Anda di halaman 1dari 51

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Gempa disebabkan oleh peningkatan aktivitas geologi yang terjadi di dalam bumi, seperti terjadinya pergeseran-pergeseran antar lempeng benua pada daerah batas lempeng. Meningkatnya suhu yang dapat menimbulkan penumpukan energi dalam waktu yang lama, dan akhirnya terlepas, menyebabkan getaran dalam tanah. Propinsi Sumatera Barat termasuk propinsi yang berada pada daerah kerentanan gempa yang sangat tinggi. Pada tanggal 30 september 2009 terjadi gempa kuat di Sumatera Barat tepatnya di Pantai Barat Pariaman dengan kekuatan 7,9 SR, standar MMI VII-VIII, dan kedalaman 80 km. Menurut Suhyar (2009) gempa ini disebabkan akibat pergerakan dari dua lempeng yang berada di kawasan Sumatera Barat yaitu lempeng tektonik samudera Hindia dan lempeng Asia. Pertemuan kedua lempeng tersebut terjadi di Pantai Barat Sumatera, dimana lempeng tektonik Samudera Hindia menujam di bawah lempeng Asia. Daerah paling parah terdapat di Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Agam, dan Kabupaten Pesisir Selatan (BMKG, 2009). Kerugian material dan korban pun tidak bisa dielakkan. Berdasarkan data Satkorlak PB, korban tewas tercatat sejumlah 6.234 orang, korban luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688 orang, korban hilang 1 orang. Kerusakan materi meliputi 135.448 rumah rusak

berat, 65.380 rumah rusak sedang, dan 78.604 rumah rusak ringan (BMKG, 2009). Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa kerusakan bangunan mendominasi hitungan statistik mengenai dampak peristiwa gempa bumi di Sumatera Barat. Menurut Boen, dkk (2010), runtuhnya bangunan rumah warga sehingga menyebabkan tingginya korban jiwa saat gempa 30 September 2009 di Sumatera Barat disebabkan karena banyaknya bangunan non-engineered yang terdapat di lokasi tersebut. Bangunan non-engineered adalah bangunan rumah tinggal atau bangunan komersil sampai 2 lantai yang dibangun oleh pemilik dengan menggunakan tukang setempat, menggunakan bahan bangunan yang didapat dari daerah setempat, tanpa bantuan arsitek maupun ahli struktur (Boen, 2010). Penggunaan material bangunan dan tahapan pengerjaan yang tidak sesuai dengan ketentuan menyebabkan bangunan-bangunan nonengineered ini sangat rentan rusak bahkan roboh ketika dihantam gempa. Struktur bangunan di Indonesia hampir dua pertiganya merupakan bangunan non-engineered satu dan dua lantai (Kusumastuti, Pribadi, & Rildova, 2008). Pada penelitian yang sama disebutkan bahwa bangunan tersebut cenderung memiliki kualitas struktural yang rendah dan rentan terhadap gempa bumi. Hal inilah yang menyebabkan banyaknya rumah warga yang merupakan bangunan non-engineered rusak akibat guncangan gempa di Sumatera Barat. Sebagian dari rumahrumah tersebut menggunakan batu kali sebagai material dinding rumah. Perilaku masyarakat membangun rumah dengan memanfaatkan material alam, yakni batu kali sudah menjadi tradisi. Hal ini sangat sulit

untuk diubah meskipun mereka tahu risiko yang akan membahayakan nyawa penghuni rumah tersebut. Akan tetapi karena pertimbangan dapat menghemat biaya pembangunan seringkali keselamatan jiwa dipertaruhkan. Untuk meminimalisir risiko yang ada, maka pada saat pembangunan rumah dinding batu kali mutu material dan pengerjaan harus berdasarkan standar yang ada. Mengingat biaya retrofitting lebih murah dibandingkan dengan rekonstruksi rumah, maka peneliti memperkenalkan prinsip retrofitting guna memperbaiki rumah pasca gempa dengan membuat skripsi yang berjudul Identifikasi Kerusakan dan Rekomendasi Perkuatan (Retrofitting) Rumah Dinding Batu Kali. 1.2 Tujuan dan Manfaat 1.2.1 Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi kerusakan yang terjadi pada rumah dinding batu kali yang rusak akibat gempa 2. Mengetahui penyebab dan jenis kerusakan bangunan secara visual maupun melalui analisa struktur dengan software (SAP 2000 versi 11) 3. Memberikan rekomendasi perbaikan atau perkuatan

terhadap bangunan rumah dinding batu kali.

1.2.2

Manfaat penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai acuan dalam perencanaan dan perbaikan rumah dinding batu kali yang mengalami kerusakan terutama yan disebabkan oleh gempa bumi. 1.3 Batasan Masalah Penulisan dan penelitian tugas akhir ini dilakukan dengan batasan-batasan sebagai berikut: 1. Objek penelitian dibatasi pada rumah dinding batu kali 2. Plesteran dan spesi bangunan eksisting menggunakan mortar kapur 3. Rumah berada di Daerah Pasia Laweh Kabupaten Padang Pariaman 4. Pembebanan dihitung berdasarkan Peraturan Pembebanan Indonesia Untuk Gedung 1983 5. Analisis gempa berdasarkan Tata Cara Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Bangunan Gedung (SNI-03-17262010) 6. Kombinasi pemebanan berdasarkan Tata Cara Perhitungan Struktur Beton Untuk Bangunan Gedung (SNI-03-28472002) 1.4 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dengan merinci pembahasan atas beberapa bab. Hali ini dimaksudkan agar penulisan penelitian ini lebih terarah. Rincian mengenai bab-bab tersebut adalah sebagai berikut: BAB I Pendahuluan

Berisikan hal-hal umum seperti Latar Belakang, Maksud dan Tujuan Penulisan, Batasan Masalah, dan Sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka Bab ini menyajikan penjelasan mengenai konsep dasar mekanisme gempa bumi, dinamika struktur, konsep perencanaan bangunan rumah aman gempa, dan konsep retrofitting. BAB III Metodologi Penelitian Bab ini menjelaskan langkah-langkah penelitian yang dilakukan dalam menyelesaikan skripsi ini. BAB IV Hasil Evaluasi Kerusakan Secara Visual Bab ini menyajikan dokumentasi kerusakan dan jenis kerusakan yang terjadi di lapangan BAB V Analisa Struktur dan Pembahasan Bab ini menyajikan tentang permodelan dan perhitungan struktur rumah dinding batu kali dengna menggunakan dengan software SAP 2000 versi 11 serta membandingkan hasilnya dengan kerusakn yang terjadi di lapangan. BAB VI Rekomendasi Retrofitting dan Re-Analisis Struktur Serta Perhitungana Biaya

Bab ini menyajikan tentang rekomendasi retrofitting untuk rumah dinding batu kali, menganalisa ulang rumah tersebut apakah sudah tahan terhadap gempa, dan menghitung biaya retrofittingnya. BAB VII Penutup Bab ini berisikan kesimpulan dan saran tentang penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 2.1.1 Gambaran Umum Gempa Definisi Gempa Gempa bumi adalah gerakan tiba-tiba pelepasan energi tegangan yang kemudian dipindahkan melalui tanah dalam bentuk gelombang getaran yang dipancarkan ke segala arah dari titik runtuh atau rupture point (Agus, 2002). Banyak pendapat yang berkembang tentang sebab terjadinya gempa bumi diantaranya adalah akibat letusan gunung berapi yang dikenal dengan gempa vulkanik, dan gempa bumi yang diakibatkan oleh kegiatan tektonik. Gaya-gaya tektonik disebabkan oleh proses pembentukan gunung, gerakan patahan lempeng bumi (fault), dan tarikan atau tekanan bagian-bagian benua yang besar. Teori gempa tektonik didasarkan atas asumsi kerak bumi yang terbagi atas beberapa lempeng yang selalu bergeser, sehingga aktivitas gempa terbesar terjadi di daerah yang berada di batas-batas lempeng. Berikut adalah peta lempeng dunia yang selalu mengalami pergerakan (Handayani, 2006).

Gambar 2. 1 Peta Lempeng Dunia (Agus, 2002)

Pergerakan lempeng ini diakibatkan oleh pergerakan arus magma yang berada dibawahnya. Ada empat macam jenis pergerakan yang terjadi pada batas-batas lempeng tersebut (Agus, 2002) yaitu: Subduction, yaitu apabila dua buah lempeng bertemu dan salah satu mengalah dan dipaksa turun ke bawah. Extrusion, yaitu apabila terjadi penarikan satu lempeng terhadap lempeng lainnya. Transcursion, yaitu terjadi gerakan vertikal antara satu lempeng dengan lempeng lainnya. Accretion, yaitu tabrakan lambat antara lempeng benua dengan lempeng lautan. Dalam pengenalan gempa bumi ada empat parameter yang perlu diketahui, (Agus, 2002) adalah:

1. Skala Gempa
Dalam menentukan kekuatan gempa dikenal dua skala yaitu skala richter (skala 1-10) dan skala intensitas (skala I-XII MMI/ Modified Mercally Intensity). Besarnya gempa dalam Skala Richter menunjukkan sebuah ukuran tentang banyaknya energi yang dilepaskan oleh peristiwa tersebut. Sedangkan Skala Intensitas

gempa didefenisikan sebagai ukuran dari kerusakan atau akibat yang ditimbulkan oleh gempa tersebut, dan dibuat berdasarkan apa yang dilihat dan dirasakan manusia.

2. Hypocentre
Lokasi gempa bumi tertentu yang berada di dalam kerak bumi dan diukur sebagai jarak ke permukaan bumi.

3. Epicentre
Suatu titik di permukaan bumi yang langsung berada di atas hypocentre

4. Kedalaman Gempa Bumi


Gempa bumi menurut kedalamannya dibedakan atas: a. Gempa dangkal b. Gempa sedang c. Gempa dalam : h < 60 km : 60 < h < 300 km : h > 300 km

2.1.2 Pengaruh Gempa Terhadap Struktur Apabila terjadi gempa maka struktur akan mengalami pergerakan secara vertikal maupun horizontal. Desain struktur biasanya memiliki faktor keamanan yang mencukupi terhadap gaya vertikal dibandingkan terhadap gaya horizontal sehingga suatu struktur jarang mengalami keruntuhan akibat gempa vertikal. Sedangkan gaya gempa horizontal langsung bekerja pada node-node lemah sehingga dapat menyebabkan keruntuhan.. Akibat gempa yang terjadi, maka akan timbul inersia pada

struktur

karena

adanya

kecenderungan

bangunan

untuk

mempertahankan dirinya. Besarnya gaya inersia F tergantung pada massa bangunan m dan percepatan permukaan persamaan: F = m.a a dalam bentuk

Gambar 2. 2. Model Gaya Inersia (dalam Handayani,2006)

2.1.3.

Kerusakan Akibat Gempa Pada umumnya kerusakan akibat gempa dapat dibagi menjadi

dua, yaitu: 1. 2. Kehilangan jiwa atau cacat jasmani. Keruntuhan dan kerusakan dari lingkungan alam dan konstruksi.

10

Dari segi teknis dan finansial, kita hanya dapat mereduksi bahaya gempa ini untuk gempa-gempa besar. Pada dasarnya perencanaan struktur aman gempa adalah untuk mengurangi korban jiwa, baik yang disebabkan oleh keruntuhan struktur atau kerusakan sekunder seperti reruntuhan bangunan atau kebakaran. Namun, ada bangunan yang memerlukan ketahanan terhadap gempa yang lebih besar daripada jenis struktur lainnya atau tidak boleh rusak sama sekali. Hal ini disebabkan oleh besarnya nilai kepentingan sosial atau finansialnya.

2.2

Dasar Perencanaan Struktur Aman Gempa (Dalam Gusril, 2012)Besarnya beban gempa berbeda-beda dari

satu wilayah ke wilayah lainnya bergantung pada keadaan geografi dan geologi setempat. Beban gempa harus diperhitungkan untuk daerahdaerah rawan gempa. Analisis gempa pada bangunan terutama pada bangunan tinggi perlu dilakukan dengan pertimbangan keamanan struktur dan kenyamanan penghuni bangunan. Beban gempa lateral akan menimbulkan simpangan yang dapat membahayakan. Oleh karena itu perlu dilakukan kontrol terhadap simpangan ini. Konsep dasar bangunan aman gempa secara umum adalah sebagai berikut: 1. 2. Bangunan tidak boleh rusak komponen struktural maupun nonstruktural ketika mengalami gempa kecil yang sering terjadi. Bangunan tidak boleh rusak komponen strukturalnya ketika mengalami gempa sedang yang hanya terjadi sesekali.

11

3.

Bangunan tidak boleh runtuh ketika mengalami gempa besar yang sangat jarang terjadi.

2.3 2.3.1

Bangunan Non-Engineered Definisi Bangunan Non-Engineered Bangunan non-engineered adalah bangunan rumah tinggal atau

bangunan non komersil sampai 2 lantai yang dibangun oleh pemilik, menggunakan tukang setempat, menggunakan bahan bangunan yang ada pada daerah setempat, tanpa bantuan arsitek ataupun ahli struktur.

2.3.2 struktur:

Sistem Struktur untuk Bangunan Non-Engineered Biasanya bangunan non-engineered memakai dua sistem 1. Konstruksi dinding pemikul: memikul beban vertikal dan beban lateral (unconfined mansory) 2. Konstruksi dengan rangka: a. Dinding dengan beban rangka sederhana untuk menahan beban vertikal dan beban lateral (confined mansory) b. Rangka balok dan kolom kaku untuk menahan beban vertikal lateral serta diberi dinding pengisi

2.3.3

Kategori Kerusakan 1. Kategori 0: tidak rusak (t) a) b) Kerusakan:Tidak ada kerusakan. Tindakan:Tidak perlu ada tindakan

12

2. Kategori 1: ringan - non struktur (r) a) Kerusakan : Retak halus pada plesteran serpihan plesteran berjatuhan mencakup luas yang terbatas. retak halus adalah retak dengan lebar celah lebih kecil dari0.075cm. b) Tindakan : Bangunan perlu dikosongkan danboleh dihuni kembali setelahdilakukan restorasi (restoration) dan perkuatan (strengthening). laksanakan restorasi komponen struktur yang rusak dan kalau perlu dilakukan perkuatan untuk menahan beban gempa. setelah itu baru dilakukan perbaikan (repair) secara arsitektur. 3. Kategori 2: ringan - struktur (r) a) Kerusakan: retak kecil pada dinding, plesteran berjatuhan mencakup luas bagian-bagian nonstruktur, seperti: lisplank, dsb. Kemampuan memikul beban tidak banyak berkurang. retak kecil adalah retak dengan lebar celah tidak lebih dari 0.5 cm. b) Tindakan: bangunan tidak perlu dikosongkan, diperlukan perbaikan (repair) yang bersifat arsitektur agar daya tahan bangunan tetap terpelihara. 4. Kategori 3: sedang (s) a) kerusakan: retak besar pada dinding; retak menyebar luas di banyak tempat, seperti: pada dinding pemikul beban dan kolom. Kemampuan struktur untuk memikul beban sudah sebagian berkurang. retak besar

13

adalah retak dengan lebar celah lebih besar dari 0.5 cm. b) Tindakan : bangunan perlu dikosongkan dan boleh dihuni kembali dan setelah dilakukan restorasi (restoration) perkuatan (strengthening).

laksanakan restorasi komponen struktur yang rusak dan kalau perlu dilakukan perkuatan untuk menahan beban gempa. setelah itu baru dilakukan perbaikan (repair) secara arsitektur. 5. Kategori 4: berat (b) a) Kerusakan: dinding pemikul beban terbelah dan roboh, kegagalan komponen komponen pengikat menyebabkan bangunan terpisah. kira-kira lebihdari 40% komponen struktur utama mengalami kerusakan. bangunan menjadi sangat berbahaya. b) Tindakan: bangunan harus dikosongkan. bangunan dapat dirobohkan atau dilakukan restorasi 6. Kategori 5: roboh a) Kerusakan: sebagian besar atau seluruh bangunan roboh. b) Tindakan: bersihkan lokasi, kumpulkan Bahan yang masih dapat dipakai Dan bangun kembali. (Teddy Boen, 2002) dan perkuatan secara menyeluruh sebelum dihuni kembali.

14

2.3.4

Kerusakan Tipikal Bangunan Non-Engineered Menurut(Boen,2009) kerusakan tipikal bangunan nonengineered di indonesia berdasarkan hasil pengamatan selama kurang lebih 35 tahun adalah sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. GentengMelorot Dinding terpisah antara pertemuan 2 dinding Kehancuran pada pojok-pojok dinding Dinding retak pada sudut-sudut bukaan Dinding retak diagonal Dinding roboh Kegagalan sambungan balok-kolom Bangunan roboh

2.3.5

Sebab-Sebab Kerusakan Bangunan Non-Engineered Pada umumnya, kerusakan atau robohnya dinding disebabkan

beban tegak lurus bidang dinding dan beban sejajar bidang dinding. Namun demikian, penyebab utama kerusakan adalah akibat beban tegak lurus bidang dinding. Disamping itu, kerusakan juga disebabkan oleh mutu bahan yang rendah, mutu pengerjaan yang rendah dan kurangnya pemeliharaan.

2.3.6

Faktor-Faktor Yang Mempengauhi Struktur Rumah Aman Gempa

15

Menurut (Boen, 2002) dan SNI-1726-2002 terdapat 13 hal yang yang dapat menyebabkan kerusakan pada bangunan, yaitu: 1. Kondisi tanah a. Kondisi tanah sangat mempengaruhi kerusakan pada bangunan b. Karakteristik goncangan dipengaruhi oleh jenis lapisan tanah yang mendukung bangunan 2. Konfigurasi bangunan Bangunan sebaiknya mempunyai daerah yang sederhana, simetris, dan berbentuk persegi panjang. Begitu juga dengan penampang bangunan tersebut. Bangunan yang sederhana akan menghasilkan respon gempa yang beraturan sehingga dapat mengurangi kemungkinan terjadinya konsentrasi gaya gempa pada satu bagian bangunan. Distribusi gaya gempa yang beraturan akan mengurangi resiko kerusakan bangunan akibat gempa. Rasio panjang bangunan terhadap lebarnya sebaiknya dibatasi kurang dari 3. Hal ini diperlukan untuk menghindari adanya ketimpangan antara sumbu kuat dan sumbu lemah pada suatu denah bangunan. Tonjolan pada denah bangunan diijinkan dengan catatan bahwa panjangnya tersebut kurang dari 25% ukuran denah terbesar pada arah tonjolan tersebut. Hal ini diatur dalam SNI-03-1726-2002 pada pasal 4.2.1 tentang struktur

16

bangunan beraturan. Visualisasi ketentuan ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Gambar 2.3 Bentuk-bentuk struktur bangunan yang tidak beraturan(Jurnal Perencanaan Struktur Swalayan,2000)

Jika denah bangunan tidak dapat memenuhi ketentuan diatas, maka disarankan dilakukan pemisahan struktur bangunan tersebut (delatasi). Namun hal yang perlu diingat adalah delatasi harus dapat mengakomodir simpangan maksimum struktur bangunan agar ketika terjadi gempa, kedua struktur bangunan tidak saling bertabrakan. Dalam SNI-03-1726-2002 pasal 8.2.3 dan pasal 8.2.4 ditetapkandelatasi minimum adalah nilai maksimum dari 2,5% tinggi total bangunan atau 75 mm. 3. Kekakuan SNI-03-1726-2002 pasal 4.2.1 mengatur bahwa kekakuan lateral struktur bangunan harus beraturan tanpa adanya tingkat lunak. Perbedaan kekakuan antara tingkat harus kurang dari 30% atau kurang dari 20% rata-rata kekakuan 3

17

tingkat di atasnya. Ketidakteraturan kekakuan dapat menyebabkan respon dinamik bangunan yang tidak beraturan yang berdampak terjadinya konsentrasi kerusakan pada tingkat yang lemah. Tingkat lemah juga sering terjadi pada lantai dasar bangunan pertokoan bertingkat atau bangunan dengan peruntukan parkir di lantai dasar. Tingkat lemah pada kasus ini terjadi akibat keinginan untuk mendapat ruang yang lebih besar sehingga penggunaan dinding pada lantai dasar tersebut dibatasi. Sebaiknya pada lantai diatasnya, rangka struktur menjadi sangat kaku karena adanya dinding penyekat ruangan. Perbedaan kekakuan yang sangat besar ini membuat beban gempa menjadi terkonsentrasi pada tingkat lemah. Oleh sebab itu, desain yang lebih cermat diperlukan untuk lantai dasar. 4. Massa Selain keteraturan dalam kekakuan, juga diperlukan keteraturan dalam distribusi massa. Batasan perbedaan berat antar tingkat adalah 150% baik pada tingkat diatasnya maupun dibawahnya. 5. Kontinuitas elemen vertikal Desain arsitektur seringkali menuntut kebutuhan ruang yang cukup besar sehingga keberadaan elemen vertikal (kolom) dianggap mengganggu. Tidak jarang di beberapa desain bangunan, elemen vertikal tidak menerus sampai ke

18

pondasi. Kondisi ini dapat berbahaya karena mengganggu distribusi gaya geser gempa ke pondasi. 6. Sambungan balok kolom Sambungan balok kolom berfungsi sebagai pengekang agar balok tidak berotasi bebas. Fungsi pengekangan akan berjalan dengan baik sehingga sambungan ini kaku dan bersifat monolit. Di sisi lain sambungan akan mengalami gaya geser yang sangat besar. Untuk itu maka diperlukan sengkang yang cukup pada bagian sambungan ini terutama sengkang kolom. Kegagalan pada sambungan balok kolom dapat berakibat fatal yang berakhir dengan keruntuhan bangunan. Banyak kasus kerusakan bangunan akibat gempa, disebabkan oleh masalah ini. Sengkang pada sambungan balok kolom sering dilupakan karena mungkin alasan kesulitan pemasangan dilapangan, atau memang karena desainnya tidak cukup. 7. Kekuatan bangunan, meliputi: a. Struktur harus memiliki kekuatan untuk menahan goncangan gempa dan terutama pengaruh rocking. Rocking umumnya tejadi pada bangunan rumah rakyat yang kaku. b. Semua komponen bangunan, pondasi, kolom, balok, dinding, rangka atap, atap harus disambung satu dengan lainnya sehingga ketika digoncang gempa bangunan bergetar sebagai satu kesatuan.

19

Bangunan kaku

rocking ketika diguncang gempa (Boen, 2002)

Gambar 2.4 contoh ilustrasi bangunan yang terlalu kaku

8. Daktalitas Material struktur yang mempunyai berdeformasi plastis serta mempunyai sifat daktalitas yang tinggi akan mempunyai ketahanan yang baik dalam pengaruh gemp ayang bersifat bolak balik karena material ini mempunyai tingkat pemancaran energi gempa yang baik. Kemampuan suatu struktur gedung untuk mengalami simpangan pascaelastik yang besar secara berulang kali dan bolak-balik akibat beban gempa di atas beban gempa yang sambil menyebabkan terjadinya pelelehan pertama,

mempertahankan kekuatan dan kekakuan yang cukup, sehingga struktur gedung tersebut tetap berdiri, walaupun sudah berada dalam kondisi di ambang keruntuhan. Sifat daktalitas dapat membatasi besarnya gaya gempa yang bekerja pada struktur. Semakin besar sifat daktaliatas suatu material yang digunakan pada struktur maka akn semakin besar pula tingkat pemancaran energi yang dipunyai oleh

20

sistem struktur tersebut, sehingga gaya gempa yang bekerja kedalam struktur akan semakin kecil. 9. Pondasi a. Bangunan yang kuat pada bagian atas kadang-kadang mengalami kegagalan karena pondasinya tidak kuat b. Likuifaksi dan perbedaan penurunan pondasi dapat menyebabkan bangunan miring, retak, bahkan kehancuran pada struktur bagian atas. 10. Mutu konstruksi Pada umunya kerusakan bangunan disebabkan oleh: a. Mutu bahan yang rendah b. Mutu pengerjaan yang rendah

2.4 2.4.1

Rumah Aman Gempa Definisi Rumah Aman Gempa Secara sedehana definisi rumah aman gempa adalah bangunan

atau rumah warga yang apabila diguncang oleh gempa, maka bangunan tersebut tidak mengalami kerusakan pada elemen struktural.

21

2.4.2

Fungsi Rumah Aman Gempa Para ahli gempa, teknik dan konstruksi bangunan sepakat

bahwa penyebab utama jatuhnya korban jiwa adalah kurangnya kualitas dan standar suatu bangunan (mengabaikan mutu bahan, struktur bangunan serta teknik pengerjaan yang benar). Karena itu pemerintah melalui SNI 1726 2002 tentang Standar Perencanaan Ketahanan Gempa untuk Struktur Bangunan Gedung, secara spesifik menyebutkan bahwa standar tersebut dibuat dengan : 1. 2. Menghindari korban jiwa manusia oleh runtuhnya gedung akibat gempa yang kuat Membatasi kerusakan gedung akibat gempa ringan sampai sedang, sehingga masih dapat diperbaiki 3. 4. 2.5 Membatasi ketidaknyamanan penghuni ketika terjadi gempa Mempertahankan setiap layanan vital dari fungsi gedung Analisis Struktur Terhadap Beban Gempa Prosedur analisis yang paling sederhana dan yang langsung dapat digunakan untuk menentukan pengaruh dari beban gempa terhadap struktur bangunan adalah prosedur analisis statik. Analisis

22

statik hanya boleh dilakukan untuk struktur-struktur bangunan dengan bentuk yang sederhana dan beraturan atau simetris, yang tidak menunjukkan perbandingan yang menyolok dalam perbandingan antara berat dan kekakuan pada tingkat- tingkatnya. Prosedur analisis statik ini hanyalah suatu cara pendekatan yang menirukan pengaruh dinamik dari beban gempa yang sesungguhnya. 2.5.1 Pengaruh Beban Gempa Horisontal Pengaruh beban gempa horisontal dapat bekerja pada masingmasing arah dari sumbu utama bangunan, atau pada kedua arah sumbu utama dari struktur bangunan secara bersamaan. Pengaruh bekerjanya beban gempa secara bersamaan pada kedua arah sumbu utama, dapat sangat membahayakan kekuatan struktur. Oleh karena itu agar sistem struktur tetap mampu untuk menahan beban gempa yang bekerja, maka unsur-unsur vertikal utama (kolom-kolom) dari struktur bangunan yang berfungsi untuk menahan gaya horisontal, perlu direncanakan kekuatannya terhadap pengaruh 100% dari beban gempa dalam satu arah sumbu utama bangunan, dikombinasikan dengan pengaruh 30% dari beban gempa dalam arah tegak lurus padanya. Kombinasi pembebanan yang perlu ditinjau untuk merencanakan kekuatan dari kolom-kolom struktur adalah : Beban gravitasi + 100% beban gempa arah X + 30% beban gempa arah Y Beban gravitasi + 30% beban gempa arah X + 100% beban gempa arah Y

23

Gambar 2.6 Arah gempa pada struktur bangunan gedung (Journal ,2002)

2.5.2

Pengaruh Beban Gravitasi Vertikal Beban gravitasi vertikal pada struktur bangunan dapat terdiri

dari kombinasi antara beban mati dan beban hidup. Beban-beban hidup yang bekerja pada struktur bangunan pada umumnya dapat direduksi pada saat dilakukan analisis beban gempa pada struktur tersebut, sehubungan dengan kecilnya kemungkinan bekerjanya beban hidup penuh dan pengaruh beban gempa penuh secara bersamaan pada struktur secara keseluruhan. Tujuan mereduksi beban hidup ini adalah untuk mendapatkan desain struktur yang cukup ekonomis. Besarnya beban mati dan beban hidup dapat dihitung dengan mengacu padastandar pembebanan yang berlaku. 2.5.3 Beban Gempa Statik Ekuivalen Analisis perancangan struktur bangunan terhadap pengaruh beban gempa secara statik, pada prinsipnya adalah menggantikan gayagaya horisontal yang bekerja pada struktur bangunan akibat pengaruh pergerakan tanah yang diakibatkan gempa, dengan gaya-gaya statik yang ekuivalen Dalam analisis respons dinamik terhadap pengaruh

24

gempa, suatu struktur gedung dimodelkan sebagai suatu sistem Banyak Derajat Kebebasan (BDK). Dengan menerapkan metoda Analisis Ragam, persamaan-persamaan gerak dari sistem BDK tersebut yang berupa persamaan-persamaan diferensial orde dua simultan yang saling terikat, dapat dilepaskan saling keterikatannya sehingga menjadi persamaan-persamaan gerak terlepas sistem Satu Derajat Kebebasan (SDK). Hal ini dilakukan melalui suatu transformasi koordinat dengan matriks eigenvektor sebagai matriks transformasinya. Respons dinamik total dari sistem BDK tersebut selanjutnya menampilkan diri sebagai superposisi dari respons dinamik masingmasing ragamnya. Respons dinamik masing-masing ragamnya ini berbentuk respons dinamik suatu sistem SDK, dimana ragam yang semakin tinggi memberikan sumbangan respons dinamik yang semain kecil dalam menghasilkan respons dinamik total Tujuan dari analisis statik adalah untuk menyederhanaan prosedur perhitungan. Prosedur analisis statik yang sering digunakan pada praktek perencanaan struktur bangunan gedung, adalah Analisis Beban Gempa Nominal Statik Ekuivalen. Pada metode ini diasumsikan bahwa gaya horisontal akibat gempa yang bekerja pada suatu elemen struktur, besarnya ditentukan berdasarkan perkalian antara suatu koefisien atau konstanta, dengan berat atau massa dari elemen-elemen struktur tersebut 2.5.4 Beban Gempa Dinamis Analisis dinamik pada perencanaan struktur bangunan gedung tahan gempa dilakukan jika diperlukan evaluasi yang lebih akurat dari

25

distribusi gaya-gaya gempa yang bekerja pada struktur bangunan gedung, serta untuk mengetahui perilaku dari struktur akibat pengaruh gempa yang sifatnya berulang atau dinamik. Pada struktur bangunan gedung yang tinggi atau struktur bangunan gedung dengan bentuk atau konfigurasi yang tidak beraturan, analisis dinamik diperlukan untuk mengevaluasi secara akurat respons dinamik yang terjadi dari struktur. Analisis dinamik perlu dilakukan pada struktur-struktur bangunan gedung dengan karakteristik sebagai berikut : A. Gedung-gedung dengan konfigurasi struktur sangat tidak beraturan B. Gedung-gedung dengan loncatan-loncatan bidang muka yang besar C. Gedung-gedung dengan kekakuan tingkat yang tidak merata D. Gedung-gedung yang tingginya lebih dari 40 meter Prosedur analisis dinamik yang dapat digunakan untuk menentukan besarnya beban gempa pada struktur seperti yang tercantum di dalam standar Perencanaan Ketahanan Gempa Untuk Struktur Rumah dan Gedung (SNI 03-1726-2002), adalah metode Analisis Ragam Spektrum Respon (Spectral Modal Analysis) dan Analisis Respon Dinamik Riwayat Waktu (Time History Analysis). nilai akhir dari respon dianamik struktur bangunan gedung terhadap pembebanan gempa dalam suatu arah tertentu tidak boleh kurang dari 80 % nilai respon ragam yang pertama. Bila respon dinamik gedung dinyatakan dalam gaya gempa V maka persyaratan tersebut dapat dinyatakn menurut persamaan berikut

26

V 0,8 V1 Dimana v1 adalah beban gempa nominal 2.5.5 Wilayah Gempa dan Respon Spektrum Pada Peta Hazard Gempa Indonesia 2010 Penentuan wilayah gempa Peta Hazard Gempa Indonesia Tahun 2010 didasarkan pada : 1. Level periode ulang gempa. Level gempa dibagi menjadi beberapa tingkatan : a. b. c. 2. a. b. 10% dalam 50 tahun (periode ulang 500 tahun) 10% dalam 100 tahun (periode ulang 1000 tahun) 2% dalam 50 tahun (periode ulang 2500 tahun) Periode pendek 0,2 detik Periode 1 detik

Periode gelombang gempa.

Peta hazard gempa Indonesia yang disajikan dalam buku panduan ini meliputi peta percepatan puncak (PGA) dan respon spektra percepatan di batuan dasar (SB) untuk perioda pendek 0.2 detik (Ss) dan untuk perioda 1.0 detik (S1) dengan redaman 5% mewakili tiga level hazard gempa yaitu 500, 1000 dan 2500 tahun atau memiliki kemungkinan terlampaui 10% dalam 50 tahun, 10% dalam 100 tahun, dan 2% dalam 50 tahun. Definisi batuan dasar SB adalah lapisan batuan di bawah permukaan tanah yang memiliki memiliki kecepatan rambat gelombang geser (Vs) mencapai 750 m/detik dan tidak ada lapisan

27

batuan lain di bawahnya yang memiliki nilai kecepatan rambat gelombang geser yang kurang dari itu. Dengan demikian untuk suatu lokasi tinjauan, PGA, SS, dan S1 di batuan dasar yang dibutuhkan untuk perencanaan dapat diperoleh. Penjelasan untuk masing-masing peta dapat dilihat dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1.

Penjelasan peta hazard gempa Indonesia 2010

28

Gambar 2.7 Peta percepatan puncak (PGA) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun(Peta Gempa Hazard,2010)

Gambar 2.8 Peta respon spektra percepatan 0.2 detik (SS) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun (Peta Gempa Hazard,2010)

29

Gambar 2.9 Peta respon spektra percepatan 1 detik (S1) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 50 tahun(Peta Gempa Hazard,2010)

Gambar 2.10 Peta percepatan puncak (PGA) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 100 tahun(Peta Gempa Hazard,2010)

30

Gambar 2.11 Peta respon spektra percepatan 0.2 detik (SS) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 100 tahun(Peta Gempa Hazard,2010)

Gambar 2.12 Peta respon spektra percepatan 1 detik (S1) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 10% dalam 100 tahun(Peta Gempa Hazard,2010)

31

Gambar 2.13 Peta percepatan puncak (PGA) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun(Peta Gempa Hazard,2010)

Gambar 2.14 Peta respon spektra percepatan 0.2 detik (SS) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun(Peta Gempa Hazard,2010)

32

Gambar 2.15 Peta respon spektra percepatan 1 detik (S1) di batuan dasar (SB) untuk probabilitas terlampaui 2% dalam 50 tahun(Peta Gempa Hazard,2010)

2.5.6. Goncangan Gempa Di Permukaan Tanah Dan Faktor Amplifikasi Perambatan gelombang gempa dari batuan dasar ke permukaan tanah menyebabkan terjadinya perubahan goncangan gempa yang sampai di permukaan tanah dan dipengaruhi oleh kondisi lapisan tanah seperti jenis, ketebalan, kekakuan dan muka air tanah. Goncangan gempa yang sampai di permukaan tanah pada umumnya akan mengalami pembesaran atau amplifikasi. Faktor amplifikasi didefinisikan sebagai rasio besarnya percepatan puncak atau spektra percepatan dipermukan dibagi percepatan puncak atau spektra percepatan di batuan dasar. Faktor amplifikasi ini memiliki nilai yang berbeda dan tergantung dari jenis dan modulus geser tanah sesuai dengan level tegangan dan regangan yang terjadi.

33

Besar amplifikasi di permukaan tanah dapat ditentukan dengan melakukan analisis respon spesifik (Site-Specific Response Analysis) yaitu dengan melakukan perambatan gelombang dari batuan dasar ke permukaan. 2.5.7 Klasifikasi Site (Jenis Tanah) Untuk mendapatkan percepatan maksimum dan respon spektra di permukaan tanah di suatu lokasi tinjauan, terlebih dahulu perlu dilakukan klasifikasikan site (jenis tanah). Klasifikasi site harus ditentukan untuk lapisan setebal 30 m sesuai dengan definisi dalam Tabel 2.2 yang didasarkan atas korelasi hasil penyelidikan tanah lapangan dan laboratorium. Disarankan untuk menggunakan sedikitnya 2 (dua) jenis penyelidikan tanah yang berbeda dalam klasifikasi site ini.
Tabel 2.2.

Klasifikasi site didasarkan atas korelasi penyelidikan tanah

lapangan dan laboratorium (SNI 2002, UBC-97, IBC-2009, ASCE 710)

34

Dalam Tabel 2.2, Vs , N , dan S adalah nilai rata-rata dan harus dihitung menurut persamaan-persamaan berikut : ..( 2.1 )

..( 2.2 )

...( 2.3 )

Dimana : ti Vsi = tebal lapisan tanah ke-i antara kedalaman 0 sampai 30 m = kecepatan rambat gelombang geser pada lapisan tanah ke-i m/detik. Ni = nilai hasil Uji Penetrasi Standar (SPT) lapisan tanah ke-i.

dalam satuan

35

Sui m

= kuat geser undrained (tak terdrainase) lapisan tanah ke-i. = jumlah lapisan tanah yang ada antara kedalaman 0 sampai 30 m. =30 m

2.5.8 Penentuan Percepatan Puncak di Permukaan Tanah Besarnya percepatan puncak di permukaan tanah diperoleh dengan mengalikan faktor amplifikasi untuk PGA (FPGA) dengan nilai PGA yang diperoleh dari Gambar 2.7, Gambar 2.8, atau Gambar 2.9 Besarnya FPGA tergantung dari klasifikasi site yang didasarkan pada Tabel 2.2 dan nilainya ditentukan sesuai Tabel 2.3.

Tabel 2.3 Faktor amplifikasi untuk PGA (FPGA) (ASCE 7-10)

Keterangan: SPGA = Nilai PGA di batuan dasar (SB) mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010 (Gambar 2.7, Gambar 2.10, atau Gambar 2.13). SS = Lokasi yang memerlukan investigasi geoteknik dan analisis respon spesifik.

36

Percepatan puncak di permukaan tanah dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan berikut: PGAM = FPGA x SPGA ..( 2.4 ) dimana: PGAM FPGA = Nilai percepatan puncak di permukaan tanah berdasarkan klasifikasi site. = faktor amplifikasi untuk PGA. 2.5.9 Penentuan Respon Spektra di Permukaan Tanah Respon spektra adalah nilai yang menggambarkan respon maksimum dari sistem berderajat-kebebasan-tunggal (SDOF) pada berbagai frekuensi alami (periode alami) teredam akibat suatu goyangan tanah. Untuk kebutuhan praktis, maka respon spektra percepatan dibuat dalam bentuk respon spektra yang sudah disederhanakan. Untuk penentuan parameter respon spektra percepatan di permukaan tanah, diperlukan faktor amplifikasi terkait spektra percepatan untuk periode pendek (Fa) dan periode 1.0 detik (Fv). Selanjutnya parameter respon spektra percepatan dipermukaan tanah dapat diperoleh dengan cara mengalikan Koefisien Fa dan Fv dengan spektra percepatan untuk perioda pendek (SS) dan perioda 1.0 detik (S1) dibatuan dasar yang diperoleh dari peta gempa Indonesia 2010 sesuai rumus berikut: SMS = Fa x Ss SM1 = Fv x S1 dimana : Ss = Nilai spektra percepatan untuk periode pendek 0.2 detik di batuan dasar (SB) mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010 (Gambar 2.8, Gambar 2.11 atau Gambar 2.14). ..( 2.5 ) ..( 2.6 )

37

S1 = Nilai spektra percepatan untuk periode 1.0 detik di batuan dasar (SB) mengacu pada Peta Gempa Indonesia 2010 (Gambar 2.9, Gambar 2.12 atau Gambar 2.15). Fa = Koefisien perioda pendek Fv = Koefisien perioda 1.0 detik Tabel 2.4. dan Tabel 2.5. memberikan nilai-nilai Fa dan Fv untuk berbagai klasifikasi site.

Tabel 2.4 Koefisien periode pendek, Fa

Tabel 2.5 Koefisien periode 1.0 detik, Fv

SS

= Lokasi yang memerlukan investigasi geoteknik dan analisis respon site spesifik

38

Selanjutnya, untuk mendapatkan parameter respon spektra desain, spektra percepatan desain untuk perioda pendek dan perioda 1.0 detik dapat diperoleh melalui perumusan berikut ini: SDS = SMS SD1 = SM1 Dimana : SDS SD1 = respon spektra percepatan desain untuk perioda pendek. = respon spektra percepatan desain untuk perioda 1.0 detik. ..( 2.6 ) ..( 2.7 )

= konstanta yang tergantung pada peraturan perencanaan bangunan yang digunakan, misalnya untuk IBC-2009 dan ASCE 7-10 dengan gempa 2500 tahun menggunakan nilai sebesar 2/3 tahun.

Selanjutnya respon spektra desain di permukaan tanah dapat ditetapkan sesuai dengan gambar dibawah ini:

Gambar 2.16 Bentuk tipikal respon spektra desain dipermukaan tanah

dimana: 1. Untuk periode lebih kecil dari T0, respon spektra percepatan, Sa didapatkan dari persamaan berikut :

39

..( 2.8 ) 2. Untuk periode lebih besar atau sama dengan T0, dan lebih kecil atau sama dengan TS, respon spektra percepatan, Sa adalah sama dengan SDS. 3. Untuk periode lebih besar dari TS, respon spektra percepatan, Sa didapatkan dari persamaan berikut : ..( 2.9 ) Keterangan : ..( 2.10 ) ......( 2.11 ) 2.6 2.6.1 Retrofitting Definisi Retrofitting Retrofitting terjadi peningkatan struktur struktur. secara umum adalah penambahan dapat pula

komponen-komponen struktur baru kepada sistem yang lama sehingga Konteks retrofitting didefinisikan sebagai perbaikan struktur terkait dengan kemampuan aktual didalam operasional struktur.

2.6.2

Tujuan retrofitting

40

1. Perbaikan Tujuan utamanya adalah untuk mengambalikan bentuk ersitektur bangunan agar semua perlengkapan / peralatan dapat berfungsi kembali. Perbaikannya pun tidak berkaitan dengan struktur.tindakan-tindakan yang termasuk kategori ini anatara lain: a. b. c. d. menambal retak-retak pada tembok, plesteran dan memperbaiki pintu, jendela serta mengganti kaca memperbaiki kabel-kabel listrik memperbaiki peembuangan e. f. membangun kembali dinding pemisah memplester dinding-dinding pipa air, pipa gas, dan saluran

lain-lain

2. Restorasi Tujuannya adalah melakukan perbaikan pada komponenkomponen struktur penahan beban dan mengambalikan kekuatan semula. Tindakan-tindakan yang termasuk kategori ini. Yaitu:

41

a.

Menginjeksikan air semen atau bahan-bahan epoxy (bila ada) kedalam retak-retak kecil yang terjadi pada dinding pemikul beban, balok maupun kolom

b.

Penambahan jaringan tulangan pada dinding pemikul, balok, maupun kolom yang mengalami retak besar kemudian diplester kembali

c.

Membongkar bagian-bagian dinding yang terbelah dan menggantikannya dengan dinding baru dengan spesi yang lebih kuat dan dijangkar dengan portal

d.

Membingkar bagian kolom / balok yang rusak, memperbaiki tulangannya lalu dicor kembali

3. Perkuatan Tujuannya adalah membuat kembali bangunan menjadi lebih kuat dari kekuatan biasa. Tindakan yang termasuk kategori ini: a. Menghilangkan sumber-sumber kelemahan atau yang dapat menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan dibagian tertentu. meliputi: penyebaran letak kolom yang tidak simetris

42

penyebaran letak dinding yang tidak simetris bukaan-bukaan yang berlebihan b. Menjadikan bangunan sebagai satu kesatuan dengan jalan mengikat semua komponen-komponen penahan beban satu dengan lainnya c. Menghindari terjadinya kehancuran getas dengan cara memperbaiki, menambah dan memasang tulangan sesuai dengan detail-detail untuk mencapai daktalitas yang cukup d. Menambah daya tahan terhadap beban lateral, dengan jalan menambah dinding, menambah kolom dan lainlain 2.6.3 Metoda Perbaikan Struktur Adapun alternatif perbaikan berat ditentukan oleh jenis kerusakan strukturnya yang meliputi : coating, injection, shotcrete, prepacked concrete, jacketing dan penambahan tulangan. 1. Coating. Perbaikan coating adalah melapisi permukaan beton dengan cara mengoleskan atau menyemprotkan bahan yang bersifat plastik dan cair. Lapisan ini digunakan untuk menyelimuti beton terhadap lingkungan yang merusak beton.

43

2.

Injection (grouting). Perbaikan injection adalah memasukkan bahan yang bersifat encer kedalam celah atau retakan pada beton, kemudian di-injection dengan tekanan, sampai terlihat pada lubang atau celah lain telah terisi atau mengalir keluar.

Gambar 2.17 Perbaikan kolom retak dengan metoda injeksi (MYH, Rustana. 2010)

3.

Shotcrete. Perbaikan Shotcrete adalah menembakkan mortar atau beton dengan ukuran agregat yang kecil, pada permukaan beton yang akan diperbaiki. Shotcrete dapat digunakan untuk

44

perbaikan permukaan yang vertikal maupun horisontal dari bawah. 4. Prepacked Concrete. Perbaikan prepacked concrete adalah mengupas beton, kemudian dibersihkan dan diisi dengan beton segar, beton baru ini dibuat dengan cara mengisi ruang kosong dengan agregat sampai penuh. Kemudian di- injection dengan mortar yang sifat susutnya kecil dan mempunyai ikatan yang baik dengan beton lama. 5. Jacketing. Perbaikan jacketing adalah melindungi beton terhadap kerusakan dengan menggunakan bahan selubung, dapat berupa baja, karet, dan beton komposit. 6. Penambahan tulangan. Perbaikan penambahan tulangan untuk memperkuat elemen struktur seperti plat, balok dan kolom yang sudah rusak cukup parah, agar dapat berfungsi kembali sebagai pemikul beban. 2.6.4 Perbaikan Non-Struktur Kerusakan dinding banyak terjadi pada bagian luar gedung, teruatama pada bagian depan. Hal ini terjadi karena tegangan dinding yang terjadi akibat beban gempa (mendekati 11 kg/cm) lebih besar daripada tegangan izin bata (2 kg/cm). Untuk elemen bangunan yang rusak ringan, dapat dilakukan perbaikan dengan cara berikut: 1. Dinding retak diagonal, karena geser atau retak vertikal karena lentur.

45

a.

Plesteran lama di sekitar retak dikupas, lalu retak diisi dengan adukan semen pasir (perbandingan 1 semen : 3 pasir).

b. c.

Setelah celah rapat, kemudian dinding diplester kembali dengan campuran spesi 1 semen : 3 pasir. Untuk retak yang besar (> 0,6 cm) setelah di isi dengan adukan semen pasir, pada bagian bekas retakan. Dipasang kawat anyaman yang di paku kuat kemudian dinding diplester kembali seperti gambar berikut :
Jaringan kawat ayam B Retak diinjeksi dengan air semen

B Daerah Retak + 60 cm

Potongan B - B

Siar Jaringan kawat baru Plesteran baru Paku dipasang tiap maks. 30 cm x 30 cm Retak diinjeksi dengan air semen

Gambar 2.18 Perbaikan dinding bata dengan kawat ayam (Boen, Teddy. 2009)

2.

Dinding hancur Dilakukan pemasangan dinding baru lengkap dengan angkurangkur setiap 6 lapis bata dengan panjang angkur minimum 30 cm.
Kolom Praktis

Balok Pinggang

46

Gambar 2.19 Pemasangan Balok Pinggang (Boen, Teddy. 2009)

Pada bidang dinding > 9 m2 ; dipasang elemen perkuatan kolom praktis dan balok pinggang (tulangan 410 mm, sengkang 8 150 mm) seperti pada gambar berikut :

47

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

48

3.1 Langkah-Langkah Retrofitting

Start

Studi Literatur

Survey Lapangan Analisa struktur

Tentukan Jenis Kerusakan dan Mutu Bahan

Identifikasi Penyebab dan lokasi Kerusakan ( geser, Desain Perkuatan tarik tekan lentur, (Retrofitting) sambungan, dll) Analisa Ulang struktur (SAP) RAB ( Rencana Anggaran Biaya) Finish
3.2 Metoda Kerja A. Studi Literatur

49

Untuk memulai suatu penelitian hal yang pertama yang harus dilakukan adalah mencari dasar teori yang berhubungan dengan masalah yang akan dibahas. Teori didapat dari buku-buku dan sumber lainnya yang sangat berguna untuk memecahkan nanti. B. Survey Lapangan Tugas akhir ini membahas tentang jenis kerusakan yang terjadi pada bangunan non-engineered yang rusak akibat gempa 30 September 2009 khususnya pada rumah dengan tembokan batu kali. Kerusakan itu meliputi kerusakan struktural dan kerusakan non-struktural. Selain masalah yang akan dibahas

menentukan jenis kerusakan, Mutu material yang digunakan juga diperhatikan. Luas dan bentuk dari bangunan juga tak luput dari pengamatan. C. Analisa Setelah data didapatkan dari survey lapangan, maka tindakan selanjutnya adalah menganalisis data-data kerusakan yang terdapat pada bangunan tersebut menggunakan SAP 2000 V.11 sehingga didapatlah faktor penyebab kerusakan dan jenis kerusakan. D. Desain Perkuatan Setelah mengetahui jenis kerusakan dan daerah kerusakan terjadi barulah dikerjakan perkuatan. Metoda perkuatan antara lain dengan menambah dinding batu, menambah braching, mempertebal dinding geser, memasang

50

carbon fiber reinforced plastic, pemasangan kawat anyam, dan metoda jacketing. E. Analisa Ulang Setelah dilakukan perkuatan maka dilakukan analisa ulang. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar bertambahnya kekuatan dari bangunan dan kemampuan bangunan menahan gaya gempa setelah diberi perkuatan. F. Rencana Anggaran Biaya Perhitungan biaya yang dikeluarkan juga diperlukan untuk mempertimbangkan kemampuan masyarakat dalam me-retrofitting bangunannya.

51

Anda mungkin juga menyukai