- dengan aturan yang bersandar pada
pemikiran Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah –yaitu Syari’at Islam.
Pemikiran mendasar dan seluruh peraturan cabang yang lahir dari pemikiran tersebut disebut
sebagai ideologi. Secara umum, ideologi (Arab: mabda') adalah pemikiran paling asasi yang
melahirkan—sekaligus menjadi landasan bagi—pemikiran-pemikiran lain yang menjadi
turunannya. (M. Muhammad Ismail, 1958). Dengan ungkapan yang lebih spesifik, ideologi
(mabda') dapat didefinisikan sebagai keyakinan rasional (pemikiran mendasar) yang melahirkan
sistem atau seperangkat peraturan tentang kehidupan (An-Nabhani, 1953: 22). Pemikiran mendasar
dari ideologi ini dapat disebut sebagai akidah ('aqîdah), yang dalam konteks modern terdiri dari: (1)
materialisme; (2) sekularisme; (3) Islam. Akidah ini berisi pemikiran mondial dan global mengenai
manusia, alam semesta, dan kehidupan dunia; tentang apa yang ada sebelum dan sesudah kehidupan
dunia; berikut kerterkaitan ketiganya dengan kehidupan sebelum dan setelah dunia ini. (M. Husain
1
Abdullah, 1990). Akidah ini kemudian melahirkan pemikiran-pemikiran cabang yang berisi
seperangkat aturan (nizhâm) untuk mengatur sekaligus mengelola kehidupan manusia dalam
berbagai aspeknya—politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan sebagainya.
Ideologi, menjadi suatu keniscayaan untuk mewujudkan negara yang kuat, mandiri,
berpengaruh apalagi adidaya. Seluruh urusan dan problema yang muncul di dalam negara akan
diselesaikan dengan aturan yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut. Hal ini menutup semua
celah intervensi dari pihak luar negara, baik berupa kebijakan maupun perundang-undangan.
Negara tersebut juga mempunyai misi untuk mengurusi masalah di luar negaranya (internasional)
dengan ideologi yang dianutnya. Dengan kata lain, negara tersebut akan mengemban ideologinya ke
seluruh dunia, sehingga akan senantiasa meluaskan wilayah dan pengaruhnya di dunia internasional.
Dengan demikian suatu negara yang menganut ideologi tidak akan menjadi negara pengekor, namun
akan menjadi negara mandiri bahkan akan menjadi negara yang berpengaruh dalam dunia
internasional. Jadilah dia negara yang kuat dan bisa merintis menjadi negara nomor satu di dunia.
Indonesia bisa dikatakan negara yang berideologi sekular. Alasannya, melihat kenyataan di
lapangan, negeri ini sudah sedemikian bergantungnya pada sistem sekularisme yang merupakan
‘akidah’ dari kapitalisme. Dengan alasan pluralitas yang ada di Indonesia, hampir semua
permasalalahan yang dihadapi bangsa ini, dalam berbagai aspek, tidak diselesaikan dengan
penyelesaian yang bersumber dari agama manapun. Aturan agama dibelenggu, tidak boleh mengatur
urusan publik, dan hanya mengatur urusan individu dengan Tuhannya. Padahal terdapat agama
yang mengatur seluruh urusan manusia baik, privat maupun publik, baik individu, masyarakat
maupun negara yang secara konsep maupun faktual, bisa diterapkan dalam kondisi bangsa
Indonesia yang plural. Masyarakat kita pun sudah terbiasa dengan gaya kehidupan masyarakat
sekular yang berciri utama kebebasan dan tidak melibatkan agama dalam penyelesaian problem
kehidupan. Ini merupakan tabiat utama sekularisme. Itu sebabnya, pantas jika sekularisme disebut
sebagai ‘akidah’ yang meminggirkan kedaulatan Ilahi demi kepentingan manusia.
Titik lemah sekularisme, kita bisa melihat produk sistem kehidupan buatan manusia ini.
Kegagalan demi kegagalan senantiasa menjadi bukti betapa lemahnya sistem ini untuk mengatur
kehidupan umat manusia. Lihatlah angka kriminalitas yang meningkat tajam, ekonomi yang carut-
marut, bahkan bidang politik dan keamanan negara yang semrawut. Ideologi ini sudah cacat sejak
lahir. Betapa tidak, ‘kenekatannya’ untuk ngotot memisahkan agama dari negara adalah sebuah
kekeliruan terbesar yang dilakukan para penggagas sekularisme.
2
Keyakinan yang diperoleh secara rasional seperti ini akan memberikan pengaruh yang dahsyat pada
manusia, yakni kepasrahan total kepada Sang Pencipta, dan hanya tunduk kepada aturan Sang
Pencipta. Seperangkat aturan yang dilahirkan dari aqidah Islam mencakup seluruh aktivitas
manusia beserta seluruh hubungan manusia, baik hubungan manusia dengan Allah, atau dengan
dirinya sendiri maupun hubungan manusia dengan sesamanya.
Kelengkapan dan kesempurnaan aturan Islam yang bisa menyelesaikan seluruh problem
yang muncul di tengah masyarakat maka sangat layak Islam dijadikan sebagai ideologi negara.
Sebagai ideologi negara Islam sangat unggul dibanding ideologi lain (kapitalisme dan komunisme-
sosialisme). Salah satu keunggulan itu adalah hukum-hukum dalam ideologi Islam dibuat oleh
Dzat diluar manusia (Sang Pencipta) yang Maha Tahu tentang seluk beluk manusia. Dengan
demikian akan menutup celah lahirnya hukum-hukum yang memihak pada kepentingan sebagian
manusia dan menindas sebagian manusia yang lain. Sehingga tidak terdapat peluang untuk
membuat undang-undang negara yang bersumber dari otak manusia, yang dipergunakan untuk
mengatur seluruh hubungan manusia. Begitu pula tidak ada peluang bagi penguasa untuk memaksa
rakyat atau memberikan alternatif kepada rakyat aturan yang bersumber dari penguasa. Seperti
yang kita lihat pada saat ini.....
Negara Islam yang berideologi Islam inilah yang disebut Khilafah yang merupakan
kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslimin di dunia untuk menegakkan hukum-hukum
syari’at Islam dan mengemban dakwah Islam ke segenap penjuru dunia. Satu-satunya bentuk
pemerintahan dalam Islam hanyalah Khilafah, yang merupakan sistem yang khas, bukan sistem
monarchi (dimana singgasana kerajaan diwarisi oleh seorang putra mahkota dari orang tuanya),
bukan sistem kekaisaran (sistem yang tidak menganggap sama antara ras satu dengan lainnya
dalam pemberlakuan hukum), bukan sistem republik (sistem dimana kedaulatan ada ditangan
rakyat, rakyat yang membuat aturan dan menentukan penguasa), bukan juga sistem federasi (sistem
yang membagi wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri dan bersatu dalam
pemerintahan secara umum).
Khilafah merupakan Negara Islam ideologis, sama dengan negara ideologis lainnya
semacam Amerika Serikat dan Inggris Raya. Sistem pemerintahannya diturunkan dari pandangan
hidup negara. Bagi Khilafah, pandangan hidupnya adalah akidah Islam, yang kemudian
melahirkan hukum syari’at, yang mengatur urusan kehidupan. Bagi negara semacam AS dan
Inggris, pandangan hidupnya dilandaskan pada sekulerisme, yang kemudian melahirkan sistem
demokrasi dan sistem ekonomi Kapitalis, yang menjadi terpenting dari ideologi mereka dan karena
itulah mereka disebut sebagi bangsa-bangsa kapitalisme.
Walau negara khilafah berlandaskan pada ideologi Islam, tidak berarti semua yang hidup di
bawah naungan negara ini harus beragama Islam. Kewarganegaraan dalam konsep Negara
Khilafah didasarkan pada seseorang yang hidup secara permanen di wilayah negara terlepas dari
apapun agama dan etnisnya.
Setiap negara yang tunduk dan menjalankan nilai-nilai Islam sebagai kewajibannya
terhadap negara tidak harus beragama Islam. Umat Islam yang hidup di luar wilayah Negara
Khilafah tidak secara otomatis memiliki hak kewarganegaraan.
3
Berkenaan dengan banyaknya aliran ataupun madhab yang ada di tengah umat Islam
misalnya Syiah dan Sunni, mungkin muncul pertanyaan, apakah khilafah akan mengadopsi salah
satu mazhab dan memaksakannya pada semua orang?
Khilafah hanya menetapkan hukum perundang-undangan yang bersumber dari Syaria’t
Islam untuk mengatur urusan publik. Khilafah tidak menetapkan aturan-aturan yang berhubungan
dengan masalah ibadah, kecuali dalam hal zakat dan jihad karen dampak sosial yang dituntutnya.
Khilafah juga tidak menetapkan mazhab tertentu yang berhubungan dengan akidah Islam. Setiap
muslim terlepas dari mazhab apapun yang dianutnya, dibebaskan untuk mempraktekkan
keyakinannya tanpa adanya intervensi dari negara.
Pemerintahan yang dipimpin oleh Rasulullah saw juga, tidak semuanya beraqidah Islam,
namun di dalamnya juga ada Yahudi, Nasrahi dan Musyrik. Namun semuanya tunduk kepada
aturan Islam yang terkait kehidupan publik. Aturan ini tidak bertentangan dengan akidah Nashrani
dan Yahudi serta Musyrik, karena keyakinan mereka hanya mengatur masalah ibadah ritual mereka,
sementara aturan kehidupannya bisa diatur dengan yang lain termasuk dari Islam. Sehingga asumsi
bahwa penerapan aturan Islam akan menimbulkan perpecahan, terbantahkan.
Sistem khilafah merupakan sistem yang kuat yakni memiliki kekuatan penuh untuk
menjalankan fungsinya semata-mata sebagai penerap ideologi Islam kepada seluruh warganya.
4
Dengan aturan-aturan yang lahir dari ideologi Islam inilah, Khilafah akan mengurusi dan melayani
seluruh urusan warganya. Dengan kata lain Khilafah akan mempunyai kekuatan untuk mengayomi
warganya dengan hanya aturan Islam semata yang akan menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar,
terjamin keamanan, terpelihara aqidah dan terjamin penyelesaian problem rakyat dan penguasa.
Kenapa system menjadi kuat? Karena tata aturan / mekanisme system sudah ditetapkan oleh
hukum syara’ bukan ditentukan oleh subyek/obyek kebijakan. Sistem sekuler yang menerapkan trias
politika merupakan sistem yang rapuh, karena tata aturan / mekanisme sistem diserahkan kepada
obyek kebijakan, sementara pemerintah hanya fasilitator sehingga banyak ganjalan sistemik (baca :
tarik-menarik kepentingan) dalam mengurusi/melayani umat.
Faktor yang mempengaruhi kekuatan sebuah sistem bisa dilihat dari siapakah yang
memenuhi persyaratan menjadi pemimpin, bagaimana mekanisme pengangkatan kepala negara dan
pembantunya, masa jabatan kepala negara, tugas dan wewenang kepala negara dan hubungan pusat
dan daerah.
Hukum-hukum yang berlaku dalam Khilafah hanyalah hukum-hukum Allah SWT dan
Khalifah dipilih hanya untuk menjalankan hukum-hukum tersebut. Syara’ memberikan wewenang
untuk menetapkan hukum hanya kepada Khalifah seorang. Namun tidak seperti raja atau diktator,
seorang Khalifah tidak memiliki hak untuk menetapkan hukum perundang-undangan berdasarkan
keinginannya sendiri atau berdasarkan kepentingan keluarga atau kelompoknya. Syara’ telah
menentukan bahwa hukum syari’at yang ditetapkan oleh Khalifah harus bersumber dari sumber-
sumber yang sudah terbukti asalnya dari Allah SWT, yakni al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’ sahabat dan
Qiyas (analogi).
Khalifah juga tidak bisa menggunakan dalil hanya untuk melegalkan UU sesuai
keinginanya, karena selain menetapkan sumber-sumber hukum syariat, Syara’ juga menetapkan juga
proses yang shahih untuk menurunkan hukum-hukum tersebut yang disebut sebagai istinbath.
Selain itu khalifah juga dibatasi oleh aturan yang harus ia tetapkan dan metode istinbath yang ia
pilih dalam menetapkan aturan.
Syara’ sudah menetapkan syarat in’iqad bagi khalifah adalah kapabel untuk menjalankan
tugas ini walaupun khalifah tidak harus seorang mujtahid. Apabila seorang khalifah bukan seorang
mujtahid, ia bisa mengangkat seorang yang ahli di bidang syari’at, seperti ekonomi, pemerintahan,
sosial atau kesehatan untuk membantunya untuk menggali hukum untuk ditetapkan sebagai
perundang-undangan dalam negara Khilafah.
Dalil-dalil yang dijadikan landasan legislasi hukum oleh Khalifah harus dituliskan dalam
pembukaan UU dan UUD. Hal ini akan memberikan peluang yang luas bagi siapapun untuk
mengontrol apakah legislasi khalifah masih bersumber dari hukum-hukum Allah ataukah sudah
keluar. Sistem pendidikan Khilafah akan mencetak warga negara yang mempunyai kemampuan
untuk mengontrol legislasi khalifah apakah masih konsisten bersumber dari Allah SWT ataukah
5
sudah keluar dari hukum Allah SWT. Demikian juga partai politik mempunyai kemampuan untuk
mengontrol Khalifah
Dan secara institusional Dewan Umat (Majelis al-Ummah) dan Mahkamah Tertinggi
(Mahkamah Mazalim) akan mengawasi seluruh hukum perundang-undangan yang ditetapkan
Khalifah untuk memastikan hukum perundang-undangan tersebut sejalan dengan sumber-sumber
hukum Islam dan metodologi negara. Mahkamah Mazalim memiliki kekuasaan untuk membuang
hukum perundang-undangan yang tidak melalui proses yang telah ditetapkan itu.
Dengan demikian, Khilafah menjamin perundang-undangan yang diberlakukan dalam
negara Khilafah adalah hukum yang berasal dari Allah SWT, tidak ada peluang bagi siapapun untuk
campur tangan menentukan perundang-undangan sesuai dengan keinginannya. Sehingga Khilafah
menjamin terselenggaranya pengurusan urusan bangsa dengan hukum-hukum Allah. Hukum ini
berlaku bagi siapapun, baik Khalifah sendiri yang menetapkan hukum maupun bagi warga negara
Khilafah. Tidak ada kebal hukum dan tidak ada yang bisa mempermainkan hukum sesuai
kepentingan dan keinginannya.
Sangat berbeda dengan Khilafah, di dalam sistem sekuler tidak ada kepastian hukum yang
jelas, karena hukum bisa dibuat sesuai dengan kepentingan pemodal. Wewenang untuk menetapkan
hukum diberikan kepada parlemen, yang dipilih melalui jalur partai. Pada faktanya, aspirasi
anggota parlemen –baik laki-laki maupun perempuan- akan ditentukan oleh partainya, sementara
dalam menjalankan akivitas partai saat ini diperlukan dana yang tidak sedikit. Sehingga
keberlangsungan partai sangat tergantung kepada pemodal. Disinilah para kapital mempunyai peran
kuat untuk menentukan perundang-undangan yang dibuat agar mendukung kepetingannya.
Mekanisme ini telah membuat perundang-undangan yang dihasilkan tidak lagi memihak kepada
kepentingan rakyat, namun lebih memihak kepentingan pemodal. Di Indonesia bisa kita lihat UU
Penanaman Modal, UU Sumber Daya Air, UU Kelistrikan yang lebih memihak kepada kepetingan
para kapital.
Proses penetapan hukum dalam sistem sekuler sangat memungkinkan ditetapkannya hukum
sesuai kepentingan tertentu. Dengan alasan agar tidak otoriter, proses penetapan hukum dilakukan
dengan jalan persidangan yang panjang dan melelahkan di parlemen, padahal pada faktanya draft
dari RUU yang dibahas hanya berasal dari 3 sampai 4 orang. Ditambah lagi, anggota parlemen
tidak cukup waktu untuk mencari sumber-sumber referensi atau data-data dalam mendiskusikan
perundang-undangan, karena waktunya habis untuk mengikuti persidangan.
8
mayoritas rakyatnya. Mereka mencampuradukkan antara proses pemilihan dan pengangkatan, ini
berakibat pada masyarakat yang tidak merasa memilih kepala Negara yang diangkat akan berlepas
tangan dan mungkin menggugat legitimasi pemimpinnya. Oleh karena itu dikenal ada ‘mosi tidak
percaya’ kepada kepala Negara meskipun tidak ada alasan yang jelas. Apalagi kalau kepala Negara
dikategorikan melanggar hukum. Sementara hukumnya sendiripun bisa dimainkan tergantung
kepentingan.
Dengan tujuan untuk memperoleh legitimasi rakyatnya, mekanisme pemilihan kepala negara
(presiden) dan wakilnya dilakukan langsung oleh rakyat, demikian pula pemilihan kepada daerah
(gubernur dan wakil, bupati dan wakil). Akhirnya presiden dan wakil presiden tidak satu visi misi
dan tidak satu langkah. Harusnya wewenang penuh presiden. Demikian pula dalam pilkada
(gubernur dan wakil, bupati dan wakil).
SBY 45%, (Contoh perolehan suara SBY yang tidak mayoritas ....)
Masa jabatan Khalifah tidak dibatasi pada dan tidak dibatasi untuk periode tertentu. Selama
khalifah patuh dan menjalankan syari’at dan mampu menjalankan amanat Khilafah, maka ia tetap
menjabat sebagai Khalifah. Ini bisa dilihat dari bukti tekstual yang berkenaan dengan bai’at bersifat
mutlak, tidak dibatasi oleh periode tertentu.
Anas bin Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda :
Artinya :”Dengar dan patuhilah selalu, walau engkau diperintah seorang budak Habsyi yang
kepalanya mirip kismis.”
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw bersabda :”....selama ia memerintahmu berdasarkan
Kitabullah.”
Ditambah lagi, para Khulafaur Rasyidin dibai’at secara mutlak, sesuai tuntunan hadist.
Mereka tidak menjabat Khalifah berdasarkan periode tertentu. Semuanya memegang jabatan
Khalifah hingga mereka wafat, dan ini menjadi kesepakatan umum para shahabat bahwa masa
pemerintahan Khalifah tidak terbatas. Maka bilamana seorang khalifah dibai’at, ia akan tetap
memegang jabatannya hingga ia wafat, berhenti atau diberhentikan oleh Mahkamah Mazalim,
karena melanggar syarat-syarat baiat atau halangan syar’i.
Masa jabatan memang tidak dibatasi oleh waktu atau masa jabatan, namun Khalifah dapat
diawasi setiap saat oleh institusi negara dan dapat diberhentikan dari jabatannya bila melanggar
bai’at, tanpa mempertimbangkan periode jabatan.
Tanpa adanya pembatasan ini, Khalifah dapat memfokuskan pada perencanaan strategis
pembangunan jangka panjang dan berkelanjutran tanpa terputus daripada perencanaan jangka
pendek sebatas 4 atau 5 tahun saja sebagaimana kita melihat dalam sistem demokrasi. Dengan
demikian khalifah dapat menjalankan fungsinya sebagai pengayom dan pengurus urusan warganya
9
dengan baik yang akan mewujudkan terpenuhinya semua urusan warganya dan akan mengantarkan
kepada kestabilan negara.
Berbeda dengan Khilafah, dengan alasan menjamin tidak otoriter dan diktaktor maka sistem
demokrasi membatasi masa jabatan antara 4 sampai 5 tahun dan dengan dua kali masa jabatan.
Sebagaimana yang kita lihat di Indonesia, dalam UUD 1945 Bab III Pasal 7 kekuasaan Presiden
dibatasi 5 tahun dengan masimaum 2 kali masa jabatan. Hal ini tidak menjamin penguasa yang
kapabel bisa melanjutkan seluruh program dan kebijakannya. Bahkan setiap ganti penguasa pasti
ganti kebijakan (data).
Selama masa jabatan inipun, pada pertama masa jabatannya, kepala negara disibukkan
menyusun program, sosialisasi dan penyusunan kabinet yang yang bisa mewakili kepentingan partai
baik yang memilih maupun yang tidak memilihnya. Tahun terkahir, sudah disibukkan lagi untuk
mempersiapkan pemilihan berikutnya. Maka tinggal beberapa tahun saja yang terhitung efektif bagi
kepala negara untuk mengurusi rakyatnya.
Belum lagi dana keluar per periode bandingkan dengan APBN (data). Pilkada : Kerusuhan,
biaya besar,peluang masuknya intervensi asing. (data)
10
5. Khalifah memiliki kewenangan penuh dalam mengangkat dan memberhentikan Kepala Lembaga
Yudikatif (Qadli al-Qudat) dan para hakim lain di luar hakim Mahkamah Mazalim. Untuk hakim
Mahkamah Mazalim, Khalifah mengangkatnya, namun tidak memiliki hak untuk
memberhentikannya. Ini akan kita bahas dalam bab lain. Khalifah juga memiliki kewenangan
penuh dalam mengangkat dan memberhentikan para manajer administrasi, para komandan
ketentaraan, para kepala staf, para panglima angkatan, dimana semua posisi ini bertanggung
jawab langsung kepada Khalifah, dan tidak bertanggung jawab kepada Majelis al-Ummah.
6. Khalifah memiliki kewajiban untuk melaksanakan hukum-hukum Allah dalam membuat
rancangan anggaran pendapatan belanja negara. Khalifah juga memiliki hak menetapkan rincian
anggaran dan pendanaan yang dialokasikan pada setiap departemen, baik yang berkenaan dengan
pendapatan maupun pengeluaran.
Realita pemerintahan yang ada di Indonesia, selain wewenangnya bisa berubah, juga kepala
negara diberi wewenang yang tidak memadai untuk menyelenggarakan pemerintahan. Apalagi
pasca amandemen UUD 1945 yang selama kurun 1999-2002 mengalami perubahan 4 kali, telah
menjadikan wewenang kepala negara mandul. Dalam banyak hal Presiden tidak bisa membuat
kebijakan tanpa persetujuan DPR ataupun MA . Seperti, pasal 11 (1) : Presiden dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara
lain, pasal 13 (2) : Dalam mengangkat duta, Presiden memperhatikan pertimbangan DPR.
Hal ini membuat Kepala negara tidak dapat bertindak cepat dalam menyelesaikan setiap
masalah yang muncul dalam penyelenggaraan negara. Bayangkan, keputusan perang saja harus
dirapatkan dahulu dengan DPR. Ditambah lagi DPR merupakan perwakilan dari berbagai partai
yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya. Belum lagi kalau kepala negara bukan
berasal dari partai mayoritas, maka setiap kebijkan akan selalu terganjal oleh DPR. Bisa dipastikan
kepala negara tidak bisa mengurusi rakyatnya. Dengan kewenangan yang seperti ini, siapapun
kepala negaranya, ustad atau intelektual atau kyai baik laki-laki maupun perempuan, sudah bisa
dipastikan tidak akan mampu mengurusi rakyatnya.
12
Dalam Khilafah Negara sebagai Raa’in berfungsi untuk menjalankan amanah dari umat
dalam melakukan proses ri’ayah syu’unil ummah dengan Kitabullah dan As Sunah. Partai Politik
bertugas mengontrol penguasa agar senantiasa mengurusi urusan umat dengan Kitabullah dan As
Sunah serta menjalankan fungsinya untuk meningkatkan kesadaran politik umat, agar umat bisa
menjalankan kewajibannya. Sementara umat berkewajiban menaati seluruh pengurusan bidang-
bidang kehidupan yang dilakukan oleh Negara sekaligus bertanggungjawab penuh untuk melakukan
kontrol pada Negara dalam menjalankan tugasnya.
Selain dicerdaskan oleh partai politik, sistem pendidikan khilafah mencetak generasi yang
paham hukum-hukum Islam, sehingga umat bisa menjalankn tugasnya sebagai kontrol kekuasaan
agar senantiasa melaksanakan Kitabullah dan As Sunah.
Kita bisa melihat bahwa semua tugas ini berjalan dalam framework (kerangka) ibadah
kepada Allah swt, sehingga ketiga elemen sistem ini menganggap perannya adalah tugas mulia,
akhirnya akan dijalankan dengan sepenuh hati dan penuh tanggung jawab.
Dalam Sistem Kapitalisme, negara sebagai fasilitator bertugas menciptakan lingkungan
politik dan hukum yang kondusif. Kebijakan tidak dibuat oleh seorang pemimpin atau satu
kelompok; kebijakan muncul dari proses konsultasi berbagai pihak yang terkena kebijakan itu.
Sektor Swasta menyediakan lapangan kerja dan penghasilan. Dan Masyarakat Sipil yang
direpresentasikan oleh NGO atau LSM berfungsi memfasilitasi interaksi sosial politik dan
memotivasi masyarakat untuk berpartisipasi dalam aktivitas sosial, politik, dan ekonomi.
13
Ketiga peran ini mengerucut pada kepentingan pemilik modal. Artinya Negara bertugas
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi sektor swasta untuk menanamkan investasi. NGO
berperan ‘memberdayakan’ masyarakat untuk berperan dalam aktivitas sosial, politik, dan ekonomi.
15
dilakukan bila semua sistem mendukung, juga apabila masyarakat turut berperan mengawasi
perilaku birokrat.
Sistem Sekuler, upaya penghitungan kekayaan pejabat menjadi sulit untuk diterapkan,
karena sistem yang ada tidak mendukung dan begitu banyak pajabat yang terlibat dalam perbuatan
curang.
V. PERADILAN
Saluran aspirasi dari rakyat dilakukan melalui Majelis al-Ummah. Majelis al-Ummah
merupakan sebuah majelis yang dipilih oleh rakyat dan anggotanya terdiri atas perwakilan umat
Islam dan non-Islam, baik lelaki maupun perempuan. Para anggota majelis ini mewakili konstituen
mereka di dalam negara Khilafah. Majelis ini tidak memiliki kekuasaan legislasi sebagaimana
halnya lembaga perwakilan dalam sistem parlemen demokrasi, namun lembaga ini memiliki
kewenangan yang berfungsi untuk menyampaikan aspirasi kepada Khalifah. Demikian juga
Khalifah disunnahkan untuk meminta pendapat kepada Majelis Umat, sebagaimana firman Allah
dalam surat Ali Imran (3) : 159 :
17
Artinya : “Dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan tersebut” (TQS. Ali Imran (3) :
159)
Para anggota majelis dapat menyuarakan opini politik mereka secara bebas tanpa takut
dibungkam atau dipenjara. Kekuasaan majelis al-Ummah sebagai berikut :
1.a. Lembaga yang berwewenang untuk memberikan nasehat (atau sebagai lembaga tempat khalifah
berkonsultasi) dalam berbagai aktivitas dan perkara-perkara praktis yang berkaitan dengan
pengaturan urusan bangsa dalam masalah politik dalam negeri yang tidak memerlukan pengkajian
dan analisis mendalam, semisal : penyediaan berbagai pelayanan penting untuk rakyat agar
mereka merasakan ketentraman hidup; dal aspek pemerintahan, pendidikan, kesehatan, ekonomi,
perdagangan, perindustrian, pertanian dan semisalnya; juga seperti permintaan rakyat akan
perbaikan kota-kota mereka dan penjagaan keamanan mereka. Pendapat Majelis Umat dalam
semua masalah ini bersifat mengikat bagi Khalifah, artinya pendapat mayoritas harus
dilaksanakan.
b. Dalam perkara-perkara pemikiran yang memerlukan pengkajian mendalam dan analisis, seperti
keuanga, kebijakan luar negeri dan militer. Khalifah memiliki hak untuk merujuk pada Majelis
Umat guna berkonsultasi dan mendengar opini. Namun opini ini tidak bersifat mengikat.
2.Majelis memiliki hak menilai kinerja Khalifah dalam tindakan-tindakan kenegaraan yang telah
dilaksanakannya, baik dalam hal yang berkenaan dengan urusan dalam maupun luar negeri,atau
keuangan atau ketentaraan dan sebagainya. Pandangan majelis dalam hal ini bersifat mengikat
bila suara dalam Majelis mayoritas, dan tidak mengikat bila suara dalam Majelis tidak mencapai
angka mayoritas.
3.Majelis memiliki hak untuk mengekspresikan ketidakpuasan para pembantu Khalifah, Wali
(Gubernur) dan Amil (Walikota). Dalam hal ini suara Majelis bersifat mengikat dan Khalifah
harus mencopot pejabat yang bersangkutan bilamana perlu.
4.Khalifah wajib merujuk pada suara Majelis umat dalam hal hukum perundang-undangan,
konstitusi dan norma-norma agama yang hendak diterapkan. Para anggota Majelis yang Islam
memiliki hak untuk membahas hal tersebut dan mengemukakan pandangan mereka tentang hal
itu, namun opini mereka tidak bersifat mengikat.
5.Berhak menyusun daftar dan membatasi kandidat Khalifah, tidak ada kandidat dari luar daftar
yang disusun majelis yang berhak dipilih sebagai Khalifah dan keputusan majelis dalam hal ini
bersifat mengikat. Hanya anggota majelis yang beragama Islam yang berhak ikut menyusun
daftar ini.
Saluran aspirasi dalam sistem Khilafah, memberikan peluang yang luas bagi warga untuk
menyampaikan keluahannya, namun juga menutup menutup segala celah masuknya perundang-
undangan, atau ketetapan Khalifah, yang berasal bukan dari Allah SWT. Pada sistem sekuler,
saluran aspirasi rakyat melalui DPR, telah membuka pintu yang lebar untuk dependesi perundang-
undangan dan keputusan kepala negara pada kepentingan pemodal –ingat sistem kepartaian yang
menentukan anggota parlemen.
18
VI. PARPOL DAN KESADARAN POLITIK MASYARAKAT DAULAH
Partai-partai dalam Khilafah berfungsi menjalankan tugas mulia yaitu menjaga pemikiran
Islam di tengah-tengah masyarakat, dan memastikan pemerintah tidak menyimpang dari
implementasi dan pengembangan Islam. Islam memerintahkan untuk mendirikan partai-partai
politik. Untuk mendirikan partai politik tidak perlu izin dari pemerintah, karena syari’at telah
memberi izin untuk itu. Sebagaimana firman Allah SWT :
Artinya : “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar. Merekalah orang-orang yang
beruntung.” (TQS. Ali Imran (3) : 104).
Fungsi partai ini hakekatnya adalah menjaga Khilafah agar senantiasa mengurusi dan
melayani urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah SWT. Kontrol ini bisa dilakukan dengan
baik, karena kejelasan hukum yang harus diterapkan oleh Khalifah yaitu hukum-hukum Allah SWT.
Partai-partai menjaga Khalifah agar senantiasa menjalankan hukum-hukum Allah SWT. Hal ini
19
menutup celah bagi Khlifah untuk menetapkan hukum yang tidak berasal dari Allah SWT seperti
hukum sesuai keinginan sendiri, atau hukum asing.
Tidak hanya menjadi tugas bagi partai, mengawasi Khalifah juga merupakan hak dan tugas
seluruh warga negara, baik muslim maupun non muslim. Walau suara dan aspirasi rakyat terwakili
di dalam Majelis al-Ummah, rakyat tetap memiliki hal dan tugas dalam hal-hal tertentu untuk
menjalankan tugas ini sendiri. Sebagaimana sabda Rasulullah saw :
Artinya :”Demi Dia yang nyawaku berada di tanganNya, kalian wajib menyeru pada kebaikan dan
mencegah kemunkaran, atau (kalau hal itu tidak dilakukan, maka) Allah akan menimpakan siksa-
Nya atasmu dan apabila engku memohon kepada-Nya, maka Dia tidak akan menjawab doamu”.
Islam juga menekankan pentingnya menegur kezaliman penguasa walau taruhannya adalah
kematian. Rasulullah saw bersabda :
Artinya : “Pemimpin syuhada ialah hamzah bin Abdul Mutthalib dan seseorang yang berdiri
menentang penguasa yang zalim dan ia terbunuh karenanya.”
Tugas menegakkan yang makruf dan mencegah dari yang munkar diemban oleh semua
orang dimanapun mereka berada, termasuk mereka yang bekerja di dalam media, juga wajib
menggunakan posisinya dalem menilai kinerja pemerintahan dan begitu pula mereka yang bekerja
pada bidang yang lainnya.
Umat Islam yang hidup di Negara Khilafah tidak takut kepada apapun selain Allah SWT. Ini
merupkan modal besar untuk menghadapi Khalifah yang menyimpang dan menentangnya saat
diperlukan.
Sangat berbeda dengan sistem khilafah, dalam sistem sekuler fungsi partai lebih nyata
sebagai pihak oposisi dari negara. Sehingga partai lebih kentara mencari-cari kelemahan dari
penguasa. Ditambah lagi, ketidakjelasan hukum berlaku dalam negara, maka partai bisa digunakan
sebagai alat untuk menjatuhkan pemimpin negara yang tidak diinginkan. Dengan menafsirkan
hukum sesuai dengan keinginan atau merubah hukum sesuai keinginan untuk menjerat atau
menjatuhkan penguasa. Sehingga pemerintah yang seperti ini tidak akan stabil dan kuat. Parpol
dianggap juga sebagai kendaraan politik untuk meraih kursi kekuasaan di parlemen. Sehingga
pengaruh parpol tidak mengakar ke tengah-tengah umat, hampir tidak ada peran edukasi politik ke
masyarakat.
20
VII. KESIMPULAN
Sistem khilafah adalah satu-satunya sistem yang bisa menjalankan tugas sebagai pengayom
dan pelayan bagi urusan umat. Khilafah merupakan satu-satunya sistem pemerintahan yang sukses
mengatur Dunia Islam selama 1300 tahun, waktu kejayaan yang tidak tertandingi oleh sistem
manapun.
21