Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH FARMAKOTERAPI II

NYERI PERIFER

Disusun oleh :

Apriliawati Galuh A. Fransisca Devita R. W. Anugerah Adhi L. Bernadetta Amilia R.

(098114094) (098114095) (098114097) (098114109)

PROGRAM STUDI FARMASI FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2012

A. DEFINISI

Menurut International Association for study of Pain (IASP), nyeri adalah sensori subyektif dan emosional yang tidak menyenangkan yang dapat terkait dengan kerusakan jaringan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Biasanya agak sulit melihat adanya nyeri kecuali dari keluhan penderita itu sendiri (Shone, 1995). Nyeri menurut lokasinya dibagi menjadi 2, yaitu nyeri sentral atau nyeri perifer. Nyeri pusat dan nyeri perifer memiliki perbedaan pada lokasi dan defisit neurologis yang menyertai (kejang, muntah, kelemhan, atau kelumpuhan anggota gerak). Nyeri perifer merupakan nyeri yang disebabkan oleh kerusakan pada sistem saraf perifer yang menghantarkan implus ke otak atau ke tulang belakang. Nyeri perifer berasal dari otot, tendon dll atau dalam saraf perifer sendiri. Nyeri yang berasal dari saraf peripheral sebagai contoh yaitu trauma terhadap saraf yang merupakan nyeri neurogenik (Boivie, 1996).

B. ETIOLOGI Nyeri timbul jika rangsang mekanik, termal, kimia, atau listrik melampaui suatu nilai ambang batas tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa yang disebut mediator nyeri (Mutschler, 1991). Nyeri dapat timbul akibat etiologi yang berbeda. Adanya kanker, pembedahan, dan kemoterapi dapat menyebabkan rasa nyeri. Pasien penderita osteroartritis, neuropathi, dan penyakit vaskular akan menyebabkan nyeri. Karena banyaknya penyebab timbulnya nyeri, perlu diperlukan penggolongan rasa nyeri sehingga terapi yang akan diberikan dapat sesuai. Nyeri digolongkan menjadi dua, yaitu a. Nyeri Nosiseptif Nyeri nosiseptif dibedakan menjadi nyeri somatic (timbul dari kulit, tulang, sendi, otot atau jaringan penghubung) dan nyeri visceral (timbul dari organ dalam misalnya usus besar / pankreas) Stimulasi dari ujung saraf bebas dikenal sebagai nosiseptor yang pertama memulai sensasi nyeri. Reseptor ini ditemukan di struktur somatic maupun visceral dan diaktifkan oleh factor mekanis, suhu dan kimia. Pelepasan bradykinins, K+, prostaglandin, histamin, leukotrien,serotonin, and substansi P membuat peka atau

mengaktifkan

nosiseptor.

Aktivasi

reseptor

memicu

aksi

potensial

yang

ditransmisikan sepanjang fiber saraf aferen ke spinal cord. Potensial aksi berlanjut ke tempat timuli noxius ke dorsal horn pada spinal horn lalu menaik ke pusat yang lebih tinggi. Thalamus bertindak sebagai stasiun penyampaian dan melewatkan impuls ke struktur sentral dimana nyeri akan diproses lebih lanjut. Modulasi nyeri dalam tubuh melalui beberapa proses. Sistem opiate endogen yang terdiri dari neurotransmitter (misalnya enkephalins, dynorphins, dan -endorphins) and receptors (misal : , , ) yang ditemukan sepanjang CNS. Opiat endonen akan berikatan dengan reseptor opiat dan memodulasi transmisi impuls nyeri. CNS juga mempunyai jalur descending untuk mengontrol transmisi nyeri. System ini berasal dari otak dan menghambat transmisi nyeri sinaptik pada dorsal horn. Neurotransmitter yang terlibat yaitu opiate endogen, serotonin, norepinephrine. b. Nyeri Neuropathik Nyeri neuropathi secara umum dideskripsikan sebagai rasa nyeri terbakar yang disebabkan oleh adanya luka pada saraf dan biasanya merupakan efek dari pengobatan atau adanya tumor. Pasien dengan nyeri ini biasanya mengalami resistensi terhadap terapi analgesik golongan narkotik. Nyeri neuropathi berkorelasi dengan dengan defisiensi fungsi saraf (Perron, dkk, 2001).

C. GEJALA
Gejala nyeri perifer seperti rasa sakit yang tajam/ menusuk, dan terletak pada lokasi spesifik di tempat yang sakit. Nyeri bisa berupa nyeri tajam, tumpul, rasa terbakar, geli (tingling), menyentak (shooting) yang bervariasi dalam intensitas dan lokasinya. Suatu stimulus yang sama dapat menyebabkan gejala nyeri yang berubah sama sekali (mis. tajam menjadi tumpul). Gejala kadang bersifat nonspesifik (Dipiro, 2005).

D.

PATOGENESIS

Ketika jaringan mengalami trauma dan sel-sel menjadi rusak, sejumlah bahan kimia yang dilepaskan di dekat serat nyeri.

(Anonim, 2011). Beberapa bahan kimia (bradikinin, serotonin, histamin, ion kalium, norepinefrin) akan menstimulasi sedangkan yang lain (leukotrien, prostaglandin, substansi P) mensensitisasi serat nyeri menjadi mudah dirangsang dan memicu potensial aksi menuju sumsum tulang belakang. Semua sel manusia memiliki membran lipid dua lapis. Ketika sel rusak, fosfolipid dan zat lainnya dibebaskan dari sel ke dalam ruang intraselular. Pelepasan fosfolipid memulai kaskade asam arakidonat melalui leukotrien 5-lipo-oksigenase dan siklooksigenase mensintesis leukotrien dan prostaglandin. Leukotrien dan prostaglandin mensensitisasi serat nyeri untuk diaktifkan oleh stimulus lebih kecil daripada ketika bahan kimia ini tidak dekat serat nyeri. Misalnya, tekanan ringan tidak dianggap sebagai menyakitkan dalam kondisi normal, tapi kadangkadang dirasakan sebagai rasa sakit (allodynia) jika leukotrien atau prostaglandin mengelilingi serat nyeri (Anonim, 2011).

Mekanisme nyeri adalah sebagai berikut: Luka pada Sel

Gangguan pada Membran Sel

Fosfolipid Dihambat Kortikosteroid Enzim fosfolipase

Asam Arakidonat

Enzim Lipoksigenase

Enzim Siklooksigenase

Hidroperoksid

Endoperoksid

Leukotrien

Prostaglandin, Bradikinin Sistem Saraf Pusat

Reseptor Nyeri di Ujung Saraf Perifer

Nyeri nosiseptif terjadi dalam 4 fase: 1. Transduksi Tahap ini dimulai ketika adanya stimulus yang mengakibatkan kerusakan jaringan. Selanjutnya, sel-sel yang rusak tersebut melepaskan senyawa-senyawa kimia

(prostaglandin, bradikinin, serotonin, substansi P, dan histamin) sehingga menyebabkan potensial aksi untuk menanggapi kerusakan jaringan. 2. Transmisi Potensial aksi diteruskan dari tempat yang mengalami kerusakan menuju sumsum tulang belakang, yang kemudian naik secara ascending melalui sumsum tulang belakang menuju otak. 3. Persepsi Persepsi merupakan kesadaran dari rasa nyeri.

4.

Modulasi Modulasi merupakan pengahambatan rangsang nyeri atau nosiseptif. Pada fase ini, neuron turun secara descending dari otak kemudian melepaskan substansi yang menghambat transmisi impuls nyeri.

Faktor yang Mengaktifkan Nosiseptor Nosiseptor merespon ketika adanya stimulus yang menyebabkan kerusakan jaringan, seperti yang dihasilkan dari tekanan mekanis yang kuat, panas ekstrim, dsb. Hasil kerusakan jaringan melepaskan berbagai substansi dari sel-sel yang lisis, sama seperti substansi baru yang disintesis pada daerah ynag luka. Beberapa substansi mengaktifkan chanel TRP yang menginisiasi potensial aksi. Substansi tersebut antara lain: 1. Globulin dan protein kinase. Jaringan yang rusak menghasilkan globulin dan protein kinase yang merupakan substansi penghasil nyeri yang paling aktif. 2. Asam arakidonat. Asam arakidonat merupakan salah satu senyawa kimia yang dihasilkan saat terjadinya kerusakan jaringan yang kemudian dimetabolisme menjadi prostaglandin (dan sitokin). Aksi dari prostaglandin dimediasi melalui G protein, protein kinase A. Prostaglandin menghambat pengeluaran potasium ketika terjadi kerusakan nosiseptor, yang disebut depolarisasi. Hal ini membuat nosiseptor lebih sensitif. Aspirin merupakan analgesik yang efektif karena menghambat perubahan asam arakidonat menjadi prostaglandin. 3. Histamin Kerusakan jaringan menstimulasi sel mast untuk menghasilkan histamin ke daerah sekitar. Histamin mengeksitasi nosiseptor. 4. NGF Inflamasi atau kerusakan jaringan memicu pelepasan NGF. NGF kemudian berikatan dengan reseptor TrkA pada permukaan nosiseptor sehingga terjadi aktivasi bnosiseptor. 5. Substansi P dan calcitonin gene-related peptide (CGRP). Kerusakan jaringan dan inflamasi akan menyebabkan pelepasan substansi P dan CGRP yang kemudian mengeksitasi nosiseptor. Kedua peptide ini akan menimbulkan efek vasodilatasi sehingga terjadi pelebaran edema pada daerah sekitar luka. 6. Potasium (K+) Kebanyakan kerusakan jaringan berakhir pada peningkatan kadar ekstraselular ion K+. terdapat korelasi positif antara intensitas nyeri dengan konsentrasi K+.
5

7.

Serotonin (5-HT), asetilkolin (ACh), larutan asam, dan ATP. Senyawa ini dilepaskan ketika terjadi kerusakan jaringan yang mana akan mengeksitasi nosiseptor.

8.

Kejang otot dan asam laktat. Sakit kepala tidak hanya disebabkan oleh kejang otot dari otot polos, namun juga disebabkan oleh peregangan ligamen. Ketika otot hiperaktif atau terjadi penghambatan aliran darah ke otot, maka konsentrasi asam laktat akan meningkat dan menginduksi terjadinya nyeri. Semakin besar laju metabolism jaringan, maka rasa sakit akan semakin cepat. Hiperalgesia : suatu peningkatan sensasi nyeri dalam merespon stimulus besar.

Penjelasan untuk hiperalgesia adalah ambang nyeri pada area disekitar daerah peradangan atau luka menurun. Peradangan mengakyifkan silent nocciceptors dan/atau kerusakan menimbulkan sinyal saraf yang berlangsung secara terus menerus (perpanjanagan rangsang), dimana terjadi perubahan jangka panjang dan sensitisasi nosiseptor. Perubahan ini berperan terhadap amplifikasi nyeri atau hiperalgesia, serta peningkatan nyeri yang terus menerus. Jika seseorang menusuk kulit dengan tajam, akan menimbulkan nyeri yang tajam diikuti engan kulit yang memerah, area hiperalgesia. Allodina: rasa sakit akibat adanya stimulus yang tidak biasanya menimbulkan nyeri. Misalnya, sentuhan ringan pada kulit yang terbakar matahari menghasilkan rasa nyeri karena nociceptor lebih peka karena adanya penurunan ambang silent nocciceptors. Ketika neuron feriferal rusak, terjadi perubahan struktur dan mengubah rute neuron yang rusak dan juga terhubung pada reseptor sensorik. Kesimpulan, beberapa senyawa kimia endogen dihasilkan saat kerusakan jaringan dan peradangan. Produk-produk tersebut merangasang efek pada nosiseptor. Namun, belum diketahui apaka nosiseptor merespon langsung atau tidak langsung rangsangan yang kuat melalui satu atau lebih perantara kimia yang dilepaskan dari jaringan yang trauma.

Serat Nyeri Badan sel dari neuron aferen primer nyeri dari tubuh, wajah, dan kepala berada di ganglia akar dorsal (DRG) dan masing-masing di ganglia trigeminal. Beberapa sel tubuh memicu akson bermielin (serat A delta), dan yang lain memicu akson tak bermielin (serat C). Ujung saraf bebas muncul dari kedua serat A-delta dan serat C, yang tersebar bersama.

(Dafny, 2012).

Sensasi Ganda Nyeri Dua sensasi rasa sakit berurutan dalam interval waktu pendek merupakan hasil dari stimulasi nyeri yang mendadak. Yang pertama adalah segera setelah kerusakan. Hal ini diikuti beberapa detik kemudian dengan sensasi rasa sakit tambahan. Kedua sensasi terpisah beberapa detik karena kecepatan transmisi sensasi dilakukan melalui serat A-delta dan diikuti beberapa detik kemudian dengan transmisi nyeri lambat yang dilakukan melalui serat C. Fenomena ini dikenal sebagai "sensasi nyeri ganda"

(Dafny, 2012).

Klasifikasi Nyeri Nyeri telah diklasifikasikan menjadi tiga jenis utama: a. Nyeri tusuk. Rasa sakit ini disebabkan oleh jarum, tusukan jarum, kulit terpotong, dll memunculkan sensasi rasa yang tajam, menusuk, dan menyengat. Hal ini dilakukan secara cepat dengan serat A-delta. Rasa sakit bersifat lokal dan durasinya pendek. Nyeri menusuk disebut juga nyeri cepat, nyeri pertama atau nyeri sensori. Nyeri menusuk timbul terutama dari kulit, dan dilakukan terutama oleh serat A-delta yang memungkinkan perbedaan (misalnya, memungkinkan subjek untuk melokalisasi nyeri). b. Nyeri terbakar. Disebabkan oleh peradangan, kulit terbakar, dll, dibawa oleh serat C. Jenis rasa nyeri ini lebih menyebar, lebih dan lebih lama dalam durasi. Merupakan rasa sakit yang

mengganggu dan rasa sakit tak tertahankan, yang lokalisasinya tidak jelas. Seperti sakit menusuk, nyeri terbakar timbul terutama dari kulit. c. Nyeri achng. Nyeri ini timbul terutama dari visera dan somatik. Nyeri sakit tidak jelas terlokalisir dan merupakan rasa sakit mengganggu dan tak tertahankan. Nyeri sakit dibawa oleh serat C dari struktur-struktur dalam ke sumsum tulang belakang.

E. MANAJEMEN TERAPI

1.

Sasaran a. b. c. Sentivitas nosiseptor. Konduksi nosiseptif dalam saraf sensorik. Emosional terhadap rasa nyeri.

2.

Tujuan a. b. c. Menurunkan sensitivitas nosiseptor. Memutus konduksi nosiseptif dalam saraf sensorik Mengubah tanggapan emosional terhadap rasa nyeri (Lullmann, 2000).

3.

Strategi a. Non Farmakologis Kompres hangat TENS (transcuterieous electrical nerve stimulation) dengan memberikan arus listrik ringan pada permukaan kulit. Akupuntur : memasukan jarum kecil ke bagian tubuh tertentu. Akupresure : pemberian penekanan pada pusat-pusat nyeri. Distraksi : mengalihkan perhatian terhadap nyeri. Efektif untuk nyeri ringan hingga sedang. Distraksi visual (melihat tv ) Distraksi audio ( mendengar musik) Distraksi sentuhan (massage, memegang mainan) Distraksi intelektual ( merangkai puzzle, main catur)

b.

Farmakologis Menggunakan senyawa yang menurunkan sensitivitas nosiseptor (analgesik antipiretik, anestesi lokal). Menggunakan senyawa yang memutus konduksi nosiseptif dalam saraf sensorik (anestesi lokal).

Terapi farmakologi dalam penanganan nyeri dapat berupa terapi curative (menyembuhkan) ataupun palliative (meringankan). Pengobatan nyeri dada kardia dengan efek vasodilatasi dari nitrogliserin dapat digolongkon dalam tindakan

kuratif, sedangkan penanganan nyeri perifer dengan NSAID dapat digolongkan tindakan palliative. Berikut ini adalah terapi yang dapat diberikan dalam manajemen nyeri (Dipiro, 2005).

Agen Non-Opioid 1. Asetaminofen Merupakan derivate sintetik dari p-aminophenol. Efek analgesik yang dimiliki parasetamol dapat digunakan untuk mengatasi nyeri yang bersifat ringat sampai menengah. Mekanisme aksi dari parasetamol belum jelas, namun diperkirakan menghambat isoenzim COX-3 (suatu varian dari COX-1 yang hanya terdapat di otak) (Gunawan, 2005). Rendahnya efek anti-inflamasi parasetamol disebabkan karena kerja penghambatan biosintesis prostaglandin oleh parasetamol hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksid misalnya di hipotalamus. Sedangkan di daerah inflamasi mengandung banyak peroksid yang dihasilkan oleh leukosit. Obat ini juga tidak memilki efek agregasi platelet, namun diketahui dapat menimbulkan hepatotoksisitas pada kondisi overdosis (Gunawan, 2005). Dosis PCT Bayi < 1 tahun Anak 1 6 tahun Anak 6 12 tahun Dosis /kali 60 mg/kali 60 - 120 mg/kali 150 - 300 mg/kali Dewasa 300 mg 1 g/kali
Tabel dosis Parasetamol (Gunawan, 2005).

Dosis maksimum 360 mg/hari 360 mg/hari

1,2 g/hari

4 g/hari

2.

Aspirin Aspirin dapat digolongkan ke dalam NSAID, namun obat ini memiliki ciri khas yaitu afinitasnya terhadap COX-1 lebih kuat 166 kali dibanding

10

dengan COX-2. Aspirin menghambat biosintesis prostaglandin dengan mengasetilasi gugus serin dari COX-1. Efek anelgesik obat mirip aspirin hanya efektif terhadap nyeri dengan intensitas rendah sampai sedang misalnya sakit kepala, myalgia, atralgia (Gunawan, 2005). Efek samping yang paling sering terjadi adalah induksi tukak peptic (tukak duodenum dan tukak lambung) yang disertai dengan anemia akibat perdarahan saluran cerna. Efek samping lain adalah gangguan fungsi trombosit akibat penghambatan biosintesis tromboksan A2 dengan akibat perpanjangan waktu perdarahan; bronkokonstriksi akibat penghambatan sintesis PG (Gunawan, 2005). Dosis analgesik Aspirin untuk dewasa sebesar 325 650 mg p.o. setiap 3 -4 jam. Untuk anak 15 20 mg/kgBB diberikan tiap 4 -6 jam. Obat ini dikontraindikasikan pada anak di bawah 12 tahun karena dapat menyebabkan sindroma Reye (Gunawan, 2005).

3.

NSAID Golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin terganggu. Setiap obat menghambat siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda (Gunawan, 2005). Enzim siklooksigenase terdapat dalam 2 isoform yaitu COX-1 dan COX2. Kedua isoform tersebut dikode oleh gen yang berbeda dan ekspresinya bersifat unik. Secara garis besar COX-1 esensial dalam pemeliharaan berbagai fungsi dalam kondisi normal di berbagai jaringan khususnya saluran gastrointestinal, ginjal, dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. Prostasiklin yang dihasilkan juga akan meningkatkan level bikarbonat dan produksi mucus yang berperan penting dalam proteksi dari ulkerasi dan perdarahan.Produksi COX-1 juga menyebabkan efek vasodilatasi yang berfungsi mempertahankan laju aliran darah di ginjal dan laju filtrasi glomerulus (Gunawan, 2005). Sedangkan COX-2 yang diinduksi oleh berbagai stimulus inflamatoar misalnya sitokin, endotoksin, dan growth factor juga berperan dalam jaringan vascular dan proses perbaikan jaringan (Gunawan, 2005).
11

a.

NSAID non-selektif/ tradisional t-AINS bekerja dengan menghambat biosintesis prostaglandin dan mengganggu adesi sel leukosit dengan menghambat ekspresi/ aktivitas molekul adesi tertentu, sehingga proses inflamasi dapat ditekan (Gunawan, 2005). NSAID non-selektif bekerja pada kedua isoform enzim

siklooksigenase (COX-1 dan COX-2) sehingga dapat menimbulkan efek iritasi pada saluran gastrointestinal (Gunawan, 2005). Diantara NSAID non-selektif terdapat golongan salisilat, turunan asam asetat, turunan asam propionate, derivat oxicam, dan fenamat (Finkel, 2009) o Turunan asam asetat Indometasin. Memiliki efek antiinflamasi dan analgesik-antipiretik yang sebanding dengan aspirin, namun relatif lebih toksik. Dosis indometasin ialah 2 4 kali 25 mg/ hari. o Turunan asam propionat Obat aspirin derivat asam propionat hampir selurugnya terikat pada protein plasma, efek interaksi misalnya penggeseran obat warfarin hampir tidak ada. Contoh golongan ini adalah Ibuprofen. Obat ini bersifat analgesik sama seperti aspirin, namun dengan daya anti-inflamasi yang tidak terlalu kuat. Dosis sebagai analgesik 4 x 400 mg/ hari. o Turunan oxicam Meloxicam. Obat ini tergolong AINS preferential COX-2 inhibitor karena cenderung menghambat COX 2 dibandign COX 1, tetapi penghambatan COX -1 pada dosis terapi tetap nyata. Meloksikam diberikan dengan dosis 7,5 15 mg sekali sehari. o Fenamat asam mefenamat. Efek anti-inflamasi asam mefenaman kurang bila dibandingkan dengan aspirin. Efek samping terhadap saluran pencernaan sering timbul. Pada orang usia lanjut efek samping diare sering dilaporkan. Dosis asam mefenamat adalah 2 3 kali 250 500 mg/ hari b. Inhibitor COX-2 Obat kelompok ini diharapkan dapat menghindari efek samping pada saluran cerna. Sehubungan dengan diketahuinya COX-2 juga bersifat fisiologis pada jaringan tertentu misalnya sel endotel, ginjal dan lainnya, maka pada Coxibs yang memilki t panjang lebih mudah meningkatkan
12

terjadi resiko kardiovaskular seperti thrombosis dan serangan jantung (Gunawan, 2005). Celecoxib digunakan dalam terapi rhematoid arthritis, osteoarthritis, dan nyeri. Tidak seperti aspirin, celecoxib tidak menyebabkan

penghambatan agregasi platelet dan tidak meningkatkan waktu perdarahan. (Finkel, 2009).

Gambar a. Kelebihan dan Kekurangan AINS golongan tertentu

4.

Anestetik Lokal Anestetik lokal bekerja dalam menghambat pemasukan (influx) ion Na+ ke dalam sel syaraf, sehingga mencegah terjadinya initiasi, propagasi, dan eksitasi neuron. Tipe kanal ion yang dihambat anestetik lokal adalah kanal ion Na+ yang peka terhadap perubahan voltase muatan listrik (voltage sensitive Na+ channels) (Gunawan, 2005). Efek penghambatan generasi dan propagasi impuls yang disebabkan anestetik lokal bersifat reversible dan sering dimanfaatkan dalam tindakan yang menyebabkan rasa sakit misalnya bedah dan operasi gigi (Lllman, 2000). Kebanyakan anestetik lokal tersedia dalam bentuk ampifilik kationik. Sifat fisikokimia ini membantu dalam penembusan membrane, karena adanya gugus polar dan apolar. Gugus ini juga ditemukan dalam membrane fosfolipid dan protein kanal ion. Blokade kanal ion Na+ disebabkan oleh adanya pengikatan anestetik lokal pada region sitosol dari kanal protein, sehingga dibutuhkan penembusan obat ke dalam membrane untuk menimbulkan efek (Lllman, 2000).
13

Anestetik lokal juga mengurangi permeabilitas membran bagi K+ dan Na+ dalam keadaan istirahat, sehingga hambatan hantaran tidak disertai banyak perubahan potensial istirahat. Dapat dikatakan bahwa mekansime kerja utama anestetik lokal adalah dengan bergabung pada reseptor spesifik yang terdapat pada kanal Na, sehingga terjadi blokade kanal (Gunawan, 2005).

Mekanisme efek samping Karena anestetik lokal memblok influx Na+ tidak hanya pada syaraf sensori tetapi juga pada jaringan yang lain, obat ini harus diberikan secara lokal supaya tidak terjadi distribusi sistemik. Adanya pemasukan obat ke dalam sirkulasi sistemik dapat menyebabkan efek samping sebagai berikut : Blokade neuron CNS inhibitor menyebabkan manisfestasi kejang, dan paralisis dengan berhentinya system pernafasan. Blokade konduksi impuls kardia gejala berupa konduksi AV yang tidak normal atau berhentinya kerja jantung (Lllman, 2000).

Bentuk administrasi anestesi lokal.

Gambar b. Bentuk administrasi anestesi lokal http://medicine.tamhsc.edu/basicsciences/next/pdf/local-anesthesia.pdf

Anestesi lokal dapat diberikan melalui berbagai rute, meliputi : pemasukan ke dalam jaringan (anesthesia infiltrasi), injeksi pada cabang syaraf yang melalui daerah yang akan dianestesi (anesthesia konduksi/blok),

danaplikasi pada daerah kulit atau membrane mukosa (aesthesia permukaan) (Lllman, 2000).
14

Bentuk administrasi yang lain yaitu injeksi pada bagian epidural durameter medulla spinalis (anesthesia epidural), blokade subarakhnoid atau intratekal (anesthesia spinal), dan injeksi ke dalam kanalis sakralis (anesthesia kaudal) (Anonim, 2005).

Contoh obat anestetik lokal

Gambar c. Rumus bangun obat anestetik local

Prokain Prokain tidak dapat diberikan sebagai anestetik topical karena obat ini cepat mengalami inaktivasi sebelum dapat melakukan penetrasi ke dalam dermis atau mukosa

Lidokain Golongan anestetik lokal amida iniakan mengalami metabolisme di hati melalui reaksi N-dealkilasi oksidatif Dosis lidokain yang dapat digunakan sebagai anestesi lokal sebesar 3 5 mg/ kg berat badan. Anestesia yang timbul menjadi efektif setelah 5 10 menit, dan bertahan setidaknya selama 45 menit sampai 1 jam

Benzocaine Merupakan suatu anestetik lokal yang tidak memiliki gugus nitrogen yang dapat mengalami prototnasi pada pH fisiolofis, sehingga obat ini cocok sebagai anestetik topikal. (Lllman, 2000).

15

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, 2011, Cancer Pain and Symptom Management Nursing Research Group, UIC College of Nursing Dafny, 2012, Pain Principles, http://neuroscience.uth.tmc.edu/s2/chapter06.html, diakses tanggal 21 Maret 2012 Dipiro, J., et al., 2005, Pharmacotherapy : A Patophysiologic Approach, 6th edition, 1089 1104, McGrawHill Companies Inc, New York Gunawan, 2005, Farmakologi dan Terapi, Edisi 5, 230 272, Departemen Farmakologi dan Terapetik, FKUI, Jakarta Harvey, R., et al., 2009, Pharmacology, 4th edition, 500-517, Lippincott William & Wilkins, Philadelphia Lllman, H., et al., 2000, Color Atlas of Pharmacology, 2nd edition, 194-204, Staudigl, Stuttgart Mutschler, E., 1991, Dinamika Obat, edisi V, 177-183, ITB Press, Bandung Shone, N., 1995, Berhasil Mengatasi Nyeri. 76-80, Arcan, Jakarta Wells B. G., et al., 2009, Pharmacotherapy Handbook, 7th edition, 614, McGrawHill Companies Inc, New York

16

Anda mungkin juga menyukai