Anda di halaman 1dari 17

Marxisme Oleh: Model sastra Abrams sebagai pengantar Bagan ini dikutip dari Teeuw, 1984:50.

(Semesta) Universe Work (karya) (Pencipta) Artist Audience (Pembaca)

Bagan ini kemudian menjelaskan pendekatan sastra yang dikembangkan oleh Abrams yang dikenal dengan pendekatan obyektif, ekspresif, mimetic, dan pragmatik. Pembahasan Marxis dalam makalah ini, sangat dekat dengan pembahasan pendekatan mimetic. Mimetic berasal dari bahasa Yunani: Mimesis sejak dahulu telah digunakan untuk menjelaskan antara karya seni dan kenyataan. Plato dan Aristolteles telah menggunakan istilah tersebut. aspek mimetic telah melahirkan sosiologi sastra . Konsep sosiologi sastra di dasarkan pada dalil bahwa karya sastra ditulis oleh seorang pengarang, dan pengarang merupakan a salient being, makhluk yang mengalami sensasi-sensasi dalam kehidupan empiric masyarakatnya. Dengan demikian, sastra juga dibentuk oleh masyarakatnya, sastra berada dalam jaringan sistem dan nilai dalam masyarakatnya. Dari kesadaran ini muncul pemahaman bahwa sastra memiliki keterkaitan timbal-balik dalam derajat tertentu dengan masyarakatnya; dan sosiologi sastra berupaya meneliti pertautan antara sastra dengan kenyataan masyarakat dalam berbagai dimensinya. Dalam pandangan Wolff (Faruk, 1994:3) sosiologi sastra merupakan disiplin yang tanpa bentuk, tidak terdefenisikan dengan baik, terdiri dari sejumlah studi-studi empiris dan berbagai percobaan pada teori yang agak lebih general, yang masing-masing hanya mempunyai kesamaan dalam hal bahwa semuanya berurusan dengan hubungan sastra dan masyarakat. Aspek mimetic atau sosiologi sastra dalam aliran sastra marxis meyakini bahwa hubungan karya seni dengan kenyataan mejadi ciri utama dalam penelitiannya. Seperti pada Aliran sosialisme realism dimana

Marx menyatakan bahwa seni harus membayangkan atau mencerminkan kenyataan sosial-ekonomi, sebagai alat untuk merombak keadaan masyarakat tersebut. Ideologi Marxisme Borjuis dan Proletariat Dasar ideologi ini adalah diskursus yang menyatakan bahwa sejarah masyarakat dunia mereprentasikan sebuah perjuangan kelas mulai dari masyarakat komunal, feodal, kapitalisme, dan kemudian menuju sosialisme. Di semua periode, umat manusia telah terpecah ke dalam dua kelas, yakni kelas yang mengeksploitasi dan kelas yang dieksploitasi (majikan dan budak, bangsawan dan rakyat jelata, sedangkan dalam perspektif Karl Marx dalam melihat dunia kapitalisme memperkenalkan istilah kelas borjuasi dan proletariat). Basis-struktur dan super-struktur Dalam buku Eagleton Marxism and Literary Criticism (2006:2) mencantumkan: The seeds of that revolutionary understanding are planted in a famous passage in Marx and Engelss The German Ideology (18456): The production of ideas, concepts and consciousness is first of all directly interwoven with the material intercourse of man, the language of real life. Conceiving, thinking, the spiritual intercourse of men, appear here as then direct efflux of mens material behaviourwe do not proceed from what men say, imagine, conceive, nor from men as described, thought of, imagined, conceived, in order to arrive at corporeal man; rather we proceed from the really active man Consciousness does not determinelife: life determines consciousness. Diskursus Marx tersebut menuju kepada pembagian masyarakat ke dalam basis-struktur dan super struktur dengan struktur ekonomi yang tersusun sedemikian rupa sehingga kelas yang pertama dapat hidup dari penghisapan tenaga kerja kelas yang kedua Oleh Marx, kondisi material sebuah masyarakat ditempatkan dalam basis. Basis ini ditentukan oleh dua faktor, yaitu tenaga-tenaga produktif dan hubungan-hubungan produksi. Tenaga-tenaga produktif adalah kekuatan-kekuatan yang dipakai oleh masyarakat untuk mengerjakan dan mengolah alam, sedangkan hubungan-hubungan produksi mencakup pembagian kerja antara manusia yang terlibat dalam sebuah proses produksi . Dinamika sosial dan perjuangan kelas yang menjadi fokus penelitian sastra marxis tersebut pada dasarnya dilatarbelakangi oleh masalah ekonomi. Bagi para penganut aliran marxis, ekonomi adalah landasan tempat dibangunnya superstruktur yang berupa realitas sosial, politik, dan ideologi. Menjaga dan

memperkuat basis ekonomi adalah motif utama yang ada di belakang seluruh aktivitas sosial-politik, yang di dalamnya terkandung juga dimensi-dimensi pendidikan, agama, filsafat, pemerintahan, ilmu pengetahuan, dan seni. Dalam perspektif marxis, kondisi ekonomi erat kaitannya dengan persoalan materi. Kondisi sosio-politis dan ideologis dihasilkan oleh kondisi material yang dinamakan situasi historis. Bagi kritik marxis, baik peristiwa maupun produksi yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dimengerti tanpa adanya pemahaman mengenai persoalan material atau historis yang menjadi tempat terjadinya peristiwa maupun produksi tersebut. Setiap peristiwa dan produksi manusia memiliki sebab-sebab yang bersifat material mapun historis. Gambaran tentang usaha-usaha manusia tidak dapat diperoleh hanya dengan mencari garis besar, esensinya yang kekal atau utama, tetapi dengan memahami kondisi konkretnya di dunia. Oleh sebab itu, analisis marxis tentang peristiwa atau produksi manusia memfokuskan diri pada hubungan di antara kelas-kelas sosio-ekonomis, baik di dalam sebuah masyarakat maupun di antara banyak masyarakat, dan hal tersebut menjelaskan semua aktivitas manusia dengan distribusi dan dinamika kekuatan ekonomi. Negara sebagai superstruktur Sehubungan dengan kondisi ini, maka bentuk negara pun akan muncul dari hubungan-hubungan produksi, bukan dari keinginan manusia untuk membentuk suatu kehidupan kolektif bermasyarakat. Konsep negara seperti ini identik kepada suatu institusi yang bertujuan untuk menjamin kedudukan kelas atas (kelas penghisap), padahal secara normatif negara seharusnya menjamin hak-hak seluruh . individu yang hidup dalam wilayahnya tanpa memandang status sosial mereka. Jadi, secara politis negara adalah alat yang berfungsi meredam usaha-usaha kelas bawah (kelas yang dihisap) dalam usahanya untuk membebaskan diri dari penghisapan kelas atas. Fungsi politis negara tersebut dilegitimasi antara lain oleh pandangan moral, filsafat, hukum, agama, dan estetika sebagai superstruktur yang sifatnya ideologis. Sastra dan Superstruktur Paham marxis berasumsi bahwa sastra dan kebudayaan berhubungan secara dialektikal, dan merupakan akibat dari struktur dan perjuangan kelas pada zamannya. Dengan demikian, sebuah realitas dalam sastra dan kebudayaan itu dipandang sebagai suatu perkembangan yang terus menerus. Daya-daya kekuatan di dalam kenyataan secara progresif dan revolusioner selalu tumbuh untuk menuju kepada sebuah struktur masyarakat yang ideal tanpa kelas.

Dalam konteks kesusastraan marxis, karya sastra dianggap sebagai analisis dan kritik sosial, serta melihat seniman atau sastrawan sebagai penyuluh masyarakat. Dengan kata lain, kesusastraan harus mengecilkan upaya perluasan teknik-teknik estetik dan sebaliknya, menjadi instrumen bagi perkembangan sosial. Seni secara esensial mencerminkan realitas sosial dan ia harus menampilkan ciri-cirinya yang khas. Pada hakikatnya kesusastraan merefleksikan perjuangan kelas. Semua karya sastra ditulis berdasarkan sudut pandang kelas yang merupakan suatu pandangan dunia, yang kemudian mengimplikasikan suatu perspektif tertentu. Menurutnya, pengarang yang mengabaikan sosialisme dalam penciptaan karya sastra berarti tidak mempedulikan masa depan. Jika masa depan sudah diabaikan berarti ia tidak akan mampu untuk menafsirkan masa kini dengan benar sehingga kemampuannya untuk menciptakan karya-karya sastra lain akan hilang. Kemampuannya tersebut hanya akan terbatas pada penciptaan seni yang bersifat statis (Laurenson dan Swingewood 1972:54). Pokok pemikiran kritik sastra Marxis Realisme Sosial Kritikus sastra M.H Abrams mendefenisikan realisme sebagai sebuah gaya penulisan, yang bisa ditemukan dalam apa saja, dimana representasi kehidupan dan pengalaman manusia menjadi tujuan penulisan yang paling penting. Fiksi realis dan fiksi romantik tentunya berbeda, fiksi romantic akan menggambarkan kehidupan seperti yang kita impikan sedangkan fiksi realis berusaha untuk menggambarkan kehidupan atau realitas sosial seperti yang dikenal pembaca pada umumnya. Realisme kemudian berkembang menjadi dua sub-genre yang dikenal dengan realisme sosial dan realisme magic. 1. Realism sosial adalah terminologi yang dipakai para kritikus sastra Marxis. Realism sosial menggambarkan atau merefleksikan pandangan marxis bahwa pertentangan antar kelas sosial merupakan dinamika esensial masyarakat. 2. realisme magic adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan realitas tetapi juga menggambarkan unsur-unsur fantasi yang mengakibatkan terjadinya kekaburan antara serius dan main-main. realisme sosial membicarakan masalah utama tentang evolusi kesusasteraan, cerminan hubungan kelaskelasnya, dan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Karangan Lenin tahun 1905 Organisasi Partai dan Sastra Partai pada dasarnya buku Lenin tidak membahas sastra secara eksplisit tetapi ada tiga hal pokok bagaimana sastra diyakini oleh Lenin. 1. Sastra harus mempunyai fungsi sosial

2.Sastra harus mengabdi kepada rakyat banyak (dalam hal ini menunjukkan bagaimana sastra menjadi sebuah kendaraan politik) 3. Sastra harus merupakan suatu bagian dalam kegiatan partai komunis. Realisme sosial di Uni Soviet di bawah menteri kebudayaan Andrey Zhdanov menyatakan dengan terus terang bahwa kesusasteraan Uni Soviet itu tendensius, karena dalam zaman perjuangan kelas, tidak ada dan tidak boleh ada sebuah kesusasteraan yang bukan kesusasteraan kelas, tidak tendensius, dan dinyatakan nonpolitis. (Selden, 1993:26) Refleksi Lukasc memperkenalkan istilah refleksi (Istilah dari terjemahan Pradopo dalam buku Raman Selden Panduan Pembaca Teori Sastra Masa Kini). Seorang pengarang dianggap tidak lepas dari adanya dunia luar atau kenyataan. Pengarang melakukan refleksi kenyataan dalam gagasan, gambar, perasaan dan seterusnya di dalam karyanya. Menurut Lukasc seorang sastrawan dan seniman harus menampilkan kenyataan dalam keseluruhannya. Di dalam kenyataan tersebut pengarang akan melibatkan diri dan mengambil sikap. Terry Eagleton menjelaskan pula beberap konsep Lukas yang lain adalah totality, typicality, world-historical. Lukasc menolak pengarang-pengarang naturalis, karena naturalis hanya melukiskan kenyataan secara dangkal atau typical. Tidak seperti halnya dengan realis, keterlibatan pengarang membuat karya bercerita secara utuh atau totality dan mengarahkan pembaca untuk memahami realitas pertama (permukaan) dan realitas kedua (realitas sesungguhnya). Lukasc juga menolak para kaum surrealis karena sangat terpaku pada teknik kepengarangan sehingga tidak menyentuh hakikat dari kenyataan dan hanya bermain pada tingkatan gejala-gejala realitas. World Historical, Lukasc banyak dipengaruhi pandangan dialektis marxis Hegelian. Perkembangan dalam sejarah tidak acak atau kacau, pun bukan kemajuan yang datar dan lurus, melainkan lebih merupakan sebuah perkembangan yang dialektis (Selden, 1993:28). Oleh karena itu sastra seharusnya menggambarkan sejarah yang dialektis. Alienasi alienasi dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai keterasingan. Menurut Marx, alienasi merupakan proses historis dimana manusia semakin terasing dari alam dan produk dari aktivitas mereka sendiri yang kemudian oleh generasi selanjutnya dipandang sebagai kekuatan yang lepas dan tertindas, yakni realitas yang teralienasi. Padangan ini didasarkan pada dampak dari proses produksi dalam industri kapitalis. Pandangan kedua tentang alienasi adalah sebuah gambaran tentang perasaan terasing dari masyarakat,

kelompok, kultur, atau diri sendiri yang umumnya dirasakan oleh orang yang tinggal di masyarakat industrial yang kompleks, terutama di masyarakat kota. Alienasi menurut realisme sosial dan Lukasc adalah gambaran kelas proletariat sebagai manusia yang mengalami keterasingan dari alam dan produksi akibat adanya pembagian kerja. Pandangan alienasi ini disepakati oleh Brecht akan tetapi bentuk karya sastra yang harus menggambarkan totalitas dalam pandangan realisme sosial dan Lukasc ditentang oleh Brecht. Oleh karena itu, Brecht memperkenalkan konsep drama dengan efek alienasi yang banyak dipengaruhi oleh konsep formalisme tentang defamiliarisasi. Dalam dramanya para penonton diikutsertakan dalam proses pemaknaan dengan menggunakan alienasi dan defamiliarisasi tersebut salah satu metodenya yaitu dengan menggunakan lagu dan film di sela-sela dramanya agar para penonton dapat melakukan pemaknaan terhadap lakon sekaligus media tersebut membantu penonton untuk melakukan pemaknaan. Jadi alienasi menurut Brecht adalah kondisi keterasingan penonton akan tetapi penonton tidak menerima secara totalitas alienasi tersebut melainkan alienasi tersebut dipahami dengan keikutsertaan penonton dalam drama (tidak ada batasan antara pemain dan penonton) dan penonton yang akan menemukan sendiri pemaknaan alienasi karena adanya defamiliarisasi. Reifikasi Reifikasi menurut Marx adalah suatu kondisi dimana komoditas mengontrol hidup manusia dan segala hal yang bukan komoditas dianggap sebagai komoditas. dalam dunia sastra reifikasi berkaitan dengan perbedaan antara bentuk dan isi. Manshur, dalam jurnal Teori Sastra Marxis dan Aplikasinya menuliskan bahwa bentuk karya sastra sebagai komoditas harus sesuai dengan nilai tukar, yaitu kekuatan pembaca, sedangkan isi harus sesuai dengan nilai penggunaannya, yaitu fungsi sosial karya sastra. Artinya, prinsip karya sastra, menurut teori sastra Marxis, tidak berada di ruang isolasi sosial, tetapi ia berada di dalam kehidupan sosial. Berdasarkan uraian ini dapat dikatakan bahwa teori sastra Marxis tidak menempatkan sastra di ruang isolasi (misalnya sebagai struktur murni, atau sebagai produk dari proses mental penulis) atau pula terpisah dari masyarakat. Mansyur menambahkan Dengan demikian, konsep dan prinsip teori sastra Marxis secara umum berkaitan dengan : (i) bentuk materialisme dialektis yang isinya adalah bahwa materi karya sastra diambil dari realitas sosial yang secara fundamental memiliki asal dalam bentuk produksi, (ii) kekuatan sastra yang terletak pada sejauh mana ia dapat dipahami dalam kerangka yang lebih luas dari kehidupan masyarakat penciptanya, (iii) reifikasi dalam dunia sastra yang membedakan antara bentuk sastra dan isi sastra, yaitu

bentuk berkaitan dengan komoditas (karya dan pembaca), sedangkan isi berkaitan dengan nilai penggunaan karya sastra dalam kehidupan sosial. Dalam pandangan Eagleton reifikasi harus dilihat dari hubungan antara sastra dan sejarah. Hubungan tersebut merujuk kembali ke dasar pemikiran materialisme historis. Perubahan masyarakat dari feodalisme berjuasi ke praktik kapitalisme membentuk pertentangan-pertentangan. pertentangan abadi antara kelas borjuis dan (proletar) yang ditentukan oleh corak produksi masyarakat itu sendiri. Corak produksi akan memperlihatkan bagaimana reifikasi itu bekerja sebagai suatu komoditas yang mengontrol kehidupan manusia. Eagleton mengambil poin tentang permasalahan bentuk dan isi dalam Marxisme dan Kritik Sastra. Marx (dalam Eagleton, 2002: 26) sendiri percaya kalau sastra haruslah mengungkap kesatuan antara bentuk dan isi. Isi dianggap lebih penting ketimbang bentuk karena isi berubah dalam kondisi material masyarakat yang menentukan bentuk tingkatannya. Jadi kritik sastra Marxisme melihat bentuk dan isi berhubungan secara dialektik dan menegaskan keunggulan isi dalam menentukan bentuk. Sementara bentuk, menurut Eagleton (2002: 32) sendiri, selalu merupakan kesatuan yang kompleks. Ia terdiri dari tiga elemen; dibentuk oleh sejarah sastra yang relatif otonom, memiliki hubungan spesifik antara pengarang dan audien, dan keterbatasan pengarang secara ideologis dalam memilih bentuk itu sendiri. Marxisme Strukturalis Lucian Goldmann terkenal dengan teori homologi (persamaan bentuk struktural). Struktur yang dimaksud adalah struktur yang terdapat di masyarakat dan strukutur di dalam karya sastra. Untuk mendukung teorinya tersebut Goldmann meminjam teori pertentangan kelas Marx dengan melihat struktur dalam pertentangan kelas borjuasi dan proletar. Strukturalisme genetik merupakan salah satu teori sastra, yang percaya bahwa karya sastra merupakan struktur, akan tetapi proses dari sejarah yang terus berlangsung, proses strukturasi dan destrukturasi yang hidup dan dihayati oleh masyrakat karya sastra yang bersangkutan. Dalam pandangan Goldman fakta merupakan struktur yang bermakna. Semua aktifitas manusia merupakan respon dari subjek kolektif dan individu dalam situasi tertentu yang merupakan kreasi untuk memodifikasi situasi yang ada agar cocok dengan aspirasinya (Suwardi, 2003:55) Penelitian strukturalisme

genetik yang dikembangkan Goldman terdiri atas : fakta kemanusiaan, subjek kolektif, strukturasi, pandangan dunia dan pemahaman penjelasan. Analisis objektif dan Realisme Sosial Puisi Wiji Thukul Peringatan 1. Analisis objektif Puisi Wiji Thukul Peringatan Peringatan Jika rakyat pergi (1) Ketika penguasa pidato (2) Kita harus hati-hati (3) Barangkali mereka putus asa (4) Kalau rakyat bersembunyi (5) Dan berbisik-bisik (6) Ketika membicarakan masalahnya sendiri (7) Penguasa harus waspada dan belajar mendengar (8)

Bila rakyat berani mengeluh (9) Itu artinya sudah gawat (10) Dan bila omongan penguasa (11) Tidak boleh dibantah (12) Kebenaran pasti terancam (13) Apabila usul ditolak tanpa ditimbang (14) Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan (15) Dituduh subversif dan mengganggu keamanan (16) Maka hanya ada satu kata: lawan!. (17) (Wiji Thukul, 1986)

1. Puisi di atas bersifat mengisahkan suatu gagasan, karena Wiji Thukul menjadi seorang yang dapat digugat atas puisinya (meminjam bahasa bang Pepen) maka gagasan tersebut adalah gagasan yang disampaikan Wiji Thukul. Analisis perlarik pada bait pertama

Jika rakyat pergi (1) pertanyaannya kenapa rakyat pergi? Terutama jika dihubungkan dengan

larik ke (2) Ketika penguasa pidato. Penguasa merujuk kepada orang atau beberapa orang yang memiliki kekuasaan untuk mengatur. Rakyat adalah penduduk suatu negara yang memberikan beberapa kekuasaan atas dirinya kepada penguasa (dapat diatur oleh penguasa). Jika dihubungkan pada larik (1) dan (2) maka rakyat pergi memperlihatkan suatu sikap ketidaksukaan atas penguasa yang sedang berpidato.

Kita harus hati-hati (3) merujuk kembali pada rakyat, sedangkan lirik ke (4) Barangkali mereka

putus asa merujuk kembali pada penguasa. Pada larik (1) dan (2) rakyat pergi saat penguasa berpidato tentu dapat membuat penguasa putus asa larik (4). Jika penguasa putus asa maka mereka dapat menggunakan kekuasaanya dengan militer dan Undang-undangnya untuk mengatur rakyat yang dianggap sudah keluar dari garis yang diaturkan oleh penguasa. Oleh karena itu pada larik ke tiga (3) rakyat harus berhati-hati karena mereka akan berhadapan dengan alat-alat penguasa.

Kalau rakyat bersembunyi (5) Dan berbisik-bisik (6) Ketika membicarakan masalahnya sendiri

(7). Pertanyaannya mengapa rakyat sebagai penduduk suatu negara (kaum mayoritas) harus bersembunyi dan berbisik ketika membicarakan masalahnya sendiri? Ini dapat dihubungkan pada larik ke delapan untuk mendapatkan hubungan fungsionalnya. Penguasa harus waspada dan belajar mendengar (8).

Seperti halnya larik pertama dan kedua yang menunjukkan bahwa ada ketidaksukaan rakyat atas penguasanya sekaligus memperlihatkan adanya pertentangan antara penguasa dan rakyat. Maka larik (5) (6) (7) memperlihatkan rakyat yang sedang berkonsolidasi secara tertutup membicarakan tentang kepentingan bersama yang tergangu oleh kebijakan pemerintah (adanya pertentangan). Pada larik (8) menjelaskan penguasa harus waspada karena jika rakyat sudah melakukan konsolidasi tertutup berarti rakyat sudah tidak percaya dengan kekuasaan yang ada atau rakyat merasa pemerintah tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. Pada larik ke delapan menjelaskan pula bahwa penguasa harus belajar mendengar dalam artian bahwa penguasa harus segera mengakomodasi kepentingan rakyat agar rakyat tidak lagi melakukan konsolidasi untuk mengancam keberadaan penguasa.

Analisis pada Bait Kedua


Bila rakyat berani mengeluh (9) Itu artinya sudah gawat(10)

Pada Bait pertama menjelaskan bahwa penguasa harus belajar mendengarkan rakyatnya. Tapi bait ke Sembilan (9) memperlihatkan bahwa rakyat masih mengeluh artinya penguasa tidak belajar untuk mendengarkan rakyatnya dan tidak berpihak pada rakyat. Jika demikian maka pada larik ke sepuluh (10) Itu artinya sudah gawat menjelaskan keadaan yang menyatakan kondisi gawat baik untuk penguasa maupun untuk rakyat itu sendiri. Rakyat akan memberontak sedangkan penguasa akan mempertahankan kekuasaanya dengan alat negara.

Dan bila omongan penguasa (11) Tidak boleh dibantah (12) Kebenaran pasti terancam (13)

ketiga lirik ini memperlihatkan kekuasaan otoriter penguasa karena tidak mendengarkan suara rakyat. Lirik (11) dan (12) memperlihatkan kekuatan kuasa yang dimiliki oleh penguasa yaitu penguasa tidak boleh dibantah (sikap otoriter pemerintah). Dan jika penguasa bersikap demikian terlihat konsekuensinya pada lirik (13) maka kebenaran pasti terancam. Kebenaran yang dimaksudkan adalah kebenaran suara rakyat yang tidak terakomodasi lagi karena penguas bersikap otoriter.

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang (14) Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan (15)

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan (16) Sikap otoriter pada lirik (14) (15) dan (16) memperlihatkan pertentangan antara rakyat dan penguasa. Lirik (14) memperlihatkan sikap otoriter penguasa dengan tidak mempertimbangkan usul yang berasal dari rakyat. Lirik (15) memperlihatkan sikap otoriter yang melakukan pelarangan untuk melakukan kritik sedangkan pada lirik (16) sikap otoriter penguasa, yaitu dapat menuduh rakyat menggangu keamanan dan melawan kekuasaan.

Maka hanya ada satu kata: lawan!(17)

Jika sebelumnya beberapa larik dimulai dengan kata yang merujuk pada pengandaian maka larik terakhir menunjukkan penegasan. Pengandaian menunjukkan beberapa syarat agar sesuatu dapat terpenuhi. Dalam hal ini jika rakyat sudah merasa tergangu dengan sikap otoriter penguasa dan penguasa menunjukkan sikap yang otoriter makan larik baris terakhir menegaskan hal yang harus dilakukan adalah melakukan perlawan atas ketidakadilan.

Analisis hubungan fungsional Judul dengan lirik mengarah pada peringatan yang ditujukan kepada penguasa. Yang lebih penting dalam puisi di atas adalah hubungan antara rakyat dan penguasa yang diperingatkan. Hal itu dapat dilihat pada tiap liriknya terutama pada lirik bagian akhir (17) dimana kita atau Wiji Thukul atau rakyat diajak untuk melawan penguasa.

2. Ada beberapa tokoh pembicara yang dapat diidentifikasi sebagai tokoh dalam teks.
a) Rakyat = Kita (pronomina persona pertama jamak yang berbicara bersama dengan

orang lain termasuk yang diajak bicara)


b) Penguasa = Mereka (orang-orang yang dibicarakan)

c) Kata kita adalah pronomina persona pertama jamak yang berbicara bersama dengan

orang lain termasuk yang diajak bicara. Jadi dapat disimpukan bahwa Wiji Tukul masuk mengkategorikan dirinya sebagai rakyat sekaligus mengajak rakyat berbicara. Pada larik ketiga (3) menggunakan pronomina kita yang memperlihatkan keberpihakan Wiji Tukul terhadap rakyat. Puisi wiji tukul mengabdi pada kepentingan rakyat seperti halnya yang diusung Lenin dalam bukunya tahun 1905 Organisasi Partai dan Sastra Partai dimana salah satu syaratnya bahwa sastra harus berpihak pada rakyat. 3. pembaca yang disapa dari teks puisi bersifat golongan (saat menulis mengingat partai golongan karya) dan orang kedua yang diajak bicara
a) Golongan

penguasa

peringatan

bagi

penguasa

yang

sedang

berkuasa

pada

zamannya
b) dan golongan rakyat mengajak rakyat untuk bersatu melawan penguasa jika syarat-

syarat (pengandaian pada puisi) pada puisi di atas terpenuhi.


c) Pronomina

mereka sudah jelas merujuk kembali pada penguasa sedangkan Pronomina kita bukan hanya dapat merujuk pada Wiji Tukul tapi pembaca itu sendiri sebagai orang kedua yang diajak bicara dan pembaca konkret.

4. Terdapat pengulangan yang berfungsi sebagai penegasan dalam teks. a) Rakyat + Kita = empat kali
b) Penguasa + Mereka = empat kali c) Pengulangan pengandaian = jika, ketika, barangkali, kalau, dan bila yang akan

dipertentangkan dengan kata maka. Pengulangan rakyat vs penguasa ingin menekankan dua kelas yang sedang bersinggungan. Sedangkan pengulangan pengandaian untuk menekankan syarat-syarat munculnya perlawanan dari rakyat.

2. Analisis Realisme Sosial Pengarang Wiji Tukul dan Realisme sosial Dikutip dari jurnal pendidikan yang ditulis oleh Panji Kuncoro Hadi yang menganalisis antologi puisi Aku Ingin Jadi Peluru. Wiji Thukul dilahirkan dari keluarga miskin, keluarga buruh (baca biografi wiji Thukul). Latar belakang sosial tersebut mempengaruhi pandangan-pandangan dalam menulis puisi atau dalam berkesenian sekaligus dalam menyikapi keadaan-keadaan dalam hidupnya. Puisi-puisi yang diituliskan menggambarkan kenyataan sebenarnya yang dialami. Sekaligus Wiji Thukul adalah pemotret yang baik bagi lingkungannya. Jadi karya-karyanya, dan pandangannya dalam berkesenian, dalam bersastra mengarah pada realisme sosial. Wiji juga ikut bergabung dengan aksi perjuangan petani di Ngawi (1994), Wiji Thukul juga memimpin pemogokan buruh di PT Sritex (1995). Selanjutnya, dengan kalangan mahasiswa dan orang muda yang kritis, Wiji terlibat untuk memperjuangkan kebebasan hak asasi manusia melalui aksi-aksi di jalan di berbagai kota di Pulau Jawa. Wiji juga aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD).Sebagai sastrawan realisme sosial seperti yang telah diutarakan Hadi dan sebagai aktivis politik. Dengan aksinya tersebut Wiji mendapat perlakuan tidak adil dari rezim Orde Baru yang menjadikannya musuh. Aparat militer mengejarnya dengan tuduhan bertanggung jawab atas kerusuhan 27 Juli 1996 di Jakarta. Setelah itu, Wiji hilang atau mungkin dihilangkan. Sebelum hilang, terakhir ia berhubungan telepon dengan Wahyu Susilo, adiknya, 19 Februari 1998. Ia hanya menanyakan kabar dan memberitahu segera akan pulang ke Solo. Tapi nyatanya setelah itu tak terdengar lagi kabarnya. Dari penjelasan singkat wiji tukul ini dapat terlihat keberpihakannya secara politik terutama dalam karya puisinya khusunya pada puisi yang dianalisis Peringatan. Sesuai dengan analisis objektif karya yang telah dilakukan Jika rakyat pergi, Ketika penguasa pidato, Kita harus hati-hati Kata tunjuk pronomina Kita menunjukkan posisi politis atau keberpihakan Wiji terhadap rakyat dan bukan penguasa. Hal tersebut sesuai dengan tindakan politiknya terhadap perjuangan petani, buruh dan usahanya dalam menegakkan hak-hak asasi manusia. Wiji yang lahir dari keluarga miskin membentuknya menjadi orang yang membela kaum marjinal atau menggunakan istilah marxisme kaum proletariat. Realisme sosial dan kondisi sosial Orde Baru Orde baru merupakan sebutan bagi masa pemerintahan Soeharto yang memiliki semangat koreksi total atas penyimpangan yang dilakukan oleh orde lama. Pemerintahan orde baru Berlangsung dari tahun 12

Maret 1967 21 Mei 1998. Berdasarkan tolak ukur keberhasilan demokrasi maka pemerintahan orde baru memperbaiki hubungan internasional dengan berbagai negara terutama dengan Malaysia dan Amerika. Setelah memperbaiki hubungan luar negeri tersebut Orde baru memperbaiki kebijakan ekonominya. Melalui pemikiran Prof. Dr. Wijoyo Nitisastro, Prof. Dr. Ali Wardana, Prof. Dr. Sumitro Joyohadikusumo, Drs. Radius Prawiro, Prof. Dr. Ir. Moh. Sadli, Prof. Dr. Emil Salim, Drs. Frans Seda, dan Prof. Dr. Subroto hasil pendidikan dari Universitas California, Berkeley, Amerika Serikat berusaha menata kembali struktur ekonomi Indonesia yang berorientasi pasar dan pembangunan. Karena orientasi pemikiran ekonomi Indonesia yang selalu bertumpu pada para alumnus Berkeley tersebut menyebabkan mereka dijuluki Mafia Berkeley. Dengan cara memperbanyak modal asing datang, industri berkembang pesat, dan muncul kesempatan kerja. Indonesia juga menjalin kerja sama dengan lembaga keuangan dunia, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia (World Bank) dan organisasi lainnya. Kebijakan ekonomi ini telah meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia sekaligus menghadirkan ketimpangan sosial yang begitu besar hingga kemudian melahirkan reformasi 1998. Pada zaman Orde Baru penegakan hukum ditindak keras dengan kekuatan partai Golkar, TNI, dan lembaga dukungan kapital internasional untuk mempertahankan dominasi Soeharto. Dalam mempertahankan dominasi tersebut, Soeharto sering kali menggunakan kekerasan bagi yang melawan aturan, seperti adanya penghilangan bagi yang terlihat memberontak termasuk Wiji Tukul. Keamanan sangat tinggi dengan adanya persatuan antara ABRI dan POLRI sehingga tidak dapat terelakkan pemerintahan dengan semena-mena melakukan korupsi dan KKN karena ABRI dan POLRI menjadi kaki tangan para penguasa. Zaman Orde Baru kurang memperhatikan penegakkan HAM. Akibat: pers tidak dapat mengeluarkan pendapat, praduga tak bersalah tidak dijalankan, penekanan terhadap kaum chinese (karena dianggap komunis) dan aspirasi rakyat dikekang seperti demo mahasiswa. Kalau rakyat bersembunyi, Dan berbisik-bisik, Ketika membicarakan masalahnya sendiri. Pada pembahasan objekti karya sastra menjelaskan rakyat yang sedang berkonsolidasi secara tertutup membicarakan tentang kepentingan bersama yang tergangu oleh kebijakan pemerintah (adanya pertentangan). Rakyat sedang melakukan konsolidasi tertutup berarti rakyat sudah tidak percaya dengan kekuasaan yang ada atau rakyat merasa pemerintah tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. Pada pemerintahan Orde Baru telah memperlebar jurang ketimpangan sosial karena pemerintahan orde baru

lebih berpihak pada kepentingan kapital untuk penguasa dan pemilik modal asing. Orde baru tidak mengakomodasi kepentingan rakyat menengah kebawah sehingga sering kali terjadi bentrokan-bentrokan. Puisi Wiji Tukul yang berjudul Peringatan menggugat kondisi sosial Orde Baru yang dianggap tidak berpihak pada rakyat tapi berpihak pada kepentingan Kapital para penguasa dan kepentingan luar negeri terutama Amerika dan sekutunya. Pada puisi tersebut terlihat dua kelas, yaitu penguasa dan rakyat. Jika rakyat pergi, Ketika penguasa pidato. Penggalan puisi ini memperlihatkan keberadaan dua kelas tersebut, di dalam puisi dua kelas tersebut saling dipertentangkan akan tetapi keberpihakan wiji tukul pada rakyat sehingga puisi tersebut merupakan kritik dan peringatan seperti pada judul puisi sebuah peringatan untuk pemerintah dalam hal ini pemerintah orde baru. Peringatan ini hadir karena terjadi ketimpangan sosial ekonomi dan pemerintahan yang otoriter. Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan, Dituduh subversif dan menggangu keamanan. Kutipan dua larik puisi ini memperlihatkan kekejaman dan gambaran orde baru dalam mempertahankan dominasi kekuasaan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, pada orde baru pers menjadi milik penguasa, hukum menjadi milik penguasa, dan aspirasi rakyat akan ditindak dengan kekerasan. Oleh karena itu suara rakyat dibungkam dan siapapun yang berusaha menggangu dominasi kekuasaan Soeharto akan berhadapan dengan moncong senjata atau akan dituduh menggangu keamanan. Hasil Analisis 1. Puisi Wiji Thukul adalah puisi yang bercirikan realisme sosial. Puisinya yang berjudul Peringatan merupakan cerminan kondisi realitas orde baru. Keberpihakan Wiji Thukul pada rakyat di dalam puisinya merupakan ciri realisme sosial yang mana sastra harus berpihak pada rakyat dan kaum tertindas seperti halnya yang diusung Lenin dalam bukunya tahun 1905 Organisasi Partai dan Sastra Partai dimana salah satu syaratnya bahwa sastra harus berpihak pada rakyat. 2. Puisi peringatan merupakan kritik pada penguasa karena bertindak semena-mena terhadap rakyat. Sebuah peringatan bagi penguasa orde baru karena telah menciptakan ketimpangan sosial, membelenggu pers, hukum dan secara khusus di dalam puisi memperlihatkan tidak adanya kebebasan beraspirasi bagi masyarakat. Referensi

Barry, Peter. 2010. Beginning Theory; Pengantar Komprehensif Teori Sastra dan Budaya. Terjemahan dari dari Harfiah Widyawati dan Evi Setriyani dari Beginning Theory, an Introduction to Literary an Cultural Theory (1995). Yogyakarta: Jalasutra. Eagleton, Terry. 2002. Marxisme dan Kritik Sastra. Terjemahan Zaim Rafiqi dari Marxism and Literature Criticism. Depok: Desantara. Faruk. 2010. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogjakarta: Pustaka Pelajar. Hadi, Panji Kuncoro. Kritik Sosial Dalam Antologi Puisi Aku Ingin Jadi Peluru Karya Wiji Thukul (Sebuah Tinjauan Sosiologi Sastra). Dalam jurnal Pendidikan, Volume 15, No. 1. Juni 2009: hal16-41. Luxemburg, Jan Van dkk. 1991. Tentang Sastra. Terjemahan dari Akhdiati Ikram dari Over Literaruur. Cetakan ke 2. (1987) Jakarta: Intermasa. Manshur, Fadlil Munawwar. Teori Sastra Marxis dan Aplikasinya dalam jurnal Bahasa dan Seni, Nomor 1, Februari 2012. Mohamad, Goenawan. 2011. Marxisme Seni Pembebasan. Jakarta: Tempo. Selden, Raman. 1993. Panduan Membaca Teori Sastra Masa Kini. Terjemahan dari Rachmat Djoko Pradopo dari A Reader Guide to Contemporary Literary Theory. Cetakan ketiga (1985) Yogyakarta: Gadja Mada University Press. Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Tyson, Luis. 2006. Critical Theory Today A User-Friendly Guide. New York: Routledge Taylor and Francis Group.

Anda mungkin juga menyukai